• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

BAB V HASIL

3. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 85,7% adalah perempuan. Namun, pada masyarakat urban, dari 37 kejadian hipertensi perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu besar. Proporsi kejadian hipertensi pada perempuan di wilayah urban sebesar 48,6%.

3. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan perilaku merokok pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.12. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada Masyarakat Rural-Urban

Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat rural dan urban, kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada responden yang tidak merokok. Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 88,6% responden yang tidak merokok.

Jenis Kelamin

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n % Laki-Laki 5 14,3 19 51,4 8 17,8 15 34,9 Perempuan 30 85,7 18 48,6 37 82,2 28 65,1 Total 35 100 37 100 45 100 43 100 Perilaku Merokok Hipertensi Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Ya 4 11,4 18 48,6 4 8,9 11 25,6 Tidak 31 88,6 19 51,4 41 91,1 32 74,4 Total 35 100 37 100 45 100 43 100

75 Sedangkan dari 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, perbedaan antara responden yang merokok dan tidak merokok tidak begitu berbeda.

4. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi konsumsi makanan asin pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.13. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 80% mengkonsumsi makanan asin. Sedangkan dari 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, hanya 35,1% yang mengkonsumsi makanan asin. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa proporsi kejadian hipertensi pada masyarakat rural yang sering mengkonsumsi makanan asin lebih banyak dibandingkan pada masyarakat urban. Konsumsi Makanan Asin Hipertensi Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Sering 28 80 13 35,1 40 88,9 23 53,5 Jarang 7 20 24 64,9 5 11,1 20 46,5 Total 35 100 37 100 45 100 43 100

76 5. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.14. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 74,3% mengkonsumsi makanan berlemak. Sedangkan dari 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, hanya 43,2% yang mengkonsumsi makanan berlemak. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa proporsi kejadian hipertensi pada masyarakat rural yang sering mengkonsumsi makanan berlemak lebih banyak dibandingkan pada masyarakat urban

6. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi konsumsi makanan buah dan sayur pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:

Konsumsi Makanan Berlemak

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Sering 26 74,3 16 43,2 38 84,4 20 46,5 Jarang 9 25,7 21 56,8 7 15,6 23 53,5 Total 35 100 37 100 45 100 43 100

77 Tabel 5.15. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa proporsi kejadian hipertensi pada masyarakat rural yang jarang mengkonsumsi buah dan sayur lebih banyak dibandingkan pada masyarakat urban. Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 42,9% tidak mengkonsumsi buah dan sayur. Begitu juga dengan 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak 37,8% tidak mengkonsumsi buah dan sayur.

7. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan aktivitas fisik pada masyarakat rural urban dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.16. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 71,4% memiliki tingkat aktivitas fisik ringan. Begitu juga dengan 37

Konsumsi Buah dan

Sayur

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n % Sering 20 57,1 23 62,2 27 60 26 60,5 Jarang 15 42,9 14 37,8 18 40 17 39,5 Total 35 100 37 100 45 100 43 100 Aktivitas Fisik Hipertensi Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Aktivitas Ringan 25 71,4 27 73 28 62,2 34 79,1 Aktivitas Sedang 10 28,6 10 27 17 37,8 9 20,9 Total 35 100 37 100 45 100 43 100

78 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak 73% memiliki tingkat aktivitas fisik ringan. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada perilaku aktivitas fisik, masyarakat rural dan urban memiliki perilaku yang tidak jauh berbeda.

8. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan indeks massa tubuh pada masyarakat rural urban dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.17. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 8,6% memiliki status gizi obesitas. Namun, dari 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, semua responden tidak memiliki status gizi obesitas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat rural memiliki peluang yang lebih besar terkena hipertensi akibat obesitas daripada masyarakat urban.

