• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbankan Sebagai Mitra Manajemen Pesantren di Jombang

PANDANGAN ELITE PESANTREN DI KABUPATEN JOMBANG TERHADAP PEMANFAATAN JASA PERBANKAN

B. Perbankan Sebagai Mitra Manajemen Pesantren di Jombang

183

tersebut. Pondok pesantren terlihat tidak aktif dengan arah baru perbankan Indonesia ini. Bisa dikatakan pondok masih agak memandang sebelah mata pada pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia.

Realitas seperti itu dapat dilihat, di antaranya pada pondok-pondok pesantren di Jombang. Ke-kurangberperannya pondok-pondok di Jombang tersebut juga menyebabkan perkembangan perbankan syari’ah di Jombang kurang begitu menggembirakan, padahal Jombang dikenal sebagai kota santri, tempat digemblengnya para santri dari berbagai pelosok daerah tentang ajaran agama Islam, yang menjadi dasar dari perbankan syari’ah itu sendiri.

Walaupun pondok pesantren di Jombang tidak bisa melepaskan diri dari peran perbankan dalam manajemen pengelolaannya, namun realitasnya pondok lebih banyak memilih perbankan konvensional daripada memakai jasa perbankan syari’ah. Jasa perbankan di antaranya dipakai pondok untuk memudahkan para wali santri mengirimkan uang kebutuhan anaknya yang nyantri di pondok pesantren Jombang. Selain itu, jasa perbankan dipakai untuk penyimpanan dana pondok, yang tidak mungkin disimpan sediri dalam brangkasnya. Para kiai pun secara pribadi juga memakai jasa perbankan ini untuk keperluannya sendiri.

B. Perbankan Sebagai Mitra Manajemen Pesantren di Jombang

Pengelolaan keuangan menjadi keniscayaan bagi badan hukum, organisasi ataupun lembaga saat ini. Pondok pesantren sebagai lembaga juga menganggap pengelolaan kauangan adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu dalam setiap

184

struktur organisasinya selalu ada posisi bendahara yang secara khusus diberi amanat mengelola keuangan organisasi tersebut.

Pada beberapa pondok pesantren di Jombang, perbankan menjadi mitra dalam aktifitasnya. Pondok Tebuireng secara resmi memakai jasa perbankan dalam hal pembayaran, baik SPP maupun pembayaran uang saku santri. Untuk pembayaran SPP dilakukan secara online dengan mengambil jasa BRI Virtual Account.217 Hal ini mempermudah para wali santri untuk membayar SPP putranya tanpa harus khawatir akan digunakan terlebih dahulu oleh putranya. Untuk uang saku, setiap santri memiliki rekening di BPRS Lantabur yang akan mengatur uang saku santri setiap harinya sesuai dengan kesepakatan wali santri dengan anaknya. Wali santri mengirimkan uang saku putranya melalui jasa dari PT Pos Indonesia.

Secara umum, pondok pesantren di Jombang terbagi atas dua macam dalam interaksinya dengan perbankan konvensional, yaitu sebagian membatasi diri, dan sebagian lain tidak membatasi diri. Di antara yang membatasi diri adalah pondok pesantren Tebuireng, pondok Darul Ulum dan Pondok Mambaul Ma’arif.

Meskipun pondok Tebuireng mempergunakan jasa BRI Virtual Account dalam proses pembayaran SPP santri, tapi menurut penuturan Gus Ghafar uang yang tersimpan di bank BRI tidak akan dibiarkan mengendap melebihi 1 Milyar rupiah. Pondok selalu mengambil uang di bank BRI ketika sudah mencapai jumlah 1 Milyar rupiah dan dipindahkan ke rekening BPRS Lantabur. Bank BRI dipergunakan hanya untuk mempermudah jaringan dengan para wali santri,

217 PP Tebuireng memakai jasa berupa BRI Virtual Account, yang bisa dibayar oleh wali santri dengan melalui teller BRI, sms banking, internet banking maupun melalui mesin ATM.

185

karena jaringan BRI sangat luas dan sudah masuk ke setiap kota kecamatan seluruh Indonesia, bahkan saat ini sudah lebih dekat lagi dengan nasabah karena dibukanya BRI Link, Teras BRI, juga ATM yang bisa ditemukan di setiap keramaian. Menurut gus Ghafar, langkah seperti ini adalah dalam rangka upaya untuk mengurangi interaksi dengan perbankan konvensional, dan memang saat ini masih membutuhkannya.

