• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Perbedaan Persepsi Ibu terhadap Kelekatan Aman Anak

Marital Role Orangtua

Ibu yang berusia antara 20 tahun sampai 40 tahun tergolong wanita dewasa awal (Papalia et. al., 2008). Pada masa dewasa awal ini, kondisi fisik wanita mencapai puncak dari kemampuan fisik. Pada masa ini pula, banyak individu yang menggunakan daya fisik yang ada untuk mencapai kemandirian secara ekonomi dan bertanggung jawab pada keluarga (Santrock, 2002).

Terkait dengan tugas perkembangan wanita dewasa awal terdapat fenomena menarik yang terjadi saat ini. Fenomena yang terjadi saat ini ialah semakin meningkatnya peran wanita di segala bidang. Bukan hanya bagi wanita yang belum menikah, wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak pun kini semakin menunjukkan peran pentingnya di segala bidang termasuk di dalam keluarga. Meningkatkan wanita yang bekerja juga berdampak pada perubahan peran wanita dalam keluarga (Santrock, 2002).

Pergerakan kemajuan peran wanita membawa pada pergeseran peran wanita dalam perilaku peran gender. Ada tidaknya pergeseran peran gender antara pria dan wanita dalam keluarga dapat terlihat dari jenis aktivitas yang dilakukan oleh suami dan istri dalam rangka memenuhi kepentingan keluarga. Lemme (1995) menyatakan bahwa di dalam pernikahan terdapat marital role

yang merupakan pembagian tugas antara suami dan istri dalam pernikahan mereka. Marital role merupakan salah satu hal yang penting dalam keluarga sebab tanpa adanya pembagian tugas yang jelas pada masing-masing anggota keluarga, maka fungsi keluarga akan terganggu dan akan mempengaruhi sistem dalam keluarga.

Terdapat dua kategori utama dalam pernikahan yang diidentifikasi berdasarkan peran dan tugas pada pasangan dalam pernikahan yaitu

traditional marital role dan egalitarian marital role. Dalam traditional marital role pekerjaan dalam rumah tangga dibagi berdasarkan stereotipe yang ada, di mana istri merawat hal-hal di dalam rumah dan pengasuhan anak, sedangkan suami bekerja di luar rumah (Lemme, 1995). Pada

egalitarian marital role, peran gender fleksibel dan dapat dinegosiasikan (Altrocchi & Crosby, 1989). Egalitarian marital role mengacu pada hubungan suami istri yang lebih setara, di mana kekuatan dan otoritas dibagi bersama (Lemme, 1995).

Posada dan Pratt (2008) mengungkapkan bahwa karakteristik dari hubungan orangtua sebagai pasangan suami-istri dapat berpengaruh terhadap interaksi orangtua dan anaknya. Belsky (dalam Santrock, 2002) juga

menambahkan bahwa dalam keluarga, relasi perkawinan, pengasuhan, dan perilaku bayi dapat saling memiliki pengaruh secara langsung dan tidak langsung. Hubungan pernikahan antara suami dan istri merupakan pengaruh yang kuat terhadap fungsi ibu sebagai orangtua. Kualitas pengasuhan yang diberikan ibu tidak memberikan kenyamanan pada anak jika hubungan perkawinan antara suami dan istri tidak dapat berfungsi sebagai suatu sistem yang saling mendukung secara efektif (Posada & Pratt, 2008).

Interaksi antara ibu dan anak dalam proses pengasuhan akan menciptakan suatu ikatan emosional di antara keduanya. Berk (2006) menyatakan bahwa kelekatan adalah ikatan yang kuat dan penuh kasih sayang yang kita miliki dengan seseorang yang istimewa yang dapat memberikan perasaan senang ketika berinteraksi dengannya dan menjadi nyaman ketika berada dekat dengannya selama masa-masa yang penuh tekanan. Bowlby (dalam Hoffman et al., 2006) menjelaskan pula bahwa kelekatan yang terjalin antara orangtua dan anaknya bertujuan untuk melindungi anaknya dari bahaya dan untuk memberikan anak rasa aman dan nyaman pada anak.