5.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi pada masyarakat rural urban dapat dilihat pada tabel berikut:

Indeks Massa Tubuh

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Obesitas 3 8,6 0 0 2 4,4 2 4,7 Tidak Obesitas 32 91,4 37 100 43 95,6 41 95,3

79 Tabel 5.18. Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban

Wilayah Tekanan Darah Total P-value Hipertensi Tidak Hipertensi n % n % n % Rural 35 43,8 45 56,2 80 100 0,874 Urban 37 46,2 43 53,8 80 100 Total 72 45 88 55 160 100

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat rural yang menderita hipertensi sebanyak 43,8%. Sedangkan masyarakat urban yang menderita hipertensi sebanyak 46,2%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value sebesar 0,874, artinya pada alpha 5%, tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban.

80 BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini terletak pada saat pengambilan sampel. Jumlah sampel yang diteliti tidak memenuhi jumlah minimal sampel sehingga penelitian ini tidak dapat digeneralisir. Selain itu, proses pengambilan sampel pada penelitian ini tidak menggunakan prosedur yang seharusnya. Dalam penelitian ini, peneliti seharusnya menggunakan teknik multistage random sampling, dimana pemilihan sampel dilakukan bertingkat. Kemudian, untuk memilih unit elementer, peneliti seharusnya menggunakan teknik simple random sampling atau mengambil seluruh masyarakat yang tinggal di kecamatan terpilih sebagai sampel. Namun kenyataannya, peneliti hanya mencari responden yang berada di sekitar kantor kecamatan terpilih. Hal ini mengakibatkan seluruh masyarakat di kecamatan terpilih tidak memiliki probabilitas yang sama untuk dipilih menjadi sampel.

Keterbatasan pada penelitian ini juga terletak pada saat peneliti mengukur variabel konsumsi makanan berlemak. Penelitian ini dilakukan pada saat masyarakat sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri (lebaran), sehingga pada saat mengukur konsumsi makanan berlemak, peneliti harus memberikan penjelasan yang lebih rinci kepada responden mengenai pola

81

konsumsi makanan berlemak yang dilakukan oleh responden di hari-hari biasa (bukan lebaran).

6.2 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada Masyarakat Rural-Urban

Usia atau umur adalah lamanya hidup seseorang diukur dalam satuan waktu dipandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998 dalam Manurung, 2013). Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang kemungkinan menderita hipertensi juga semakin besar. Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia 40 tahun namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang berusia muda (Beevers at al, 2002)

Pada penelitian ini, kelompok umur yang paling banyak terkena hipertensi adalah kelompok umur 55-64 tahun dan sama kejadiannya baik di masyarakat rural (28,6%) maupun urban(29,7%). Pada penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa semakin tinggi kelompok umur, maka proporsi hipertensi juga meningkat. Hal ini juga terjadi pada kedua kelompok masyarakat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aisyiyah (2009) dan Syahrini dkk (2012). Penelitian yang dilakukan oleh Aisyiyah (2009) menyatakan bahwa meningkatnya umur akan diikuti oleh meningkatnya tekanan darah seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Syahrini dkk (2012), juga menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian hipertensi (p=0,0001).

82 Usia seseorang adalah hal yang secara alami akan bertambah tanpa ada pengaruh dari wilayah dimana ia tinggal. Lanjut usia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Penurunan kemampuan berbagai organ, fungsi dan sistem tubuh itu bersifat alamiah. Menjadi tua adalah suatu proses alami dan kadang – kadang tidak tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua sistem tubuh manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu yang bersamaan (Zein, 2014).

Peningkatan jumlah kasus pada kelompok usia yang lebih tua dimungkinkan karena adanya faktor fisiologis pembuluh darah manusia. Secara fisiologis, pembuluh darah manusia mengalami perubahan seiring pertambahan umurnya. Pembuluh darah manusia saat umur 1-10 tahun akan bersifat licin dan elastis. Pada usia ini pembuluh darah berfungsi normal. Memasuki usia 10-20 tahun, muncul bercak lemak pada pembuluh darah. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan seseorang. Bercak lemak ini sebagian mengalami regresi tetapi sebagian lainnya akan terus berkembang menjadi plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma. Proses ini muncul pada usia 20 tahun ke atas. Munculnya plak di pembuluh darah ini menyebabkan penyempitan, sehingga ketika volume darah yang melewati pembuluh darah ini tetap, maka akan muncul kenaikan tekanan darah (Price & Wilson, 2006).

