• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS XI IPA

2.2 Perbedaan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

Aspek berpikir kritis yang diukur dalam penelitian ini mencakup 6 aspek yang tersebar dalam 6 butir soal, aspek berpikir kritis yang diukur antara lain: (1) memfokuskan, (2) memperoleh informasi, (3) mengorganisasi, (4) menganalisia, (5) menggeneralisasi, (6) melakukan evalausi. Untuk lebih jelasnya distribusi sebaran butir soal untuk mengukur tingkat pemahaman siswa (hasil belajar) dan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat pada Lampiran 7. Selanjutnya hasil keterampilan berpikir kritis siswa dapat dipaparkan perbandingannya sebagai berikut:

2.2.1 Kelas Problem Solving (PS) versus PS-Kooperatif STAD

Secara keseluruhan kemampuan berpikir kritis siswa yang diaajar dengan model pembelajaran problem solving yang diseting secara kooperatif memberikan hasil yang lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving.

Aspek yang diukur (indikator) Nomor Soal

% Pencapaian PS STAD PS-STAD

 Menentukan jenis-jenis larutan garam berdasarkan asam-basa

penyusunnya dari data

percobaan sebelumnya.

 Mengelompokkan beberapa

garam berdasarkan jenisnya.

1, 2a, 2b 86,31 85,91 89,53

 Menentukan jenis-jenis garam yang dapat terhidrolisis.  Menyebutkan contoh garam

yang terhidrolisis dan

menjelaskan alasannya.

3, 4, 5 71,03 74,8 76,92

 Menghitung pH larutan garam

dari [OH-] dan [H+] 6a, 6b, 6c, 7 59,97 64,29 68,43

Tabel 6. Persentase Pencapaian Hasil Belajar Dan Keterampilan Berpikir Kritis

No soal

Kategori Hasil belajar Keterampilan berpikir kritis Persentase pencapaian PS STAD PS-STAD 1 Keterampilan berpikir kritis - Mengorganisasi (C3) 94,05 91,67 97,44

2a Hasil belajar C2, pemahaman - 88,09 88,69 89,74

2b Hasil belajar C2, pemahaman - 76,79 77,38 81,41

3 Hasil belajar C2, pemahaman - 66,86 71,43 73,72

4 Keterampilan berpikir kritis - Memperoleh informasi (C2) 69,05 72,62 73,72 5 Keterampilan berpikir kritis - Mengevaluasi (C6) 76,19 80,36 83,33

6a Hasil belajar C3, penerapan - 58,33 63,10 66,03

6b Keterampilan berpikir kritis - Menggeneralisasi (C5) dan menganalisis (C4) 63,69 66,07 69,87 6c Keterampilan berpikir kritis - Menggeneralisasi (C5) dan menganalisis (C4) 54,74 57,74 64,74 7 Keterampilan berpikir kritis - Memfokuskan (C1) 63,09 70,24 73,08

Berdasarkan Tabel 5. di atas diketahui bahwa perbedan kemampuan berpikir kritis siswa diantara dua kelompok kelas berbeda cukup signifikant terhadap semua aspek berpikir kritits yang diukur. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memfokuskan, memperoleh informasi, mengorganisasi, manganalisa, menggeneralisasi, dan melakukan evaluasi lebih baik jika siswa belajar memecahkan masalah secara kooperatif daripada belajar memecahkan masalah secara individu. Hal ini sesuai dengan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa hubungan antara seorang anak dengan anak lainnya di dalam kelas sangat penting, ini merupakan sesuatu yang sudah banyak diabaikan oleh Piaget dan kebanyakan pandangan lainnya (kecuali penganut konstruktivisme). Vygotsky mendukung penggunaan seorang anak yang lebih cerdas untuk membantu anak yang kurang cerdas. Anak yang lebih cerdas membantu masyarakat dengan membantu anak yang kurang cerdas. Vygotsky mengemukakan bahwa aturan ini bukan merupakan pengorbanan bagi pihak anak yang cerdas. Dengan menerangkan dan membantu anak-anak lain, dia mungkin mendapatkan pemahaman yang lebih atas hasil belajarya sendiri, dalam hal metakognitif dan dengan mengajarkan sebuah topik, dia memperkuat hasil belajarnya sendiri. Hal inilah yang menjadi dasar dari pembelajaran kooperatif.