Kualitas dan kuantitas pengasuhan ibu sangat berpengaruh terhadap kelekatan aman yang terbentuk antara anak dan ibu. Kualitas pengasuhan yang baik tampak dari gaya ibu dalam berinterikasi dengan anak dan responsivitas ibu terhadap anak. Menurut Ainsworth, Bell, dan Stayton (dalam Bukatko, 2008) gaya ibu dalam berinteraksi dengan anaknya serta responsivitas ibu pada sinyal yang disampaikan oleh anak akan berpengaruh terhadap pola kelekatan yang terbentuk antara ibu dan anak. Ibu yang lebih

sensitif kepada kebutuhan bayi yakni dapat membaca sinyal-sinyal yang disampaikan anak secara tepat, meresponnya dengan cepat serta sesuai kebutuhan anak, dan penuh kasih sayang dapat membangun hubungan kelekatan yang aman dengan bayinya (Wenar & Kerig, 2000).

Kuantitas pengasuhan ibu kepada anak tampak dari kesempatan yang dimiliki ibu untuk bersama dengan anak. Isabella dan Belsky (1991) ditemukan pula bahwa kuantitas kebersamaan ibu dan anak atau banyaknya jumlah waktu yang dihabiskan ibu bersama anak berhubungan dengan kelekatan yang terbentuk antara ibu dan anak.

Peran dan tugas ibu pada masing-masing tipe marital role dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu dalam kehidupan ibu. Bagi ibu dalam traditional marital role fokus ibu hanya pada hal-hal domestik, yakni pekerjaan dalam rumah tangga dan pengasuhan anak. Hal tersebut menyebabkan ibu dapat lebih banyak mencurahkan energi dan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan di rumah dan kegiatan pemenuhan kebutuhan anak tanpa terganggu oleh kegiatan lain, misalnya kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan di luar rumah (Roeters, Lippe, & Kluwer, 2010). Selain itu, fokus pekerjaan wanita pun jelas, yakni hanya berorientasi pada tugas-tugas domestik tanpa harus memikirkan pekerjaan di luar rumah. Keadaan tersebut menyebabkan wanita dalam traditional marital role tidak mengalami konflik peran sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja. Ibu dalam traditional marital role juga lebih memiliki banyak waktu di rumah dan bersama keluarga (Roeters, Lippe, & Kluwer, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh

Mc Bride & Mills (dalam Renk et. al., 2003) ditemukan bahwa ibu yang menghabiskan banyak waktu bersama anak memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi langsung dengan anak, dapat tersedia jika anak membutuhkan, dan lebih bertanggung jawab pada anak. Hal ini didukung oleh pendapat Perry-Jenkins dan Crouter (dalam Renk et. al., 2003) yakni ibu yang banyak menghabiskan waktu di rumah dapat lebih terlibat dalam perkembangan anaknya. Keadaan-keadaan yang dirasakan ibu akibat dari peran dan tugasnya dalam penerapan traditional marital role di atas, diduga akan berpengaruh positif terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan ibu terhadap anaknya.

Kelemahan dari traditional marital role ialah tidak adanya dukungan suami dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Ehrenberg, Gearing-Small, Hunter, dan Small (2001) menghasilkan temuan bahwa dukungan suami dalam hal pengasuhan anak berasosiasi dengan tindakan pemeliharaan anak yang lebih positif dan responsif bagi istri maupun suami terhadap anak. Banyaknya pekerjaan dalam rumah tangga yang harus dikerjakan menyebabkan istri memandang tugas ini membuat mereka kurang santai dan lebih menekan. Dengan demikian, pada

traditional marital role, tidak adanya dukungan suami pada pekerjaan dalam rumah tangga dapat berasosiasi dengan kecenderungan pada ibu untuk mempersepsi negatif kegiatan pengasuhan anak sehingga akan muncul tindakan pemeliharaan anak yang lebih negatif dan tidak responsif (Ehrenberg et. al., 2001). Kelemahan lain pada traditional marital role adalah adanya

tuntutan bagi istri untuk taat pada keputusan yang diambil oleh suaminya tanpa ada kompromi. Hal ini menyebabkan meskipun istri bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, istri tidak memiliki kekuatan dan otoritas terhadap pengambilan keputusan-keputusan penting tentang hal tersebut. Tidak adanya kombinasi kekuatan antara suami dan istri dalam hal perkembangan anak dapat menghambat perkembangan anak yang lebih sempurna (Ehrenberg et. al., 2001). Keadaan-keadaan yang dirasakan ibu akibat dari peran dan tugasnya dalam penerapan traditional marital role di atas, diduga akan berpengaruh negatif terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan ibu terhadap anaknya. Dan keterkaitan tersebut, diduga akan berpengaruh pula terhadap kelekatan aman yang terbentuk antara anak dan ibu yang menerapkan traditional marital role.

