• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HUBUNGAN SOSIAL ANTARA KOMUNITAS PEDAGANG

A. Struktur Sosial Masyarakat Cina

Struktur sosial masyarakat Cina di Surakarta, juga seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok. Peranakan adalah yang sudah

3

Amen Budiman, Masyarakat Tionghoa Indonesia, Semarang: Tangjung Sari, 1979, hlm. 56.

4

Ibid, hlm. 2. 5

Rustopo, Menjadi Jawa :Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998, Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. 67-68.

commit to user

lama tinggal di Indonesia, sudah terbaur dengan masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat dan berperilaku seperti pribumi. Adapun totok adalah orang- orang Tionghoa pendatang baru, baru sekitar satu-dua generasi dan berbahasa Cina. 6Akan tetapi dengan berhentinya imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah orang Cina totok semakin menurun, dan keturunan totok sudah mengalami peranakanisasi. Menurut hukum kolonial, hak orang-orang Cina peranakan sebagai warga Negara lebih besar daripada orang-orang totok. 7

Pada tahun 1930 jumlah orang-orang Cina peranakan di Karesidenan Surakarta 17.474 jiwa yang berarti lebih banyak daripada jumlah totok-nya, yaitu 3.615 jiwa. Jumlah kaum perempuan Cina peranakan 9.255 orang berarti lebih banyak daripada jumlah kaum lelakinya yang hanya 8.219 orang, jumlah kaum perempuan Cina totok hanya 595 orang yang berarti lebih sedikit daripada jumlah kaum lelakinya, yaitu 3.020 orang. Dengan melihat data tersebut, besar kemungkinan banyak laki-laki totok kawin dengan perempuan Cina peranakan atau pribumi (Jawa). Misalnya pemilik toko emas Buaya yang bernama Tan Khoo Liat menikah dengan perempuan pribumi yang kemudian menghasilkan keturunan. 8

6 Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 23.

7

Benny Juwono, “Etnis Cina di Surakarta 1890-1927 : Tinjauan Sosial Ekonomi”, dalam Lembaran Sejarah Volume 2, No. 1, 1999, hlm. 68.

8

Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 20.

commit to user

Tabel 3. Klasifikasi Penduduk Cina Peranakan dan Totok di Karesidenan Surakarta 1930.

Surakarta

Laki-laki Perempuan

Peranakan Totok Total (1) Peranakan totok Total (2)

Jumlah 8.219 3.020 11.299 9.255 595 9.928

Total 17.474 3.615 21.227

(Sumber : Indisch Verslag 1939:40) seperti yang dicatat Rustopo. 9

Pada tahun 1950 pemilahan antara totok dan peranakan tidak begitu penting, diganti dengan pemilahan menurut kewarganegaraan, yaitu WNI dan WNA. Jumlah penduduk Cina di Coyudan Surakarta pada tahun 1950-an hingga 1970-an mengalami kenaikan, tetapi pada tahun 1996 mengalami penurunan. Penurunan jumlah ini sebagai akibat dari tingginya mobilitas orang-orang Cina. Diantara mereka kebanyakan pindah ke kota kecil terdekat yang menyediakan tempat-tempat strategis untuk berdagang.

Kebijakan yang dianut pada masa Orde Baru yaitu kebijakan asimilasi, yang ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan masyarakat Cina (termasuk dalam penutupan sekolah Cina, pembubaran organisasi etnis Cina dan pemberedelan media massa Cina ) serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnis Cina lainnya. Sejumlah orang Cina di wilayah Coyudan telah terbaur, sehingga tidaklah mengherankan jika mereka tidak mengaku dirinya sebagai etnis Cina lagi karena

commit to user

mereka merasa dirinya sudah terbaur ke dalam masyarakat pribumi, 10dan mereka menganggap bahwa dirinya termasuk orang pribumi.

