• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA 58 LAMPIRAN

B. Perekat Polyurethane

Berbagai jenis perekat yang dikenal dan digunakan secara luas untuk berbagai produk adalah urea formaldehida, melamin formaldehida, fenol formaldehida dan resorsinol formaldehida. Semua jenis perekat tersebut mengandung senyawa formaldehida yang mudah lepas ke udara baik selama proses pengerjaan maupun dalam penggunaannya. Pelepasan senyawa ini disebut emisi formaldehida yang dapat mengganggu kesehatan manusia (Vick, 1999). Salah satu upaya untuk menanggulangi bahaya emisi tersebut adalah dengan menggunakan perekat non formaldehida seperti isocyanate, epoxy, polyurethan, maupun polivinil asetat. Dari beberapa jenis perekat tersebut, salah satu yang lebih ekonomis dan efisien dalam penggunaan energi adalah polyurethan, karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan perekat non formaldehida lainnya, serta dapat matang pada suhu ruangan.

Polyurethane merupakan jenis perekat berbentuk cair dengan kekentalan yang rendah sampai tinggi seperti gel, tersedia dalam satu atau dua sistem yang reactive, warna bervariasi mulai dari bening sampai coklat, dan garis rekatnya tidak berwarna. Perekat ini diaplikasikan langsung pada salah satu permukaan,

terutama pada permukaan yang terdapat uap air, reaktif dengan uap air pada permukaan dan di udara. Selain dari itu perekat ini matang pada suhu ruangan dengan tekanan yang besar untuk perekat yang kekentalannya rendah, tetapi perekat yang berbentuk gel (kekentalan yang tinggi) hanya dibutuhkan tekanan yang kecil. Perekat polyurethane ini memiliki kekuatan ikat yang tinggi baik dalam kondisi basah atau kering, sangat tahan terhadap air dan kelembaban dibandingkan kayu pada temperatur tinggi dan senyawa kimia (Vick, 1999, Frihart, 2005).

Polyurethane tersusun dari senyawa diisocyanate dan polyol, terutama

polypropylene glycol dan polyester polyol.

C. Bambu

Bambu adalah salah satu potensi bahan baku alternatif yang sangat menjanjikan karena ketersediaannya yang melimpah, pertumbuhannya yang cepat, serta mudah dibudidayakan (Muin et al. 2006). Pertumbuhan bambu yang sangat cepat tersebut membuatnya telah tercatat dalam Guinness Book of Record (1999) dimana beberapa jenis bambu termasuk dalam kelompok tumbuhan yang pertumbuhannya paling cepat. Beberapa jenis diantaranya bahkan tumbuh luar biasa dengan pertambahan tinggi 91 cm per hari.

Bambu merupakan ‘perennial grasses’ yang termasuk dalam subfamili

Bambusoidae, famili Graminiae dengan batang berkayu dan beruas-ruas.

Terdapat sekitar 87 genera dan lebih dari 1500 jenis bambu di dunia, dan sekitar 100 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi yang penting (Diver, 2001). Data yang dikemukakan Maoyi and Bay (2004) menunjukkan semakin banyak jenis bambu yang dikenal, yaitu lebih dari 1200 jenis diantaranya ditemukan di Asia.

Bambu memiliki banyak manfaat, baik manfaat ekologis maupun sebagai bahan baku industri. Secara ekologis, bambu sangat menguntungkan bagi lingkungan karena menghasilkan biomassa yang sangat tinggi. Hutan bambu dapat menghasilkan biomassa tujuh kali lebih banyak daripada pepohonan. Oleh karenanya peranan hutan bambu sebagai penghasil oksigen (O2) dan penyerap karbon dioksida (CO2) bagi kepentingan ekosistem global sangat penting, khususnya di wilayah tropis dimana luas hutan alamnya terus menurun secara

drastis. Fungsi ekologis lain adalah kemampuannya dalam mencegah erosi karena dapat memperkuat ikatan partikel tanah dan menahan limpasan air. Karena fungsi ekologisnya yang beragam, bambu merupakan tanaman yang dapat digunakan untuk pembudidayaan tanah marjinal (PT. Bambu Nusantara).

Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku industri sering dijumpai pada produk-produk konstruksi, tangga, pagar, kontainer, mebel, dan beberapa produk kerajinan tangan. Selain pemanfaatan bambu yang umum tersebut, maka untuk menggunakan bambu secara lebih tepat guna dan lebih luas, beberapa penelitian tentang karakteristik dan sifat-sifat dasarnya telah dilaksanakan.

Dransfield dan Widjaya (1995) menuliskan dalam penelitiannya tentang anatomi bambu yaitu kolom bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sive tubes). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sedangkan parenkimnya berkurang. Hasil penelitian (Londono et al., 2002) menunjukkan bahwa batang bambu jenis Guadua angustifolia dari Kolumbia terdiri atas 40% serat, 51% parenkim dan 9% jaringan vascular. Hasil penelitian Latif et al. (1990) pada jenis Bambusa vulgaris, Bambusa bluemeana, dan Gigantochloa scortechinii berumur 1 – 3 tahun menunjukkan bahwa ukuran vaskular bundle (rasio radial : tangensial) dan panjang serat berkorelasi positif terhadap MOE dan tegangan pada batas proporsi. Ia menjelaskan bahwa bambu yang memiliki serat yang lebih panjang akan lebih kaku jika ukuran vascular bundle-nya lebih besar. Adapun hubungan antara panjang serat dengan keteguhan geser adalah negatif. Tebal dinding serat berkorelasi positif dengan keteguhan tekan dan MOE akan tetapi berkorelasi negatif dengan MOR.

Li et al. (2004) melaporkan bahwa sifat mekanis bambu meningkat dengan peningkatan umurnya. Penelitian yang ia lakukan lebih lanjut menunjukkan bahwa konsentrasi vascular bundle meningkat dari bagian dalam ke luar (Li et al. 2007). Dalam penelitian yang sama ditemukan pula bahwa terdapat peningkatan berat jenis yang signifikan antara bambu berumur 1 tahun dan 3 tahun yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dalam vascular bundle dan penebalan

sekunder dinding sel. Akan tetapi meskipun kandungan holosellulosa dan lignin klason juga meningkat pada umur 3 tahun akan tetapi nilainya relatif kecil. Demikian halnya dengan kandungan ekstraktif yang juga meningkat dari umur 1 tahun ke umur 3 tahun.

Hasil penelitian tentang sifat kimia bambu dikemukakan oleh Gusmailina dan Suwardi 1988 dalam Krisdianto dkk., 2000 yang menyatakan bahwa bambu memiliki kadar selulosa yang berkisar antara 42,4% - 53,6%, kadar lignin berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan kadar pentosan 1,24% -3,77%, kadar abu 1,24% - 3,77%, kadar silika 0,10% - 1,28%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8% dan kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% - 6,9%. Penelitian Li et al. (2007) menunjukkan bahwa bambu Phyllostachys pubescens mengalami peningkatan kandungan holosellulosa dan α-sellulosa dari pangkal ke ujung batang, akan tetapi kandungan lignin (klason) dan kadar abunya tidak berbeda nyata. Lapisan luar batang memiliki kadar holosellulosa, α-sellulosa, dan lignin (klason) yang paling tinggi dibandingkan bagian lainnya dan memiliki kadar ekstraktif dan kadar abu yang paling rendah. Di sisi lain, kandungan silika epidermis tiga kali lebih tinggi dari lapisan paling dalam bambu.

