• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Variabel Orang

Variabel orang dalam menjawab siapa yang terkena masalah, biasanya berupa variabel umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Faktor tersebut biasa disebut sebagai variabel epidemiologi atau demografi. Kelompok orang yang potensial atau punya peluang untuk menderita sakit atau mendapat risiko biasanya disebut population at risk (Masriadi, 2012).

Untuk mengidentifikasi seseorang terdapat variabel yang tak terhingga banyaknya, tetapi hendaknya dipilih variabel yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan ciri seseorang. Untuk menentukan variabel mana yang dapat digunakan sebagai indikator, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan serta sarana yang ada (Budiarto, 2002). Dalam penelitian ini, variabel orang dijelaskan sebagai faktor risiko hipertensi.

23 Faktor risiko hipertensi meliputi umur, jenis kelamin, riwayat keluarga mengalami hipertensi, obesitas yang dikaitkan dengan peningkatan volume intravaskular, aterosklerosis (penyempitan arteria-arteria dapat membuat tekanan darah meningkat), merokok (nikotin dapat membuat pembuluh darah menyempit), kadar garam tinggi (natrium membuat resistensi air yang dapat menyebabkan volume darah meningkat), konsumsi alkohol dapat meningkatkan plasma katekolamin, dan stres emosi yang merangsang sistem saraf simpatis (Baradero, 2008)

Menurut beberapa penelitian yang pernah dilakukan, faktor risiko hipertensi antara lain usia (Syahrini, 2012), jenis kelamin (Sigarlaki, 2006), ras/budaya (Fitriani, 2012), konsumsi makanan tertentu (asin (Wahiduddin, 2012), berlemak (Syahrini, 2012), berkolesterol tinggi (Almatsier, 2003), gorengan (Aisyiyah, 2009)), kurangnya asupan sayur dan buah (Dauchet, et al., 2007), perilaku merokok (Pradono, 2013), konsumsi alkohol (Hartono, 2006), perilaku sedentari (Kemenkes, 2013), kurangnya aktivitas fisik (Rabaity, 2012), obesitas (Syahrini, 2012), faktor genetik (Wahiduddin, 2012), dan stres (Lewa, 2010). Faktor-faktor risiko tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Usia

Usia atau umur adalah lamanya keberadaan seseorang diukur dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan

24 anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998 dalam Manurung, 2013). Insidens hipertensi berbanding lurus dengan usia. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Tambayong, 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida Nur Aisyiyah (2009), yang menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, maka semakin tinggi pula tekanan darahnya . Penelitian yang dilakukan oleh Nurlyna Nur Syahrini, dkk (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan hipertensi.

Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, kemungkinan seseorang menderita hipertensi juga semakin besar. Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia 40 tahun namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang berusia muda. Boedhi Darmoejo dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa 1,8%-28,6% penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi (Beevers at al, 2002).

Secara fisiologis, pembuluh darah manusia mengalami perubahan seiring pertambahan umurnya. Pembuluh darah manusia saat umur 1-10 tahun akan bersifat licin dan elastis. Pada usia ini pembuluh darah berfungsi normal. Memasuki usia 10-20 tahun, muncul bercak lemak pada pembuluh darah. Hal ini

25 dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan seseorang. Bercak lemak ini sebagian mengalami regresi tetapi sebagian akan terus berkembang menjadi plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma. Proses ini muncul pada usia 20 tahun ke atas. Munculnya plak di pembuluh darah ini menyebabkan penyempitan, sehingga ketika volume darah yang melewati pembuluh darah ini tetap, maka akan muncul kenaikan tekanan darah (Price & Wilson, 2006).

Perubahan struktur dan fungsional pada sistem perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang kemudian menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Bruner dan Suddarth, 2001 dalam Sagala, 2010).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologis seseorang, terdiri dari tampilan fisik yang membedakan antara pria dengan wanita; misalnya, struktur genetik (kromosom seks), hormon seks, organ kelamin interna dan genitalia eksterna (Henderson, 2005). Pada umumnya insidens pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada usia pertengahan dan lebih tua,

26 insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000). Banyak penelitian juga telah menyatakan ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Wahiduddin, dkk (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi berjenis kelamin laki-laki.

Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari pada laki-laki. Tetapi wanita lebih tahan dari pada laki-laki tanpa kerusakan jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada wanita. Pada pria hipertensi lebih banyak disebabkan oleh pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan. Sampai usia 55 tahun pria beresiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan wanita. Menurut Edward D. Frohlich seorang pria dewasa akan mempunyai peluang lebih besar yakni satu di antara 5 untuk mengidap hipertensi (Sustrani, 2006).

Munculnya perbedaan risiko seseorang terkena hipertensi berdasarkan jenis kelamin dikarenakan adanya perbedaan hormon yang dihasilkan antara pria dan wanita. Adanya hormon estrogen sebelum awitan menopause dianggap merupakan faktor pelindung utama untuk menghindari timbulnya penyakit kardiovaskular (Price&Wilson, 2006).

27 c. Ras/Suku

Secara garis besar ras penduduk dunia dibagi berdasarkan warna kulit yaitu kelompok Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid. Ada penyakit yang diturunkan secara genetik pada ras tertentu seperti Sickle Cell Anemia pada ras Negroid, kanker lambung pada orang Amerika keturunan Jepang dan Hemofilia pada keturunan Tsar Rusia. Selain faktor keturunan, terdapat faktor lain yang ikut mempengaruhi terjadinya penyakit atau kematian pada ras dan etnis tertentu, seperti adat istiadat, kebudayaan, gaya hidup, hobi, dan lain-lain (Chandra, 2009).

Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya lebih berat daripada yang berkulit hitam (Tambayong, 2000). Ras di Indonesia tidak terlalu beragam. Sebagian besar ras orang Indonesia adalah ras Mongoloid, bagian dari ras Asia (Sumolang, 2010). Namun, jika berbicara mengenai ras, maka Indonesia memiliki keragaman lain, yakni suku. Keragaman suku yang ada di Indonesia mempengaruhi ragam kuliner yang ada.

Dalam bidang makanan, apa yang kita konsumsi tidak hanya masalah ekonomi atau lingkungan tetapi juga merupakan suatu kategori budaya sehingga menjadi salah satu faktor penyebab penyakit degeneratif (hipertensi) (Fitriani, 2012). Kebudayaan yang melekat dalam suatu masyarakat mengenai makanan, terkadang tidak mempertimbangkan nilai gizi yang

28 terkandung di dalam makanan tersebut, sehingga masyarakat tersebut rentan terkena penyakit yang disebabkan oleh suatu zat makanan tertentu.

d. Konsumsi Makanan Tertentu

Konsumsi makanan yang mempengaruhi tekanan darah adalah konsumsi makanan bergaram tinggi, berlemak, atau berkolesterol tinggi. Konsumsi makanan yang seperti ini mengandung zat-zat yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti natrium dan kolesterol.

Studi epidemiologi pada berbagai populasi menunjukkan adanya peranan garam dalam kejadian hipertensi. Masyarakat perdesaan yang mengkonsumsi garam dalam jumlah kecil (70mEq/hari) terbukti memiliki riwayat hipertensi yang lebih rendah, yang mengalami peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya umur dan modernisasi masyarakat. Populasi lain dari 24 komunitas memiliki kebiasaan konsumsi jumlah natrium yang berbeda, yaitu 100 mEq/24 jam, berhubungan dengan penurunan 10 mmHg TDS pada orang dewasa berumur 60-69 tahun. Peningkatan TDS karena penuaan (umur >30 tahun) berkurang 9 mmHg dan peningkatan TDD berkurang 4.5 mmHg jika rata-rata konsumsi natrium lebih rendah dari 100 mEq/ hari (Krummel 2004). Salah satu rekomendasi pencegahan hipertensi di Amerika adalah dengan

29 membatasi konsumsi garam 6 g/hari (100 mEq atau 2400 mg Na per hari) (Aisyiyah, 2009).

WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 6 gram sehari (sama dengan 2400 mg Natrium). Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah. Masyarakat yang mengkonsumsi garam yang tinggi dalam pola makannya juga adalah masyarakat dengan tekanan darah yang meningkat seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, masyarakat yang konsumsi garamnya rendah menunjukkan hanya mengalami peningkatan tekanan darah yang sedikit, seiring dengan bertambahnya usia (Beevers et al, 2002).

