• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Variabel Tempat

Variabel tempat merupakan salah satu variabel penting dalam epidemiologi deskriptif karena pengetahuan tentang tempat atau

42 lokasi kejadian luar biasa atau lokasi penyakit-penyakit endemis sangat dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan mengetahui sebaran berbagai penyakit di suatu wilayah. Batas wilayah dapat ditentukan berdasarkan (Budiarto, 2002):

a. Geografis, yang ditentukan berdasarkan alamiah, administratif atau fisik, institusi, dan instansi. Dengan batas alamiah dapat dibedakan negara yang beriklim tropis, sub tropis, dan negara dengan empat musim. Hal ini penting karena dengan adanya perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola penyakit baik distribusi frekuensi maupun jenis penyakit.

b. Batas institusi dapat berupa industri, sekolah atau kantor, dan lainnya sesuai dengan timbulnya masalah kesehatan.

Tempat terjadinya penyakit dapat menyebabkan adanya perbedaan antara angka kesakitan dan kematian pada masyarakat atau kelompok masyarakat berdasarkan tempat tinggal. Perbedaan ini dapat bersifat internasional antara negara dengan negara, nasional dengan propinsi, kabupaten, kotamadya atau lokal antara kota dengan desa. Tempat tinggal di kota dan di desa juga dapat menimbulkan terjadinya perbedaan angka kesakitan dan kematian (Chandra, 2009).

Faktor tempat atau distribusi geografis memegang peran yang sangat penting dalam melakukan penelitian karena pada geografis yang berbeda, maka akan berbeda pula pola penyakitnya, misalnya pola penyakit daerah perkotaan dengan pedesaan, demikian pula

43 terjadi perbedaan antara daerah pantai dengan pegunungan (Budiarto, 200).

Perubahan gaya hidup akibat urbanisasi dan modernisasi menyebabkan penyakit degeneratif banyak terjadi di kalangan masyarakat perkotaan. Menurut WHO, penyakit degeneratif menambah peliknya kondisi kesehatan sebagian negara di dunia yang selama ini dihimpit dengan banyaknya kasus penyakit menular dan infeksi yang tergolong non degeneratif (Purwanto, 2011 dalam Firdausi, 2012).

Prevalensi hipertensi meningkat cepat di negara berkembang karena adanya transisi epidemiologi, peningkatan ekonomi, urbanisasi, dan harapan hidup yang lebih panjang. Beberapa penelitian di China juga telah menduga bahwa ada westernisasi gaya hidup masyarakat. Perubahan ini berkontribusi pada prevalensi hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat urban ketika dibandingkan dengan masyarakat rural (Ma et al.,2013).

Urbanisasi umumnya diasosiasikan dengan peningkatan pendapatan serta adopsi gaya hidup yang tidak sehat. Salah satunya adalah tren konsumsi makanan tidak sehat, yaitu yang kaya akan kandungan garam, lemak jenuh dan karbohidrat kualitas rendah (seperti makanan cepat saji). Hal ini diperparah dengan kurangnya aktivitas fisik akibat tuntutan pekerjaan (Bharati, et al., 2010).

Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti

44 bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding masyarakat barat (Gray, 2005).

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia, wilayah Indonesia dibagi kedalam beberapa tingkat wilayah administratif, yaitu provinsi, kabupaten/kota (dahulu disebut kotamadya), kecamatan, dan desa atau disebut dengan nama lain yang merupakan wilayah administratif terkecil. Sebagai wilayah administratif terkecil, desa sering kali dijadikan sebagai unit penelitian. Seperti diketahui, pada setiap desa mempunyai karakteristik sosial ekonomi, kondisi dan akses ke fasilitas perkotaan, ciri dan tipologi lingkungan yang berbeda-beda dan akan terus berubah seiring dengan kemajuan tingkat pembangunan di suatu desa. Kondisi yang berbeda dan terus berubah tersebut oleh BPS dijadikan sebagai indikator untuk menggolongkan suatu desa kedalam desa perkotaan atau desa perdesaan (BPS, 2010).

