ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan berusia 18-24 tahun. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 160 orang yang terdiri 80 mahasiswa laki-laki dan 80 mahasiswa perempuan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki memiliki tingkat prokrastinasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala prokrastinasi akademik dalam bentuk skala Likert. Reliabilitas yang diperoleh berdasarkan teknik Cronbach’s Alpha dalam skala prokrastinasi akademik adalah 0,925. Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan teknik pengujian Independent Sample T-Test dan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,217 (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara prokrastinasi akademik mahasiswa laki-laki (n= 80; M= 94,6375; SD=11,79) dengan mahasiswa perempuan (n=80; M= 93,1125; SD= 12,78).
ABSTRACT
This research aimed to comprehend a significant difference of academic procrastination level in male and female students university. However, the subject of this research were male and female students aged 18 – 24 years old. The number of the research subject were 160 people consisting of 80 male students and and 80 female students. The hypothesis of this research was male students who had a lower level of academic procrastination rather than female students. The research data were obtained by using academic procrastination scale through Likert scale. The reliability was based on Cronbach’s Alpha technique which its scale procrastination academic was 0,925. The data of this research were analyzed by using Independent Sample T-Test technique and it obtained a number of significance value 0,217 (p>0,05). In this case, it meant that hypothesis in this research was rejected, so that was no significant level difference of academic procrastination in male (n= 80; M= 94,6375; SD=11,79) and female university students (n=80; M= 93,1125; SD= 12,78).
i
PERBEDAAN TINGKAT PROKRASTINASI AKADEMIK PADA MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Lucia Anindita Astasari
NIM : 109114066
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
“Entah berkarir atau menjadi ibu rumah tangga,
seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu.
Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.”
(Dian Sastrowardoyo)
“Ada kalanya kita ragu-ragu
dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa berat.
Namun, sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya,
kita ternyata mampu.
Bahkan yang semula kita anggap tidak mungkin untuk dilakukan sekalipun.
Jangan berkata “tidak” sebelum Anda pernah mencobanya !!”
(Collen Haskell)
“Kesalahan yang paling besar bukanlah kegagalan, tetapi berhenti dan menyerah
sebelum merasakan keberhasilan, jadi….
Menyerah ???
Angkat kepalamu Princess, nanti mahkota kamu jatuh….”
v
Karya ini kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus dan Bunda Maria,
Bapak dan Ibu yang tercinta,
Kedua kakak dan keluarga besarku
vii
PERBEDAAN TINGKAT PROKRASTINASI AKADEMIK PADA MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Lucia Anindita Astasari
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan berusia 18-24 tahun. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 160 orang yang terdiri 80 mahasiswa laki-laki dan 80 mahasiswa perempuan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki memiliki tingkat prokrastinasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala prokrastinasi akademik dalam bentuk skala Likert. Reliabilitas yang diperoleh berdasarkan teknik Cronbach’s Alpha dalam skala prokrastinasi akademik adalah 0,925. Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan teknik pengujian Independent Sample T-Test dan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,217 (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara prokrastinasi akademik mahasiswa laki-laki (n= 80; M= 94,6375; SD=11,79) dengan mahasiswa perempuan (n=80; M= 93,1125; SD= 12,78).
viii
THE DIFFERENCE LEVEL OF ACADEMIC PROCRASTINATION LEVEL IN MALE AND FEMALE UNIVERSITY STUDENT
Lucia Anindita Astasari
ABSTRACT
This research aimed to comprehend a significant difference of academic procrastination level in male and female students university. However, the subject of this research were male and female students aged 18 – 24 years old. The number of the research subject were 160 people consisting of 80 male students and and 80 female students. The hypothesis of this research was male students who had a lower level of academic procrastination rather than female students. The research data were obtained by using academic procrastination scale through Likert scale. The reliability was based on Cronbach’s Alpha technique which its scale procrastination academic was 0,925. The data of this research were analyzed by using Independent Sample T-Test technique and it obtained a number of significance value 0,217 (p>0,05). In this case, it meant that hypothesis in this research was rejected, so that was no significant level difference of academic procrastination in male (n= 80; M= 94,6375; SD=11,79) and female university students (n=80; M= 93,1125; SD= 12,78).
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas penyertaan dan
tuntunanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul
“Perbedaan Tingkat Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa Laki-laki dan
Perempuan”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan banyak
pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku dekan Fakultas Psikologi.
Terimakasih atas kesediaan bapak dalam mendampingi saya khususnya untuk
masalah akademik dan membantu dalam administrasi akademik.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., selaku dosen pembimbing skripsi dan kepala
program studi. Terimakasih atas bantuannya dalam kelancaran proses pembuatan
skripsi ini.
3. Bapak TM. Raditya Hernawa, M.Psi., yang selalu meluangkan waktu untuk
memberikan semangat, nasehat, waktu, tenaga, pikiran, dan pelajaran hidup
berharga selama penulis berjuang menyelesaikan skripsi.
4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti M.S., selaku dosen pembimbing akademik.
xi
5. Bapak, Ibu, dan kedua kakakku yang selalu memberikan doa, nasehat, dukungan
dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Kalian adalah motivasiku dalam
menyelesaikan skripsi ini dan karya luar biasa ini spesial untuk kalian.
6. Keluarga besarku yang selalu memberikan semangat, doa dan mengingatkanku
untuk tekun dalam mengerjakan skripsi agar tetap fokus pada tugas akhir ini.
7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi, Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gi’, Mas
Mudji, dan Mas Donny yang senantiasa membantu saya ketika saya memerlukan
bantuan. Pelayanan dan bantuan kalian sangat memuaskan, Tuhan memberkati.
8. Sahabat sepaket seperjuangan (Tista Dara, Esti Merry, Pudji Astuti, Aprilia
Pinno, Sesilia Daning, Lolla Permatasari, Ghea Theresa, Fiona Damanik, dan
Vienna Aniella) yang selalu menemani dan menjadi sahabat senasib
seperjuangan. Terimakasih atas setiap kebersamaan dan menjadi pendengar yang
baik cerita suka-duka ku selama lima tahun ini. Bersyukur bisa menjadi bagian
dari kalian.
9. Teman-temanku (Fiona “Simbah”, Maya Kristine, Ariadne Tutut, Dyah
Septiningtyas, Yovi “Koleti”, Gracia Hoyi, Nariswari, Vira Lidwina, Maria
Krisna, Monica Dhani, Helena Dyah, Chatarina Puspa, Yovi “Chiripa”, dan
Yohana Rida) yang selalu menjadi tempat berbagi cerita dan keceriaan selama
masa bimbingan.
10.Teman-teman perpanjangan tangan dalam membagikan skala (Soge Mannuel,
Chandarisma Dhanes, Fajar Wija, Gung Is, Sesilia Daning, dan Andreas Yanuar).
xii
berikan sehingga proses pengambilan data dalam penelitian ini dapat berjalan
cepat dan lancar.
11.Engger, Ayon Bayu, dan Anita Galuh selaku guru privat statistik dan bahasa
Inggris selama mengerjakan skripsi. Terimakasih atas bantuan dan ilmunya.
12.Teman-teman seperjuangan “satu bimbingan” yang selalu memberikan semangat
dan saling menguatkan.
