• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Penutup: Berisi kesimpulan penelitian dan saran. DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA

LANDASAN TEORI

D. Perempuan dalam Pembangunan

Konferensi internasional pertama perempuan, puncak dari Tahun Perempuan Internasional, yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (1975) di Mexico City, bertajuk “Konferensi Sedunia Tahun Perempuan Internasional” (World Conference of the International Women’s Year), berhasil mengidentifikasikan tiga isu pokok, yaitu: penyetaraan gender dan penghapusan diskriminasi gender, pengintegrasian dan partisipasi penuh kaum perempuan dalam pembangunan, serta peningkatan kontribusi perempuan dalam perdamaian dunia.40

Partisipasi perempuan dalam pembangunan mensyaratkan restrukturisasi di setiap institusi. Kesetaraan gender hanya bisa diraih melalui perubahan struktural di seluruh institusi masyarakat, termasuk relasi perempuan dan laki-laki dalam ranah privat. Dikotomi ranah publik dan privat adalah pokok analisis cukup signifikan, terutama bila dikaitkan dengan proses pembangunan ekonomi yang dijalankan suatu negara. Negara menyusun dan mengembangkan ideologi gender yang dipakai untuk mendukung dan menjalankan model-model pembangunan ekonomi dan politik. Bila sistem ekonomi dan politik berubah maka peran-peran gender yang selama itu diidealkan akan turut bergeser seiring dengan terjadinya perubahan pada ideologi gender.41

a. Pendekatan Perempuan dalam Pembangunan 1. Pendekatan Antikemiskinan

Pendekatan antikemiskinan terhadap perempuan dalam pembangunan lebih mengambil kemiskinan sebagai pangkal tolaknya dan dibangun untuk memperbaiki pendapatan kaum perempuan miskin. Pendekatan ini

40

Liza Hadiz., dkk, Jurnal Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: pilihan artikel Prisma, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. x.

41

mencerminkan prioritas Bank Dunia ILO maupun “strategi kebutuhan pokok”, dengan tujuan utamanya memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, tempat berteduh dan lain-lain. Perempuan yang berpendapatan rendah diidentifikasi sebagai kelompok sasaran khusus, setidaknya bukan dikarenakan peran sentralnya dalam menyediakan kebutuhan pokok ini bagi keluarganya. Pendekatan antikemiskinan menitikberatkan perhatian guna menghasilkan pendapatan bagi perempuan melalui akses yang lebih baik terhadap sumberdaya produktif, seperti tanah dan kredit.42

2. Perempuan dalam Pembangunan (WID)

WID (Perempuan dalam Pembangunan) diciptakan pada awal 1970-an oleh Women’s Committee of the Washington DC Chater of the Society for International Development sebagai bagian dari strategi cermat untuk membawa pemikiran baru Boscrup dan lain-lainnya agar menjadi perhatian para pembuat kebijakan di Amerika. WID digunakan sebagai steno bagi pendekatan terhadap isu perempuan dan pembangunan yang sebagian besar di dasarkan pada paradigma modernisasi. Pendekatan WID difokuskan kepada inisiatif seperti pengembangan teknologi yang lebih baik, yang tepat, yang akan meringankan beban kerja perempuan. WID bertujuan untuk benar-benar menekankan sisi produktif kerja dan tenaga perempuan-khususnya penghasil pendapatan- dengan mengabaikan sisi reproduktifnya.43

42

Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 202-203.

