• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROSEDUR PERCERAIAN MENURUT KOMPILASI HUKUM

B. Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

c. Atas putusan Pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari suami atau istri maksudnya adalah apabila salah seorang dari kedua suami istri itu meninggal dunia, maka perkawinannya putus karena adanya kematian tersebut. Atau perkawinan terhapus jikalau salah satu pihak meninggal.79

Putusnya perkawinan karena perceraian antara suami istri maksudnya apabila suami istri itu bercerai, maka perkawinannya putus karena adanya perceraian tersebut. Sedangkan putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan dapat terjadi karena pembatalan perkawinan, dengan demikian perkawinan itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam Undang yaitu Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Syarat-syarat yang

79Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Penerbit PT. Intermasa,Jakarta , 1996, hal. 42.

tidak dapat dipenuhi dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan, sebagaimana tersebut dalam Pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pengertian perceraian tidak dijumpai sama sekali dalam Undang-Undang Perkawinan begitu pula dalam penjelasan serta peraturan pelaksananya. Namun, meskipun tidak terdapat pengertian secara otentik tentang perceraian, tidak berarti perceraian tidak diatur sama sekali di dalam Undang-Undang Perkawinan. bahkan yang terjadi justru sebaliknya, pengaturan masalah perceraian diatur dengan jelas dan terperinci. Hal ini lebih jelas lagi dilihat pada peraturan pelaksananya.

Beberapa sarjana juga memberikan rumusan atau definisi dari perceraian itu sendiri, antara lain :

a. Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.80 b. Menurut R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin,

perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang di dalamnya tidak terdapat peselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari istri untuk pemutusan perkawinan. perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan istri.81

80Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 1985, hal. 23

81R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, Hukum Orang Dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986, hal. 109

c. Menurut P.N.H. Simanjuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.82

2. Alasan Perceraian

Alasan perceraian di sini adalah suatu kondisi di mana suami atau istri mempergunakanya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka. Di Indonesia dalam hal masalah perceraian telah diatur dalam rangkaian Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepatutnya harus mentaati dan menjalankan peraturan yang ada.

Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-alasan. Sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan Pasal 39 ayat 2 undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.” Di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi kerana alasan-alasan yang diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor:1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

82P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Pustaka Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 53

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan melihat ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian seperti tersebut di atas, di samping itu adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka pada asasnya walaupun perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat. Jadi pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian hal ini adalah sesuai dengan tujuan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan itu pada dasarnya adalah untuk selamalamanya.83

83Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Cetakan Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 129.

3. Bentuk dan Jenis Perceraian

Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan beberapa sebab, yakni karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.84 Kematian sebagai penyebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian, Undang-Undangn Perkawinan memberikan aturan yang telah baku dan terperinci. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu lama. Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu.85

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 hanya memuat pengertian perceraian, yang terdiri dari cerai talak dan cerai gugat.

Iniberarti bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih lanjut macam-macam perceraian itu justru lebih banyak pengaturan hukumnya.

Namun demikian, macam-macam perceraian yang berakibat hukum putusnya perkawinan itu tetap dapat bermuara pada cerai talak dan cerai gugat serta alasan-alasan hukum perceraiannya yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975.86

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengenal 2 jenis gugatan perceraian, yakni :

84Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Badan Peradilan Agama RI, Jakarta, 2001, hal. 140.

85Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal. 291.

86Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 116

a. Cerai Talak

Cerai talak adalah cerai khusus bagi yang beragama Islam, di mana suami (pemohon) mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk memperoleh izin menjatuhkan talak kepada istri, berdasarkan agama Islam, cerai dapat dilakukan oleh suami dengan mengikrarkan talak kepada istri, namun agar sah secara hukum suami mengajukan permohonan menjatuhkan ikrar talak terhadap permohonan di hadapan pengadilan agama.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 66 yang menyatakan bahwa seorang suami yang beragam Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.87

Pemeriksaan perkara cerai talak bukan hanya sekedar persidangan guna menyaksikan ikrar talak, akan tetapi hak suami dalam menjatuhkan talak sebagian besar beralih ke tangan pengadilan. Boleh atau tidaknya suami menjatuhkan talak kepada istri, bergantung kepada penilaian dan pertimbangan majelis hakim setelah mendengarkan pendapat dari bantahan istri.88

Walaupun Undang-Undang menentukan sifat perkara cerai talak berupa

„permohonan‟ yang identik dengan gugat volunteer yang murnipada umumnya.