Adanya perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang diajar dengan model probem solving yang diseting secara kooperatif tipe STAD dengan siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving disebabkan oleh beberapa faktor. Penggabungan model pembelajaran problem solving dan kooperatif tipe STAD dalam satu paket pembelajaran dinilai memberikan banyak keuntungan, antara lain:

(1) Siswa terbiasa dalam hal mengungkapkan gagasan/ide-ide mereka, hal ini terlihat ketika siswa mampu mengemukakan konsep-konsep yang ada dalam soal

problem solving dengan benar yang ditunjukkan oleh hasil observasi

pada ”identifikasi konsep” dimana responnya adalah positif.

(2) Meningkatkan kemampuan kerjasama dan ketrampilan berkomunikasi sesama siswa, rasa saling menghargai serta munculnya tanggung jawab personal dan kolektif. Hal ini terlihat ketika siswa belajar dalam diskusi kelompok, dimana roses saling bertukar informasi /pendapat, mengoganisasi, menganalisis masalah, menggeneralisasi, dan melakukan evaluasi secara bersama-sama adalah lebih baik daripada melakukannya secara individu.

(3) Keterlibatan mental emosional siswa lebih komprehensif, akibatnya siswa terbiasa dan mampu meramu strategi dan prosedur untuk mencari solusi dari permaslahan yang dihadapi, terutama dalam hal penyelesaian soal-soal.

(4) Pengelompokan siswa secara hterogen dalam kelompok STAD memfasilitasi terjadinya pertukaran ide, argumentasi dan refleksi dari masing-masing anggota kelompok dalam upaya konstruksi pengetahuan. Kondisi ini menyebabkan siswa lebih terangsang dalam belajar dan berpikir secara kritis.

2.2.2 Kelas Kooperatif STAD versus PS-Kooperatif STAD

Sama halnya dengan penerapan model pembelajaran problem solving, model pembelajaran kooperatif tipe STAD menunjukan hasil yang tidak cukup baik daripada model pembelajaran paduan problem solving dan kooperatif STAD dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam proses pemecahan masalah (problem solving) siswa dituntut untuk lebih aktif, kritis, dan kreatif dalam

menyelesaiakn soal-soal. Studi literatur dalam mencari tahu jawaban atas soal yang ada membuat siswa tidak tergantung informasi dari guru, namun penggabungan problem solving dengan kooperatif memungkinkan siswa untuk saling bekerjasama dan tukar informasi dalam meyelesaiakan permasalahan bersama.

Meningkatnya hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa berarti penelitian ini telah berhasil mencapai indikator yang telah ditetapkan dalam pembelajaran sains. Hal ini sesui dengan Starr (2006) bahwa keberhasilan pengembangan keterampilan berpikir kritis meliputi beberapa aspek yang telah diimplementasikan, yaitu: (1) brainstorming, dengan cara membuat hubungan belajar dengan pengalaman belajar sebelumnya, membangun/memformulasikan pertanyaan, tujuan/masalah, merumuskan masalah/tujuan, (2) melakukan penelitian dengan cara menyusun alasan dan dihubungkan dengan pertanyaan/ masalah, terlibat dalam kegiatan praktikum, menyimpulkan informasi untuk memahami fakta, (3) meramalkan dengan meprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, (4) membuktikan prosedur dengan cara melakukan percoaban sesuai dengan urutan, (5) memaknai hasil yang diperoleh dengan cara menguji langkah-langkah dan prosedur, membuat lembar pengamatan, dan membuat kesimpulan, (6) pengembangkan hasil yang diperoleh dengan cara memberikan saran terhadap hasil yang diperoleh sebagai upaya meningkatkan hasil belajar pada proses pembelajaran sain lainnya. Dengan demikian pengembangan enam aspek berpikir kritis siswa, yaitu memfokuskan, memperoleh informasi, mengorganisasi, menganalisis, menggeneralisasi,dan evaluasi telah tergambar melalui kebiasaan berpikir dan bertindak siswa.

2.3 Persepsi Siswa terhadap Penerapan Model Pembelajaran PS-Kooperatif

Dokumen terkait