• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MA No. 46 K/Pdt/2006

D. Perbuatan Melawan Hukum

Undang-undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang jadi suatu perbuatan melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian, yaitu setiap tindakan atau kelalaian yang :

1. Melanggar hak orang lain,

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri,

3. Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik) dan 4. Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri

dan benda orang seseorang dalam pergaulan hidup.173

”Selain itu, sedikitnya harus ada kesalahan yang mendasari perbuatan tersebut dan antara tindakan tak wajar atau kelalaian, dan kerugian yang terjadi harus terdapat hubungan sebab akibat yang jelas”.174

Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 mengenai Arrest Lindeboum melawan Cohen adalah mencakup pengertian : berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain dan bertentang dengan kewajiban hukum sendiri atau kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain. Ini berarti, kesalahan diartikan secara luas, meliputi: kesengajaan, kelalaian dan kurang hati-hati.175

a. Pasien harus mengalami suatu kerugian.

Untuk perbuatan melawan hukum Gugatan dapat diajukan jika terdapat fakta-fakta yang berwujud suatu perbuatan melawan hukum, walaupun diantara pihak tidak terdapat suatu perjanjian. untuk mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, harus dipenuhi empat syarat sebagaimana diatur Pasal 1365 KUHPerdata. b. Ada kesalahan.

c. Ada hubungan kasual antara kesalahan dengan kerugian. d. Perbuatan itu melawan hukum.176

Ciri khas gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat dilihat dari model pertanggung jawaban yang diterapkan yaitu : pertanggung jawaban karena

173

Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 271.

174 Ibid.

175 Ibid.

kesalahan (fault liability) yang bertumpu pada tiga asas sebagaimana diatur oleh Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata.

a. Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.

b. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatiannya.

c. Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.177

Bertitik tolak pada ketiga prinsip ini, dapat disimpulkan bahwa kesalahan berdasarkan perbuatan melanggar hukum melahirkan pertanggungjawaban hukum, baik terhadap perbuatannya sendiri maupun terhadap perbuatannya sendiri maupun terhadap perbuatan orang yang berada di bawah tanggung jawab dan pengawasannya178

177 Ibid. hal. 66-67.

178 Ibid.

BAB V

KESIMPULAN dan SARAN

A. Kesimpulan

1. Aspek hukum yang terkandung di dalam informed consent, khususnya dalam aspek hukum perdata

Dalam Hukum Perdata ada 2 kategori, yaitu perikatan berdasarkan upaya/usaha yang maksimal (inspanningsverbintenis) dan perjanjian berdasarkan hasil (resulttaatverbintenis). Perjanjian/persetujuan antara dokter dan pasiennya dalam kaitannya dalam informed consent termasuk dalam kategori inspanningsverbintenis.

Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang ada di dalam KUHPerdata Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:

a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan. b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.

c. Adanya suatu hal tertentu yang dijadikan perjanjian.

d. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.

Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak (antara petugas kesehatan dan pasien), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Bahwa suatu pernyataan persetujuan adalah sah, jika sebelumnya diberikan informasi yang cukup terlebih dahulu (voldoende informatie). Jadi, perjanjian menjadi tidak sah jika dokter tidak memberikan informasi sebelumnya, atau informasi yang diberikan tidak cukup dipahami oleh pasien. Dapat disebut wanprestasi apabila salah satu pihak tidak melakukan, terlambat melakukan, salah melakukan ataupun melakukan apa yang tidak boleh dilakukan menurut/sesuai perjanjian. Dapat juga dikatakan melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jika tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat. Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter harus menghormatinya, dan juga dikarenakan di dalam Hukum perdata menganut prinsip “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan gantin rugi”.

Kemungkinan tindak perdata medis berdasarkan KUHPerdata, antara lain : wanprestasi (Pasal 1239), perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365), melalaikan kewajiban (Pasal 1367), dan kelalaian yang mengakibatkan kerugian (Pasal 1366).

2. Pengaturan hukum terhadap informed consent, khususnya dalam PERMENKES No 290 tahun 2008

Ketentuan mengenai informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran) diatur dalam PERMENKES No 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang terdiri atas 8 Bab dan 21 pasal yang menggantikan/mencabut ketentuan PERMENKES No 585/ MENKES/ PER/ IX/ 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dimana di dalam PERMENKES No 290/MENKES/PER/III/2008 tersebut, mencakup tentang segala hal mengenai informed consent yang meliputi : a. Pengertian informed consent (Persetujuan Tindakan Medik/Kedokteran) b. Bentuk Persetujuan Tindakan Medik/Kedokteran (informed consent) c. Yang berhak memberikan persetujuan

d. Penjelasan tentang tindakan kedokteran/medik

e. Ketentuan pada situasi khusus dan Situasi/keadaan darurat dimana tidak diperlukannya informed consent

f. Penolakan tindakan kedokteran dan Pembatalan atau penarikan informed consent g. Tanggung jawab pelaksaan tindakan kedokteran

i. Ketentuan penutup tentang pencabutan PERMENKES No 585/ MENKES/ PER/ IX/ 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. dan lain-lain.

