• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM

B. Perjanjian Terapeutik

5. Syarat sahnya perjanjian terapeutik

Di dalam suatu kontrak terapeutik secara yuridis terdapat 2 (dua) kelompok subjek-subjek yang dinamakan :

1) Pemberi pelayanan kesehatan (health provider),

Umumnya yang diartikan dengan ”pemberi pelayanan kesehatan” adalah semua tenaga kesehatan (tenaga medis, para-medis perawatan dan tenaga kesehatan lainnya) yang terlibat secara langsung dalam pemberian jasa perawatan dan pengobatan (cure and care). Termasuk juga sarana-sarana kesehatan, seperti : rumah sakit, rumah bersalin, klinik-klinik serta badan atau kelompok lain yang memberi jasa tersebut. 2) Penerima pelayanan kesehatan (health receiver).

Setiap orang yang datang ke rumah sakit untuk menjalani prosedur tindakan medik tertentu, lazim disebut sebagai ”pasien”, walaupun ia sebenarnya atau mungkin tidak sakit dalam arti umum. Atas dasar penafsiran itu, maka dapat dibedakan antara : a) Pasien dalam arti yang benar-benar sakit, sehingga secara yuridis ada perjanjian

terapeutik dengan dokter/rumah sakit,

b) Pasien yang sebenarnya ”tidak sakit” dan datang ke rumah sakit/dokter hanya untuk :

(1) Menjalankan pemeriksaan kesehatan (untuk keuring, general check-up, asuransi),

(2) Menjadi donor darah,

(3) Menjadi peserta Keluarga Berencana86.

5. Syarat sahnya perjanjian terapeutik

Mengenai syarat sahnya perjanjian terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu sebagai berikut 87

85 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 52-54.

86 J. Gunandi, op. cit. hal. 34.

87 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 155.

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya (Toestemming van Degene Die Zich Verbinden)

Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan ialah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Sepakat ini dilihat dari rumusan aslinya, berbunyi persetujuan (toestemming) dari mereka yang mengikatkan dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian, minimal harus ada dua subjek hukum yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua subjek hukum itu saling sepakat, dalam arti kehendak dari pihak yang satu mengisi kehendak yang lainnya secara bertimbal balik. Dengan demikian, agar kehendak itu saling bertemu, maka harus dinyatakan.

Adapun cara menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Karena itu, yang dimaksud dengan sepakat sebenarnya adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian, didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disyaratkan adanya persesuaian pernyataan kehendak dari kedua belah pihak.

Saat terjadinya perjanjian terapeutik jika dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dan pasien, yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Antara pasien dan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang objeknya adalah upaya penyembuhan. Apabila kesembuhan adalah tujuan utama, akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan, baik penyakit maupun daya tahan

tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.

b. Kecakapan untuk Membuat Perikatan (Bekwaamheid Om Eene Verbintenis Aan Te Gaan)

Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan (ketentuan sudah dicabut dengan keluarnya SEMA No 3 Tahun 1963), dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu.

Didasarkan kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan demikian, berarti ketidakwenangan hanya mengahalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu dan orang yang dinyatakan tidak wenang adalah orang yang secara umum tidak cakap untuk bertindak. Dengan perkataan lain, orang yang tidak cakap

untuk bertindak adalah orang yang tidak mempunyai wewenang hukum karena orang yang wenang hukum adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak, tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu secara sah.

Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri atas orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, dan anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.

c. Suatu Hal Tertentu (Een Bepaald Onderwerp)

Di dalam Pasal 1333 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, ayat (1). Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung, ayat (2).

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Kata barang dari objek perjanjian tersebut diatas merupakan terjemahan kata zaak. Akan tetapi, kata zaak itu berarti urusan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan objeknya harus dapat ditentukan adalah urusan tersebut harus dapat ditentukan atau dijelaskan.

Dihubungkan dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya

diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan medis.

Ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan upaya medis sesuai dengan standar pelayanan medis yang meliputi standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang dan masalah informasi yang diberikan harus tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien.

Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan dengan objek perjanjian/transaksi terapeutik ialah upaya penyembuhan. Oleh karenanya, objeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung pada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya, daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit, dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.

d. Suatu Sebab yang Sah (Geoorloofde Oorzaak)

Hal ini oleh undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu perjanjian dengan suatu sebab yang sah, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang.

Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya.

Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran dengan alasan yang dilarang oleh undang-undang merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan terhadap penderita dengan tujuan penelitian terapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang sah.

Dokumen terkait