TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Literatur
1. Perbankan Syariah
a. Pengertian Bank Syariah
Bank syariah dikenal dengan nama lain bank tanpa bunga (la riba bank), bank Islam (Islamic bank), bank nirbunga (Nurul dan Fitriyanti, 2010:52). Menurut Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dilanjutkan pada Pasal 1 ayat 7 UU No. 21 Tahun 2008, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
b. Fungsi Bank Syariah
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah diwajibkan untuk menjalankan
fungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Di samping itu, bank syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
Menurut Riza (2012:70) dalam bukunya Akuntansi Perbankan Syariah, bank syariah dalam skema non-riba memiliki setidaknya empat fungsi sebagai berikut:
1) Fungsi Manajer Investasi
Fungsi ini dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana mudharabah. Bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyaluran yang produktif, sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana.
Dalam bagi hasil kepada nasabah, bank syariah menggunakan konsep nisbah bagi hasil atau persentase pendapatan yang diperoleh. Hal ini menyebabkan besar atau kecilnya imbalan yang diterima oleh shahibul maal tidak hanya ditentukan oleh besarnya porsi bagi hasil yang diterima
nasabah melainkan tergantung juga pada hasil penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah. Semakin baik penyaluran dana ke arah yang produktif maka semakin besar bagi hasil yang diterima oleh nasabah. Namun sebaliknya, apabila penyaluran dana oleh bank syariah tidak baik maka nilai bagi hasil yang diterima nasabah juga menjadi kecil.
2) Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana, bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana). Penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor-sektor yang produktif dengan risiko yang minim dan tidak melanggar ketentuan syariah. Di samping itu, dalam menginvestasikan dananya, bank syariah harus menggunakan produk investasi yang sesuai dengan syariah. Produk investasi yang sesuai dengan syariah meliputi akad jual beli (murabahah, salam, dan istishna‟), akad investasi (mudharabah dan musyarakah), akad sewa-menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik), dan akad lainnya yang dibolehkan syariah.
3) Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan sesuatu yang melekat pada bank-bank syariah. Ada dua instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) dan instrumen
qardhul hasan. Instrumen ZISWAF berfungsi untuk menghimpun ZISWAF dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Instrumen
qardhul hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan
yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana infak dan sedekah yang tidak ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi.
ZISWAF yang telah dikumpulkan, selanjutnya disalurkan kepada yang berhak dalam bentuk bantuan atau hibah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun untuk dana qardhul
hasan dapat disalurkan untuk pengadaan atau perbaikan
kualitas fasilitas sosial dan fasilitas umum masyarakat, sumbangan atau hibah kepada yang berhak, dan pinjaman tanpa bunga yang diprioritaskan kepada golongan ekonomi lemah. 4) Fungsi Jasa Keuangan
Fungsi jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan lain sebagainya. Namun, mekanisme untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, bank syariah tetap menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan demikian, status bank syariah selain sebagai lembaga keuangan yang melayani jasa keuangan, tetapi juga juga sebagai badan sosial di masyarakat. Fungsi sosial yang dimiliki oleh bank syariah menjadi salah satu keunggulan bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional.
c. Kegiatan Usaha Bank Syariah
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah menjalankan beberapa kegiatan, yaitu:
1) Penghimpun Dana
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), ada dua prinsip penghimpunan dana, yaitu:
(a) Penghimpunan Dana dengan Prinsip Wadiah
Wadiah berarti titipan dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan oleh penerima titipan, kapan pun pihak yang menitipkan menghendaki. Wadiah dibagi menjadi dua, yaitu wadiah yad dhamanah dan wadiah yad amanah.
Wadiah yad dhamanah yaitu titipan yang selama belum
dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan. Adapun wadiah yad amanah adalah penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai pihak yang menitipkan mengambil kembali titipannya. Prinsip wadiah yang lazim digunakan adalah
wadiah yad dhamanah, dapat diterapkan pada kegiatan penghimpun dana berupa giro dan tabungan.