13. Teman-teman kelas B Psikologi 2010, yang selalu menjadi tempat yang nyaman
untuk ngobrol, bercanda dan berdinamika bersama. Terimakasih untuk semuanya,
bahagia dan bersyukur bisa berdinamika dan berada diantara kalian.
14.Teman-teman mahasiswa yang menjadi subjek penelitian dan untuk orang-orang
yang mungkin saya lupa atau tidak sempat saya sebutkan satu per satu,
terimakasih untuk bantuannya, baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga saya dapat terbantu dalam mengerjakan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan
dalam penelitian ini, baik dari segi metode maupun pelaporan penelitian. Oleh
karena itu, penulis menerima segala masukkan yang membangun demi perbaikan
penelitian selanjutnya. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi banyak orang dan
kiranya Tuhan senantiasa memberkati kita semua.
Yogyakarta, Mei 2015
Penulis,
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
xiv
A. Prokrastinasi Akademik ... 12
1. Pengertian Prokrastinasi ... 12
2. Pengertian Prokrastinasi Akademik ... 13
3. Jenis Prokrastinasi Akademik ... 15
4. Area Prokrastinasi Akademik ... 16
5. Faktor-faktor Penyebab Prokrastinasi Akademik ... 17
6. Aspek Prokrastinasi Akademik ... 23
B. Mahasiswa ... 25
C. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Dalam Hal Prokrastinasi Akademik ... 27
D. Perbedaan Tingkat Prokrastinasi Akademik Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan ... 31
E. Skema Perbedaan Tingkat Prokrastinasi Akademik Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan ... 38
F. Hipotesis ……….….39
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. Jenis Penelitian ... 40
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 40
D. Subjek Penelitian ... 42
xv
F. Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Item ... 45
1. Validitas ... 45
2. Seleksi Item ... 46
3. Reliabilitas ..……….49
G. Uji Asumsi ... 49
1. Uji Normalitas ... 49
2. Uji Homogenitas ... 50
H. Uji Hipotesis ... 50
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51
A. Pelaksanaan Penelitian ... 51
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 52
C. Deskripsi Data Penelitian ... 54
D. Uji Asumsi ... 56
1. Uji Normalitas ... 56
2. Uji Homogenitas ... 57
3. Uji Hipotesis ………58
E. Pembahasan ... 60
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
xvi
1. Berkaitan Dengan Manfaat Penelitian ... 78
2. Berkaitan Dengan Penelitian Selanjutnya ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skor Berdasarkan Kategori Respon Subjek ... 44
Tabel 2. Distribusi Item Skala Prokrastinasi Akademik Sebelum Uji Coba ... 45
Tabel 3. Distribusi Item Skala Prokrastinasi Akademik Setelah Dilakukan Uji Coba ... 47
Tabel 4. Distribusi Item Skala Prokrastinasi Akademik Yang Digunakan Dalam Penelitian ... 48
Tabel 5. Reliabilitas Skala Prokrastinasi Akademik ... 49
Tabel 6. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur Subjek……….52
Tabel 7. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Asal Perguruan Tinggi ... 53
Tabel 8. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Asal Suku………...54
Tabel 9. Mean Empiris dan Mean Teoritis ... 55
Tabel 10. Uji Normalitas ... 57
Tabel 11. Uji Homogenitas ... 57
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Tryout ... 85
Lampiran 2. Reliabilitas Sebelum Seleksi Item ... 101
Lampiran 3. Reliabilitas Setelah Seleksi Item ... 105
Lampiran 4. Skala Penelitian ... 108
Lampiran 5. Mean Empirik ... 120
Lampiran 6. Uji Normalitas ... 122
Lampiran 7. Uji Homogenitas ... 124
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk
memperoleh berbagai disiplin ilmu yang dapat diperoleh secara formal dan
informal. Memperoleh disiplin ilmu dalam pendidikan formal salah satunya
dengan menjadi mahasiswa pada perguruan tinggi agar terbentuk individu
yang tangguh, kreatif, dan bermartabat. Namun, untuk membentuk mahasiswa
yang demikian tidaklah mudah, karena dalam prosesnya banyak pembelajaran
yang harus diterima oleh mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa, tentu saja
dalam kesehariannya tidak terlepas dari kegiatan belajar, mengerjakan tugas
dari dosen, dan kegiatan akademik lainnya, sehingga diperlukan kesiapan dari
mahasiswa agar kegiatannya dapat berjalan dengan baik dan lancar (Akmal,
2013).
Bentuk-bentuk kesiapan yang dapat disiapkan mahasiswa dalam
melaksanakan proses pembelajarannya yaitu kesiapan dalam segi mental,
psikis, fisik, dan pengelolaan diri. Kesiapan fisik merupakan hal penting
karena jika fisik mahasiswa lemas, mengantuk atau tidak bersemangat, maka
kesiapan mental atau psikis penting karena sistem belajar di perguruan tinggi
berbeda dengan sistem belajar di tingkat SMA (Saputri, 2013). Di lain pihak
Hernawati (2006) mengatakan bahwa dewasa ini banyak mahasiswa yang
belum mampu mengelola pikirannya secara maksimal sehingga banyak
menunjukkan perilaku yang tidak seharusnya. Misalnya, menunda
mengerjakan tugas dari dosen, menjalankan “Sistem Kebut Semalam (SKS)”
meskipun tahu cara belajar tersebut tidak efektif, tidak mampu membuat
sintesa antara satu mata kuliah dengan mata kuliah lain, tidak datang kuliah
tetapi menitip absensi pada teman, menyontek saat ujian berlangsung, dan
tidak mampu mengaplikasikan materi kuliah pada kehidupan nyata.
Sebagai seorang mahasiswa, perlu disadari bahwa kegiatan belajar di
Perguruan Tinggi yang akan dilakukan berbeda dengan kegiatan belajar ketika
masih di tingkat sekolah menengah. Dalam prosesnya, mahasiswa cenderung
dituntut untuk mandiri dalam kegiatan belajarnya. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Guglielmino dan Guglielmino (dalam Islam, 2010), mahasiswa
yang mampu melakukan kegiatan belajar mandiri tercermin dalam diri
mahasiswa yang senang belajar dan berkecenderungan untuk memenuhi target
yang telah direncanakan, mampu mengatur waktu, kecepatan belajar, dan
rencana penyelesaian tugas. Oleh karena itu, mahasiswa yang memiliki
kesiapan untuk belajar mandiri akan cenderung mampu melakukan hal seperti
Prokrastinasi akademik biasanya ditunjukkan dengan ciri yang
bertolak belakang dengan hal yang disebutkan di atas. Individu yang
melakukan prokrastinasi akademik, biasanya menunjukkan perilaku yang
cenderung menunda memulai dan menyelesaikan pekerjaan, lamban dalam
menyelesaikan tugas, tidak melaksanakan rencana yang telah dibuat, dan lebih
memilih aktivitas yang menyenangkan (Schouwenberg, dalam Ferrari, 1995).
Secara umum, prokrastinasi adalah kecenderungan individu untuk
menunda dalam memulai, melaksanakan dan mengakhiri suatu aktivitas
(Handayani, 2012). Sedangkan secara khusus, prokrastinasi akademik
merupakan prokrastinasi yang terjadi dalam area akademik yang banyak
dilakukan oleh pelajar atau mahasiswa (Fibrianti dalam Ursia, dkk, 2013).