Makalah Charles Coppel membahas susahnya etnis Cina diterima oleh kaum nasionalis Indonesia sebagai bagian dari nasion Indonesia. Ia meninjaunya dari perspektif sejarah, yaitu sejak zaman kolonial hingga sekarang. Menurut argumentasinya, masyarakat kolonial membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan rasa tau suku bangsa dan pemikiran kaum nasionalis Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh cara berfikir kolonialis Belanda itu sehingga mengakibatkan terpisahnya peranakan Cina dari pergerakan nasional Indonesia. Di samping itu, nasionalisme Cina timbul lebih awal daripada nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Cina inilah yang menjauhkan etnis Cina, termasuk peranakan dari arus nasionalisme Indonesia yang dipimpin oleh pribumi. Tidaklah mengherankan apabila dalam gagasan nasionalisme Indonesia yang didasarkan pada konsep penduduk pribumi, etnis Cina dianggap sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Foreign Oriental) dan tidak merupakan bagian dari bangsa Indonesia.

Mengikuti prasangka adalah Stereotipe, yang artinya keyakinan yang terlalu digeneralisasi, disederhanakan atau dilebih-lebihkan terhadap kelompok etnis tertentu. 11 prasangka dan stereotipe saling mendukung dalam kaitannya dengan

10

Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 209-210.

11

Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm.57.

commit to user

kerusuhan Surakarta dapat ditelusuri sebagai berikut : (1) Stereotipe dan prasangka menjadi penyebab terbatasnya ruang kontak dan interaksi dari kedua etnis ini. Bila stereotipe dan prasangka negatif lestari diantara kedua etnis ini, arena sosial diantara etnis Cina dan Jawa akan menyempit. Etnis Cina sebagai “out group” yang dikenai

prasangka dan stereotipe itu pasti memilih lingkungan bertempat tinggal dan bekerja dalam latar (setting) yang meminimalkan kesempatan berinteraksi dengan etnis Jawa

sebagai “in group” yang dicurigai sebagai ancaman; (2) Prasangka dan stereotipe

cenderung menciptakan perilaku dan komunikasi yang defensif. Komunikasi semacam ini akan mengurangi kesempatan untuk terbangunnya suatu kesadaran kolektif yang membentuk solidaritas sosial; (3) Prasangka dan stereotipe dapat menjurus pada radikalisme. Pada ranah ini orang yang berprasangka akan terlibat dalam berbagai tindakan yang represif dan diskriminatif terhadap kelompok yang tidak disukai. Dapat diperkirakan kondisi ini akan mudah mengarah pada konfrontasi dan konflik terbuka; (4) Prasangka dan stereotipe diantara etnis Cina dan Jawa potensial menimbulkan hambatan bagi terjadinya akulturasi budaya sehingga mengakibatkan pengkotak-kotakan budaya. 12

Selanjutnya, bilamana terjadi pembiaran terhadap prasangka dan stereotipe dalam hubungan Cina-Jawa, maka implikasinya adalah mengemukanya pengelompokan atau pemilahan atas mayoritas-minoritas. Orang Jawa akan

12

Priyanto Wibowo, “Kronstruksi Sosial, Identitas dan Multikulturalisme etnis Cina: Hambatan dan Tantangan”, Seminar Nasional Universitas Indonesia, Februari 2011.

commit to user

menganggap atau dianggap sebagai bagian dari kelompok mayoritas dan orang Cina akan menganggap atau dianggap sebagai bagian dari kelompok minoritas. Kemudian ekor dari masalah ini akan terlihat bahwa kelompok mayoritas atau kelompok dominan menjadi kelompok yang merasa memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol.13

