BAB II: LANDASAN TEORI
C. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Dalam
PROKRASTINASI AKADEMIK
Rueda menjelaskan bahwa masyarakat yang menganut sistem patriarki
meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan
perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan
perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan
sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya (dalam Wardani, 2009).
Menurut Masudi seperti yang dikutip dalam Wardani (2009), sejarah
masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang
menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara.
Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku,
status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang
kemudian menjadi hirarki gender.
Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari
bahasa Inggris, yaitu gender. Jika dilihat dalam kamus bahasa Inggris, tidak
secara jelas dibedakan pengertian antara sex dan gender. Sering kali gender
dipersamakan dengan seks (dalam Nugroho, 2011).
Nugroho (2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa untuk memahami
konsep gender, maka harus dibedakan antara kata gender dengan seks (jenis
kelamin). Seks (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin
kelamin tertentu. Misalnya bahwa laki-laki memiliki penis, jakala (kala
menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat
reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel
telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui. Hal tersebut
secara biologis melekat pada manusia yang berjenis kelamin perempuan
maupun laki-laki. Artinya bahwa secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat
dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan.
Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering
dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan).
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968)
untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian
yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri
fisik biologis. Sedangkan Ann Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi
sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh
kebudayaan manusia. Oakley juga menuturkan bahwa gender berarti
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis
merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan maka secara
permanen berbeda dengan pengertian gender. Sedangkan gender merupakan
behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan
melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan
Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia, mengartikan gender sebagai peran-peran sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan
laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial
tersebut dapat dilakukan oleh keduanya. Sedangkan dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat (dalam Nugroho, 2011).
Selain itu, konsep lain mengenai gender yaitu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut,
cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional,
jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan,
sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa (Mansour
Fakih dalam Nugroho, 2011).
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan diatas, dapat
disimpulkan bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang
sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah
tergantung dari tempat, waktu / zaman, suku / ras / bangsa, budaya, status
Oleh karenanya, gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia
yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif. Hal tersebut bisa terdapat
pada laki-laki maupun perempuan (Nugroho, 2011).
Menurut Millet (dalam Wardani, 2009), ideologi patriarki
disosialisasikan ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan
komponen psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang
berdasar pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu
memberikan kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat,
cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang melekat pada laki-laki,
sedangkan tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak
efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role,
merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis
kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin.
Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja
domestik (domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga,
status yang merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status
superior dan perempuan inferior.
Secara psikologis, stereotype perbedaan laki-laki dan perempuan juga
terlihat adanya anggapan dimana laki-laki dikenal lebih rasional, lebih
memegang prinsipnya, cepat mengambil keputusan dan lebih menguasai,
sementara perempuan cenderung kurang rasional, manja dan lebih mudah
Berdasarkan stereotype sifat-sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan seperti yang telah dijelaskan di atas, ada penelitian yang
mengatakan bahwa bahwa perempuan memiliki kecenderungan prokrastinasi
akademik yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini cenderung
disebabkan karena adanya perbedaan pendekatan saat permasalahan datang.
Perempuan berpikir bahwa pendekatan pasif terhadap suatu masalah adalah
hal yang efektif, sebaliknya pada laki-laki berpikir bahwa menggunakan
pendekatan aktif pada saat mengalami dan menghadapi masalah adalah jalan
yang lebih efektif. Hal ini juga didukung dengan adanya karakteristik yang
berhubungan dengan laki-laki seperti percaya diri, mandiri, agresif, ambisius,
dominan, aktif, bersemangat, dan menyukai pengalaman baru. Sedangkan
karakteristik perempuan adalah emosional, lemah, sensitif, pendiriannya
berubah-ubah, patuh, dan sentimental (Matlin dalam Catrunada, 2012)