Ferrari, dkk (dalam Melisa, 2012) juga menyebutkan bahwa prokrastinasi
akademik merupakan jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal
yang berhubungan dengan tugas akademik, seperti tugas kuliah atau skripsi.
Pengertian yang hampir serupa mengenai prokrastinasi akademik
dikemukakan oleh Solomon dan Rothblum, dimana prokrastinasi akademik
diartikan sebagai prokrastinasi dalam area akademik yang biasanya terjadi
dalam tugas mengarang, belajar dalam menghadapi ujian, membaca buku
penunjang, tugas-tugas administratif penunjang proses belajar, menghadiri
pertemuan, dan kinerja akademik secara keseluruhan (dalam Rumiani, 2006).
Dewasa ini prokrastinasi akademik menjadi salah satu persoalan klasik
dengan pernyataan sejumlah ahli bahwa prokrastinasi akademik adalah
fenomena umum yang terjadi pada mahasiswa di perguruan tinggi selama
beberapa dekade (Zeenath, Orcullo, dan Jiao, dalam Kurniawan, 2013). Dalam
penelitiannya, Ismai menjelaskan bahwa mahasiswa adalah kaum terpelajar
dinamis yang penuh dengan kreativitas yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat dan juga tidak luput dari kebiasaan “jam karet”, lebih suka
menghindari atau menunda tugas, dan lebih mengutamakan hedonisme atau
kesenangan jangka pendek (dalam Handayani, 2012). Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa 90 persen mahasiswa dalam
perguruan tinggi telah menjadi prokrastinator dan terdapat sebanyak 25 persen
mahasiswa yang suka menunda-nunda kronis dan pada umumnya berakhir
dengan mundur dari perguruan tinggi (Tondok dalam Tatan, 2012). Pada
penelitian lain yang pernah dilakukan di salah satu perguruan tinggi di
Yogyakarta, terlihat bahwa sekitar 20,38 persen mahasiswa telah melakukan
prokrastinasi akademik (Rizvi dalam Tatan, 2012).
Menurut Ghufron (dalam Mayasari, dkk, 2010), terdapat dua faktor
yang mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi akademik, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terdapat dalam
diri individu pelaku prokrastinasi, seperti kondisi fisik dan psikologis
individu. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang terdapat di luar diri
individu yang memunculkan perilaku prokrastinasi akademik, misalnya gaya
rendah pengawasan dan memiliki stimulus reinforcement tertentu cenderung
akan mendorong individu melakukan prokrastinasi akademik (Ghufron dalam
Mayasari, dkk, 2010). Masalah sosial dan budaya dimana individu tinggal
juga akan mempengaruhi berkembangnya perilaku prokrastinasi. Hal ini
tampak sejalan dengan pendekatan perspektif sosiokultural dalam area
psikologi yang mempercayai bahwa konteks sosial dan peraturan budaya
mempengaruhi berbagai keyakinan dan perilaku individu (Wade dan Tavris,
dalam Adi, 2012). Burka dan Yuen (dalam Adi, 2012) juga menjelaskan
bahwa budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi
munculnya perilaku prokrastinasi.
Retnowulandari (2010) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
budaya patriarki merupakan salah satu budaya yang cukup berpengaruh dan
masih mengakar di masyarakat hingga saat ini. Pada saat ini patriarki dapat
dikatakan telah membudaya dalam segala sistem kehidupan masyarakat, baik
dalam bidang sosial, budaya, keagamaan, dan muncul sebagai sebagai bentuk
kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya
dibandingkan perempuan. Di Indonesia, konsep budaya patriarki masih terasa
cukup kental di beberapa daerah, seperti Jawa, Bali, Batak, dll.
Secara singkat, budaya patriarki merupakan budaya yang memiliki
konsep pemikiran bahwa kaum laki-laki ditempatkan pada posisi utama.
Aristoteles mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih
superior yang mengatur sosok inferior, dalam hal ini adalah perempuan
(dalam Retnowulandari, 2010). Dari konsep inilah, maka muncul tugas yang
berbeda di tengah masyarakat antara laki-laki dan perempuan.
Dalam budaya patriarki, laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang
berbeda di masyarakat sehingga tuntutan yang dirasakan pun juga berbeda.
Adanya pandangan dalam budaya patriarki yang menomorduakan perempuan
dan tidak menuntut perempuan untuk mencari nafkah utama dalam keluarga,
membuat tuntutan akademik pada kaum perempuan dirasa lebih rendah
dibandingkan kaum laki-laki yang nantinya akan menjadi pencari nafkah
utama atau sumber ekonomi utama dalam keluarga.
Sebagai individu yang memasuki tahap dewasa awal, mahasiswa juga
dituntut untuk belajar tanggung jawab terhadap tugasnya diluar bidang
akademik, seperti mulai belajar melakukan tugas sesuai dengan yang
diharapkan masyarakat dimana mereka tinggal. Misalnya, sebagai sosok yang
nantinya memiliki tugas utama untuk memimpin keluarga, mengatur dan
menghidupi keluarga, maka banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh kaum
laki-laki. Dalam hal ini adalah mahasiswa laki-laki. Sebagai seorang yang
kelak akan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, tidak dapat
dipungkiri bahwa mahasiswa laki-laki memiliki tuntutan pendidikan atau
tuntutan akademik yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa
perempuan. Hal ini karena dalam urusan pekerjaan atau karier, latar belakang
terutama dalam bidang pekerjaan yang dianggap memiliki status sosial yang
tinggi, misalnya menjadi seorang pegawai atau karyawan perusahaan.
Anoraga (1992) menambahkan bahwa dalam dunia kerja, semakin
tinggi gaji pekerjaan, maka banyak pula orang yang semakin tertarik dengan
pekerjaan itu. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa
apabila seorang laki-laki memiliki pandangan bahwa dirinya ingin
mendapatkan gaji yang tinggi untuk menafkahi keluarganya, maka dirinya
harus mampu bersaing dengan yang lain mengingat banyaknya orang yang
tertarik dengan pekerjaan itu juga.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh laki-laki agar mampu
bersaing dalam dunia kerjanya adalah dengan menyiapkan pendidikan atau
berprestasi dalam bidang akademik. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Kurniawan (2013) yang menjelaskan bahwa kesuksesan dalam pendidikan
tinggi menjadi salah satu faktor dalam mendapatkan pekerjaan yang baik.
Persaingan yang cukup ketat dalam dunia kerja menuntut mahasiswa untuk
lebih meningkatkan kompetensi dan kualitas diri agar mampu bersaing dengan
sesamanya. Oleh karena itu, diperlukan adanya adanya kemandirian dan
keaktifan dari dalam diri mahasiswa dalam proses belajarnya, dalam hal ini
adalah mahasiswa laki-laki. Mahasiswa harus dapat belajar secara lebih
mandiri dan tidak boleh hanya bergantung pada orang lain. Mahasiswa juga
harus dapat mengerjakan tugas-tugas akademiknya dengan sebaik mungkin
Menyadari bahwa kesuksesan pendidikan adalah bekal untuk bersaing
dalam dunia kerja untuk mencari nafkah nantinya, seharusnya mahasiswa
laki-laki cenderung lebih berprestasi daripada mahasiswa perempuan. Akan tetapi,
pada kenyataannya justru mahasiswa perempuan dapat dikatakan lebih
beprestasi daripada mahasiswa laki-laki. Hal ini terlihat pada hasil survey
wisuda kelulusan Universitas Sanata Dharma periode April 2015 yang
menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan cenderung lebih berprestasi
daripada mahasiswa laki-laki. Hal ini tampak dari banyaknya jumlah
mahasiswi yang lulus dengan predikat cumlaude atau Lulus Dengan Pujian
ketika wisuda karena masa studi yang tepat waktu dan hasil IPK yang tinggi.