Dari hasil penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa baik pada masyarakat urban maupun masyarakat rural sama-sama memiliki faktor

83 risiko hipertensi. Masyarakat rural cenderung memiliki pola konsumsi natrium, lemak, serta sayur dan buah yang lebih buruk dibanding masyarakat urban. Sedangkan masyarakat urban memiliki tingkat aktivitas fisik dan perilaku merokok yang lebih buruk dibandingkan masyarakat rural. Adanya faktor risiko hipertensi pada kedua kelompok masyarakat tersebut menyebabkan kejadian hipertensi pada kelompok umur yang sama. Oleh karena itu, langkah preventif yang dapat diambil adalah dengan meminimalisisr faktor risiko pada kedua kelompok masyarakat sedini mungkin. Akumulasi faktor risiko hipertensi yang semakin lama meningkatkan risiko seseorang menderita hipertensi.

6.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada Masyarakat Rural-Urban (cari penelitian di perempuan rural, perempuan urban)

Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologis seseorang, terdiri dari tampilan fisik yang membedakan antara pria dengan wanita; misalnya, struktur genetik (kromosom seks), hormon seks, organ kelamin interna dan genitalia eksterna (Henderson, 2005). Penelitian mengenai hubungan antara hipertensi dan jenis kelamin sudah banyak dilakukan. Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada usia pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000).

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian hipertensi pada masyarakat rural lebih banyak terjadi pada perempuan (83,8%), sedangkan kejadian hipertensi pada masyarakat urban terjadi pada laki-laki dan

84 perempuan dengan proporsi yang tidak jauh berbeda. Hal ini diduga karena pada penelitian ini, jumlah sampel antara perempuan dan laki-laki pada masyarakat rural dan urban berbeda. Pada masyarakat rural, peneliti mengambil 13 responden laki-laki dan 67 responden perempuan, sedangkan pada masyarakat urban, peneliti mengambil 34 responden laki-laki dan 46 responden perempuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Modesti (2013) menyatakan bahwa secara hitungan kasar, wanita lebih berpeluang terkena hipertensi 1,2 kali daripada laki-laki. Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari pada laki-laki. Tetapi wanita lebih tahan dari pada laki-laki tanpa kerusakan jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada wanita. Pada pria hipertensi lebih banyak disebabkan oleh pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan. Sampai usia 55 tahun pria beresiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan wanita. Seorang pria dewasa akan mempunyai peluang lebih besar yakni satu di antara 5 untuk mengidap hipertensi (Sustrani, 2006).

Dari hasil analisis lebih lanjut pada penelitian ini, angka kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban yang lebih tinggi pada perempuan diduga karena perempuan lebih banyak memiliki faktor risiko hipertensi dibandingkan laki-laki. Faktor risiko yang dimaksud adalah konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, tidak mengkonsumsi sayur dan buah, tingkat aktivitas fisik ringan, dan obesitas. Namun, diantara kedua kelompok masyarakat, perempuan yang tinggal di wilayah rural memiliki proporsi faktor risiko yang lebih tinggi.

85 Penelitian yang dilakukan pada perempuan di Nepal menyatakan bahwa masyarakat rural yang memiliki status sosial ekonomi rendah semakin berisiko untuk terkena hipertensi (OR=1,14 untuk status sosial ekonomi menengah dan OR=1,40 untuk status sosial ekonomi rendah). Perilaku merokok, konsumsi alkohol, dan tidak bekerja diluar rumah merupakan faktor yang meningkatkan risiko terkena hipertensi pada perempuan Nepal yang tinggal di wilayah urban (Khan, 2013).

Pada penelitian ini, proporsi masyarakat rural yang mengkonsumsi makanan asin sebesar 83,8% adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural yang mengkonsumsi makanan berlemak sebesar 87,5% adalah perempuan. Masyarakat rural yang tidak mengkonsumsi buah dan sayur sebesar 87,9% adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural yang beraktivitas fisik ringan sebesar 92,5% adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural yang obesitas sebanyak 100% adalah perempuan.