Natrium bersama klorida yang terdapat dalam garam dapur dalam jumlah normal dapat membantu tubuh mempertahankan keseimbangan cairan tubuh untuk mengatur tekanan darah. Namun natrium dalam jumlah yang berlebih dapat menahan air (retensi), sehingga meningkatkan volume darah. Akibatnya jantung harus bekerja lebih keras untuk memompanya dan tekanan darah menjadi naik (Sustrani, 2006).

Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying) berpengaruh meningkatnya asupan energi dari lipid. Makanan yang digoreng memiliki rasa yang gurih, renyah, enak dan kaya lemak. Hal ini menyebabkan seseorang ingin makan terus menerus, sehingga memiliki densitas energi yang tinggi dan tingkat kepuasan yang rendah. Rendahnya tingkat kepuasan dapat

30 berpengaruh terhadap kemampuan respon insulin dan leptin, hormon yang menstimulasi rasa lapar-kenyang (Aisyiyah, 2009).

Konsumsi pangan tinggi lemak juga dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan aterosklerosis. Lemak yang berasal dari minyak goreng tersusun dari asam lemak jenuh rantai panjang (long-saturated fatty acid). Keberadaannya yang berlebih di dalam tubuh akan menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah. Pembuluh darah menjadi semakin sempit dan elastisitasnya berkurang. Kandungan lemak atau minyak yang dapat mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah: kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier 2003)

e. Konsumsi Sayur dan Buah

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan pembuluh darah bisa dicegah dengan mengkonsumsi antioksidan sejak dini. Dalam hal ini antioksidan mampu menangkap radikal bebas dan mencegah dimulainya proses kerusakan pembuluh darah. Radikal bebas adalah suatu molekul oksigen dengan atom pada orbit terluarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan. Karena kehilangan pasangannya itu, molekul lalu menjadi tidak stabil, liar, dan radikal. Dalam hal ini, antioksidan mampu menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektronnya dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari

31 pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stress oksidatif. Antioksidan terbagi atas dua jenis, yakni antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen berupa enzim dalam tubuh, misalnya superoksida dismutase (SOD), glutathion, dan katalase. Sedangkan, antioksidan eksogen mencakup beta karoten, vitamin C, vitamin E, zinc (Zn), dan selenium (Se). Menkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan dalam porsi yang memadai akan menjadi sumber asupan antioksidan bagi tubuh (Almatsier 2003).

Konsumsi buah dan sayur >400 gram per hari dapat menurunkan risiko hipertensi dengan semakin bertambahnya umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas antioksidan dalam buah dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen lain seperti serat, mineral kalium, dan magnesium. Orang yang mengkonsumsi buah dan sayur biasanya memiliki kebiasaan yang lebih sehat, seperti: melakukan aktivitas fisik lebih banyak, tidak merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol; yang secara keseluruhan dapat menurunkan risiko hipertensi (Dauchet et al. 2007). Pasien hipertensi dianjurkan mengkonsumsi sayur dan buah yang mengandung serat pangan minimal 30 mg/hari (Hartono 2006).

Tingginya konsumsi biji-bijian dengan kulit berhubungan dengan penurunan hipertensi pada orang dewasa dan lansia wanita (Wang et al. 2007). Konsumsi tinggi sayur dan buah serta rendah karbohidrat dan lemak dapat digunakan sebagai pola

32 makan untuk penurunan berat badan. Penelitian yang dilakukan oleh Ledikwe et al. (2007) pada 810 orang penderita prehipertensi dan hipertensi ringan, menemukan hubungan nyata antara konsumsi pangan yang memiliki densitas energi rendah dengan penurunan berat badan (p<0.001). Pola konsumsi rendah densitas energi dapat menurunkan asupan energi dan penurunan berat badan. Pola konsumsi rendah densitas energi dapat dilakukan dengan peningkatan konsumsi buah, sayur, serat, vitamin dan mineral. Serat pangan dapat membantu meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu, konsumsi serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan menurunkan risiko hipertensi (Krisnatuti & Yenrina 2005).

