• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan sebagai Sumber Konflik sebagai Sumber Konflik

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan

3. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Halimun-Salak

5.4.4 Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan sebagai Sumber Konflik sebagai Sumber Konflik

Kepemilikan hutan oleh negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) muncul ketika negara memakai rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berlBapak/Ibus kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya publiklah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumber daya hutan juga diatur oleh pemerintah. Fuad et al. (2002) merepresentasikan rejim kepemilikian hutan oleh negara melalui badan usaha negara. Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu, pengaturan

85 pengelolaan hutan Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 tahun 2003. Hutan adalah milik Taman Nasional diperkuat dengan SK Menhut No.175 tahun 2003.

Sumberdaya hutan yang berada di kawasan Halimun, oleh masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya hutan diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Sumberdaya hutan hanya boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat. Seperti yang dungkapkan oleh Bapak BHR (62 tahun), Sekretaris Desa Sirna Resmi dan Tokoh Adat Kasepuhan.

“Tanah kami adalah tanah milik adat. Semuanya adalah warisan dari leluhur kami. Cara pengelolaan dan pemanfaatannya juga diatur oleh adat.”

Abah ASN (44 tahun), Ketua Adat pun menambahkan.

“Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan tutupan tidak boleh dirusak, hutan titipan hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan, lahan garapan untuk pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi, tanah dan hutan ini adalah milik adat.”

Adanya perbedaan klaim pengakuan kepemilikan atas hutan yang sama, menimbulkan ketegangan antar keduanya. Pihak taman nasional menganggap kawasan Gunung Halimun sebagai milik negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Namun, masyarakat adat Kasepuhan menganggap bahwa seluruh kawasan hutan Halimun adalah milik adat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur.

86 5.5 Basis Konflik dan Kedalaman Konflik

Konflik yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dengan pihak taman nasional terjadi pada basis kehutanan dan lahan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Wilayah adat Kampung Gede Kasepuhan Sinar Resmi diklaim oleh pemerintah sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional.

Konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak antara balai taman nasional dan masyarakat adat tidak sampai pada pertumpahan darah. Namun, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat Kasepuhan ketika sedang mengambil kayu di kebunnya sendiri. Setelah itu, warga menjadi ketakutan jika ingin ke kebun, karena takut ditangkap oleh polisi kehutanan. Penangkapan ini telah menimbulkan ketegangan dan ketakutan warga yang akan melakukan kegiatan di dalam kebun yang dianggap zona rehabilitasi oleh balai taman nasional, baik untuk memungut ranting dan kayu kering, maupun untuk menebang kayu yang dianggap masyarakat sebagai milik masyarakat. Walaupun timbul ketakutan, pada akhirnya warga memiliki keberanian untuk melawan dan memperjuangkan haknya, karena menurutnya melawan tidak melawan akan tetap ditangkap jika kepergok berada pada kebun yang masuk dalam kawasan taman nasional. Taman nasional pun bertindak menakut-nakuti akan mengusir dan menggusur pemukiman warga dengan memasang papan pengumuman mengenai perlarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan pemukiman.

Selain itu, terjadi pula saling tuduh secara tidak langsung antara masyarakat dengan pihak balai taman nasional. Pihak taman nasional, yang

87 diwakilkan oleh Polisi Kehutanan Bapak KHR (47 tahun) menganggap masyarakat Kasepuhan bukan masyarakat adat yang masih memiliki nilai-nilai adat dan budaya yang kuat.

“Saya meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan, karena mereka terlihat seperti masyarakat pada umumnya. Perbedaan hanya terletak pada ritual-ritual yang mereka lakukan, dan saya tidak mengerti ritual tersebut memiliki arti apa. Lagipula, mereka pasti akan menebang hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi, walau peraturan adat melarangnya.”

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam Gunung Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di Gunung Halimun. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak RDI (55 tahun) yang bekerja sebagai petani.

“Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga”

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi sulit diselesaikan ketika kedua pihak yang berkonflik saling menyerang tanpa pernah bertemu dan berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan damai.

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sudah sampai tahap melakukan serangan fisik secara agresif menurut penggolongan berdasarkan intensitasnya Robbins dalam Tadjudin (2000). Pihak-pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah melakukan penangkapan terhadap masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi, yang ketahuan sedang berada di kebun yang dianggap sebagai kawasan taman nasional.

88 5.6 Ruang-Ruang Konflik

Kebanyakan konflik memiliki penyebab gBapak/Ibu sebagi kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang terbuka (Fuad dan Maskanah, 2000). Untuk itu Fuad dan Maskanah (2000) melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik, yaitu : a) Konflik data; b) Konflik kepentingan; c) Konflik hubungan antar manusia; d) Konflik nilai; dan e) Konflik struktural. Dalam kasus konflik yang terjadi antara pihak Kasepuhan dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, konflik terjadi pada ruang konflik kepentingan, konflik nilai dan konflik struktural.

Konflik kepentingan terjadi karena adanya persaingan kepentingan, di mana ketika suatu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban. Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Halimun dan salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan.

Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan hutan Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat.

89 Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya.

Konflik struktural terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan formal. Pemerintah menerapkan konsep konservasi pada kawasan Gunung Halimun dengan harapan dapat menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber mata air yang ada di sana. Untuk melakukan hal itu, pemerintah harus mengurangi dan membatasi intensitas masuknya manusia ke dalam hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh manusia. Karena kawasan konservasi terutama zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi adalah kawasan yang tidak boleh ada kegiatan pendayagunaan oleh manusia seperti mengambil kayu bakar, mengambil kayu untuk membangun sarana dan prasarana, dan memanfaatkan tumbuhan untuk obat-obatan tradisional. Karean alasan inilah yang membuat pemerintah membatasi akses masyarakat ke dalam hutan.

Konflik nilai terjadi ketika ada perbedaan dalam menilai peran dan fungsi hutan. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kawasan leuwueng tutupan

merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah

90 diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan titipan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya.

Pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya.

Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah (Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak) dengan masyarakat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperti zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi, sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya.

5.7 Penyelesaian Konflik Kehutanan yang Telah Dilakukan dan