• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai tindak lanjut dari apa yang disebut organisasi oleh Lenin, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah pendirian partai yang sesuai dengan tujuan revolusioner.

Karl Marx, dalam Manifesto Komunisnya menyebutkan bahwa partai komunis hanya sebagai koordinator gerakan-gerakan kaum buruh di

seluruh dunia. Dalam buku ini, Arif dan Prasetyo mengungkapkan bahwa Lenin menolak pemikiran Marx tersebut. Baginya Partai Komunis memiliki tugas dan fungsi yang vital daripada sekedar mengkoordinasikan gerakan-gerakan buruh di seluruh dunia. Tugas itu ialah menyuntikkan kesadaran sosialis pada diri kaum buruh dan sekaligus menjadi mentor, pemimpin dan pemandu bagi kaum proletar dalam melaksanakan revolusi sosialisnya.

Dalam hal ini Lenin mengoreksi apa yang dikatakan Marx, (2005:54), Lenin mengatakan bahwa:

”...kesadaran politik suatu kelas dapat ditanamkan kepada kaum buruh hanya dari luar yaitu hanya di luar dari pertarungan ekonomi, diluar dari atmosfer hubungan antara buruh dan majikan. Kesadaran tersebut harus disuntiikan dari luar oleh sebuah organisasi revolusioner dan oleh golongan intelegensia dari organisasi tersebut”.

Dengan demikian, kesadaran sosialis dari kaum buruh dan petani bisa disuntikkan oleh orang-orang terpelajar yang ada dalam organisasi revolusioner tersebut sehingga Lenin menganggap tidak memerlukan massa yang banyak tetapi tidak dapat terkoordinasi dengan baik dan disiplin. Karena alasan itulah, terjadi perpecahan dalam Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia yaitu antara Bolshevik dan Menshevik.

Arif dan Prasetyo juga menyimpulkan bahwa (2005:57):

“Secara komprehensif, pandangan Lenin didasarkann pada pemahamannya bahwa partai komunis sedang berada di tengah-tengah perang yaitu perang antarkelas. Karena itu, prinsip-prinsip partai komunis haruslah juga menerapkan sifat-sifat organisasi yang tengah terlibat perang yaitu rahasia, kepemimpinan oleh minoritas, kewenangan yang tersentralisasi dan penggunaan cara-cara ilegal. Mengenai kepimpinan minoritas oleh sejumlah kecil

revolusioner profesional hal tersebut sangatlah vital bagi pencapaian revolusi sosialis”.

Selain itu juga, Arif dan Prasetyo mengutip pernyataan dari Ebenstein (1969) yaitu:

“Menurut Lenin, dibawah kapitalisme, mayoritas kaum buruh tak mampu mengeluarkan dirinya dari mentalitas kapitalis dan hanya sejumlah kecil kaum revolusioner yang sadar kelas yaitu partai komunis sebagai garda depan dari proletariat yang dapat menganalisis situasi secara tepat dan memeta sebuah rancangan aksi yang tepat. Kediktatoran atas kaum proletar oleh partai komunis adalah perlu sampai mayoritas buruh telah mengeluarkan dirinya dari ideologis kapitalis”.

Selanjutnya Lenin kembali menambahkan pendapatnya bahwa” “Mayoritas kaum buruh akan mencapai ideologi proletarian yang tepat hanya setelah kondisi-kondisi obyektif kehidupan mereka telah diubah, yaitu setelah partai komunis sebagai garda depan kaum proletariat telah menjatuhkan kaum kapitalis penindas dan institusi-institusi kapitalisme. Hanya perubahan revolusioner yang semacam ini, Lenin berargumen yang akan mengeluarkan kaum buruh dari sifat-sifat egois, tak bersatu, jahat dan lemah yang ditimbulkan oleh kepemilikan pribadi”.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Karx bahwa kaum petani bukan termasuk golongan revolusioner akan tetapi konservatif bahkan cenderung reaksioner. Mereka (kaum petani) akan bereaksi apabila kepentingan-kepentingan mereka terganggu dan hal itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan kepemilikan tanah.