Kesibukan dan aktivitas tinggi pada masyarakat yang bekerja dan tinggal di daerah perkotaan menuntut gaya hidup yang serba cepat dan instan. Keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh produsen makanan cepat saji. Oleh karena itu, tumbuh suburlah restoran-restoran cepat saji di daerah perkotaan. (Genis Ginanjar,2009).

Pola makan masyarakat perkotaan tidak seimbang yaitu karbohidrat tinggi (terutama gula dan lemak) pada masyarakat perkotaan menimbulkan masalah gizi lebih, selain itu pola makan

33 yang tidak seimbang ini juga meningkatkan timbulnya penyakit degenerative, misalnya hipertensi, diabetes, dan jantung. (Rahmat,2004).

f. Perilaku Merokok

Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002).

Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung; merangsang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.

Merokok dapat mengubah metabolisme kolesterol ke arah aterogenik. Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol darah dan dapat menurunkan kadar HDL Rokok dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah dan menurunkan kada HDL. Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita sekitar 20

34 – 49 tahun dilaporkan bahwa kadar kalesterol HDL lebih rendah 4.5 – 6.5 % pada perokok, dan pada studi lain dilaporkan bahwa pria yang merokok lebih dari 20 batang sehari akan mengalami penurunan HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok (Karyadi 2002). Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan pengaktifan platelet (sel-sel penggumpal darah) (Khomsan 2004).

Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak rokok sehari menjadi dua kali lebih rentan terhadap penyakit aterosklerosis daripada mereka yang tidak merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom. Namun efek nikotin tidak bersifat kumulatif, mantan perokok tampaknya berisiko rendah seperti pada bukan perokok (Price&Wilson, 2006).

g. Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang berhubungan dengan tekanan darah. Kebiasaan konsumsi alkohol harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan tekanan darah (Hartono 2006). Jika dibandingkan dengan orang yang bukan peminum alkohol, maka terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal tingginya tekanan darah. Konsumsi alkohol 3 kali per hari dapat menjadi pencetus meningkatnya tekanan darah, dan berhubungan dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol

35 seharusnya kurang dari 2 kali per hari (24 oz bir, 10 oz wine, atau 2 oz whiskey murni) pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel 2004). Namun akan lebih baik jika konsumsi alkohol tidak dilakukan.

h. Perilaku Sedentari

Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup. Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur (Kemenkes, 2013). i. Kurang Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa 2001).

36 Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang, memiliki kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka yang aktif. Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat mencegah kejadian stroke. Selain itu, dua meta-analisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis pertama menyebutkan bahwa berjalan kaki dapat menurunkan tekanan darah pada orang dewasa sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis kedua pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHg TDD pada pasien dengan dan tanpa hipertensi (Whelton et al. 2002). Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30 – 45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olah raga atau aktivitas fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg (Khomsan 2004).

Kemajuan teknologi seperti transportasi dan alat bantu komunikasi berkontribusi pada meningkatnya prevalensi kegemukan. Tersedianya sarana transportasi membuat orang lebih memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun pada jarak yang tidak jauh. Orang lebih memilih naik eskalator atau lift daripada naik tangga. Selain itu, diciptakannya mesin-mesin yang dapat menggantikan tugas manusia semakin

37

membuat ”manja”, serta membuat enggan mengeluarkan

tenaganya. Akibatnya aktivitas fisik menurun yang berarti makin sedikit energi yang digunakan dan makin banyak energi yang ditimbun (Rimbawan dan Siagian 2004). Hasil analisis Korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas fisik (pengeluaran energi) dengan status gizi remaja (p<0.01). Hal ini membuktikan bahwa semakin aktif secara fisik maka kemungkinan semakin baik status gizi (Amelia 2008).

Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tekanan darah. Kurangnya melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi (Arjatmo & Hendra, 2001). Meskipun tekanan darah meningkat secara tajam ketika sedang berolahraga, namun jika berolahraga secara teratur akan lebih sehat dan memiliki tekanan darah lebih rendah dari pada mereka yang melakukan olah raga. Olahraga yang teratur dalam jumlah sedang lebih baik dari pada olahraga berat tetapi hanya sekali (Beevers et al, 2002).

j. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks massa tubuh dipakai sebagai standar klinis dalam menilai kelebihan bobot badan dan obesitas seseorang. IMT didefinisikan sebagai bobot badan dalam kilogram dibagi dengan luas permukaan tubuh yang diukur dalam meter. IMT

38 biasanya dinyatakan tanpa satuan, namun satuan yang disepakati adalah kg/m2 (Ansel, 2006).

Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi dapat dijelaskan sebagai perubahan fisiologis, yaitu resistensi insulin dan hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotenin; serta perubahan organ ginjal. Peningkatan asupan energi juga berhubungan dengan peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor natriuretik dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah (Krummel 2004).

Pada orang yang terlalu gemuk, tekanan darahnya cenderung tinggi karena seluruh organ tubuh dipacu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih besar jantungpun bekerja ekstra karena banyaknya timbunan lemak yang menyebabkan kadar lemak darah juga tinggi, sehingga tekanan darah menjadi tinggi Cara mudah untuk mengetahui termasuk obesitas atau tidak yaitu dengan mengukur Indeks Masa Tubuh (IMT) Rumus untuk IMT adalah berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan dikuadratkan (m2) (Soeharto, 2001).

. Obesitas mempengaruhi tekanan darah karena obesitas meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan berperan dalam gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang berlebihan

39 (terutama obesitas abdominal) dan ketidak-aktifan fisik berperan dalam terbentuknya resistensi insulin (Price&wilson, 2006). k. Faktor Genetik

Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang tuanya. Apabila riwayat hipertensi di dapat pada kedua orang tua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar bagi seseorang yang kedua orang tuanya menderita hipertensi ataupun pada kembar monozygot (sel telur) dan salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut kemungkinan besar menderita hipertensi. Penelitian yang dilakukan pada orang kembar yang dibesarkan secara terpisah atau bersama dan juga terdapat pada anak-anak bukan adopsi telah dapat mengungkapkan seberapa besar tekanan darah dalam keluarga yang merupakan akibat kesamaan dalam gaya hidup. Berdasarkan penelitian tersebut secara kasar, sekitar separuh tekanan darah di antara orang-orang tersebut merupakan akibat dari faktor genetika dan separuhnya lagi merupakan akibat dari faktor pola makan sejak masa awal kanak-kanak (Beevers et al, 2002).

l. Stress

Stress dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin 2006). Pada saat stress, sekresi katekolamin semakin meningkat

40 sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang dihasilkan juga semakin meningkat (Klabunde 2007). Peningkatan sekresi hormon tersebut berdampak pada peningkatan tekanan darah.

Faktor psikososial dari waktu terdesak/tidak sabar, prestasi kerja, kompetisi, permusuhan, depresi dan rasa gelisah berhubungan dengan kejadian hipertensi. Studi kohort pada orang dewasa berusia 18-30 tahun menunjukkan adanya hubungan nyata antara tingginya waktu terdesak/tidak sabar dan permusuhan terhadap kejadian hipertensi pada keseluruhan sampel yang diikuti selama 15 tahun. Nilai OR dari perbandingan waktu terdesak/tidak sabar terhadap skor terendah sebesar 1.51 (95% CI, 1.12-2.03) p<0.01, dan permusuhan 1.06 (95% CI, 0.76-1.47) p<0.01 (Yan et al. 2003). Penelitian Gangwisch et al. (2006) pada subjek berusia 32-59 tahun menyebutkan bahwa waktu tidur yang sedikit (≤ 5 jam per malam), berhubungan nyata dengan peningkatan kejadian hipertensi (hazart rasio, 2.19; 95% CI, 1.58-2.79).

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stress berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini dapat dipengaruhi karena tuntutan kerja yang terlalu banyak (bekerja terlalu keras dan sering kerja lembur) dan jenis pekerjaan yang harus memberikan penilaian atas penampilan kerja bawahannya atau pekerjaan yang menuntut tanggungjawab bagi manusia. Stres pada pekerjaan cenderung menyebabkan

41 hipertensi berat. Sumber stres dalam pekerjaan (Stressor) meliputi beban kerja, fasilitas kerja yang tidak memadai, peran dalam pekerjaan yang tidak jelas, tanggungjawab yang tidak jelas, masalah dalam hubungan dengan orang lain, tuntutan kerja

Dokumen terkait