• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada

BAB VI PEMBAHASAN

6.9 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada

Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi dapat dijelaskan sebagai perubahan fisiologis, yaitu resistensi insulin dan hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotenin; serta perubahan organ ginjal. Peningkatan asupan energi juga berhubungan dengan peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor natriuretik dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah (Krummel 2004).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat obesitas lebih tinggi pada masyarakat rural (8,6%) dibandingkan dengan masyarakat urban (0%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Diana, dkk (2013) yang menyatakan bahwa perempuan yang tinggal di wilayah perkotaan lebih berisiko 1,3 kali terkena obesitas dibandingkan perempuan yang tinggal di pedesaan.

Pada penelitian ini, kejadian hipertensi akibat obesitas justru lebih tinggi pada masyarakat rural dibandingkan dengan masyarakat urban. Hal ini diduga karena proporsi masyarakat rural yang tingkat aktivitas fisiknya ringan sebesar 66,2%. Selain itu, pada penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa proporsi masyarakat rural yang mengkonsumsi makanan lemak

97 tinggi cukup besar, yakni 80%. Sehingga, masyarakat rural memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena obesitas dibandingkan dengan masyarakat urban.

Tingginya konsumsi lemak tinggi pada masyarakat rural diasumsikan karena pengetahuan masyarakat rural mengenai gizi berbeda dengan masyarakat urban, sehingga pola konsumsi yang tidak seimbang menyebabkan obesitas (Saraswati, 2012). Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat rural mulai membatasi konsumsi makanan berlemak. Selain itu, puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat bisa memberikan penyuluhan mengenai pola konsumsi yang seimbang agar masyarakat memiliki risiko yang lebih kecil untuk terkena obesitas.

6.10 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban

Secara garis besar, wilayah Indonesia terbagi atas dua karakteristik wilayah, yakni desa dan kota. Wilayah desa dianggap sebagai wilayah yang cenderung tradisional, sedangkan wilayah kota dianggap sebagai wilayah yang serba modern (Gunawan, 2007). Hal ini dikarenakan wilayah perkotaan di Indonesia lebih terbuka terhadap adanya perubahan (globalisasi) (Saraswati, 2012). Keterbukaan terhadap globalisasi berpengaruh terhadap perkembangan penyakit yang diderita oleh masyarakat, terutama penyakit degeneratif, seperti hipertensi.

Globalisasi berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi hipertensi secara tidak langsung, dengan menyebarkan gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat (Modesti, 2013). Hipertensi menjadi masalah kesehatan masyarakat seiring dengan meningkatnya Angka Harapan Hidup

98 dan pertumbuhan ekonomi. Prevalensi hipertensi di negara berkembang dewasa ini telah menunjukkan angka yang sama dengan prevalensi di negara maju (Addo, 2012).

Hasil uji chi-square yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara prevalensi hipertensi di wilayah rural dan wilayah urban (p-value=0,874). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Carolina Badar (2013) di Minahasa Selatan yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah antara masyarakat yang tinggal di wilayah sub urban dan rural (p=0,033). Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti jumlah sampel yang sedikit dan pemilihan wilayah yang kurang spesifik. Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 160 responden, yang terdiri dari 80 responden dari wilayah rural dan 80 responden dari wilayah urban. Jumlah sampel yang banyak akan lebih merepresentasikan keadaan populasi yang sebenarnya, sehingga, kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang berbeda juga lebih besar.

Faktor lain yang mungkin menyebabkan tidak adanya perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban adalah pemilihan wilayah. Pemilihan wilayah sebagai representasi wilayah rural dan urban menggunakan pedoman dari BPS. Pada pedoman ini, menurut peneliti perlu dilakukan tinjauan ulang. Pada klasifikasi wilayah rural berdasarkan pedoman BPS, wilayah rural yang peneliti ambil telah memenuhi standar indikator yang ditetapkan. Namun, pada kenyataannya di lapangan, peneliti menemukan bahwa wilayah rural yang dipilih merupakan salah satu daerah

99 wisata (Puncak 2), dimana gaya hidup masyarakat sudah mengikuti gaya hidup perkotaan akibat arus mobilisasi yang deras.