43

3. Pendekatan Efisiensi

Pendekatan efisiensi terhadap perempuan dalam pembangunan digambarkan dengan baik oleh Bank Dunia dan ODA Inggris. Kepala unit Women And Development, Barbara Herz menulis sebagai berikut44:

“Kami ingin memperlihatkan apa yang sebenarnya bisa dilakukan untuk memasukan perempuan dalam program-program pembangunan dan bagaimana hal itu bisa memberikan sumbangan kepada kinerja ekonomi, mengurangi kemiskinan dan tujuan-tujuan pembangunan lainnya… pendekatan yang lebih operasional, terhadap perempuan dalam pembangunan… pendekatan ini menekankan hasil dalam produktivitas ekonomi yang bisa diperoleh melalui keterlibatan perempuan secara lebih efektif dan menitik beratkan kepada cara-cara praktis untuk melibatkan perempuan dalam operasi-operasi normal di bidang pertanian, pendidikan dan PHN (Primary Health and Nutrition) (Rathgeber, 490).”

Pernyataan kebijakan ODA tercatat tahun 1989 dan berbunyi45:

“Untuk mencapai perlakuan yang lebih baik bagi perempuan, sekaligus dan pada saat yang sama, merupakan langkah utama menuju kearah penghapusan kemiskinan, perluasan kesempatan sosial dan rangsangan bagi pembangunan ekonomi. Perempuan merupakan bagian yang lebih besar dari kelompok termiskin dari yang miskin. Membantu mereka bisa memberi sumbangan besar guna mengurangi kemiskinan. Perempuan memegang kunci bagi masyarakat yang lebih produktif dan dinamis. Jika mereka sendiri sehat dan berpengetahuan, keterampilan dan kredit, mereka akan lebih produktif secara ekonomis. Selain itu, perempuan memiliki pengaruh dominan terhadap generasi yang akan datang melalui sikap, pendidikan, dan kesehatan mereka. Persamaan dan pertumbuhan ekonomi berjalan bersama. Jika tantangan terhadap keberanian berusaha ini cukup hebat, maka akan menumbuhkan keberhasilan.”

Kedua pernyataan ini mengandung satu hal penting: keyakinan bahwa pembangunan hanya akan efisien bila perempuan dilibatkan. Pengakuan bahwa “50 persen sumber daya manusia bagi pembangunan disia-siakan atau tidak dimanfaatkan sepenuhnya”. Oleh karenanya

44

Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 205.

45

pendekatan efisien oleh MOSER dengan cepat diambil sebagai model bagi WAD (Women and Development). Secara historis pendekatan efisiensi muncul dari kemunduran perekonomian dunia sejak pertengahan tahun 1970-an yang berimplikasi bagi perempuan tidak hanya sebagai penghasil keturunan, tetapi juga semakin meningkat menjadi manajer komunitas.46

Pendekatan efisiensi bekerja pada dua tingkat yang berbeda. Pertama, memastikan efisiensi dalam projek pembangunan menuntut keterlibatan perempuan karena mereka sering lebih efisien dan setia dibanding laki-laki. Kedua, kebijakan pembangunan pada tingkat makro yang dikejar oleh pemerintah, yang didukung oleh organisasi seperti Bank Dunia dan IMF, yang juga menuntut efisiensi dan produktivitas dalam program penyesuaian struktural.47

4. Perempuan dan Pembangunan (WAD)

Merupakan satu pendekatan feminis neo-Marxis, yang muncul dalam paruh terakhir 1970-an yang berasal dari suatu kepedulian terhadap keterbatasan teori modernisasi. Bukannya menitik beratkan pada strategi untuk mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan, pendekatan ini justru menunjukan bahwa perempuan selalu penting secara ekonomi, dan kerja yang dilakukannya dalam rumah tangga dan komunitasnya sangat mendasar untuk mempertahankan masyarakat mereka. WAD mengakui bahwa laki-laki miskin juga menjadi korban dari proses pembangunan yang mengabaikan mereka, tetapi proses itu cenderung mengelompokkan

46

Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 206.