Penggolongan desa menjadi desa perkotaan dan desa perdesaan biasanya dilakukan oleh BPS untuk keperluan statistik dan keperluan lainnya yang berhubungan dengan analisis dan perencanaan pembangunan. Sebagai contoh, BPS biasanya menggunakan klasifikasi desa perkotaan perdesaan sebagai dasar untuk merencanakan kegiatan sensus atau survei. Disamping itu bila sampelnya memungkinkan, dalam penyajian dan analisis data juga

45 dibedakan menurut daerah perkotaan dan daerah perdesaan (BPS, 2010).

Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Sedangkan perdesaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Desa adalah wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan. Kelurahan adalah wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan. Wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan, selain desa/kelurahan adalah Nagari, Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), dan Pemukiman Masyarakat Terasing (PMT) (BPS, 2010).

Kriteria wilayah perkotaan adalah persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan, yang dimiliki suatu desa/kelurahan untuk menentukan status perkotaan suatu desa/kelurahan. Fasilitas perkotaan sebagaimana dimaksud adalah (BPS, 2010):

a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK); b. Sekolah Menengah Pertama;

c. Sekolah Menengah Umum; d. Pasar;

46 e. Pertokoan;

f. Bioskop; g. Rumah Sakit;

h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon;

i. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Telepon; dan j. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Listrik.

Penentuan nilai/skor untuk menetapkan sebagai wilayah perkotaan dan perdesaan atas desa/kelurahan, yaitu:

a. Wilayah perkotaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor 10 (sepuluh) atau lebih; dan

b. Wilayah perdesaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor di bawah 10 (sepuluh).

Nilai/skor kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki ditetapkan sebagai berikut:

47

Kriteria Keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan Kepadata n pendudu k per km2 Nilai / Skor Persentase rumah tangga pertanian Nilai / Skor

Fasilitas perkotaan Kriteria Nilai/ Skor

< 500 1 >70,00 1 a. Sekolah Taman

Kanak-Kanak  Ada atau ≤ 2,5 km*)  >2,5 km*) 1 0 500-1249 2 50,00-69,99 2 b. Sekolah Menengah Pertama 1250-2499 3 30,00-49,99 3 c. Sekolah Menengah Umum 2500-3999 4 20,00-29,99 4 d. Pasar  Ada atau ≤ 2 km*)  >2 km*) 1 0 4000-5999 5 15,00-19,99 5 e. Pertokoan 6000-7499 6 10,00-14,99

6 f. Bioskop  Ada atau

≤ 2 km*)  >2 km*) 1 0 7500-8499 7 5,00-9,99 7 g. Rumah Sakit >8500 8 <5,00 8 h. Hotel/Bilyard/Diskote k/ Panti Pijat/Salon  Ada  Tidak Ada 1 0 i. Persentase RT Telepon  ≥ 8,00  < 8,00 1 0 j. Persentase RT Listrik  ≥90,00  <90,00 1 0 Tabel 2.1. Kriteria Wilayah Perkotaan (BPS, 2010)

Kriteria wilayah perkotaan diimplementasikan pada seluruh wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan untuk menghasilkan klasifikasi perkotaan/perdesaan desa/kelurahan seluruh Indonesia. Apabila ada pemekaran desa/kelurahan, maka status perkotaan/perdesaan desa/kelurahan baru, mengikuti status perkotaan/perdesaan desa/kelurahan induk. Apabila ada pembentukan desa/kelurahan/UPT baru, di mana desa/kelurahan baru tidak memiliki desa/kelurahan induk, maka status perkotaan/perdesaan

48 dari desa/kelurahan baru tersebut harus ditentukan dengan mengimplementasikan kriteria wilayah perkotaan yang sama.

Dokumen terkait