Gugat volunteer yang murni adalah sepihak, hanya pemohon saja. Pihak lain yang disebut hanya sebagai obyek, tidak berdiri sebagai subyek. Oleh karena itu, perkara cerai talak pada dasarnya tidak berbeda dengan gugat contentiosa pada

87Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Penerbit Pustaka Pelajar,Jakarta,2003, hal. 206.

88M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Jakarta, Sinar Grafika, 2001, hal. 216.

umumnya atau gugat sengketa.Istri sebagai termohon berdiri dan berkedudukan sebagai pihak dansubyek perdata. Istri memiliki hak penuh untuk membela kepentingannya dalam proses persidangan yang bersifat contradictoir, istri berhak mengajukan duplik, alat-alat bukti dan bahkan mengajukan upaya banding.89

b. Gugatan Perceraian atau cerai Gugat

Cerai Gugat yaitu gugatan cerai yang diajukan oleh istri (penggugat) terhadap suami (tergugat) kepada pengadilan agama dan berlaku pula pengajuan gugatan terhadap suami oleh istri yang beragama non Islam di pengadilan negeri.

Hal ini tercantum dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat keadilan penggugat, kecuali pernggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin penggugat.90 Mengenai gugatan perceraian atau cerai gugat, hal ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

e. Prosedur Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Penjelasan mengenai tata cara perceraian yang sesuai dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tertulis lengkap dalam PP No. 9 Tahun 1975 dalam Bab V Pasal 14-36 sebagai pelaksanaannya. Pada Pasal 39 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang kemudian dalam penjelasan Pasal 18 PP No. 9

89Ibid.

90Lihat Pasal 73, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Tahun 1975 disebutkan secara garis besar tentang tata cara perceraian, diantaranya:

1. Perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 memuat ketentutan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Sehubungan dengan Pasal itu, bahwa walaupun perceraian adalah unsur pribadi, baik itu atas kehendak satu di antara dua pihak yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihk suami (karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga pengadilan.91

Peraturan perundangan perceraian secara sah ketika perceraian itudinyatakan di depan sidang Pengadilan. Oleh karena itu perceraian yang di lakukan di luar Pengadilan dianggap tidak pernah ada, sehingga akibat hukum yang terjadi setelah itu tidak dilindungi dan tidak dijamin oleh negara, karena

91Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, PT Rambang Palembang,Palembang, 2006, hal. 110-111.

persitiwa perceraian yang demikian tidak memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah).

Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Undang-Undang Peradilan Agama selanjutnya disingkat UUPA Pasal 65 jo. Pasal 115 KHI).

Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan istri).92 Oleh karena perceraian yang diakui secara hukum adalah yang dilakukan di depan sidang pengadilan, maka perceraian yang dilakukan secara liar atau di luar pengadilan, dinilai tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh sebab itu, perceraian yang demikian tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkawinan. Antara suami istri tersebut secara hukum masih terikat dalam sebuah perkawinan, keduanya dapat hidup bersama sebagai suami istri karena hak dan kewajiban masing-masing masih tetap berjalan sampai adanya putusan pengadilan yang menceraikan mereka.

Tata cara perceraian yang didasarkan atas talak suami terhadap istrinya sesuai ketentuan KHI adalah sebagai berikut:

a. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya, terlebih dulu mengajukan permohonan secara lisan maupun tertulis kepada Pengadilan

92Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 114 dan Pasal 115.

Agama di wilayah tempat tinggal isteri dan disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut (Pasal 129 KHI);

b. Pengadilan Agama yang bersangkutan dapat mengabulkan ataupun menolak permohonan talak tersebut, dan keputusannya dapat dimintakan upaya hukum tingkat banding maupun kasasi (Pasal 130 KHI).