Oleh karena itu, tidak mudah untuk menjadikan kaum petani sebagai salah satu kekuatan revolusioner yang akan menjamin tercapainya revolusi sosialis. Diperlukan pembinaan dan penyuntikkan kesadaran revolusioner terlebih dahulu agar kaum petani dapat menyadari kekuatannya. Disinilah pentingnya peranan organisasi atau bahkan kalau

perlu partai revolusioner yang akan berpengaruh terhadap kesadaran tersebut.

Berkaitan dengan partai, Lenin memiliki banyak sifat dan karakteristik sebagaimana yang diungkapkan diatas. Dan dari situ Lenin mengambil kesimpulan bahwa perjuangan spontan proletariat akan menjadi perjuangan kelas sunguh-sungguh selama perjuangan itu dipimpin oleh sebuah organisasi kaum revolusioner yang kuat. Lenin juga menegaskan bahwa partai itu harus disusun secara sentralistik dan birokratis dalam arti bahwa unsur-unsur bawah mutlak harus taat terhadap unsur-unsur atas. Apalagi karena kaum intelektual, lain daripada kaum buruh, cenderung suka tidak disiplindan tidak mantap dalam sikap politik. 4. Revolusi Permanen

Satu hal lagi pemikiran dari Lenin yang disimpulkan oleh Arif dan Prasetyo yaitu adanya Revolusi Permanen. Ketika kita berbicara mengenai revolusi sosialis, Lenin juga memikirkan secara perspektif global. Berbeda dengan panutannya Marx, yang percaya bahwa revolusi sosialis akan terjadi lebih dahulu di negeri-negeri yang tingkat perkembangan kapitalismenya telah matang, Lenin justru menyatakan bahwa revolusi sosialis akan terjadi lebih dahulu di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur yang tingkat perkembangannya kapitalismenya masih lemah. Hal itu dikarenakan tingkat resistansi antikomunis di negeri-negeri tersebut masih rendah. Tugas kaum komunis adalah menyerang dan menghancurkan sistem politik dan sosial yang terlemah yaitu di daerah

yang secara ekonomu masih terbelakang di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur.

Melihat kasus yang terjadi di rusia, keberhasilan revolusi sosialis bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhir adalah sebagaimana yang diajarkan Marx: terciptanya tahapan sejarah masyarakat sosialis di dunia. Namun itu bukan berarti kemenangan kaum komunis di Rusia tidak bernilai. Justru sebaliknya kemenangan kaum komunis di Rusia memberikan basis dan pusat bagi kegiatan-kegiatan revolusi komunis di negara-negara lain di seluruh dunia. Selain itu juga, Lenin berpandangan bahwa seluruh partai komunis di segenap penjuru dunia harus mengikuti model partai Komunis Rusia yaitu partai yang memiliki watak-watak: rahasia, kepemimpinan oleh minoritas revolusioner profesional, kewenangan yang tersentralisasi dan penggunaan cara-cara ilegal.

Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Arif dan Prasetyo di atas dapat kita ketahui bahwa isi pemikiran Lenin berpusat pada Hukum Evolusi Sejarah Manusia, peranan kaum proletar-petani kecil sebagai Pilar Revolusi Sosialis, tugas partai dan sifat kepemimpinannya dan adanya Revolusi Permanen. Untuk mewujudkan tujuan tercapainya Revolusi Sosialis Lenin telah menyiapkan beberapa aspek yang diperlukan agar revolusi itu dapat dilaksanakan. Kali ini Lenin menyiapkan bantuan dari kekuatan proletar kecil lain yaitu para petani karena dianggap petani juga merasakan dampak dari adanya kapitalisme yang semakin merajarela di Rusia. Oleh karena itu, Kaum Proletar kini disatukan antara kaum buruh dan petani kecil.