47

perempuan tanpa menganalisis pembagian kelas, ras dan etnis di antara mereka secara memadai.48

5. Pendekatan Pemberdayaan atau Gender dan Pembangunan (GAD) GAD (Gender and Development) merupakan satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan perempuan meliputi kerja produktif, reproduktif, privat dan publik. Pendekatan ini menegaskan bahwa ada nilai lebih dalam pembangunan daripada sekedar pertumbuhan ekonomi. Pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) ketimbang pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Pendekatan ini memahami tujuan pembangunan bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal, dan sedikit banyak lebih menekankan pada pembuatan undang-undang yang berkenaan dengan kesamaan antara laki-laki dan perempuan ketimbang pemberdayaan perempuan itu sendiri.49

b. Pembangunan Masa Orde Baru

Kebijakan pembangunan di Indonesia di awali pada masa Orde Baru dengan menggunakan teori pembangunan yang menekankan proses industrialisasi dan bertumpu pada modernisasi. Rezim Orde Baru memandang perempuan sebagai sumberdaya (resources) potensial yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Konsep tersebut menggambarkan ideologi gender yang dipakai negara, yakni perluasan peran perempuan dari hanya berorientasi rumah tangga dan keluarga (tradisional) ke

48

Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 208-209.

49

bidang lain di luar rumah tangga (modern) yang memberi sumbangan besar pada ekonomi keluarga dan negara tanpa harus menanggalkan peran alamiah sebagai ibu dan istri. Nilai-nilai tradisional dipandang sebagai faktor yang menghambat perempuan untuk ikut berpartisipasi secara optimal; kemajuan diukur berdasarkan partisipasi perempuan dalam proses pembangunan. Model pembangunan ini juga memisahkan secara ketat ranah privat dan ranah publik.50

Orde Baru menjadikan keluarga sebagai unit yang juga menjalankan fungsi reproduksi sosial. Keluarga menjadi lokus utama pelestarian nilai-nilai gender, termasuk pembagian kerja berdasar jenis kelamin dan persiapan tenaga kerja untuk diterjunkan dalam dunia ekonomi. Pembagian kerja dan sosialisasi gender di dalam keluarga tersebut mempengaruhi presepsi masyarakat tentang hal yang pantas atau tidak pantas dikerjakan perempuan dan laki-laki di ranah publik.51

Dalam catatan Medelina K. Hendytio, data akhir 1990-an menjelang akhir rezim Orde Baru memperlihatkan bahwa segregasi jenis kelamin masih terjadi di berbagai jenis lapangan pekerjaan, khususnya di perkotaan. Kaum perempuan cenderung bekerja di sektor yang memberi upah relatif rendah dan jaminan kerja tidak memadai, peluang mengembangkan karir sangat kecil, dan jam kerja jauh lebih panjang.52 International Labour Organization (ILO) menunjukan bahwa tingkat penghasilan perempuan di sektor manufaktur jauh lebih rendah ketimbang laki-laki pada tahun 1998. Imbalan yang sama untuk

50

Liza Hadiz., dkk, Jurnal Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: pilihan artikel Prisma, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. xiv.

51

Ibid., h. xvi. 52

pekerjaan bernilai sama antara laki-laki dan perempuan tampak belum bisa diwujudkan.53

c. Pembangunan Masa Refomasi

Pembangunan pada Masa Reformasi berlangsung dari era 1999 sampai dengan sekarang. Memunculkan berbagai kebijakan pembangunan yang mendorong kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan. Dalam Deklarasi Millenium menggarisbawahi kepentingan absolut untuk pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi semua orang. Delapan target pembangunan millenium (Millenium Development Goals-MDGs) yang harus dicapai pada tahun 2015 meliputi target untuk: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan Angka Kematian Bayi, Anak dan Ibu Bersalin, memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global.54

Arah pembangunan Indonesia sudah sejalan dan dapat menjawab tantangan MDGs pada tahun 2015. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional sudah menjawab tantangan Deklarasi Millenium tentang kesetaraan gender. Indonesia juga telah menyepakati Komitmen Internasional seperti CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women) dan Landasan Aksi Beijing, maka pembangunan pemberdayaan

53

Liza Hadiz., dkk, Jurnal Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: pilihan artikel Prisma, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. xvii.