(b) Penghimpunan Dana dengan Prinsip Mudharabah
Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis kerja sama usaha di mana pihak pertama menyediakan dana (shahibul maal) dan pihak kedua bertanggung jawab atas pengelolaan usaha (mudharib). Mudharabah terbagi menjadi tiga yaitu mudharabah muthlaqah, mudharabah
muqayyadah, dan mudharabah musyatarakah. Mudharabah
muthlaqah adalah salah satu jenis mudharabah yang
memberi kuasa kepada mudharib secara penuh untuk menjalankan usaha tanpa batasan apapun yang berkaitan dengan usaha tersebut. Mudharabah muqayyadah
merupakan salah satu jenis mudharabah di mana pemilik dana memberi batasan kepada pengelola dalam pengelolaan dana berupa jenis usaha, tempat, pemasok, maupun konsumen. Adapun mudharabah musytarakah merupakan bentuk mudharabah di mana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.
2) Penyaluran Dana (Langsung dan Tidak Langsung)
Menurut Riza (2012:76) dalam penyaluran dana oleh bank syariah, terdapat beberapa prinsip, yaitu prinsip jual beli, prinsip investasi, dan prinsip sewa.
(a) Prinsip Jual Beli
Dalam melakukan jual beli, dapat digunakan tiga skema yang meliputi jual beli dengan skema murabahah, jual beli dengan skema salam, dan jual beli dengan skema
istishna‟. Jual beli dengan skema murabahah penjual menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli, bank syariah bertindak sebagai penjual, sedangkan nasabah yang membutuhkan barang bertindak sebagai pembeli. Dalam jual beli dengan skema salam pelunasannya dilakukan terlebih dahulu oleh pembeli sebelum barang pesanan diterima.
Adapun dalam jual beli dengan skema istishna‟, jual beli didasarkan atas penugasan oleh pembeli kepada penjual yang juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu produk sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati.
(b) Prinsip Investasi
Dalam melakukan investasi, dapat dilakukan dengan skema mudharabah dan skema musyarakah. Menurut Wiyono dan Maulamin (2012:47), mudharabah adalah persetujuan antara pemilik modal dengan seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu, yang keuntungannya dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggungan pemilik modal. Sedangakan
musyarakah memiliki arti secara luas sebagai akad
kerjasama atau percampuran antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai dengan nisbah yang disepakati dan risiko akan ditanggung sesuai dengan porsi kerjasama.
(c) Prinsip Sewa
Sewa secara prinsip dapat dilakukan dengan dua skema yaitu skema ijarah dan skema ijarah muntahiya bittamlik. Sewa dengan skema ijarah didefinisikan sebagai transaksi perpindahan hak guna (manfaat) suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah tanpa melalui pemindahan kepemilikan. Adapun ijarah
muntahiya bittamlik merupakan kombinasi antara sewa
menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah. Dalam hal ini pihak yang menyewakan berjanji akan menjual atau menghibahkan barang yang disewakan pada akhir periode sewa (Utama, 2009:46).
3) Jasa Pelayanan
Bank syariah dapat menyediakan jasa pelayanan perbankan dengan berdasarkan akad wakalah, hawalah, kafalah, dan rahn.
Menurut Wiyono dan Maulamin dalam bukunya Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, transaksi wakalah timbul karena salah satu pihak memberikan suatu objek perikatan yang berbentuk jasa atau dapat juga disebut sebagai meminjamkan dirinya untuk melakukan sesuatu atas nama diri pihak lain. Transaksi hawalah timbul karena salah satu pihak meminjamkan suatu objek perikatan yang berbentuk uang untuk mengambil alih piutang atau utang dari pihak lain. Selanjutnya, transaksi kafalah timbul jika salah satu pihak memberikan suatu objek yang berbentuk jaminan atas kejadian tertentu di masa yang akan datang. Transaksi rahn timbul karena salah satu pihak meminjamkan suatu objek perikatan yang berbentuk uang kepada pihak lainnya yang disertai dengan jaminan.
2. Murabahah
a. Pengertian Murabahah
Murabahah berasal dari kata “Ribh” yang berarti keuntungan
laba atau tambahan (Widodo, 2010:19). Murabahah didefiniskan oleh para fuqaha sebagai penjualan barang seharga biaya atau harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark up atau marjin atau keuntungan yang disepakati. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 102 paragraf 5 tentang Murabahah
perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli. Berdasarkan definisi tersebut, murabahah merupakan transaksi jual beli barang, di mana penjual mengungkapkan harga perolehan kepada pembeli dan memperoleh keuntungan berdasarkan marjin yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
b. Ketentuan Murabahah
Berikut ini adalah dalil-dalil umum dari quran dan Al-Hadis mengenai akad murabahah:
1) Al-Quran
(a) QS An-Nisa: 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.