Sedangkan pada masyarakat urban, proporsi masyarakat yang mengkonsumsi makanan asin sebesar 75,0% adalah perempuan. Proporsi masyarakat urban yang mengkonsumsi makanan berlemak sebesar 72,2% adalah perempuan. Masyarakat urban yang tidak mengkonsumsi buah dan sayur sebesar 41,9% adalah perempuan. Proporsi masyarakat urban yang beraktivitas fisik ringan sebesar 65,6% adalah perempuan. Proporsi masyarakat urban yang obesitas sebanyak 100% adalah perempuan.

Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang tinggal didaerah rural memiliki peluang terkena hipertensi lebih besar daripada perempuan yang tinggal di wilayah urban. Hal ini dikarenakan mereka lebih

86 banyak memiliki faktor risiko hipertensi. Selain itu, faktor kurangnya pengetahuan masyarakat rural mengenai hipertensi juga menjadi salah satu faktor yang mendukung tingginya faktor risiko hipertensi yang dimiliki oleh masyarakat rural. Langkah penanggulangan hipertensi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak yang akan muncul akibat faktor risiko tersebut adalah dengan mengurangi perilaku yang menjadi faktor risiko hipertensi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2013) menyatakan bahwa melakukan modifikasi gaya hidup dengan mengurangi risiko meningkatnya berat badan dan lingkar perut, memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya hipertensi di Kabupaten Bogor. Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi, dengan penyuluhan maupun penempelan poster disekitar rumah masyarakat.

6.4 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada Masyarakat Rural-Urban

Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/menit (Sitorus, 2005). Sitepu (2012) juga menyatakan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki resiko 5,320 kali lebih besar untuk terjadinya hipertensi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat perilaku merokok lebih banyak terjadi pada masyarakat urban (48,6%) dibandingkan dengan masyarakat rural (11,4%). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat urban berpeluang lebih besar untuk

87 terkena hipertensi akibat perilaku merokok dibandingkan dengan masyarakat rural.

Penelitian mengenai hubungan rokok dan hipertensi dilakukan oleh Anggraini, dkk (2009). Penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Sebanyak 18% kejadian hipertensi ditentukan oleh besarnya kebiasaan merokok dan 82% oleh faktor lain.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian hipertensi akibat perilaku merokok pada masyarakat urban proporsinya lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat rural. Hal ini diduga karena tuntutan hidup dan tingkat stress di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan, sehingga masyarakat cenderung melampiaskan stress yang mereka alami kepada hal negatif seperti rokok. Penelitian yang dilakukan oleh Novi Indra Sari (2011) pada siswa SMK menyatakan bahwa semakin berat stress yang dialami siswa SMK, maka semakin kuat dorongan untuk merokok (p=0,000). Hal ini juga didukung dengan karakteristik wilayah urban dimana lingkungan kota cenderung sudah terjadi pencampuradukan budaya yang dibawa pendatang sehingga lebih mengalami akulturasi, asimilasi, dan adaptasi oleh karena itu lebih bisa menerima perilaku merokok (Lestari, dkk., 2012).

Karakteristik masyarakat urban yang diduga berperan dalam tingginya angka perilaku merokok adalah tingkat religiusitas. Kehidupan keagamaan pada masyarakat urban telah berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan

88 saja (Mahfiroh, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2013) pada anak jalanan menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan perilaku merokok anak jalanan. Tingkat religiusitas merupakan salah satu faktor internal yang bersifat protektif yang dapat mempengaruhi keputusan anak jalanan untuk melakukan tindakan berisiko seperti perilaku merokok.

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya angka kejadian hipertensi akibat perilaku merokok pada masyarakat rural dan urban antara lain dengan mengadakan penyuluhan yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai bahaya merokok, serta bahaya merokok baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini bertujuan untuk memotivasi masyarakat, baik yang berusia dewasa maupun usia remaja, untuk berhenti merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Sirait (2002) mengatakan bahwa prevalensi perokok lebih tinggi ditemukan pada mereka yang berpindidikan rendah. Hal ini dikarenakan mereka kurang mengetahui bahaya merokok dari sudut pandang kesehatan.

6.5 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Dokumen terkait