54

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, “Pedoman P2WKSS”, diakses tanggal 08 Maret 2014 dari http://menegpp.go.id

perempuan merupakan komitmen nasional yang dijadikan sebagai bagian integral dari pembangunan sumberdaya manusia, dimaksudkan untuk meningkatkan status, posisi dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan laki-laki.55

Keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencoba mengurangi permasalahan-permasalahan gender yang ada di masyarakat. Beberapa kegiatan utama yang telah dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan antara lain: Bidang pendidikan, tujuannya mempercepat pemberantasan buta aksara perempuan, melalui Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara Perempuan (GN-PBAP) bekerja sama dengan tiga Kementerian, yaitu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan Nasional. Bidang Kesehatan, melalui kegiatan kesehatan yang dilakukan antara lain; pembentukan jejaring kerja dan revitalisasi GSI, review model kecamatan sayang Ibu, penyelenggaraan pekan ASI, peningkatan pemberian ASI esklusif, sosialisasi pencegahan penyalahgunaan HIV/AIDS, perlindungan hukum dan pelayanan kesehatan reproduksi, serta peningkatan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesehatan.56

Bidang Ekonomi, tujuannya untuk menumbuhkan modal kemandirian ekonomi sebagai modal kesetaraan, untuk mewujudkan keadilan gender, antara lain membentuk forum Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP), pembentukan model desa PRIMA (Perempuan Indonesia Maju Mandiri). Bidang Partisipasi Politik Perempuan, dengan cara meningkatkan

55

Ibid., http://menegpp.go.id

56

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Potret Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Dan Kesejahteraan Serta Perlindungan Anak 2005-2006, (Jakarta: 2006), h. 6-8.

partisipasi politik perempuan sebagai salah satu upaya strategis untuk memperjuangkan berbagai isu perempuan dan gender melalui penyusunan draf rencana aksi di lembaga pengambilan keputusan, penyusunan strategi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, serta melakukan identifikasi peraturan perundang-undangan politik (UU No 31 Tahun 2002 tentang Parpol, UU No 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD). Bidang Sosial Budaya dan Lingkungan, keberhasilan upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender perlu didukung oleh nilai-nilai sosial budaya serta lingkungan yang kondusif.57

d. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

Menurut Kartasasmita (1997), proses peningkatan kesejahteraan masyarakat, dapat diterapkan berbagai pendekatan, salah satu diantaranya adalah pemberdayaan masyarakat. Memberdayakan masyarakat adalah upaya memperkuat unsur-unsur keberdayaan itu untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, atau proses memampukan dan memandirikan masyarakat.58

Human Capital Theory, menekankan bahwa manusia merupakan sumberdaya utama, berperan sebagai subjek baik dalam upaya meningkatkan taraf hidup dirinya maupun dalam melestarikan dan memanfaatkan

57

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Potret Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Dan Kesejahteraan Serta Perlindungan Anak 2005-2006, (Jakarta: 2006), h. 12.

58

Dr. Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan), (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 1.

lingkungannya. Dalam rangka meningkatkan peran perempuan, maka pemberdayaan perempuan dilakukan melalui peningkatan life skills, sehingga dapat meningkatkan peran dalam kehidupan dan pembangunan melalui peningkatan keterampilan yang bersifat produktif.59

Menurut SEAFDA dalam buku Manajemen Pemberdayaan Perempuan, menawarkan suatu model pemberdayaan masyarakat yang disebutnya self-propelling growth concept atau self help. Konsep ini merupakan keswadayaan, yaitu kegiatan menolong diri sendiri sebagai suatu strategi dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin. Kegiatan produktif mereka umumnya tergantung pada kegiatan mikro-ekonomi dengan pemanfaatan potensi sumber daya lokal.60

Jika potensi mereka dapat dikelola secara optimal, baik potensi sosial budaya maupun potensi alam, maka kaum perempuan dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan pendapatan dari proses peningkatan pengetahuan dan life-skils, baik keterampilan pengolahan, pemasaran maupun keterampilan manajemen hasil usaha atau manajemen keluarga.