Dari 962 mahasiswa yang lulus dalam periode tersebut, diketahui bahwa
sebanyak 161 mahasiswa perempuan lulus dengan predikat cumlaude,
sedangkan pada mahasiswa laki-laki tercatat hanya 48 orang.
Godfrey mengemukakan bahwa pemanfaatan waktu yang tidak efektif
menyebabkan lama studi yang seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu 4
tahun, terpaksa diperpanjang 7-10 tahun, sedangkan Solomon dan Rothblum
mengungkapkan bahwa indikasi prokrastinasi akademik adalah masa studi 5
tahun atau lebih (dalam Rumiani, 2006). Berdasarkan uraian singkat tersebut,
dapat dilihat bahwa indikasi pelaku prokrastinasi akademik adalah mahasiswa
laki-laki apabila mengingat status cumlaude yang biasanya diberikan pada
mahasiswa yang mampu menyelesaikan studi dalam waktu 4 tahun. Hal ini
mengatakan bahwa mahasiswa laki-laki cenderung lebih sering menunda masa
studinya adalah mahasiswa laki-laki (Huda; 2012 dan Akmal; 2013). Namun,
disisi lain Rumiani (2006) menyebutkan bahwa sebenarnya fenomena
prokrastinasi akademik dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, tanpa
ada perbedaan derajat kecenderungan. Hasil penelitian Solomon dan
Rothblum (1984) juga menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin pada beberapa area prokrastinasi
akademik.
Berdasarkan uraian perbedaan pendapat di atas dan perbedaan realita
di lapangan dengan keadaan yang seharusnya terjadi, maka peneliti ingin
membuktikan kembali dengan melihat apakah ada perbedaan tingkat
prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam
pengaruh budaya patriarki. Peneliti beranggapan bahwa dalam masyarakat
patriarki akan terdapat perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada
mahasiswa laki-laki dan perempuan. Peneliti berasumsi bahwa mahasiswa
perempuan akan memiliki tingkat prokrastinasi yang tinggi karena memiliki
tuntutan akademik yang rendah karena nantinya tidak memiliki tuntutan yang
tinggi sebagai pencari nafkah utama. Sedangkan mahasiswa laki-laki akan
memiliki tingkat prokrastinasi yang lebih rendah dibandingkan dengan
mahasiswa perempuan. Hal ini disebabkan karena kaum laki-laki memiliki
pemikiran bahwa untuk mengejar tujuannya dalam hal berkarier dan
akademik yang baik agar mampu bersaing dalam mencari pekerjaan untuk
kedepannya nanti.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa
laki-laki dan perempuan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan
tingkat prokrastinasi akademik antara mahasiswa laki-laki dan perempuan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu digunakan sebagai penambah
bahan kajian ilmu dalam psikologi pendidikan berkaitan dengan tugas
perkembangan mahasiswa sebagai individu dewasa awal di tengah
masyarakat dan prokrastinasi akademik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Para Mahasiswa
Dengan penelitian ini diharapkan nantinya apabila ditemukan
baik mahasiswa laki-laki dan perempuan untuk saling belajar dari
kelompoknya masing-masing dengan tujuan untuk pengembangan diri
yang lebih baik kedepannya.
b. Bagi Para Pendidik
Penelitian diharapkan mampu menjadi masukan bagi para
pendidik untuk segera memberikan penanganan yang tepat sesuai
dengan karakter mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akademik,
meskipun tingkat resiko dari prokrastinasi tidak secara langsung
12 BAB II
LANDASAN TEORI
A. PROKRASTINASI AKADEMIK
1. Pengertian Prokrastinasi
Secara etiologis, istilah prokrastinasi berasal dari kata dalam bahasa
Latin yaitu pro atau forward yang berarti maju atau bergerak maju dan
crastinus atau tomorrow yang berarti keputusan hari esok. Jika kedua kata
tersebut digabungkan, maka prokrastinasi memiliki arti yang sama dengan
menangguhkan atau menunda sampai hari berikutnya (Ghufron dalam
Mayasari, dkk, 2010).
Pada dasarnya prokrastinasi dapat dilakukan dalam berbagai hal,
tetapi secara garis besar Ferrari (1995) membedakan prokrastinasi menjadi
dua, yaitu prokrastinasi sehari-hari (everyday procrastonation) dan
prokrastinasi akademik (academic procratination).
Steel mengatakan bahwa prokrastinasi adalah menunda dengan
sengaja kegiatan yang diinginkan, walaupun individu tersebut mengetahui
bahwa perilaku penundaannya tersebut dapat menghasilkan dampak
buruk. Steel juga menjelaskan bahwa prokrastinasi adalah suatu
pekerjaannya, meskipun ia tahu bahwa hal ini akan berdampak buruk pada
masa depan (dalam Ursia, dkk, 2013).
Pada kalangan ilmuwan, istilah prokrastinasi digunakan untuk
menujukkan suatu kecenderungan menunda-nunda dalam menyelesaikan
tugas atau pekerjaan, tidak segera memulai dalam menghadapi suatu
pekerjaan, baik dengan alasan yang jelas maupun tidak (Ahmaini, 2010).
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan
bahwa prokrastinasi adalah bentuk penundaan yang dilakukan individu
terhadap tugas atau pekerjaan yang dimilikinya, meskipun individu
tersebut mengetahui perilakunya akan menimbulkan dampak buruk.
2. Pengertian Prokrastinasi Akademik
Secara umum prokrastinasi dapat terjadi dalam hal keseharian
kegiatan individu, namun secara khusus prokrastinasi akademik
merupakan aktivitas penundaan yang terjadi pada area akademik yang
biasanya banyak dilakukan oleh pelajar ataupun mahasiswa (Fibrianti,
dalam Ursia, dkk, 2013)
Solomon dan Rothblum menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
diartikan sebagai prokrastinasi dalam area akademik yang biasanya terjadi
dalam tugas mengarang, belajar dalam menghadapi ujian, membaca buku
pertemuan, dan kinerja akademik secara keseluruhan (dalam Rumiani,
2006).
Ferrari, dkk (dalam Melisa, 2012) menyebutkan bahwa
prokrastinasi akademik merupakan jenis penundaan yang dilakukan pada
jenis tugas formal yang berhubungan dengan tugas akademik, seperti
tugas kuliah atau skripsi. Ferrari dalam Ramdhani (2013), juga
menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik dapat diartikan sebagai
perilaku penundaan yang termanifestasi dalam indikator tertentu yang
dapat diukur dan diamati.
Ghufron (dalam Mayasari, dkk, 2010) menjelaskan bahwa
prokrastinasi akademik merupakan jenis penundaan yang dilakukan pada
tugas formal yang berhubungan dengan tugas akademik, misalnya tugas
sekolah atau tugas kursus.
