• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdagangan Surakarta Masa Kerajaan Majapahit

BAB II SURAKARTA SEBAGAI KOTA DAGANG

B. Aktivitas Perdagangan di Surakarta

1. Perdagangan Surakarta Masa Kerajaan Majapahit

Artikel Van Naerssen berjudul De Overvaartplaatsen aan de Solo river in middleleeuwen ( pemindahan tempat pada sungai Solo Abad Pertengahan ) menjelaskan tentang arti penting sungai Bengawan Solo pada abad 14 sebagai jalan lalu lintas perdagangan sungai yang menghubungkan antara pedalaman Jawa dan Pantai utara Jawa Timur. Naerssen menjelaskan lokasi-lokasi Bandar sungai solo, terutama mengoreksi enam pelabuhan yang ditulis oleh J Noordyun. Keenam pelabuhan itu yakni; Rasi, Rewun, Wangkalang, Penah, Wulung, dan Wulayu. Sungai Bengawan Solo di masa lalu berfungsi sebagai urat nadi kehidupan masyarakat.

9

Reni Nurhayati, “Pusaka Industri Kota Surakarta Sebagai Salah Satu

Karakteristik Identitas Kota”,SkripsiUniversitas DiponegoroSemarang, 2009, hlm. I-II

commit to user

Terutama berkaitan dengan perdagangan sungai yang meliputi industri masyarakat, pelayaran sungai, dan transportasi. Transportasi sungai menjadi salah satu pilihan utama disamping modal transportasi darat seperti gerobak dan pedati. Transportasi di Jawa abad XIX sebelum pembuatan kereta api masih dilakukan secara primitif atau sederhana, sehingga pengangkutan hasil pedalaman banyak mengalami kesulitan. 10

hampir semua arus barang dan berbagai komoditi pertanian dari pedalaman Jawa hingga pantai utara Gresik dilakukan melalui lalu lintas sungai Bengawan Solo.

Pada tahun 1916 R.Adipati Arya Reksakusuma menulis tentang aliran Bengawan Solo yang dijelaskan mulai dari mata air ( tuk : mata air ) dari residen Surakarta mengalir sampai di utara Madura. Dari mata air mengalir ke barat daya terus ke barat, setelah di Kakap belok ke barat daya, bertemu Kali Dengkeng ( berhulu di Lereng Merapi ), berlanjut ke timur hingga perbatasan Ngawi dan bertemu dengan Kali Kedhungbanteng (berhulu di lereng Gunung Lawu). Lurus ke timur, di Ngawi bertemu Kali Madiun atau Kali Genthong berasal dari Panaraga, Magetan, dan Ngawi. Aliran membesar, belok ke utara dan agak ke Timur di Cepu bertemu Kali Bathokan ( berhulu di lereng Gunung Gamping ). Selanjutnya berkelok ke timur, masuk kota Bojonegara dan ke timur Pandhangan bertemu Kali Gandhongan ( berhulu di lereng gunung Pandhan ). Ke timur lagi bertemu dengan Kali Tudhu yang berkelok-kelok tajam. Sampai di Bojanegara bertemu Kali Kening (berhulu di pegunungan Gamping). Aliran terus menuju timur masuk perbatasan Tuban. Di utara

10Waskito Widi W, “Perdagangan Sungai Bengawan Solo Tempo Doeloe”, Diakronik. Vol 3,2008, hlm. 5

commit to user

Kapas bertemu dengan Kali Pacal (berhulu di gunung Pandhan). Sampai di utaraPalem, belok ke utara, di Rengel belok ke timur sampai Babat, ke timur laut hingga Gresik, berkelok-kelok ke arah timur, di selatan kota Sedayu masuk ke laut.

Mengenai hulu sungai Bengawan Solo, di dalam serat Centhini disebutkan berasal dari tebing tenggara Pegunungan Sewu, yakni sekitar dataran tinggi Dalepih (Kahyangan, Tirtomoyo, Wonogiri) yang kakinya dikelilingi hutan Pilangputih. Secara mitos lokasi ini dipercaya sebagai petilasan pertapaan Sutawijaya sekaligus tempat bertemu Sutawijaya dan Kanjeng Ratu Kidul. Dalepih ini dikelilingi oleh Gunung Anak, Gajah, Kuning, Tundha, Rujak, Babal, Putri, Kekep, Brit, Dhandang, dan Gelung. Sumber mata air Bengawan Solo dipercaya oleh masyarakat sekitar lokasi Dalepih dijaga oleh Ratu Widanangga di gua Jatha. Widanangga adalah nama lain dari Andarawati yang dikenal sebagai Nyai Rara Kidul.

Sungai Bengawan Solo merupakan sungai yang bisa digunakan untuk pelayaran dan tambangan. Seperti tertuang dalam prasasti Panambangan tahun 903 M yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung, memperlihatkan adanya kebebasan orang melintasi sungai dengan perahu tambang. Hal ini menunjukkan adanya kekuasaan penguasa Mataram terhadap Bengawan Solo. De Graaf menduga jalan perdagangan lama dekat yang memotong sungai itu adalah salah satu jalan penghubung antara Jawa bagian selatan dan daerah sebelah timur yang berbatasan, yaitu yang terletak di daerah Madiun sekarang. Jalan-jalan penghubung antara daerah sepanjang pantai selatan Jawa, yang melewati lereng-lereng selatan gunung besar yang

commit to user

terletakditengah, seperti Gunung Lawu, Wilis, dan Semeru, memiliki arti penting dalam sejarah politik-ekonomi di Jawa. 11