Sudjana (1995: 59) mengungkapkan hal yang menunjukan terjadinya perubahan dalam pengembangan sumberdaya perempuan berupa: a) meningkatnya pengetahuan dan kesadaran tentang peranan perempuan dalam pembentukan SDM yang produktif, b) meningkatnya keterampilan untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan kesejahteraan ekonomi keluarga, c) meningkatnya kesadaran mengenai peranan pendidikan dalam peningkatan

59

Dr. Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan), (Bandung: Alfabeta, 2007),. h. 7.

60

kualitas dan produktivitas tenaga kerja, dan d) meningkatnya kesadaran dan kemampuan untuk saling belajar dalam suatu wadah kegiatan belajar.61

Salah satu upaya pemerintah bersama masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan peran perempuan dalam pembangunan adalah melalui program terpadu Peningkatan Peran Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS). Program ini merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam serta lingkungan, untuk mewujudkan dan mengembangkan keluarga sehat sejahtera dan bahagia dengan perempuan sebagai penggeraknya.62

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan melalui forum Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKPH) telah melakukan koordinasi dalam rangka upaya menyelaraskan program-program yang ada di instansi terkait khususnya dalam peningkatan kualitas hidup perempuan.63 Kehadiran program Peningkatan Peran Wanita Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) sebagai program pembangunan masyarakat merupakan peluang yang berharga bagi masyarakat perempuan untuk aktif membangun dirinya sendiri dan lingkungannya dalam upaya untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Kondisi dan situasi ini memungkinkan mereka melakukan tindakan transformasi dalam upaya pencapaian kesejahteraan keluarga yang menyangkut dimensi fisik, ekonomi, sosial, moral dan kultural di dalam perannya dalam kegiatan reproduktif, produktif dan kemasyarakatan, mereka

61

Dr. Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan), (Bandung: Alfabeta, 2007),. h. 91.

62

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, “Pedoman P2WKSS”, diakses tanggal 08 Maret 2014 dari http://menegpp.go.id

63

mampu mengubah lingkungannya dari lingkungan kehidupan sosial yang positif ke suasana kehidupan bermasyarakat yang aktif, dinamis dan produktif.64

64

Dr. Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan), (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 90.

47 A. Model Penelitian

Model penelitian dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Denzin dan Licoln 1987 menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.1 Sedangkan Bodgan dan Taylor (1975: 5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).2

Metode kualitatif lebih popular sebagai cara untuk menganalisis realitas sosial secara lebih mendalam dibandingkan metode kuantitatif. Alasannya adalah karena data kualitatif dapat dianalisis dengan konsep yang diambil dari lapangan dan bukan dari data skunder. Pengumpulan data dalam metode kualitatif seperti wawancara open-ended dan observasi partisipatif mempunyai kemampuan untuk mempelajari proses, mekanisme dan latar belakang. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mempelajari, membuka dan mengerti apa yang terjadi di belakang setiap fenomena yang hanya sedikit diketahui (Strauss & Corbin, 1990).3

1

Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2007), h. 5.

2

Ibid., h. 4.

3

Pusat Studi Wanita, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2003), hal. 137.

Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretif dan fenomenologis antara lain: 1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu; 2) manusia tidak secara sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani hidupnya; 3) ilmu didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta 4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan sosial (Sarantakos, 1993).4

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif karena penelitian kualitatif merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menganalisis realitas sosial secara mendalam. Pada penelitian kualitatif, peneliti memiliki keluwesan dalam menyusun dan menganalisis hasil temuan di lapangan, selain itu, penelitian kualitatif memungkinkan peneliti menggunakan kedekatan emosional dengan yang diteliti agar mempermudah peneliti memperoleh informasi dan mempelajari setiap fenomena yang terjadi.