Dari pendapat beberapa tokoh tersebut, peneliti menyimpulkan
prokrastinasi akademik merupakan perilaku penundaan yang dilakukan
secara sengaja dan sukarela oleh individu yang bersangkutan dalam
memulai maupun menyelesaikan tugas akademik dengan melakukan
aktivitas lainnya, meskipun individu tersebut mengetahui bahwa
3. Jenis Prokrastinasi Akademik
Ferrari (1995) membedakan prokrastinasi akademik menjadi dua
jenis, yaitu :
a. Functional Procrastination
Functional Procrastination adalah bentuk penundaan dalam
mengerjakan tugas dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang
lebih lengkap dan akurat yang berkaitan dengan tugas tersebut.
b. Dysfunctional Procrastination
Dysfunctional Procrastination adalah bentuk penundaan terhadap
tugas tanpa memiliki alasan yang masuk akal, tidak bertujuan dan
dapat menimbulkan masalah. Dysfunctional Procrastination
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu (a) Decisional Procrastination
adalah suatu penundaan dalam mengambil keputusan. Bentuk
penundaan ini adalah menunda untuk mulai melakukan suatu tugas
dalam situasi yang dipersepsikan penuh stres. Bentuk ini terjadi akibat
kegagalan dalam mengidentifikasi tugas yang kemudian menimbulkan
konflik dalam diri individu sehingga akhirnya individu menunda untuk
memutuskan masalah. Decisional Procrastination berhubungan
dengan kelupaan dan kegagalan proses kognitif, tetapi tidak berkaitan
dengan kurangnya tingkat intelegensi seseorang. (b) Avoidance
sebagai suatu cara untuk menghindari tugas yang dirasa tidak
menyenangkan atau sulit dilakukan.
4. Area Prokrastinasi Akademik
Menurut Solomon dan Rothblum (1984), ada enam area
prokrastinasi akademik, yaitu :
a. Tugas mengarang, meliputi penundaan melaksanakan kewajiban atau
tugas-tugas menulis, misalnya menulis makalah, laporan, atau tugas
mengarang lainnya.
b. Tugas belajar menghadapi ujian, meliputi penundaan belajar untuk
ujian, ujian tengah semester atau ulangan mingguan.
c. Tugas membaca, meliputi penundaan untuk membaca yang
diwajibkan.
d. Tugas administratif, meliputi menyalin catatan, mendaftarkan diri
dalam presensi kehadiran, daftar peserta praktikum, dan sebagainya.
e. Menghadiri pertemuan, yaitu penundaan maupun keterlambatan dalam
meghadiri pelajaran, praktikum, dan pertemuan-pertemuan akademik
lainnya.
f. Penundaan kinerja akademik secara keseluruhan, yaitu menunda
mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas akademik secara
5. Faktor-faktor Penyebab Prokrastinasi Akademik
Bernard (dalam Catrunada, 2012) mengungkapkan bahwa terdapat
sepuluh wilayah magnetis faktor yang menyebabkan individu melakukan
prokrastinasi akademik, yaitu :
a) Anxiety
Anxiety diartikan sebagai kecemasan. Kecemasan pada akhirnya
diartikan sebagai kekuatan magnetik yang berlawanan, dimana tugas
yang diharapkan dapat terselesaikan justru berinteraksi dengan
kecemasan yang tinggi sehingga seseorang cenderung menunda tugas
tersebut.
b) Self-Depreciation
Self-Depreciation dapat diartikan sebagai pencelaan terhadap diri
sendiri. Seseorang memiliki bentuk penghargaan yang rendah atas
dirinya sendiri dan selalu siap menyalahkan diri sendiri apabila
melakukan kesalahan dan juga merasa tidak percaya diri untuk
mendapatkan masa depan yang lebih cerah.
c) Low-Discomfort Tolerance
Low-Discomfort Tolerance dapat diartikan sebagai rendahnya
toleransi terhadap ketidaknyamanan. Adanya kesulitan dalam tugas
yang dikerjakan oleh seseorang, membuat seseorang mengalami
mereka mengalihkan diri sendiri pada tugas yang dapat mengurangi
rasa ketidaknyamanan dalam diri mereka.
d) Pleasure-seeking
Pleasure-seeking dapat diartikan sebagai pencari kesenangan.
Seseorang yang mencari kenyamanan cenderung tidak mau
melepaskan situasi yang membuat dirinya merasa nyaman. Apabila
seseorang memiliki kecenderungan yang tinggi dalam mencari situasi
yang nyaman, maka seseorang tersebut akan memiliki hasrat yang kuat
untuk bersenang-senang dan memiliki kontrol impuls yang rendah.
e) Time Disorganization
Time Disorganization dapat diartikan sebagai tidak teraturnya
waktu. Mengatur waktu berarti mampu memperkirakan dengan baik
berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menyelesaikan
tugas tersebut. Aspek lain dari lemahnya pengaturan waktu adalah
sulitnya seseorang memutuskan pekerjaan yang penting dan yang
kurana penting untuk dikerjakan hari ini. Semua pekerjaan menjadi
terlihat penting sehingga muncul kesulitan untuk menentukan apa yang
seharusnya dikerjakan terlebih dahulu.
f) Environmental Disorganization
Environmental Disorganization dapat diartikan sebagai
berantakan atau tidak teraturnya lingkungan. Salah satu faktor
berantakan atau tidak teratur dengan baik. Tidak teraturnya lingkungan
bisa dalam bentuk interupsi dari orang lain, kurangnya privasi, kertas
yang bertebaran dimana-mana, dan alat-alat yang dibutuhkan dalam
mengerjakan tidak tersedia. Adanya banyak gangguan dari lingkungan
menyebabkan seseorang sulit untuk berkonsentrasi sehingga pekerjaan
tidak dapat selesai tepat waktu.
g) Poor Task Approach
Poor Task Approach dapat diartikan sebagai pendekatan yang
lemah terhadap tugas. Seseorang yang pada akhirnya siap
mengerjakan, kemungkinan akan meletakkan kembali pekerjaannya
karena tidak tahu darimana harus memulai pekerjaannya. Oleh karena
itu, pekerjaan menjadi tertahan karena ketidaktahuan seseorang tentang
darimana memulai dan menyelesaikan pekerjaan tersebut.
h) Lack of Assertion
Lack of Assertion dapat diartikan sebagai kurangnya memberi
pernyataan yang tegas. Contohnya adalah seseorang mengalami
kesulitan berkata tidak terhadap orang lain padahal banyak pekerjaan
yang sudah terjadwal terlebih dahulu dan harus segera diselesaikan.
Hal ini bisa disebabkan karena mereka kurang memberikan rasa
i) Hostility with Others
Hostility with Others diartikan sebagai permusuhan terhadap
orang lain. Kemarahan yang terus menerus dapat menimbulkan
dendam dan sikap bermusuhan terhadap orang lain sehingga bisa
menuju sikap menolak atau menentang apapun yag dikatakan oleh
orang tersebut.
j) Stress and Fatigue
Stress and Fatigue dapat dirtikan sebagai perasaan tertekan dan
kelelahan. Stres adalah hasil dari sejumlah intensitas dari tuntutan
negatif dalam hidup yang digabung dengan gaya hidup dan
kemampuan mengatasi masalah pada diri seseorang. Semakin banyak
tuntutan, semakin lemah sikap seseorang dalam memecahkan masalah,
dan gaya hidup yang kurang baik, semakin tinggi stres seseorang.