Selanjutnya penelitian tentang sifat fisik bambu dikemukakan oleh Dransfield dan Widjaja (1995) yang menyatakan bahwa kadar air bambu meningkat dari bawah ke atas dari umur 1 – 3 tahun, tetapi kemudian menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim hujan jika dibandingkan dengan pada musim kemarau. Selanjutnya dikemukakan oleh Hadjib dan Karnasudirdja (1986) bahwa beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisik dan mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas), posisi radial dari luar sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Berbeda dengan kayu yang mengalami perubahan dimensi setelah kadar air menurun di bawah titik jenuh serat, dinding sel dan diameter bambu mengalami penyusutan segera setelah bambu kehilangan air (Tewari, 1992). Bambu yang berumur lebih tua (3 tahun) memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi dibandingkan bambu yang lebih muda (1 tahun) (Latif, 1993). Hasil penelitian Lee et al. (1994) menunjukkan bahwa penyusutan pada

arah radial jauh lebih besar yaitu dual kali lipat dibandingkan arah tangensial, sementara penyusutan pada arah longitudil relatif dapat diabaikan.

Berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik dan sifat- sifat bambu, maka dewasa ini, penggunaan bambu telah berkembang semakin luas diantaranya menjadi bahan baku produk panel. Panel bambu multi fungsi yang dibuat dengan cara menggabungkan produk bilik rakyat dengan bambu bulat menggunakan perekat telah dikembangkan oleh Purwito (2005). Jenis panel bambu tersebut dapat digunakan sebagai komponen dinding, lantai, balok, penutup atap dan pencetak beton. Noermalicha (2005) telah mengembangkan suatu rancang bangun laminasi lengkungan bambu sebagai sebuah fenomena desain berbasis teknologi menggunakan bambu betung, bambu tali dan bambu andong. Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku papan semen komposit telah dilakukan oleh Suhasman et al. (2008). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa penggunaan bambu pada berbagai kelas umur (bambu muda, dewasa dan tua) dengan metode konvensional ternyata menghasilkan papan semen dengan kualitas yang relatif sama.

C.1. Risalah Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne))

Bambu betung memiliki nama latin Dendrocalamus asper (Schult,) Backer ex Heyne. Bambu betung juga memilik banyak nama daerah diantaranya untuk kultivar hijau disebut Betung, Beto (manggarai), Bheto (Bajawa), Oo Patu (Bima) dan Patung (Tetun), sedangkan untuk kultivar hitam disebut Bheto Laka (Bajawa). Di kepulauan Sunda Kecil, bambu betung tersebar di segala tempat, namun tumbuh paling baik di tempat yang kurang berair tetapi diameter batangnya lecil. Jenis bambu ini berhabitat di tanah alluvial di daerah tropika yang lembab dan basah, tetapi bambu ini juga tumbuh di daerah yang kering dataran rendah maupun tinggi (Widjaya 2001).

Bambu betung merupakan bahan bangunan yang murah dan kuat, tetapi dalam penggunaannya bambu jenis ini sangat disukai oleh bubuk. Serangan bubuk ini erat sekali hubungannya dengan kandungan amilum atau zat pati dalam bambu betung. Untuk mengurangi kandungan zat pati yang ada, perlu dilakukan

perlakuan yang efektif sebelum bambu tersebut digunakan sebagai bahan bangunan (Prawirohatmojo 1979 dalam Krisdianto dkk., 2000).

C.2. Risalah Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)) Bambu tali dengan nama latin Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz memiliki nama daerah pring tali, pring apus (Jawa), awi tali (Sunda). Bambu tali ini tersebar di seluruh Jawa, tetapi juga tumbuh liar di Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Habitat asli bambu tali adalah daerah tropis yang lembab dan kering. Rumpun bambu tali ini adalah simpodial, rapat, dan tegak (Widjaya 2001).

C.3. Risalah Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)) Bambu andong memiliki nama daerah pring gombong, pring andong, pring surat (Jawa), awi andong, dan awi gombong (Sunda). Bambu ini tersebar di seluruh Pulau Jawa dengan habitat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 1500 mdpl dan tumbuh baik di daerah tropis yang lembab dengan rumpun simpodial, tegak dan padat (Widjaya 2001).

Dokumen terkait