Selain itu juga Lenin mengatakan bahwa untuk mencapai revolusi itu, diperlukan adanya sebuah lembaga dan organisasi yang mengatur kaum proletar agar revolusi tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan visi, misi dan tujuan revolusi sosialis. Barulah kemudian setelah revolusi itu tercapai dan kaum proletar dapat menduduki kekuatan kapitalisme di negara Rusia, Lenin memikirkan agar hal yang dilakukan di Rusia tersebut dapat emenjadi inspirasi bagi lahirnya revolusi-revolusi sosialis di negara lain khususnya di negara dunia ketiga. Adapun revolusi yang dimaksud disini oleh Lenin adalah Revolusi dengan kekerasan karena tanpa kekerasan bangsa Borjuis tidak akan dengan mudah menyerahkan kekuasaannya kepada kaum proletar. Revolsui yang diinginkan adalah revolusi sosialis dengan cukup hanya satu langkah saja, tidak seperti yang diungkapkan oleh Marx dan yang dipercayai oleh golongan Menshevik.

Sesuai dengan apa yang dikemukakan diatas, bahwa fokus pemikiran Lenin yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini adalah pemikiran mengenai Negara dan Revolusi. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Arif dan Prasetyo, dikutif dari buku State and Revolution, Lenin mengungkapkan begitu banyak ide, konsep dan teori yang menerangkan mengenai negara dan revolusi. Selain itu juga, Lenin mendeskripsikan, menganalisis, mengurai atau bahkan juga menyimpulkan, apa sebenarnya yang ia pikirkan yang tak terlepas dari pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh sosialis sebelum Lenin sendiri ada yang sama-sama mengungkapkan konsep pemikiran tentang Negara dan Revolusi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Karl Marx, Georgii Plekhanov, Hegel, Engels, dan Kaum Populis Rusia.

Berdasarkan latar belakang yang diungkapkan diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa latar belakang yang mengakibatkan Lenin berpikir kritis mengenai konsep negara dan revolusi begitu kompleks. Namun, meskipun begitu, Lenin dapat dengan fokus, merumuskan konsep negara dan revolusi tersebut sehingga dapat diaplikasikan dalam kondisi yang sedang dihadapi oleh Rusia saat itu. Oleh karena itu, penulis akhirnya dapat menguraikan bahwa pemikiran inti Lenin sendiri itu berpusat dan fokus pada konsep Negara dan Revolusi. Penulis mengkaji konsep negara dan revolusi tersebut dalam hubungannya dengan Revolusi Bolshevik 1917 yang terjadi di Rusia dan juga dipelopori oleh Lenin.

a) Negara, Menurut V.I Lenin

Melihat kenyataan yang terjadi di Rusia sebelum Revolusi Bolshevik 1917, maka keinginan terbesar dari Lenin adalah adanya perubahan terhadap apa yang selama ini dianggap salah di negaranya. Sebagaimana yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul State and Revolution, fokus pemikiran Lenin sebenarnya adalah terhadap permasalahan Negara dan Revolusi, akan tetapi untuk mencapai konsep yang dia inginkan dalam negara ataupun revolusi, ada banyak aspek yang saling berkaitan dan mendukung satu dengan lainnya. Dalam buku tersebut juga, Lenin mengutarakan aspek-aspek pendukung lainnya seperti partai politik, hukum evolusi sejarah manusia, kedikatatoran proletariat, dan sifat dan cara revolusi yang dapat mendukung berjalannya Revolusi Sosialis sehingga akhirnya dapat mencapai negara yang sosialis pula.

Sesudah revolusi sosialis, apa yang harus dilakukan terhadap Negara? pertanyaan itu dijawab oleh Lenin, sebagaimana yang dikutip oleh Suseno (2005:34) bahwa:

“Seperti biasanya, Lenin memaparkan pandangannya dengan menghantam pandangan-pandangan yang dianggapnya akan mengancam daya revoluisoner kelas buruh. Dalam “Negara dan Revolusi” dua pihak diserang dengan ganas. Pertama, kaum sosial demokrat yang mengharapkan bahwa sosialisme dapat diwujudkan melalui mekanisme demokratis. Kedua, kaum anarkis yang menuntut agar sesudah revolusi negara langsung dihapuskan”.

Masalah yang menjadi perhatian Lenin adalah masalah penerapan ajaran Karl Marx dalam situasi dan kondisi khususnya di Rusia. Lenin, memandang suatu konsep mengenai negara tak lepas dari adanya pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh sosialis lain yang berpikir hal yang sama misalnya seperi Marx dan Engels yang menjadi acuannya dalam berpikir mengenai Negara dan Revolusi.