(b) QS Al-Baqarah: 280
“Dan jika (orang yang terutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui”.
(c) QS Al-Baqarah: 275
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”.
2) Al-Hadis
Beberapa dalil dari Al-Hadis adalah sebagai berikut:
(a) Dari Abu Sa‟id Al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (HR. Al-Baihaqi, Ibnu Majah, dan sahih menurut Ibnu Hibban)
(b) Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga hal yang mengandung
(mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)
(c) “Sumpah itu melariskan barang dagangan, akan tetapi akan menghapus keberkahannya”. (HR. Imam Bukhari)
(d) “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu bentuk kezaliman”. (Diriwayatkan
oleh Ash-Shahihain)
(e) “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama
ia menolong saudaranya”. (HR. Imam Muslim)
(f) “Allah mengasihi orang yang memberikan kemudahan bila
ia menjual dan membeli serta di dalam menagih haknya”.
(Diriwayatkan dari Shahabat Abu Hurairrah
Radhiyallahu‟anhu)
c. Jenis-jenis Murabahah
Murabahah digolongkan menjadi dua jenis oleh Riza (2012:145), yaitu:
1) Murabahah Berdasarkan Pesanan
Dalam murabahah jenis ini, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah
membeli barang yang dipesannya. Murabahah yang bersifat mengikat berarti pembeli harus membeli barang yang dipesannya dan tidak dapat membatalkan pesanannya. Adapun
murabahah yang bersifat tidak mengikat bahwa walaupun telah
memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
Negosiasi dan Persyaratan Akad
Serah terima barang Bayar Kewajiban
Beli barang Barang dikirim secara tunai
Gambar 2.1
Murabahah Berdasarkan Pesanan Sumber: Riza, 2012, hlm 145
2) Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat ada
Penjual (Ba‟i) Pembeli (Musytari) Produsen (Supplier)
yang memesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual.
Barang (mabi‟)
Akad
Cost + margin
Gambar 2.2
Murabahah Tanpa Pesanan Sumber: Riza, 2012, hlm 146
d. Rukun dan Syarat Murabahah
Menurut Widodo (2010:25) dalam bukunya Seluk Jual Beli
Murabahah Perspektif Aplikatif, rukun murabahah dapat
dijelaskan sebagai berikut: 1) Penjual (Ba‟i)
Penjual dalam hal ini adalah Lembaga Keuangan Islam (LKI), yaitu dapat berupa Bank Umum Syariah (BUS), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), atau Baitul wa Tamwil
(BMT) yang disebut dengan istilah Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS).
Penjual (Ba‟i)
Pembeli (Musytari)
2) Pembeli (Musytari)
Pembeli dalam hal ini adalah nasabah, baik sebagai pembeli akhir ataupun selaku pedagang. Para pihak yang berakad dipersyaratkan harus cakap menurut hukum. Dalam
pengertian hukum syara‟ harus sudah baligh dan dalam
kaitannya dengan hukum perdata sebagai hukum positif, yang bersangkutan minimal harus berusia 21 tahun.
3) Barang yang Menjadi Objek Jual-Beli (Mabi‟)
Barang yang menjadi objek jual-beli dipersyaratkan harus jelas dari segi sifat, jumlah, jenis yang akan diperjualbelikan termasuk halalan thoyiban, dan tidak tergolong pada barang yang haram atau yang mendatangkan mudharat. Selain itu, sifat barang harus bernilai. Objek murabahah dipersyaratkan telah menjadi milik dan dalam penguasaan penjual.
4) Harga Barang (Tsaman)
Harga barang dan keuntungan harus disebutkan secara jelas jumlahnya dan satuan mata uangnya. Demikian juga cara pembayarannya, yaitu secara tunai atau secara kredit (tangguh). Jika dibayar secara kredit, waktu pembayaran dan jangka waktunya harus jelas. Dalam konteks pembiayaan, harga jual barang adalah batas maksimal pembiayaan yang disebut plafon atau limit.