Sedangkan Ghufron (dalam Mayasari, dkk, 2010) membagi
faktor-faktor yang mempengaruhi prokrastinasi akademik menjadi dua, yaitu :
1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang terdapat dalam diri
a. Kondisi fisik individu
Salah satu faktor internal yang mempengaruhi individu melakukan
prokrastinasi akademik adalah keadaan fisik dan kondisi kesehatan
individu, misalnya kelelahan atau fatigue.
b. Kondisi psikologis individu
Millgram menyebutkan bahwa trait turut mempengaruhi individu
melakukan prokrastinasi akademik. Misalnya, trait kemampuan
sosial yang tercermin dalam self regulation dan tingkat kecemasan
dalam berhubungan sosial (dalam Mayasari, dkk, 2010). Ellis dan
Knaus (dalam Mayasari, dkk, 2010) menambahkan bahwa
keyakinan irasional juga mempengaruhi munculnya perilaku
prokrastinasi akademik. Keyakinan irasional tersebut dapat muncul
karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan tugas sekolah.
Misalnya, tugas sekolah dipandang sebagai suatu beban dan
sesuatu yang tidak menyenangkan.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang terdapat di luar diri
individu yang memunculkan perilaku prokrastinasi. Faktor ini
a. Gaya pengasuhan orang tua
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Ferrari dan
Ollivete, gaya pengasuhan otoriter ayah akan menyebabkan
munculnya kecenderungan prokrastinasi yang kronis pada subjek
penelitian anak wanita. Sedangkan gaya pengasuhan otoritatif ayah
akan menghasilkan anak wanita yang bukan prokrastinator (dalam
Mayasari, dkk, 2010).
b. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi munculnya prokrastinasi
akademik adalah lingkungan yang rendah pengawasan daripada
lingkungan yang tinggi pengawasan. Prokrastinasi akademik juga
dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tertentu. Kondisi yang
menimbulkan stimulus reinforcement tertentu bisa memunculkan
perilaku prokrastinasi akademik. Kondisi lingkungan yang rendah
pengawasan akan mendorong individu untuk melakukan
prokrastinasi akademik karena rendahnya pengawasan akan
menjadi faktor pendorong individu untuk berperilaku tidak tepat
waktu.
Selain faktor yang telah disebutkan diatas, Burka dan Yuen
menambahkan bahwa budaya juga merupakan salah satu faktor eksternal
budaya dimana individu tinggal akan mempengaruhi berkembangnya
perilaku prokrastinasi (dalam Adi, 2012). Menurut Wade dan Tavris
(dalam Adi, 2012), dalam area psikologi, pendekatan perspektif
sosiokultural mempercayai bahwa konteks sosial dan peraturan budaya
mempengaruhi berbagai keyakinan dan perilaku individu. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa budaya yang dihayati individu akan berpotensi
memunculkan perilaku prokrastinasi akademik apabila budaya tersebut
mendukung munculnya perilaku prokrastinasi.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa faktor yang penyebab muculnya perilaku prokrastinasi akademik
secara garis besar adalah faktor internal dan faktor eksternal, dimana faktor
internal adalah yang berasal dari dalam diri individu dan faktor eksternal
adalah faktor yang berasal dari luar individu, seperti gaya pengasuhan,
kondisi lingkungan, dan latar belakang budaya dimana mereka tinggal.
6. Aspek Prokrastinasi Akademik
Schouwenberg (dalam Ferrari, 1995) mengungkapkan ada beberapa
indikator yang menunjukkan ciri-ciri prokrastinasi akademik, diantaranya
adalah :
a. Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas
Mahasiswa yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang
dihadapinya merupakan hal penting dan berguna yang harus segera
diselesaikan. Akan tetapi, mereka cenderung menunda dalam memulai
mengerjakannya. Apabila sebelumnya mereka sudah mengerjakan,
mereka cenderung untuk menunda menuntaskan penyelesaian tugas
tersebut terlebih dahulu.
b. Keterlambatan atau kelambanan dalam mengerjakan tugas
Mahasiswa yang melakukan prokrastinasi, cenderung akan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengerjakan tugas. Mereka
cenderung akan menghabiskan waktu untuk mempersiapkan segala
sesuatunya secara berlebihan dan juga menghabiskan waktunya dengan
melakukan hal yang tidak dibutuhkan penyelesaian tugas, tanpa
memperhatikan keterbatasan waktu yang dimiliki untuk menyelesaikan
tugasnya. Tindakan ini terkadang membuat mahasiswa tidak berhasil
dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik.
c. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual
Mahasiswa prokrastinator akan memiliki kesulitan untuk mengerjakan
sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
Mereka cenderung sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi
deadline yang telah ditentukan sebelumnya, baik yang ditentukan orang
d. Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan
tugas yang harus dikerjakan
Mahasiswa yang melakukan prokrastinasi cenderung dengan sengaja
tidak segera menyelesaikan tugasnya, tetapi menggunakan waktu yang
dimiliki untuk melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih
menyenangkan dan memberikan hiburan bagi dirinya sehingga menyita
waktu yang seharusnya dia gunakan untuk mengerjakan tugas.
B. MAHASISWA
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dimaksud
dengan mahasiswa adalah pelajar di perguruan tinggi (Poerwadarminta, 1989).
Di Indonesia, rata-rata umur seorang mahasiswa adalah 18-24 tahun.
Berdasarkan teori tahapan umur perkembangan menurut Santrock, usia
mahasiswa termasuk dalam kategori dewasa awal, dimana Dariyo (dalam
Iriani dan Ninawati, 2005) juga menyatakan bahwa secara fisik individu pada
dewasa awal telah menampakkan profil yang sempurna dalam arti bahwa
pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi
puncak. Pada usia ini, mereka tampak memiliki daya tahan dan taraf
kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak
inisiatif, kreatif, energik, cepat, dan proaktif. Penampilan fisik yang dimiliki
dinilai benar-benar matang sehingga siap melakukan tugas seperti orang
secara bertanggung jawab untuk dirinya ataupun orang lain. Dapat
disimpulkan bahwa pada usia dewasa awal biasanya individu telah mencapai
penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang matang.
Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal merupakan
tuntutan yang harus dipenuhi oleh seseorang, sesuai dengan norma
sosial-budaya yang berlaku di masyarakat (Dariyo, dalam Iriani dan Ninawati,
2005). Jadi, mahasiswa sebagai individu yang termasuk dalam kategori
dewasa awal adalah suatu tahap dimana mahasiswa tersebut sudah dapat
membuat keputusan sendiri, misalnya dalam hal karir dan membentuk
hubungan intim tanpa campur tangan orang tua. Pada tahap ini merupakan
tahap dimana tahap perkembangan seseorang sedang berada pada puncaknya,
dengan kondisi fisik dan intelektual yang baik (Iriani dan Ninawati, 2005).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan mahasiswa
adalah individu yang berumur 18-24 tahun atau telah memasuki tahap dewasa
awal dimana dirinya telah siap melakukan hal seperti yang dilakukan orang
dewasa lainnya, seperti mengambil keputusan, bekerja (berkarier), menikah,
mempunyai anak, dan bertindak secara bertanggung jawab untuk dirinya
C. PERBEDAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM HAL
PROKRASTINASI AKADEMIK
Rueda menjelaskan bahwa masyarakat yang menganut sistem patriarki
meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan
perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan
perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan
sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya (dalam Wardani, 2009).
Menurut Masudi seperti yang dikutip dalam Wardani (2009), sejarah
masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang
menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara.
Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku,
status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang
kemudian menjadi hirarki gender.
Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari
bahasa Inggris, yaitu gender. Jika dilihat dalam kamus bahasa Inggris, tidak
secara jelas dibedakan pengertian antara sex dan gender. Sering kali gender
dipersamakan dengan seks (dalam Nugroho, 2011).
Nugroho (2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa untuk memahami
konsep gender, maka harus dibedakan antara kata gender dengan seks (jenis
kelamin). Seks (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin
kelamin tertentu. Misalnya bahwa laki-laki memiliki penis, jakala (kala
menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat
reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel
telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui. Hal tersebut
secara biologis melekat pada manusia yang berjenis kelamin perempuan
maupun laki-laki. Artinya bahwa secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat
dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan.
Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering
dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan).
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968)
untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian
yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri
fisik biologis. Sedangkan Ann Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi
sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh
kebudayaan manusia. Oakley juga menuturkan bahwa gender berarti
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis
merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan maka secara
permanen berbeda dengan pengertian gender. Sedangkan gender merupakan
behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan
melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan
Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia, mengartikan gender sebagai peran-peran sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan
laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial
tersebut dapat dilakukan oleh keduanya. Sedangkan dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat (dalam Nugroho, 2011).
Selain itu, konsep lain mengenai gender yaitu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut,
cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional,
jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan,
sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa (Mansour
Fakih dalam Nugroho, 2011).
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan diatas, dapat
disimpulkan bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang
sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah
tergantung dari tempat, waktu / zaman, suku / ras / bangsa, budaya, status
Oleh karenanya, gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia
yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif. Hal tersebut bisa terdapat
pada laki-laki maupun perempuan (Nugroho, 2011).
Menurut Millet (dalam Wardani, 2009), ideologi patriarki
disosialisasikan ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan
komponen psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang
berdasar pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu
memberikan kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat,
cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang melekat pada laki-laki,
sedangkan tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak
efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role,
merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis
kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin.
Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja
domestik (domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga,
status yang merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status
superior dan perempuan inferior.
Secara psikologis, stereotype perbedaan laki-laki dan perempuan juga
terlihat adanya anggapan dimana laki-laki dikenal lebih rasional, lebih
memegang prinsipnya, cepat mengambil keputusan dan lebih menguasai,
sementara perempuan cenderung kurang rasional, manja dan lebih mudah
Berdasarkan stereotype sifat-sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan seperti yang telah dijelaskan di atas, ada penelitian yang
mengatakan bahwa bahwa perempuan memiliki kecenderungan prokrastinasi
akademik yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini cenderung
disebabkan karena adanya perbedaan pendekatan saat permasalahan datang.
Perempuan berpikir bahwa pendekatan pasif terhadap suatu masalah adalah
hal yang efektif, sebaliknya pada laki-laki berpikir bahwa menggunakan
pendekatan aktif pada saat mengalami dan menghadapi masalah adalah jalan
yang lebih efektif. Hal ini juga didukung dengan adanya karakteristik yang
berhubungan dengan laki-laki seperti percaya diri, mandiri, agresif, ambisius,
dominan, aktif, bersemangat, dan menyukai pengalaman baru. Sedangkan
karakteristik perempuan adalah emosional, lemah, sensitif, pendiriannya
berubah-ubah, patuh, dan sentimental (Matlin dalam Catrunada, 2012)
D. PERBEDAAN TINGKAT PROKRASTINASI AKADEMIK
MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Menurut Ghufron (dalam Mayasari, dkk, 2010), salah satu faktor
eksternal yang mempengaruhi seseorang melakukan prokrastinasi akademik
adalah kondisi lingkungan. Sedangkan menurut Burka dan Yuen (dalam Adi,
2012), budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi
munculnya perilaku prokrastinasi. Hal ini sejalan dengan pendekatan
konteks sosial dan peraturan budaya mempengaruhi berbagai keyakinan dan
perilaku individu (Wade dan Tavris, dalam Adi, 2012).
Mahasiswa sebagai makhluk sosial yang hidup ditengah-tengah
budaya yang melatarbelakanginya tentu akan berperilaku berdasarkan latar
belakang budaya yang diyakininya. Dalam hal ini perilaku mahasiswa banyak
dipengaruhi oleh budaya patriarki yang telah mengakar dan
melatarbelakanginya, termasuk perilaku sesuai peran gendernya sebagai
laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki dikatakan cukup berpengaruh karena
budaya patriarki merupakan salah satu budaya yang cukup berpengaruh dan
masih mengakar di masyarakat hingga saat ini (Retnowulandari, 2010).
Dalam budaya patriarki tampak ada perbedaan peran gender pada
laki-laki dan perempuan. Budaya ini dapat dikatakan sebagai budaya yang
menganggap bahwa kaum laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi
daripada perempuan sehingga tuntutan sosial dalam masyarakat pada akhirnya
berpengaruh juga pada perbedaan peran yang seharusnya dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan.
Nugroho (2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam setiap
budaya muncul stereotype tertentu mengenai sesuatu yang pantas bagi
perempuan maupun laki-laki dan stereotype tertentu yang membedakan peran
antara laki-laki dan perempuan. Sebagai sosok yang dianggap nomor satu dan
nantinya akan berperan dalam memimpin keluarga dan pencari nafkah, maka
yang bisa memimpin, mengatur dan mengambil keputusan dalam keluarga.
Seorang mahasiswa laki-laki diharapkan kelak mampu menjalankan fungsinya
sebagai kepala keluarga yang baik dengan cara menjadi sumber ekonomi
utama keluarga, yaitu sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan
tidak dituntut untuk menjadi pencari nafkah utama. Apabila nantinya
perempuan juga bekerja mencari nafkah, statusnya hanya sebagai pencari
nafkah tambahan untuk membantu suami (Budiati, 2010). Hal ini disebabkan
karena dalam budaya patriarki, perempuan lebih memiliki peran dalam sektor
domestik atau mengurus urusan rumah tangga.
Berdasarkan uraian diatas, tampak terjadi ada perbedaan peran dalam
keluarga antara kaum laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki dituntut untuk
bekerja demi menafkahi keluarga, sedangkan perempuan tidak terlalu dituntut
untuk menjadi pencari nafkah. Oleh karena itu, hal ini mengakibatkan adanya
perbedaan tuntutan akademik antara kaum laki-laki dan perempuan. Dalam
hal ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan. Mahasiswa laki-laki tentu
saja memiliki tuntutan akademik yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mahasiswa perempuan. Misalnya dalam bentuk IPK tinggi atau lulus dengan
tepat waktu. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi pencari nafkah utama,
seorang laki-laki harus memiliki pekerjaan yang tetap, dan untuk memiliki
sebuah pekerjaan, latar belakang pendidikan seseorang akan menjadi salah
Sebagai seseorang yang nantinya akan menjadi sumber ekonomi utama
dalam keluarga, tentu saja sebagai seorang mahasiswa laki-laki dituntut untuk
lulus tepat waktu agar dapat segera mencari kerja setelah lulus kuliah. Hal ini
disebabkan karena apabila mahasiswa, dalam hal ini adalah mahasiswa
laki-laki dapat lulus tepat waktu, mereka tidak perlu merasa khawatir karena
kesempatan untuk memilih pekerjaan yang terbaik terbuka lebar dan
persaingan dalam mendapatkan pekerjaan tidak terlalu ketat. Hal ini tentu
akan berbeda dengan mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akademik
karena mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akan menyebabkan masa
studinya terlalu lama yang mempengaruhi peluangnya untuk memilih
pekerjaan yang terbaik semakin terbatas, tidak bisa mengambil peluang untuk
ketika ada tawaran pekerjaan yang menurutnya baik dan harus menghadapi
persaingan yang lebih berat daripada mahasiswa yang bisa lulus tepat waktu
(Kurniawan, 2013). Hal ini selajan dengan pernyataan Ferrari, dkk (dalam
Kurniawan, 2013) yang menyebutkan bahwa prokrastinasi bisa
mengakibatkan seseorang kehilangan kesempatan dan peluang yang datang.