Pengertian Negara, Lenin mengutip pernyataan dari Engels (1917: 2) : “Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu sesempit ‘realitas ide moral’, ‘bayangan dan realitas akal’ sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Malahan, negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontrakdisi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam ‘batas-batas tata tertib’; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara (halaman 177-178, edisi bahasa Jerman yang keenam)”.

Pengertian menurut Engels ini jelas sekali merupakan dasar ide dari Marxisme khususnya mengenai masalah peran historis negara dan arti negara. Lenin berpikir bahwa negara adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas. Negara timbul ketika, dimana dan untuk perpanjangan terjadinya antagonisme-antagonisme kelas secara obyektif tidak dapat didamaikan dan sebaliknya juga, eksistensi negara membuktikan bahwa antagonisme-antagonisme kelas adalah tak terdamaikan.

Sedangkan menurut Marx, negara tidak akan timbul atau bertahan jika perdamaian kelas itu adalah mungkin. Lenin mengutip juga pengertian negara menurut Marx (1917:3) bahwa:

“Negara adalah negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah ciptaan “tata tertib” yang melegalkan dan mengekalkan penindasan ini dengan memoderasikan bentrokan antar kelas”.

Lenin berpikir bahwa ketika Revolusi Oktober terjadi tahun 1917, ketika masalah dan peranan negara justru menjadi masalah yang luar biasa pentingnya, menjadi masalah praktis, masalah yang menuntut aksi segera dalam skala massal, seluruh kaum sosialis-revolusioner, dan Kaum Menshevik semuanya segera dan sepenuhnya terjerumus kedalam teori borjuis kecil negara “mendamaikan” kelas-kelas.

Bagi Lenin, seperti yang dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2005:75) bahwa: ”Negara adalah The Rulling Class dan sebagai mesin penindas, negara tak lain adalah mesin yang dipakai oleh satu kelas untuk menindas kelas lainnya. Pendapat ini sama dengan apa yang Marx paparkan, dan Lenin menyepakatinya. Bahkan dalam sub-bab 1 Bab 1 State and Revolution, Lenin mengatakan bahwa negara adalah hasil dari tak terdamaikannya kontradiksi antar kelas. Sehingga selama kaum proletar masih memakai

negara, mereka tidak mungkin memakainya untuk memperjuangkan kebebasan tetapi untuk menindas lawan-lawannya dengan kekerasan”. Kemudian, selanjutnya berkaitan dengan hal ini, Dalam buku Filosofi Negara menurut Tan Malaka (2004:110), Malaka mengemukakan bahwa:

”bentuk negara yang tetap dipakai pada masa sosialisme adalah negara yang benar-benar menghilangkan sifat negara borjuasi. Belajar dari Komune Paris, Lenin berfikir bahwa semua suprastruktur borjuasi harus dilenyapkan karena kalau tidak dilakukan akan memberikan kesempatan bagi kaum borjuasi mengorganisir diri dan bangkit kembali melawan kekuasaan proletariat. Oleh sebab itu, negara yang digagas oleh Lenin adalah negara yang menghilangkan dua ciri utama negara borjuasi, yaitu parlemen dan tentara reguler. Parlemen dihilangkan karena hanya menjadi tempat orang berbicara namun tidak bekerja. Mereka adalah kelas penganggur yang harus dibiayai oleh negara. Pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif dalam negara borjuis menyebabkan terjadinya kepincangan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Adanya parlemen juga mengakibatkan munculnya elit kekuasaan yang terpisah dari masyarakat. Tentara reguler juga harus diganti dengan milisi rakyat atau rakyat yang bersenjata. Tentara reguler berbahaya karena kemudian bisa menjadi alat bagi kaum yang memiliki harta, kekayaan ataupun modal sehingga bisa diperalat untuk membela kepentingan kaum yang memiliki uang”.