Pada penelitian ini, ditemukan fakta bahwa faktor risiko hipertensi justru banyak dimiliki oleh masyarakat rural, seperti konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, tidak mengkonsumsi sayur dan buah, dan obesitas. Proporsi konsumsi makanan asin pada masyarakat rural sebesar 85%. Proporsi konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural sebesar 80% . Kurangnya asupan sayur dan buah pada masyarakat rural mencapai 41,2%. Status obesitas pada masyarakat rural sebesar 6,2%. Menurut penelitian Aisyiyah (2009), seseorang yang memiliki faktor risiko hipertensi lebih berisiko mengidap hipertensi.

Dengan demikian, adanya perubahan perilaku masyarakat rural yang mengikuti perilaku masyarakat urban tentunya harus segera ditindaklanjuti. Penelitian ini hanya menggambarkan faktor risiko yang banyak dilakukan pada masyarakat. Alangkah baiknya jika penelitian selanjutnya dapat melihat faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban, sehingga penanggulangan hipertensi dapat lebih spesifik.

Penanggulangan hipertensi tentunya harus dilakukan secara sinergis oleh pihak-pihak terkait seperti Dinkes Kabupaten Bogor, Puskesmas Kecamatan Kemang dan Sukamakmur, dan masyarakat itu sendiri. Dinkes Kabupaten Bogor hendaknya memprioritaskan program penanggulangan penyakit tidak menular, agar angka kejadian hipertensi dapat ditekan secara optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2013), program

100 penanggulangan penyakit tidak menular belum menjadi prioritas utama di tingkat Kabupaten. Hal ini menyebabkan pelayanan medis untuk PTM atau hipertensi khususnya masih bersifat pasif yaitu hanya memberikan obat pada penderita yang datang berobat, baik kegiatan di dalam maupun diluar gedung.

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat dapat mengadakan promosi kesehatan yang lebih intensif, dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat akan hipertensi dan faktor risikonya. Penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2013) menyatakan bahwa masyarakat kabupaten bogor memiliki pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko hipertensi serta akibat yang ditimbulkannya. Hal ini menyebabkan tingkat kepedulian untuk melakukan pengobatan dan kontrol tekanan darah menjadi rendah, yang kemudian berkontribusi terhadap angka kejadian hipertensi.

Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai hipertensi, pemerintah telah mengadakan program CERDIK. CERDIK merupakan akronim dari cara penanggulangan faktor risiko hipertensi, yakni Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres. Program ini diharapkan lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat karena pesan yang ingin disampaikan diringkas dalam satu kata yang sering digunakan sehingga lebih mudah diingat.

Faktor risiko yang berbeda pada masyarakat rural dan urban juga hendaknya menjadi pertimbangan bagi puskesmas setempat dalam

101 memfokuskan materi penyuluhan yang akan dilakukan, agar penyuluhan tepat sasaran dan dapat mencapai hasil yang diinginkan. Namun, perbedaan proporsi faktor risiko pada masyarakat rural dan urban hendaknya juga menjadi pertimbangan agar kegiatan posbindu dapat lebih maksimal. Kegiatan ini bertujuan untuk mendeteksi dini masyarakat dari penyakit hipertensi, agar segera ditanggulangi. Sasaran dari kegiatan posbindu ini sebaiknya dimulai dari usia >18 tahun. Deteksi faktor risiko penyakit hipertensi yang semakin dini akan mengurangi angka kesakitan akibat hipertensi di masa mendatang.

Kemauan untuk merubah gaya hidup tidak sehat yang menjadi faktor risiko hipertensi juga harus datang dari kemauan masyarakat sendiri. Masyarakat rural, dimana sarana dan pra sarananya kurang lengkap dibandingkan dengan wilayah urban, hendaknya dapat pro aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan puskesmas, baik dalam kegiatan penyuluhan tentang hipertensi maupun kegiatan posbindu.

102

Dokumen terkait