Oleh karena itu, agar mampu bersaing dan mendapatkan pekerjaan yang
terbaik, seorang mahasiswa, dalam hal ini mahasiswa laki-laki perlu
memenuhi tuntutan akademiknya untuk lulus tepat waktu dengan cara tidak
menjadi seorang prokrastinator.
Menyadari bahwa latar belakang pendidikan sangat penting dalam
menjadikan para mahasiswa laki-laki termotivasi untuk berusaha memenuhi
tuntutan akademiknya, misalnya dengan memperoleh IPK yang memuaskan
atau lulus dengan tepat waktu. Usaha ini dilakukan demi memiliki prestasi
dan hasil akademik yang memuaskan sebagai bekalnya untuk bersaing dalam
mencari pekerjaan yang terbaik. Cara yang dapat dilakukannnya adalah
dengan berusaha serius dan maksimal di bidang akademik, misalnya dengan
mengerjakan tugas akademiknya secara maksimal dan tidak menunda-nunda
ketika mendapatkan tugas akademik. Selain itu, mahasiswa laki-laki juga
dapat mengasah ketrampilan dalam bidang kepemimpinan dan pengambilan
keputusan dengan mengaplikasikan ilmu yang didapatnya dengan mengikuti
kegiatan di luar bidang akademik, seperti mengikuti kegiatan dalam
organisasi.
Adanya pandangan dalam budaya patriarki seperti yang diungkapkan
Budiati (2010) bahwa perempuan tidak dituntut untuk menjadi pencari nafkah
utama, lebih banyak berperan pada sektor domestik dan sebagai pencari
nafkah tambahan apabila nanti dirinya bekerja, maka tuntutan akademik pada
mahasiswa perempuan dapat dikatakan tidak setinggi mahasiswa laki-laki. Hal
ini bisa jadi dipengaruhi oleh budaya yang melatarbelakanginya. Misalnya
pada budaya patriarki yang berkembang pada budaya Jawa jaman dahulu.
Pada budaya ini, terdapat anggapan bahwa perempuan tidak perlu
berpendidikan tinggi, perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak
perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga (dalam
Budiati, 2010). Oleh karena itu, hal ini menyebabkan para perempuan kurang
termotivasi dan usaha untuk memenuhi tuntutan akademiknya dapat dikatakan
hanya mengalir begitu saja.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat maksud secara implisit bahwa
setinggi apapun latar belakang pendidikan yang dimiliki perempuan, pada
akhirnya pekerjaannya akan kembali pada sektor domestik juga. Hasil lain
dari budaya patriarki yang mengatakan bahwa perempuan tidak terlalu
dituntut dalam hal mencari nafkah juga membuat para perempuan kurang
termotivasi untuk memenuhi tuntutan akademiknya. Mahasiswa perempuan
menjadi kurang bersemangat dan berpikir bahwa latar belakang pendidikan
atau nilai akademiknya tidak akan terlalu berguna nantinya karena tidak
memiliki tanggung jawab utama dalam mencari nafkah. Para mahasiswa
perempuan setidaknya merasa sedikit aman karena memiliki pola pikir bahwa
akan ada yang menjaminnya ketika hidup berkeluarga nantinya.
Pandangan tersebut pada akhirnya akan membuat kaum perempuan
pasrah dan terkadang berpikiran untuk menyelesaikan kewajiban
akademiknya dengan sekedar lulus tanpa prestasi yang menonjol. Dalam
menyelesaikan tugas akademiknya pun mereka menjadi kurang termotivasi
karena rendahnya tuntutan akademik. Mereka cenderung akan bersantai atau
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa sebagai sosok nomor satu dalam
budaya patriarki yang nantinya ketika berkeluarga memiliki tugas utama
untuk memimpin, mengatur, dan sebagai sumber ekonomi keluarga. maka,
mahasiswa laki-laki cenderung mempersiapkan diri agar nantinya benar-benar
mampu menjadi sosok seperti yang diharapkan masyarakat terhadap dirinya.
Mereka mulai mempersiapkan diri sejak dini dengan bertanggung jawab pada
tuntutan akademiknya agar memiliki bekal yang maksimal untuk bekerja dan
menafkahi keluarga. Salah satu cara yang dilakukannya adalah berusaha tidak
menunda-nunda ketika mengerjakan tugas agar mendapatkan hasil yang
maksimal. Sedangkan pada mahasiswa perempuan, mereka cenderung
menunda-nunda karena memiliki tuntutan akademik yang lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena nantinya mahasiswa
perempuan tidak dituntut untuk menjadi pencari nafkah yang utama dan lebih
berperan pada sektor domestik.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berasumsi bahwa mahasiswa
laki-laki akan memiliki tingkat prokrastinasi yang lebih rendah dibandingkan
dengan mahasiswa perempuan. Hal ini disebabkan karena mahasiswa laki-laki
memiliki tuntutan akademik yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Skema:
Budaya Patriarki
Perbedaan Peran Laki-laki dan Perempuan
Perbedaan Tuntutan Sosial Antara Laki-laki dan Perempuan
Cenderung Tidak Menunda
Usaha Untuk Memenuhi Tuntutan Lebih Rendah Usaha Untuk Memenuhi
Tuntutan Lebih Tinggi
Tuntutan Akademik Lebih Rendah
Tuntutan Akademik Lebih Tinggi
Pencari Nafkah Utama
Dipimpin dalam Keluarga Pemimpin dalam Keluarga
Peran Perempuan
Pencari Nafkah Tambahan Peran Laki-laki
Cenderung Menunda
D. HIPOTESIS
Bertolak dari penjelasan sebelumnya, maka peneliti memiliki hipotesis
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat prokrastinasi akademik
mahasiswa laki-laki dan perempuan, dimana mahasiswa laki-laki memiliki
tingkat prokrastinasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan
40 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif atau penelitian
perbandingan. Tujuan penelitian perbandingan yaitu untuk membandingkan
antara dua atau lebih kelompok dalam satu variabel (Purwanto, 2012).
Berdasarkan tujuan tersebut, peneliti ingin mengetahui perbedaan tingkat
prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki dan perempuan.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Pada penelitian ini, terdapat dua jenis variabel yang digunakan oleh
peneliti, yaitu:
1. Variabel bebas : Jenis Kelamin
2. Variabel tergantung : Prokrastinasi Akademik
C. Definisi Operasional
1. Variabel Tergantung
Prokrastinasi akademik adalah perilaku yang dilakukan secara
sengaja dan sukarela oleh individu yang bersangkutan dalam memulai