3. Sikap pengadilan terhadap informed consent yang dilihat dari putusan pengadilan, khususnya pada putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006

Adanya kekeliruan dalam pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa tidak diberikannya salinan rekam medis bukanlah suatu tindakan melawan hukum padahal hal tersebut jelas menyalahi peraturan perundang-undangan terutama Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 13 Peraturan Menkes RI No. 269A/MENKES/PER/III/2008, tentang Rekam Medis. Serta mengabaikan rekam medis sebagai bukti yang adekuat yang sebenarnya bisa membuktikan apakah tuntutan pihak pasien/penggugat terbukti atau tidak.

B. Saran

1. Dengan adanya informed consent dalam perjanjian terapeutik dokter diharapkan untuk menghormati hak pasien yaitu, hak atas informasi serta hak untuk memberikan persetujuan maupun hak untuk menentukan nasib sendiri. Sehingga di dalam melakukan upaya/tindakan kedokteran/medis dokter harus atau berkewajiban memberikan penjelasan atau informasi mengenai keadaan kesehatan pasien dan upaya yang akan dilakukan oleh dokter untuk menolong diri pasien tersebut baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien.

2. Kepada pasien agar lebih memahami bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien itu merupakan aspek hukum perikatan berupa inspanningsverbintenis,

yang berupa upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter secara hati-hati dan penuh ketegangan berdasarkan pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Jadi, bukan berupa atau menjanjikan suatu hasil yang pasti seperti halnya perikatan resulttaatverbintenis.

3. Bahwa dengan adanya informed consent maka kedua belah pihak (dokter dan pasien) memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 50-53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Sehingga diharapkan bagi kedua belah pihak tersebut mampu menjalankan hak dan kewajibannya secara selaras dan seimbang.

4. Bahwa penggunaan dan penandatanganan formulir informed consent, tidak mengenyampingkan pentingnya komunikasi dalam pelayanan medis, dan tidak dimaksudkan untuk menghindarkan tanggung jawab selaku profesional karena sesungguhnya formulir tersebut tidak membuat dokter kebal akan tuntutan hukum jika nantinya terbukti terdapat kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan kedokteran/medis tersebut atau tidak sesuai dengan prosedur atau standar medis dalam melakukan tindakan tersebut yang menyebabkan kerugian bagi diri pasien. Sehingga dokter tetap harus bekerja sesuai dengan standar medis. 5. Untuk dapat mengurangi sengketa medis antara dokter dan pasien, keduanya

diharapkan saling mengerti dan memahami kedudukan masing-masing pihak dalam hubungannya di dalam pelayanan medis seperti dokter diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan pasien yaitu perawatan yang informatif, manusiawi, dan bermutu sesuai dengan standar profesi dan

menggunakan bahasa yang sederhana (jangan menggunakan istilah kedokteran) agar mudah dimengerti oleh pasien yang awam terhadap profesi dokter sedangkan untuk pasien sendiri diharapkan mengikuti perintah atau saran dari dokter demi kesehatannya seperti harus minum obat, harus istirahat atau olahraga maupun diet. Sehingga akan berdampak positif dengan terwujudnya iklim hubungan dokter-pasien yang harmonis.

6. Penyelesaian sengketa medis antara dokter dan pasien lebih diutamakan melalui jalan mediasi dan penyelesaian melalui pengadilan merupakan jalan yang terakhir.

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Achadiat, Chrisdiono M. Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, Cet. 1, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2006.

Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997. Astuti, Endang Kusuma. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di

Rumah Sakit, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPERDATA Buku III, Alumni, Bandung, 2006. Dahlan, Sofwan. Hukum Kesehatan, Rambu-Ranbu bagi Profesi Dokter, BP Undip,

Semarang, 2000.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Gunandi, J. Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1993.

HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2003.

---.Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Koeswadji, Hermein Hadiati. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Komalawati, Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

---.Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989.

Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.

Mertokusumo, Sudikno. Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1992.

Nasution, Bahder Johan. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Ohoiwutun,Y.A. Triana. Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia, Malang, 2007.

Pairik, Purwahid. Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994. Purwohadiwardoyo, Al. Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989.

Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009.

Rahardjo, Juni. Hukum Administrasi Indonesia Pengetahuan Dasar, Atma Jaya, Yogyakarta, 1995.

Satrio, J. Hukum Perjanjian, Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1992.

---.Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Soekanto, Soerjono dan Herkutanto. Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Bandung, 1987.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Subekti, R. Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987.

Supriadi, Wila Chandrawila. Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001. Ta’adi, Ns. Hukum Kesehatan pengantar Menuju Perawat Profesional, Cet. 1, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 2009.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 269A/MENKES/PER/III/2008, tentang Rekam Medis.

III. SITUS INTERNET

diakses pada tanggal 23 Februari 2011.

Februari 2011.

pada tanggal 23 Februari 2011.

Dokumen terkait