Di Indonesia persoalan dan percakapan mengenai minoritas selalu tereduksi ke dalam proses minoritas Cina Indonesia. Menyebut etnis Cina sebagai minoritas saja sesungguhnya sudah merupakan upaya meminggirkan etnis ini. Padahal, etnis lain semisal etnis Batak, atau etnis Sunda yang tinggal di Surakarta, tidak pernah dianggap sebagai minoritas. Mereka lebih diterima sebagai pribumi, karena etnis Cina telah terbiasa menerima perlakuan-perlakuan yang diskriminatif dan selalu berada pada posisi tertekan terutama bila kerusuhan rasial terjadi. Soetomo mengutip Wagley dan Julian mengupas adanya lima karakteritik kelompok minoritas seperti terlihat berikut ini. 14 (1) Minoritas adalah merupakan subordinasi dari masyarakat yang kompleks; (2) Minoritas cenderung mempunyai ciri fisik atau penampilan budaya khusus yang tidak disukai oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat; (3) Minoritas cenderung mengembangkan kesadaran berkelompok dan rasa kebersamaan diantara mereka; (4) Anggota-anggota kelompok minoritas diwarnai aturan dan nilai turun-temurun dari kelompok mereka, untuk mempertahankan karakteristik kelompok

13

Ibid, hlm.102.

14

Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 109.

commit to user

pada generasi berikutnya; (5) Anggota kelompok minoritas cenderung melakukan endogami atau perkawinan diantara sesama anggota kelompok sendiri.

Surakarta adalah kota “pluralis” atau “multikultural” yang memiliki

kemajemukan atau keberagaman budaya. Keberagaman dan kemajemukan tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif seperti: agama, etnis, bahasa, dan budaya. Potret Surakarta yang multikultural itu tampak dari heterogenitas penduduknya, yang diruang publik seringkali menampakkan pergesekan. Dalam hubungannya dengan pergesekan antara etnis Cina dan Jawa, banyak faktor ikut terlibat. Faktor-faktor tersebut adalah warisan sejarah konflik masa lalu, kesenjangan sosial-ekonomi, dan gagalnya komunikasi antar budaya merupakan faktor yang dominan. 15

Pada satu sisi, Surakarta memperlihatkan interaksi Cina-Jawa yang konfliktif dan sangat rentan terhadap kerusuhan rasial, disisi lain Surakarta adalah kota yang sudah terbiasa dengan interaksi antar etnis. Sejauh ini telah terjadi tujuh kali konflik sosial antara etnis Cina-Jawa, 16karena itu cukup beralasan apabila Surakarta dipandang oleh peneliti sebagai “laboratorium” atau “barometer sosial” dengan sumber yang sangat memadai untuk diteliti. Tambahan pula konflik Jawa-Cina di

Surakarta tidak hanya kerap terjadi namun cenderung “ber-siklus” dan merupakan

fenomena yang bersifat “local genius”. 17

Sedangkan untuk interaksi Cina-Jawa telah

15

Abdurahman Wahid, Beri Jalan Orang Cina, dalam Nonpri Di Mata Pribumi, Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1990, hlm. 9.

16

Soetomo.,op.cit., hlm. 79. 17 Ibid, hlm. 84.

commit to user

terjadi sejak kedatangan orang-orang Cina pada tahun 1745 bersamaan dengan pindahnya Kraton Surakarta dari Kartasura ke Kampung Sala.18 Pada tahun-tahun awal perpindahan itu, hubungan Cina-Jawa berlangsung harmonis tanpa prasangka dan kebencian.

Pada masa sekarang interaksi sosial Cina-Jawa yang integratif masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Di Coyudan dijumpai Cina-Jawa yang telah berasimilasi melalui kawin campur dan akulturasi budaya sejak masa silam. Interaksi sosial Cina-Jawa di kampung Coyudan berbeda dengan wilayah lain dikota Surakarta yang cenderung menampakkan fenomena yang tidak menentu. Artinya, diluar kampung Coyudan terkadang interaksi itu menunjukkan adanya hubungan harmonis diantara etnis Cina dan Jawa. Namun tidak jarang muncul interaksi bersifat konfliktif yang puncaknya tercetus pada Mei 1998. 19

Dokumen terkait