Di sisi lain, peran dan tugas ibu dalam egalitarian marital role

berbeda dengan traditional marital role. Ibu dalam egalitarian marital role

tidak hanya terfokus pada pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Fokus ibu juga terbagi lagi kepada hal-hal yang berhubungan dengan mencari nafkah, pengambilan keputusan keluarga, dll. Hal tersebut membawa dampak pada terbaginya energi dan perhatian ibu untuk hal-hal lain di luar bidang domestik. Terbaginya energi dan perhatian ini menimbulkan adanya keterbatasan energi dan perhatian untuk rumah dan pemenuhan kebutuhan anak (Roeters, Lippe, & Kluwer, 2010). Pada ibu yang bekerja, konflik peran terjadi karena munculnya perasaan bersalah jauh dari anaknya dan kecemasan yang muncul terhadap perhatian dan pemenuhan kebutuhan anak selama ibu

bekerja (Santrock, 2002). Wanita yang berusaha untuk secara sempurna menjalankan peran gandanya menjadi seorang ibu dan sebagai pekerja dapat meningkatkan stress, ketidakpuasan dalam pengasuhan anak, dan kesulitan dalam berhubungan dengan anak (Renk et. al., 2003). Keadaan lain yang muncul bagi ibu dalam egalitarian marital role ialah ibu menghabiskan lebih sedikit waktu dalam pekerjaan rumah tangga daripada ibu pada tipe

traditional marital role. Selain itu, kurangnya waktu ibu bersama anak dan kurangnya tanggung jawab ibu pada anak dapat menjadi kelemahan pada ibu dalam egalitarian marital role. Huston dan Aronson (dalam Roeters, Lippe, & Kluwer, 2010) menyatakan bahwa wanita yang memiliki waktu yang sedikit dengan anak dapat mengurangi kualitas hubungan antara anak dan ibu. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan waktu untuk berinteraksi langsung dengan anak, tidak selalu tersedianya ibu jika anak membutuhkan, dan kurangnya tanggung jawab pada anak. Keadaan-keadaan yang dirasakan ibu akibat dari peran dan tugasnya dalam penerapan egalitarian marital role

di atas dapat menjadi kelemahan ibu dalam proses pengasuhan dan diduga akan berpengaruh negatif terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan ibu terhadap anaknya.

Kesetaraan peran dan tugas antara suami dan istri dalam egalitarian marital role membawa dampak pada meningkatkan kontribusi suami pada pekerjaan dalam rumah tangga maupun pengasuhan anak (Cheal, 2000). Wanita dalam tipe egalitarian marital role ini menjadi tidak tertekan dan sedikit kemungkinan stres dalam kehidupan karena berbagi tanggung jawab

secara imbang dalam hal pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak (Vijver, 2007). Dukungan suami dalam hal pengasuhan anak berasosiasi dengan tindakan pemeliharaan anak yang lebih positif dan responsif bagi istri maupun suami terhadap anak (Ehrenberg et, al., 2001). Pada egalitarian marital role terdapat pula kesetaraan dalam hal kekuatan dan otoritas dalam keluarga. Saling melengkapi dan kombinasi antara kekuatan suami dan istri dalam keluarga dapat mendorong perkembangan anak yang lebih sempurna (Ehrenberg et. al., 2001). Keadaan-keadaan yang dirasakan ibu akibat dari peran dan tugasnya dalam penerapan egalitarian marital role di atas, diduga akan berpengaruh positif terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan ibu terhadap anaknya. Dan keterkaitan tersebut, diduga akan berpengaruh pula terhadap kelekatan aman yang terbentuk antara anak dan ibu yang menerapkan egalitarian marital role.

Pola kelekatan aman yang ditunjukkan anak dapat dipersepsi oleh ibu yang merupakan sosok yang berkontribusi pula dalam pola kelekatan anak. Menurut Young (dalam Kuswana, 2011) persepsi adalah aktivitas mengindera, menginterpretasikan, dan memberikan penilaian kepada objek fisik maupun objek sosial. Anak menunjukkan pola kelekatan tertentu dengan ibu, maka melalui seperangkat proses mental terhadap stimuli dari anak, ibu dapat memberikan penilaian terhadap kelekatan aman anak. Ibu dapat menjadi informan atau observer yang baik, sebab melalui ibu dapat dikumpulkan informasi mengenai perilaku anak (Posada et. al., 1995).

Dokumen terkait