5) Kontrak atau Akad (Sighat atau Ijab-Qabul)
Dalam praktiknya, kontrak dapat dibuat secara tertulis di bawah tangan, namun juga dapat dibuat oleh notaris. Dibandingkan dengan perjanjian di bawah tangan, perjanjian secara notarial adalah lebih kuat.
e. Metode Penentuan Harga Jual dalam Murabahah
Menurut Wiyono dan Maulamin (2012:135), dalam ba‟i al
-murabahah, syariah memperbolehkan bank untuk mengambil
keuntungan atau laba atas transaksi tersebut yang disebut marjin. Marjin adalah laba kotor atau tingkat selisih antara biaya produksi dan harga jual di pasar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:879). Dalam menentukan keuntungan ada beberapa cara, yakni sebagai berikut:
1) Bank menentukan keuntungan dari jumlah dana yang dipinjam oleh nasabah untuk membeli barang ke bank tersebut sebesar yang disepakati kedua belah pihak, misalnya 20% dari pokok pinjaman. Apabila yang ditambahkan adalah dua kali keuntungan per tahun, maka hasilnya sama dengan 40%. Cara seperti ini memiliki kelemahan, jika dibayar lebih dari satu tahun maka keuntungannya ditambah sebesar keuntungan satu tahun dikalikan dengan jumlah tahun, hal ini seolah-olah sebagai tambahan karena meminjami yang ditentukan di muka, sehingga mengarah kepada riba. Jika hal ini dilakukan untuk
menstabilkan daya beli uang yang dipinjamkan bank, seharusnya persentase yang ditambahkan adalah sebesar estimasi inflasi yang akan datang atau dikurangi sebesar estimasi deflasi seandainya terjadi.
Rumus harga jual (cara pertama):
Harga jual = harga pokok aktiva murabahah (jumlah pembiayaan) + (mark up laba x n tahun)
2) Atas dasar dana yang dipinjam oleh nasabah, bank syariah menerapkan keuntungan transaksi misalnya 20%, jika dibayar dalam jangka satu atau dua tahun, maka untuk menstabilkan daya beli uang tersebut bank syariah dapat menambahkan sejumlah dua kali inflasi dua tahun yang akan datang. Sebagai contoh, diperkirakan inflasi 5% per tahun maka faktor
stabilizer daya beli untuk dua tahun adalah 2 x 5% = 10%. Jadi, selama dua tahun nasabah mengangsur pokok pinjaman ditambah keuntungan dan inflasi, yaitu 10% + 20% = 30%. Rumus harga jual (cara kedua):
Harga jual = harga pokok aktiva murabahah (jumlah pembiayaan) + (inflasi x n) tahun + mark up
3) Dalam penentuan harga jual bank, bank dapat menerapkan metode penetapan harga jual berdasarkan cost plus mark up. Rumus harga jual (cara ketiga):
Harga jual = harga pokok aktiva murabahah (jumlah pembiayaan) + cost recovery + mark up
Cost recovery adalah bagian dari estimasi biaya operasi bank syariah yang dibebankan kepada harga pokok aktiva
murabahah atau pembiayaan. Rumus perhitungan cost
recovery:
Cost recovery = (harga pokok ativa murabahah atau pembiayaan) x estimasi biaya operasi satu tahun
Mark up atau laba ditentukan sekian persen dari harga pokok aktiva murabahah atau pembiayaan, misalnya 10%. Untuk menghitung marjin murabahah maka kita dapat menghitung dengan rumus:
Marjin murabahah = (cost recovery + mark up) / harga pokok aktiva murabahah (pembiayaan)
{
}
Pokok Pembiayaan (k)Menurut Muhammad dalam Anggadini (2009:190), metode penetapan harga jual murabahah paling efisien adalah pada metode penetapan harga jual ketiga, yaitu dengan menambahkan cost recovery.
f. Metode Penentuan Angsuran Pokok dan Marjin dalam Murabahah
Berdasarkan kirteria transaksi syariah yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam Kerangka Dasar Penyajian dan Pelaporan Keuangan (KDPPLK) bank syariah yang berlaku mulai 1 Juni 2007, menurut Widodo (2010:37) ada beberapa metode pricing di bawah ini yang sebagian dipraktikan oleh Lembaga Keuangan Islam (LKI), antara lain:
1) Metode Marjin Anuitas
Metode ini merupakan modifikasi dari metode efektif. Metode ini mengatur jumlah angsuran pokok dan marjin yang dibayar agar sama setiap bulan. Jumlah angsuran pokok setiap bulan akan semakin besar, sementara jumlah marjin akan semakin kecil.
Angsuran Pokok (k) =
{
}
Pokok Pembiayaan x(
Angsuran Marjin (k) ={ } x Pokok Pembiayaan x Keterangan:
M: Marjin
n : Jangka waktu dalam tahun k : Bulan cicilan ke-..