Sedangkan, Lenin sendiri menyimpulkan apa yang dimaksud dengan negara dalam bukunya State and Revolution (1917:4) yaitu:

“Negara adalah kekuatan yang berdiri di atas masyarakat dan yang ‘semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu’, maka jelaslah bahwa pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak mungkin tanpa revolusi dengan kekerasan, tetapi juga tidak mungkin tanpa penghancuran aparat kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa dan yang merupakan penjelmaan dari “pengasingan itu. Negara yang dimaksud disini bukanlah Negara sebagaimana pengertian umum yaitu Negara dengan karakter khasnya: memiliki tentara tetap, polisi, birokrasi dan penjara yang kesemuanya digunakan untuk menindas proletariat. Negara yang dimaksud disini adalah proletariat yang terorganisir sebagai kelas yang berkuasa.”.

Dalam buku tersebut Lenin mengatakan bahwa tugas para petani dan kaum buruh adalah untuk menumbangkan negara sebagai alat kapitalis, demi

terwujudnya masyarakat sosialis. Bersatunya kaum buruh dan petani tersebut, Lenin menyebutnya sebagai kekuatan baru revolusioner yang akan merebut kekuasaan dari tangan kapitalis dan menjadikan negara sebagai sarana untuk menuju masyarakat sosialis, istilah dua kekuatan disebut dengan Kediktatoran Proletariat.

Dalam UUD Uni Sovyet 1918, konstitusi hasil revolusi 1917, dikatakan bahwa diktator proletar adalah transisi masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis. Dalam hal ini, masyarakat negara akan hilang sama sekali manakala masyarakat menerima prinsip bahwa setiap orang bekerja menurut kemampuannya, setiap orang menerima kebutuhannya (from each according to his ability, to each according to his needs). Sementara, negara adalah alat untuk mencapai komunisme. Jadi cita-citanya bukan bagaimana menegakkan negara yang demokratis, melainkan masyarakat yang sosialis, masyarakat tanpa kelas. Bahkan cita-cita itu dengan tegas mengatakan bahwa demokrasi dan kediktatoran adalah dua muka dengan lencana yang sama (two sides of one medal). Dengan begitu, negara bukanlah merupakan tujuan akhir dari perjuangan, negara hanya merupakan alat untuk mewujudkan masyarakat sosialis.

Inti dari buku State and Revolution sebenarnya merupakan kritikan terhadap Lassalleanisme yaitu analisas mengenai hubungan antara perkembangan komunisme dengan melenyapnya negara.

Arif dan Prasetyo juga mengutif pernyataan dari Marx (2005:77) bahwa: ”Bagi Marx, dengan membandingkan surat Marx kepada Bracke (5 Mei 1875) maka nampak bahwa Marx jauh lebih merupakan ”pembela negara” daripada Engels dan bahwa perbedaan pandangan diantara kedua penulis ini mengenai masalah negara yang sangat besar. Engels lebih

menyarankan Bebel agar setiap tentang negara dihentikan dan kata ”negara” dihapuskan sama sekali dan diganti dengan kata ”persekutuan hidup”. Engels bahkan menyatakan bahwa komune bukan lagi negara dalam arti kata yang sebenarnya, sedang Marx berbicara tentang ”ketatanegaraan masa depan dari masyarakat komunis” yaitu seolah-olah ia mengakui keharusan akan negara bahkan dibawah Komunisme. Sementara bagi Lenin, pandangan-pandangan itu mengalami koreksi secara mendasar. Pandangan Marx dan Engels mengenai negara dan melenyapnya negara adala sepenuhnya sama, sedang pernyataan Marx diatas justru berkaitan dengan ketatanegaraan yang sedang melenyap ini. Lenin tidak memberikan perhatian yang memihak akan sekaligus menentukan kapan negara akan hilang”.

Dalam hal itu, Lenin memiliki persamaan juga perbedaan dengan apa yang dipikirkan oleh Marx dan Engels. Akan tetapi Lenin lebih bisa mengungkapkan kapan masyarakat sosialis yang senenarnya akan terbentuk. Sedangkan Marx, ia lebih memfokuskan bahwa negara akan tetap ada meskipun dibawah bendera komunisme hanya saja fungsi-fungsi yang awalnya dipegang oleh kalangan individu berubah menjadi diatur oleh negara. Sedangkan bagi Engels, Negara setelah revolusi itu tercapai secara mendasar bukan lagi disebut sebagai ”negara” akan tetapi lebih tepatnya sebagai persekutuan hidup antara umat manusia yang memiliki nasib dan masa depan yang sama.