Sama halnya dengan pondok Denanyar, yang tidak menyimpan banyak uang di bank konvensional, meskipun masih mengakui tetap memakainya. Yayasan PP Denanyar mempercayakan penyimpanan dana yayasan di bank BRI, tetapi juga memiliki rekening di BMT an-Najah. Yayasan mengambil sikap tidak terlalu bebas memakai jasa perbankan konvensional, akan tetapi juga tidak intens memakai jasa perbankan syari’ah. Bank konvensional dipilih karena fasilitas yang diberikan lebih baik daripada bank syari’ah. Yayasan membatasi diri dalam memakai jasa perbankan. Untuk membangun pondok dalam bidang fisik, yayasan dan asrama tidak pernah memakai jasa kredit yang ditawarkan oleh pondok. Pembangunan gedung/fisik hanya dilakukan kalau memang sudah ada dana tunai yang dimiliki yayasan, tidak memaksakan diri dengan pinjam ke perbankan. Sementara pondok Darul Ulum berkomitmen untuk mempergunakan perbankan syari’ah, walaupun tidak mengharamkan penggunaan bank konvensional. Memilih perbankan syari’ah karena menurutnya lebih aman.

Ada juga pondok pesantren di Jombang yang tidak terlalu membatasi dalam pemakaian jasa perbankan konvensional. Pondok Tambakberas termasuk yang tidak membatasi diri dalam memakai jasa perbankan, meskipun pada

186

sebagian ribath ada yang cukup berhati-hati, tetapi dari pihak yayasan sendiri tidak membatasi diri. Selama ini yayasan bekerjasama dengan bank Jatim dalam segala urusan perbankannya, bahkan menurut gus Wafi sudah sejak tahun 90-an telah bekerjasama dengan bank Jatim. Ada tawaran dari perbankan syari’ah, itu pun diambil karena fasilitas dan sangat terbatas sekali transaksi dengannya.

Meskipun yayasan dari pondok pesantren di Jombang memiliki kebijakan masing-masing, namun demikian para kiai secara pribadi memiliki pendapat masing-masing yang kadang berbeda dengan yang dilakukan oleh Yayasan yang membawahi pondok secara keseluruhan. Para kiai kebanyakan justru tidak mempermasalahkan memakai jasa perbankan konvensional maupun syari’ah. Mereka memakai jasa semua perbankan tersebut karena suatu kebutuhan, dan lebih melihat kemanfaatan dari semua tawaran jasa perbankan tersebut. Hanya ada sedikit kiai yang berkomitmen hanya memakai jasa perbankan syari’ah, walaupun dalam keadaan terpaksa tetap memakai jasa perbankan konvensional.

Mayoritas kiai memiliki rekening bank konvensional. Perbedaan mereka hanya dalam tingkat pemakaiannya. Ada yang secara keseluruhan memakai perbankan konvensional, dan ada yang hanya sebagai alat lalu lintas, misalnya sebagai media menerima gaji atau pembayaran. Bagi kiai yang menjadi pegawai negeri sipil justru kepemilikan rekening konvensional merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi.

Ada sebagian kiai yang berprinsip bahwa bank konvensional dan bank syari’ah tidak berbeda, keduanya sama saja. Perbedaannya hanya dalam menggunakan istilah-istilah saja. Sementara ada sebagian kiai yang masih

187

hati ketika memilih jasa-jasa yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan ia berkomitmen untuk memakai bank syari’ah selama tidak ada kebutuhan mendesak untuk memakai jasa perbankan konvensional.

Dari semua pandangan para kiai tersebut dapat disimpulkan bahwa, adanya bank konvensional dan bank syari’ah adalah merupakan hasil olah pikir manusia dalam rangka memberikan pelayanan kepada para nasabahnya. Karena merupakan hasil olah pikir yang dapat dikategorikan upaya menawarkan jasa, maka hal ini menjadi lahan ijtihad. Para ulama diberikan kesempatan untuk melakukan ijtihad mengenai hukum mengambil manfaat dari perbankan konvensional maupun perbankan syari’ah. Hasil ijtihad para ulama berbeda-beda, karena mereka memiliki cara pandang dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat hasil olah pikir manusia ini.

Dalam Islam, ijtihad merupakan ruh dari perkembangan hukum Islam, sehingga tanpa adanya ijtihad maka hukum Islam akan staatis dan tidak dapat diaplikasikan pada segala kondisi dan keadaan, padahal Islam adalah agama yang

rahmatan lil alamin, agama yang salihun likulli zaman wa makan. Dengan

melihat sejarah perkembangan hukum Islam sejak zaman Nabi saw sampai pada saat sekarang, maka dapat difahami bahwa dalam menghadapi suatu masalah tertentu pun dapat dimungkinkan terjadi perbedaan pendapat antara ulama pada situasi, waktu dan keadaan tertentu dengan ulama lain yang berbeda situasi, waktu dan keadaannya.

Demikian halnya bunga bank, para ulama berbeda pendapat, demikian juga para kiai pondok pesantren di kabupaten Jombang. Ada sebagian yang