Sejarawan Belanda itu memperkirakan bahwa sejak abad ke-11, sudah tumbuh jalur lalu lintas perdagangan di aliran bengawan solo. Walaupun tidak banyak diketahui asal muasal bengawan mengingat langkanya bukti-bukti tertulis atau artefak dan peninggalan lain. Sumber-sumber tradisional menginformasikan mengenai pertumbuhan pusat-pusat masyarakat di bantaran sungai, seperti Bojanagara atau Mulwapati dengan menggunakan tokoh seperti Anglingdarma, ketika sang penguasanya menggunakan jalur sungai guna berlayar menuju arah laut. Darsiti Soeratman, mengutip Oud-Javaansche Oorkonde (OJO) No XLIII dari zaman Mpu Sendok (930 M) menyebut nama tempat Kahyunan yang diduga oleh Poerbatjaraka bahwa nama Cala dalam OJO adalah daerah Solo karena terdapat Prahunan (Praon) yang berada didekat aliran muara sungai Pepe.12

Transportasi menumbuhkembangkan berbagai kelompok sosial baru dengan modal bergerak sebagai pendorong perdagangan, seperti dicacat oleh prasasti Biluluk yang berisi keterlibatan orang-orang luar Jawa dalam perdagangan. Perkiraan terakhir yang menyebut nama Bengawan ditemukan pada piagam Suradakan tahun 1447M. Yasadipura menyebut bengawannya orang Semanggi.13 Noordyun memperkirakan

11H.J. De Graaf, TH.Pigeud,Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa;Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hlm.256-260.

12Darsiti Soeratman, loc.cit.

commit to user

mengenai lokasi Semanggi ini diperkuat oleh kesaksian catatan perjalanan Bujangga Manik pada masa Majapahit pada abad ke-15. Dalam perjalanan dari Sunda ke wilayah timur lewat pesisir utara, belok ke timur menuju Gegelang. Dalam perjalanan tersebut, bujangga Manik menemukan Wuluyu di Bobodho untuk Semanggi diantara dataran rendah gunung Lawu dan Merapi. 14

Aktivitas ekonomi di Surakarta juga didominasi oleh orang Eropa pada tahun 1821.Aktivitas itu adalah ekonomi perkebunan seperti kopi, tebu, tembakau, dan nila yang menggunakan tanah sewaan.Aktivitas ekonomi perkebunan ini menjadikan betapa pentingnya faktor pengangkutan, mengingatkan bahwa komoditas mereka itu merupakan komoditas ekspor.Satu faktor biaya penting yang dihadapi oleh para pengusaha adalah biaya pengangkutan menuju pelabuhan di panti utara Jawa dan pengapalan Eropa.Pada prinsipnya ada dua jalan yang bisa dilalui dari dua kerajaan ke pantai utara Jawa.Pertama, dengan kereta angkut (melalui jalur pos) dari Surakarta, Boyolali, Ampel, Salatiga ke Semarang.Perjalanan memakan waktu 24 jam.Mengenai biaya angkut per pikul f2 hingga f3 per pikul pada periode 1859-1860.Rute kedua ke pantai utara Jawa adalah melalui Bengawan Solo, di mana orang dapat berlayar sampai ke Surabaya. Oleh karena itu proses pendangkalan yang terjadi di Bengawan Solo selama abad ke-19, pengangkutan barang-barang berat hanya mungkin dilakukan pada musim penghujan.

14

Noordyun, J, Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical

commit to user

Pada abad ke-19 aktivitas ekonomi rakyat terpusat pada pasar. Pasar-pasar yang memadahi di kota Surakarta untuk ekonomi tradisional adalah pasar Gedhe, pasar Legi, dan pasar Totogan. Kehidupan ekonomi pasar tradisional menjadi ramai ketika dibangun jembatan di Bacem dan Jurug. Kedua jembatan ini sangat vital melancarkan arus ekonomi pedesaan ke kota, sehingga para pedagang dari desa tidak perlu lagi menyeberang sungai dengan perahu lagi. Demikian juga ketika jembatan Kalianyar dibangun, banyak para pedagang dari utara yaitu dari Simo, Kaliyoso menuju pasar Legi menjadi sangat mudah dan cepat.Pasar Gedhe dulunya merupakan pasar sederhana, banyak pedagang yang belum teratur dengan tenda-tenda saja.Akan tetapi pasar ini akhirnya dibangun oleh pemerintah Karesidenan.Selama perbaikan banyak pedagang yang dipindah ke Gladhag dan Alun-alun Lor. Setelah selesai dibangun, pasar ini diberi nama pasar Harjonegoro. Namun demikian nama pasar Gedhe lebih dikenal di kalangan rakyat. Wilayah pasar Gedhe adalah milik penguasa komunitas Cina yang bernama Babah Mayor.Nama itu berasal dari jabatan pimpinan komunitas Cina yang berpangkat Mayor.15

Aktivitas pasar yang lebih dikenal ramai kemudian beralih ke pasar Klewer.Lokasi pasar Klewer dahulunya bernama kampung Nglorengan. Nama kampung ini berasal dari nama orang pemilik tanah itu yaitu Tuan Lourens. Ketika pemilik tanah itu meninggal, tempat itu dijadikan pasar yang bernama pasar Slompretan.Pedagang yang ada di pasar ini umumnya berjualan minuman, dan juga

15

Susanto, “Tipologi Kota Dagang”, Diakronik Vol 2 No.6,Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2005, hlm. 13-14.

commit to user

berbagai jenis burung/ akhirnya para pedagang yang menjajakan secara berdiri sambil membawa dagangan berupa tali kain atau dagangan yang dilingkarkan dipundak atau dijinjing.Menurut istilah jawa pemandangan itu seperti berjumbal (pating klewer).Oleh karena itu pasar itu akhirnya dikenal dengan sebutan Pasar Klewer.

Dokumen terkait