• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM

B. Perjanjian Terapeutik

6. Pola hubungan dalam perjanjian terapeutik

”Hubungan antara dokter dan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya”88

88 Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Cet. 1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 97.

. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter.

”Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti hubungan antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan Hubungan yang bersifat paternalistik”89

Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat, yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya ditangan dokter

.

90

Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit dan dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan (hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien

.

91

Sebaliknya, berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungan paternalistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ”bapak yang baik”, yang secara cermat, hati-hati, dan penuh ketegangan dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya yang diperoleh melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkannya pada awal ia memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang

.

89

Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana

Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 36. 90 Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 98.

mengikatnya berdasarkan kepercayaan pasien yang datang padanya itu karena dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya92

Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya, dapat juga timbul dampak negatif jika tindakan doker yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual

.

93

Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat ”inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjadi sesuatu (kesembuhan atau kematian) karena objek dari hubungan hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh ketegangan oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam kepustakaan disebut sebagai met zorg inspanning, oleh karenanya merupakan inspanningsverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu resultatverbintenis yang menjanjikan suatu hasil yang pasti

.

94

”Szasz dan Hollender mengemukakan beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter, yang masing-masing didasarkan atas suatu prototipe hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, hubungan antar orang dewasa”

.

95

a. Pola Hubungan Aktif-pasif

.

Secara historis, hubungan ini sudah dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, yaitu sejak zaman Hippocrates, 25 abad yang lalu. Secara sosial, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang sempurna 92 Ibid. hal. 98-99. 93 Ibid. hal. 99. 94 Ibid. 95 Ibid. hal. 100.

karena hubungan ini berdasar atas kegiatan seorang (dokter) terhadap orang lain (pasien) sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran secara aktif. Dalam keadaan tertentu, memang pasien tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berlaku sebagai recipien atau penerima belaka, seperti pada waktu pasien diberi anestesi atau narkose, atau ketika pasien dalam keadaan tidak sadar/koma, dan pada waktu pasien diberi pertolongan darurat karena mengalami kecelakaan.

Dalam hubungan hukum tersebut, pasien sekedar menjadi penerima pelayanan, tidak dapat memberikan respons dan tidak dapat menjalankan suatu peran. Prototipe hubungan aktif-pasif ini dapat dilihat pada hubungan orang tua dengan anaknya yang masih kecil, yang hanya menerima semua hal yang dilakukan orang tua terhadapnya. Anak tidak dapat memberikan respons atau peran aktif sehingga seluruh hubungan hanya bergantung kepada orang tua.

Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan peran dari pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Contoh kasus tersebut sama sekali tidak dibutuhkan sumbangan peran pasien yang dapat mempengaruhi operasi. Sama halnya pada waktu pasien tertimpa kecelakaan, menderita pendarahan berat, dan menjadi tidak sadar sehingga pasien sama sekali tidak mampu berperan dalam hubungan dengan dokter.

Pola dasar hubungan aktif-pasif menempatkan dokter pada pihak yang sepenuhnya berkuasa. Menurut Jones dan Marmor, hubungan ini memberikan kepada dokter suatu perasaan superior dan menjadikan dokter menguasai seluruh keadaan. Dalam penelitiannya masing-masing, ditemukan bahwa para dokter tidak lagi mengidentifikasi pasien sebagai manusia, tetapi hanya sebagai benda biomedis, yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak.

Dalam hubungan ini, dokter dapat sepenuhnya menerapkan keahliannya berdasarkan pengetahuannya tanpa dihalangi oleh peran pasien sebab pasien dalam keadaan koma atau tidak sadar. Hal ini semata-mata dilakukan karena terdorong oleh keinginan untuk menolong orang yang sedang menderita. Bahkan, oleh John (seorang ahli sosiologi) dikatakan bahwa dokter adalah the God complex. Namun, dilihat dari segi tanggung jawabnya, dokter dapat dikatakan bertanggung jawab tunggal terhadap risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tindakannya96

b. Pola Hubungan Membimbing dan Bekerja Sama

.

Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter, yakni jika keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap

sadar dan memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut menderita penyakit dan disertai kecemasan dan berbagai perasaan tidak enak, ia mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama dengan orang yang mengobatinya. Demikian pula, seorang dokter mempunyai pengetahuan kedokteran yang melebihi pengetahuan pasien. Namun, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dokter, melaksanakan diet, melakukan sesuatu, atau berpantang melakukan sesuatu.

Hubungan tersebut serupa dengan hubungan orang tua dan remaja. Orang tua memberi nasihat dan membimbing, sedangkan anak yang sudah remaja itu akan bekerja sama dan mengikuti nasihat dan bimbingan orang tuanya. Dalam hubungan membimbing dan bekerja sama, dokter berperan memberikan nasihat dan bimbingan kepada pasien dan peran pasien dalam bentuk kerja sama tersebut adalah melaksanakan apa yang diharapkan oleh dokter. Jadi, disini dokter tidak menganggap pasien sebagai benda biomedis belaka, tetapi bahwa pasien itu mempunyai potensi yang dapat diajak untuk bekerja sama dalam upaya penyembuhan penyakitnya97 c. Pola Hubungan Saling Berperan Serta

.

Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasarkan pada struktur sosial yang demokratis.

Secara psikologis, pola hubungan berperan serta saling bergantung berlandaskan proses identifikasi atau pengenalan yang amat kompleks. Kedua pihak ini harus terbuka satu sama lain dan memandang pihak lawan sebagai diri sendiri, agar bersama-sama dapat mempertahankan hubungan yang serasi dan sederajat. Dalam hubungan ini, kedua belah pihak memiliki kekuasaan yang hampir sama dan saling membutuhkan, setidak-tidaknya saling bergantung. Kegiatan bersama itu harus menimbulkan kepuasan bersama. Jika ketiga hal ini terdapat dalam suatu hubungan, berarti hubungan tersebut merupakan hubungan yang berpola saling berperan serta.

Pola hubungan ini dapat terjadi antara dokter dan pasien yang ingin memelihara kesehatannya, yakni pada waktu pemeriksaan medis (medical check up), misalnya, atau dengan pasien berpenyakit menahun (kronis), seperti penyakit gula, penyakit jantung koroner, penyakit artritis, dan sebagainya. Dalam hubungan semacam ini, pasien dapat menceritakan pengalamannya sendiri berkaitan dengan penyakitnya dan dapat membantu dokter secara aktif dalam menetapkan situasi sebenarnya, dan

memberikan nasihat dan pengobatan yang tepat. Di samping itu, hampir seluruh rencana pengobatan terletak di tangan pasien sendiri, misalnya : minum obat atau tidak, menjalankan diet atau tidak, berpantang sesuatu atau tidak, memeriksa kembali pada waktu yang ia tentukan sendiri, mengulangi pembelian resep atau tidak, dan sebagainya. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya.

Secara psikologis, pola saling berperan serta ini sudah berkembang sangat tinggi karena menyangkut pengaturan suatu mekanisme sosial yang melibatkan dua manusia sebagai orang (person) yang bekerja sama dengan menjalankan dua peran yang berbeda. Hubungan ini juga dilakukan oleh pasien yang mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial yang cukup tinggi. Hubungan semacam ini tidak dapat diterapkan pasien golongan bawah, pasien anak, atau pasien dengan gangguan mental.

Pola hubungan untuk saling berperan serta dan bekerja sama baru memasuki ilmu kedokteran setelah berbagai ilmu sosial dan perilaku ikut mempengaruhi ilmu kedokteran, terutama pada ilmu kedokteran masyarakat.

Dari ketiga pola ini, yang terpenting adalah terciptanya rasa puas diantara kedua pihak, baik dari dokter maupun pasiennya. Dokter merasa puas dalam menjalankan perannya menyembuhkan penyakit penderita dan pasien merasa puas atas nasihat dan tindakan dari dokter yang merawatnya98

7. Terjadinya perjanjian terapeutik .

”Transaksi/perjanjian terapeutik antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktik dokter, sebagaimana yang diduga banyak orang”99

98 Ibid. hal. 104-105.

99 Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, Rambu-Ranbu bagi Profesi Dokter, BP Undip, Semarang, 2000, hal. 32-33.

, tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya, dan

Dokumen terkait