Berbeda dengan Marx, Lenin dengan fleksibel menerapkan apa yang dikatakan oleh Marx dan Engels itu sesuai dengan apa yang terjadi di Rusia dengan berbagai situasi dan kondisi yang sudah ada. Ketika Revolusi Sosialis sudah berhasil dicapai, akhirnya yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah penerapan masyarakat sosialis yang diatur segala sesuatunya oleh negara dan dipimpin oleh Diktator Proletariat. Meskipun begitu, Lenin menyadari bahwa kaum proletar tidak begitu saja dapat dengan mudah memerintah dan mengatur negara yang awalnya dipimpin oleh kaum borjuis dan kapitalis imperialis

sehingga diperlukan waktu yang cukup agar proletar bisa mengisi keberhasilan revolusi dengan mengatur negaranya.

Lalu, pertanyaan berikutnya adalah, negara macam apakah yang masih diperlukan sesudah terjadinya revolusi sosialis? Dalam hal ini, Lenin menyangkal pernyataan dari Karl Kautsky bahwa revolusi proletar sekedar hanya merebut kekuasaan negara, lalu revolusi borjuis memakai kekuatan negara itu untuk mendirikan sosialisme. Tetapi, Lenin selalu berbeda pandangan dengan pemikir sosialis lainnya. Lenin mengatakan bahwa memakai negara untuk mewujudkan sosialisme amatlah mustahil. Hal itu dikarenakan ketika proletar sudah merebut kekuasaan, negara borjuis masih tetap dikendalikan oleh birokrasi yang lama yang juga akan menggagalkan segala usaha untuk betul-betul menjatuhkan kekuasaan borjuasi. Oleh karena itu, sebagaimana yang dikutip oleh Suseno (2005:38) :

”...Karena itu, tidaklah cukup kalau negara borjuis hanya dikuasai, dia harus dihancurkan. Tegas-tegas Lenin menyatakan bahwa menurut Karl Marx ”kelas pekerja harus membongkar menghancurkan ’aparat negara siap pakai’ dan tidak hanya membatasi diri untuk menguasainya. Lenin mengatakan bahwa Revolusi Proletariat tidak mungkin tanpa penghancuran paksa aparat negara borjuis dan tanpa penggantiannya oleh aparat negara baru yang menurut kata-kata Engels ’sudah bukan negara dalam arti yang sebenarnya’. Maka dengan kata lain hasil dari revolusi sosialis adalah kediktatoran proletariat”.

Maka, dapat dikatakan bahwa Revolusi sosialis tidak akan hanya membentuk pemerintahan baru dengan proletariat sebagai puncaknya akan tetapi dengan segenap tenaga akan menghancurkan segala hal yang berkaitan dengan birokrasi negara yang lama. Jadi, bukan membentuk pemerintahan baru dengan birokrasi yang sama, akan tetapi pemerintahan yang benar-benar baru yang disebut Kediktatoran Proletariat.

Istilah kediktatoran proletariat berasal dari apa yang dikatakan oleh Karl Marx yang dikutip oleh Suseno (2001:169):

”Revolusi itu pada permulaannya akan bersifat politis: proletariat merebut kekuasaan dan mendirikan ’Kediktatoran Proletariat” artinya, proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk menindas kaum kapitalis untuk mencegah mereka memakai kekayaan dan fasilitas luas yang masih mereka kuasai untuk mengagalkan revolusi proletariat dan mengembalikan keadaan lama. Jadi kediktatoran proletariat perlu untuk mencegah segala kemungkinan sebuah revolusi balasan dari sisa-sisa kaum kapitalis. Setelah itu hak milik atas tanah dan atas pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lain dicabut dan dialihkan ke negara”.

Sedangkan menurut Lenin, dikatakan dengan tegas (2005: 40):

Dokumen terkait