Lebih lanjut sesuai ketentuan Pasal 131 KHI teknis penyelesaian perkara permohonan talak tersebut melalui tahapan berikut:

a. Pengadilan Agama setelah mempelajari, permohonan talak, maka dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pemohon (suami) dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan maksud menjatuhkan talak;

b. Setelah Pengadilan Agama (Hakim) tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, maka Pengadilan Agama, menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya

c. Setelah keputusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya;

d. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 bulan terhitung sejak Putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talaknya gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh;

e. Setelah sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang Terjadinya Talak sebanyak rangkap 4 yang merupakan bukti perceraian bagi mantan suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di wilayah .tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada mantan suami istri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

Tata cara perceraian yang didasarkan gugatan perceraian dari istri terhadap suaminya sesuai ketentuan KHI adalah Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami (Pasal 132 KHI);

Tata cara pengajuannya gugaran dilihat dari alasan-alasan perceraian tersebut, antara lain:

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan meninggalkan rumah. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman. (Pasal 133 KHI). Dan gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut. (Pasal 134 KHI)

2. Gugatan perceraraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (Pasal 135 KHI)

Lalu pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. (Pasal 141 KHI)

Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.(Pasal 143, 144 dan 145 KHI)

Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.

Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap. (Pasal 146 KHI)

Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.

Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri untuk diadakan pencatatan.

Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterangan kepada masing-masing suami istri atau kuasanya bahwa putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.

Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.

Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.

Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat di mana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat

perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut, dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.

Kelalaian mengirimkan salinan putusan menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

Adapun perbedaaan tata cara dan prosedurnya perceraian di Pengadilan Agama dibedakan ke dalam 2 macam, yaitu:

a. Cerai Talak (Permohonan)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menjelaskan tentang prosedur perceraian, yang dijabarkan dalam skema di bawah ini :

Skema 1 Prosedur Cerai Talak

Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau permohonan cerai talak didaftarkan

di Kepaniteraan.

Perkara didaftarkan,, tanggal persidangan perceraian ditetapkan dan mengeluarkan surat panggilan untuk pemohon atau penggugat dan termohon atau terguga tserta turut

termohon atau turut tergugat

Pengajuan Permohonan oleh suami ke Pengadilan sesuaitempat tinggalnya (domisili)

Pengadilan melakukan Mediasi pada sidang pertama pemeriksaan permohonan perceraian

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Pada rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan mengenai pengadilan tempat permohonan itu diajukan, yaitu seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Berdasarkan uraian Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 di atas menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan permohonan adalah yang mewilayahi tempat tinggal pemohon. Sementara dalam Undang-Undang Peradilan Agama mengubah atau memperbaharui tempat mengajukan permohonan adalah ke pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman termohon, atau dalam bahasa KHI tempat tinggal istri.

Pemeriksaan perkara cerai talak bukan hanya sekedar persidangan guna menyaksikan ikrar talak, akan tetapi hak suami dalam menjatuhkan talak sebagian besar beralih ke tangan pengadilan. Boleh atau tidaknya suami menjatuhkan talak kepada istri, bergantung kepada penilaian dan pertimbangan majelis hakim setelah mendengarkan pendapat dari bantahan istri.93

93M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika,Jakarta, 2001, hal. 216.

Walaupun Undang-Undang menentukan sifat perkara cerai talak berupa

„permohonan‟ yang identik dengan gugat volunteer yang murni pada umumnya.

Gugat volunteer yang murni adalah sepihak, hanya pemohon saja. Pihak lain yang disebut hanya sebagai obyek, tidak berdiri sebagai subyek. Oleh karena itu, perkara cerai talak pada dasarnya tidak berbeda dengan gugat contentiosa pada umumnya atau gugat sengketa. Istri sebagai termohon berdiri dan berkedudukan sebagai pihak dan subyek perdata. Istri memiliki hak penuh untuk membela kepentingannya dalam proses persidangan yang bersifat contradictoir, istri berhak mengajukan duplik, alat-alat bukti dan bahkan mengajukan upaya banding.94 b. Cerai Gugat (Putusan)

Perceraian ini terjadi atas permintaan istri atau kuasa hukumnya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (isteri), kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin tergugat (suami). Dalam hal penggugat dan tergugat berdomisili di luar negeri, maka gugatan dilangsungkan ditempat perkawinan mereka dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 Undang-Undang Perkawinan).

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 74 Undang-Undang Perkawinan).

94Ibid.

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq (pertengkaran), maka untuk menetapkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang terdekat. Selama gugatan perceraian berlangsung, pengadilan dapat mengizinkan suami istri untuk tidak tinggal dalam satu rumah, atas permohonan penggugat dan tergugat.

Berdasarkan ajaran Islam, istri mempunyai hak untuk meminta talak yaitu

Berdasarkan ajaran Islam, istri mempunyai hak untuk meminta talak yaitu