• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Padang lamun , merupakan tumbuhan yang hidup terbenam di perairan dangkal yang agak berpasir. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa

2.5. Perencanaan Pariwisata

Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan. Perencanaan memuat rumusan dari berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Perencanaan berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good, dan umumnya dikategorikan juga sebagai pengelolaan (Nurisjah, 2001).

Arahan pengembangan wisata saat ini dituntut untuk mampu mewujudkan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan tidak terlepas dari adanya pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata yang mengikutsertakan masyarakat lokal. Namun kegiatan wisata dapat menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan wisata hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk di antaranya inventarisasi dan penilaian sumber daya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang berbagai dampak terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna

lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al., 2008).

Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan dilakukan dengan mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar di seluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008), perlu dilakukan penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat. Verseci dalam A.Yoeti (2008) perencanaan strategis pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut :

1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang

2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan keempat faktor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity.

3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.

4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.

5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.

Lebih lanjut Yoeti (2008) menyatakan bahwa perencanaan kawasan pariwisata pada dasarnya merupakan kegiatan membangun dan menggali potensi pariwisata itu sendiri, untuk dapat digunakan sebagai kegiatan ekonomi yang mengarah pada pengupayaan pemanfaatan objek dan atraksi wisata sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat di sekitar lokasi objek wisata tersebut. Perencanaan kawasan pariwisata berarti menyangkut pula pada kegiatan melestarikan, menata dan memelihara objek dan atraksi wisata yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Melalui perencanaan kawasan pariwisata diharapkan dapat dihindari terjadinya

pembangunan yang tidak terkendali pada kawasan wisata yang memiliki tingkat perkembangan yang cepat.

Menurut Gunn (1994), perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan oleh keseimbangan potensi sumber daya dan jasa wisata yang dimiliki (supply) dan permintaan atau minat wisatawan (demand). Komponen supply terdiri dari atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk kegiatan wisata), transportasi, pelayanan, informasi dan promosi. Sedangkan Komponen demand terdiri dari pasar wisata (keinginan atau tujuan wisatawan) dan karakteristik wisatawan. Perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar

Secara garis besar perencanaan wisata digambarkan dengan pendekatan pengembangan. Perencanaan ini bersifat spasial karena berbasis pada lahan dan semua elemen pembentuknya.

Lebih lanjut Gunn (1994) mengutarakan bahwa perencanaan untuk wisata harus dilakukan pada tiga skala. Pertama adalah skala tapak (site scale), yang telah banyak dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti pada resor, hotel, taman dan tapak wisata lainnya. Skala kedua adalah tujuan (destination : scale), dimana atraksi-atraksi wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan sektor swasta juga dilibatkan. Skala ketiga adalah wilayah, atau bahkan suatu negara (regional scale), dimana pengembangan lebih terarah pada kebijakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumber daya yang harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial.

Pendekatan perencanaan diperlukan untuk menilai dampak lingkungan dan sosial budaya akibat pembangunan sektor pariwisata sampai pada tahap pemantauan dampak setelah pembangunan sektor pariwisata tersebut. Hal ini dilakukan guna memastikan agar setiap dampak negatif yang mungkin terjadi dapat diminimalkan dengan tindakan perbaikan dan yang positif dapat diperkuat

Perencanaan lanskap yang baik menurut Simonds (1983) harus melindungi badan air dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memiliki nilai

keindahan dan ekologi. Proses perencanaan meliputi tahapan riset, analisis, sintesis, serta pembangunan dan operasional hasil perencanaan. Riset terdiri dan survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak,

meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan. Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metode. Kegiatan pembangunan dan operasional meliputi juga observasi pada hasil perencanaan.

Perencanaan dengan pendekatan unit lanskap yang dikemukakan Lyle (1985) merupakan salah satu bentuk untuk pengembangan lanskap alami yang dimulai dengan klasifikasi karakteristik fisik. Setelah dilakukan klasifikasi unit lanskap, kemudian dilakukan analisis yang bertujuan untuk menentukan batasan dan potensi, yang selanjutnya diperoleh kesesuaian bagi perencanaan dan pengembangan sumber daya yang dimiliki. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumber daya dan kebutuhan manusia adalah dengan menetapkan jenis dan besaran aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya (Bengen, 2005). Hal ini mempunyai makna bahwa setiap aktivitas pembangunan di suatu wilayah harus didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan.

Dalam pengembangan pariwisata, istilah kebijakan (policy) dan perencanaan (planning) berkaitan erat. Perencanaan berkenaan dengan strategi sebagai implementasi dari kebijakan. Perencanaan merupakan prediksi dan oleh karenanya memerlukan beberapa perkiraan persepsi akan masa depan. Walau prediksi dapat diturunkan dari obeservasi dan penelitian, namun demikian juga sangat tergantung pada nilai. Perencanaan seharusnya mengandung informasi yang cukup untuk pengambilan keputusan. Perencanaan merupakan bagian dari keseluruhan proses perencanaan pengambilan keputusan (Pitana et al, 2009). Menurut Gunn (1994) dalam proses perencanaan kawasan wisata, bantuan dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumber daya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Selanjutnya hasil dari proses penentuan ini akan dapat membantu pembuat kebijakan (policy makers) untuk membuat perencanaan wisata secara lebih lokal. Pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah membuat suatu kebijakan dan peraturan yang menentukan mekanisasi yang membantu terwujudnya kerjasama dan integrasi antara badan-badan yang

bergerak di dalam penentuannya yaitu masyarakat dan pihak swasta.

Khususnya di wilayah pesisir, kegiatan pariwisata dan rekreasi dapat menimbulkan masalah ekologis yang khusus mengingat bahwa keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Bila suatu wilayah pesisir dibangun untuk rekreasi, biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga berkembang pesat (Dahuri et al, 2008). Secara strategik, pembangunan pariwisata yang berwawasan lingkungan dapat dikembangkan dan diwaspadai dampaknya dengan memasukan rencana manajemen lingkungan dan pemantauannya ke dalam satu rencana terpadu (integrated) dan pelaksanaannya yang kemudian dimasukkan dalam tahap perancangan pariwisata itu (Soeriaatmadja, 1997).

Budaya dan aspek fisik merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi yang saling mendukung sebagai suatu kawasan wisata pesisir dan bahari. Gunn (1994) mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu: (1) mempertahankan kelestarian lingkungannya, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4) meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Agar pengelolaan wisata pesisir berhasil maka harus memenuhi komponen yang terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisjah, 2001).

Pada sistem pengelolaan ekowisata pesisir, perlu dicermati pembatasan tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (sustainable), maka Albertson (1999) dalam risetnya menyebutkan dimensi-dimensi:

1. Environmental Sustainability: perlindungan untuk generasi mendatang 2. Economic Sustainability: setiap pengembangan variabel secara ekonomi

3. Socio-Cultural Sustainability: setiap inovasi harus harmoni antara pengetahuan lokal sosial-budaya, praktek, pengetahuan, dan teknologi tepat guna

4. Political Sustainability: link birokrasi (pemerintah) dan masyarakat. Para pemimpin formal dan informal untuk suatu sektor tertentu dalam masyarakat lokal.