2) Metode Keuntungan Rata-Rata
Angsuran Pokok per Bulan =
Angsuran Marjin per Bulan =
Keterangan: M: Marjin
n : Jangka waktu dalam tahun 3) Metode Effective Rate
Metode ini menghitung marjin yang harus dibayar setiap bulan sesuai dengan saldo pokok pinjaman bulan sebelumnya.
Angsuran per bulan = {
} Keterangan:
M: Marjin
4) Metode Flat Rate
Dalam metode ini, perhitungan bunga selalu menghasilkan nilai bunga yang sama setiap bulan, karena bunga dihitung dari persentasi bunga dikalikan pokok pinjaman awal.
Angsuran per bulan =
Keterangan:
Pokok pembiayaan : Harga Perolehan – Uang Muka MK : Marjin keuntungan
n : Jangka watu dalam tahun 5) Metode Keuntungan Menurun (Sliding Rate)
Metode keuntungan menurun atau sliding rate merupakan kebalikan dari metode flat rate, yaitu porsi marjin dihitung berdasarkan pokok hutang tersisa. Sehingga porsi marjin dan pokok dalam angsuran setiap bulan akan berbeda. Dalam metode ini, porsi marjin di masa-masa awal akan sangat besar dalam angsuran perbulannya, sehingga pokok hutang akan sangat sedikit berkurang. Jika hendak melakukan pelunasan awal maka jumlah pokok hutang akan masih sangat besar meski merasa telah membayar angsuran yang jika ditotal jumlahnya cukup besar.
g. Perbandingan Kredit dengan Murabahah
Perbandingan dan perbedaan kredit pada bank konvensional dengan pembiayaan murabahah dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Perbandingan Kredit dengan Murabahah
No. Perihal Kredit Murabahah
1. Sumber hukum Hukum positif Hukum syara‟
terutama Al-Quran dan Al-Hadist 2. Orientasi Keuntungan finansial secara sepihak (Lembaga Keuangan Konvensional) yang sifatnya duniawi
Falah, berkah dan mardho tillah, dengan jangkauan baik duniawi maupun ukhrowi 3. Prinsip dasar Pinjam meminjam
uang (loan atau
lending)
Jual-beli
4. Obyek transaksi Uang (money) Barang (goods) yang halal 5. Obyek transaksi
pembiayaan atas barang yang belum ada
Boleh Tidak boleh
6. Jangka waktu (tenor) transaksi Berjangka pendek, menengah, panjang Berjangka pendek dan menengah 7. Esensi Loan plus interest Cost plus margin
8. Pengertian Pinjam-meminjam uang yang pemberian dan pelunasannya dipisahkan oleh waktu dengan imbalan, yang berwujud bunga Jual-beli yang mewajibkan penjual menyampaikan harga pokok barang kepada pembeli ditambah keuntungan yang besarnya sesuai dengan kesepakatan para pihak terkait (penjual dan pembeli) Bersambung ke halaman selanjutnya
Lanjutan halaman sebelumnya
No. Perihal Kredit Murabahah
9. Imbalan (dasar) Penundaan waktu Bukan penundaan waktu 10. Imbalan (wujud) Bunga Marjin 11. Imbalan (kaitannya dengan index)
Terkait Tidak boleh terkait
12. Imbalan (rumusan matematis)
Pelunasan = Pokok + Bunga
Harga jual = Harga pokok + Marjin 13. Imbalan (sifat) Floating rate
Penentunya adalah LKK Fixed rate Penentunya para pihak 14. Imbalan (potongan atau diskon) Berlaku otomatis dan pasti Hak prerogatif penjual 15. Imbalan (berlakunya potongan atau diskon) Sebatas jangka waktu riil kredit
Nominal marjin tidak terkait waktu
16. Imbalan (kaitannya dengan time value of money) Otomatis dan fungsional (pasti berlaku) Tidak berlaku 17. Cara pembayaran Angsuran atau cicilan Tunai, angsuran atau cicilan 18. Penggunaan atau aplikasi transaksi Produktif dan konsumtif Produktif dan konsumtif 19. Manfaat pembiayaan
Modal kerja dan investasi (jangka panjang)
Modal kerja dan konsumtif 20. Sifat aplikasi kredit dan pembiayaan murabahah Terdapat bentangan waktu antara realisasi dan pelunasan Terdapat bentangan waktu antara realisasi dan