• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN DI JAMBI DAN JAWA

BARAT

Pemilihan terhadap Provinsi Jambi dan Jawa Barat dilakukan untuk menguraikan keragaman penyebab kemiskinan petani tanaman pangan di dua tipologi wilayah pertanian tanaman pangan di Indonesia. Aspek spasial kemiskinan petani tanaman pangan yang muncul yaitu: (1) kondisi penghidupan yang kurang layak di perdesaan dataran tinggi wilayah Barat Jambi dan pesisir di wilayah Utara-Selatan Jawa Barat, (2) kesulitan mencari alternatif penghasilan nonpertanian, (3) akses kepada kelembagaan/program pemerintah dan (4) ketiadaan status kepemilikan lahan. Hal tersebut menggambarkan minimnya aset fisik dan infrastruktur pada petani pangan yang miskin. Sementara itu, kondisi aset ekonomi dan keuangan masyarakat miskin juga terbatas, yang dapat menghambat petani untuk dapat terintegrasi ke dalam perekonomian yang lebih baik.

Alternatif Pendapatan Nonpertanian

Dengan memiliki penghasilan selain dari usaha pertanian, petani tanaman pangan akan mendapatkan tambahan penghasilan dan berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya apabila pendapatan dari pertanian tidak cukup. Di Jambi rata- rata persentase rumah tangga petani tanaman pangan dengan penghasilan nonpertanian hanya sebelas persen. Hanya beberapa kecamatan saja dimana petaninya memiliki alternatif sumber pendapatan nonpertanian. Kecamatan tersebut berada di wilayah sekitar kota besar, seperti di Kecamatan Pasar Muara Bungo dan Kota Jambi yang merupakan ibukota Provinsi Jambi. Hal ini dapat disebabkan karena tidak banyaknya pusat-pusat pertumbuhan maupun perkembangan industri yang cukup pesat di wilayah Jambi sehingga tidak ada sumber pendapatan selain pertanian (Gambar 21). Kondisi yang membedakannya dengan Jawa Barat, proporsi rumah tangga petani tanaman pangan dengan penghasilan nonpertanian di Jawa Barat mencapai 22 persen. Banyak kecamatan yang penghasilan rumah tangga petaninya lebih dari lima puluh persen berasal dari nonpertanian, terutama di Kabupaten Bogor, Cianjur, Purwakarta, Depok, Cimahi dan Tasikmalaya. Dapat dipahami bahwa wilayah-wilayah tersebut dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan atau kota besar sehingga semua petani memiliki kesempatan lebih besar untuk melakukan kegiatan nonpertanian disamping kegiatan-kegiatan di bidang pertanian.

Gambar 21 Persentase rumah tangga petani tanaman pangan berpenghasilan nonpertanian

Petani miskin di pedesaan yang menjadi semakin tergantung pada kegiatan non-pertanian sebagai sumber penghasilannya, menyebabkan kegiatan nonpertanian ini menjadi penting dan berpengaruh terhadap kemiskinan petani tanaman pangan. Aspek spasial atau lokasional mempunyai peranan dalam mengkaji struktur pendapatan pertanian yang berbeda-beda. Di wilayah Jambi bagian Barat yang sebagian besar merupakan dataran tinggi, dimana terdapat banyak petani tanaman pangan yang miskin dengan potensi luas panen padi yang tinggi, penghasilan nonpertanian berpengaruh nyata terhadap pengurangan angka kemiskinan petani tanaman pangan (Gambar 22).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurmanaf (2004) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara struktur pendapatan rumah tangga di wilayah dataran tinggi dan di wilayah dataran rendah. Pendapatan dari sektor pertanian di wilayah dataran tinggi lebih dominan yang berasal dari kegiatan-kegiatan usahatani, peternakan dan buruh tani. Walaupun jenis-jenis kegiatan di sektor luar pertanian lebih beragam, sumbangannya terhadap pendapatan sangat sedikit. Sektor nonpertanian lebih dominan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga di wilayah dataran rendah daripada di wilayah dataran tinggi. Tingkat pendapatan di wilayah dataran rendah lebih tinggi dari pada di wilayah dataran tinggi.

Di Jawa Barat, aspek spasial juga berpengaruh terhadap penerimaan nonpertanian bagi petani tanaman pangan di di wilayah sepanjang pantai Selatan, bagian Timur dan Utara Jawa Barat (Gambar 22). Sumber pendapatan dari usahatani dan berburuh tani memberikan kontribusi yang relatif besar namun beberapa kegiatan di sektor luar pertanian seperti buruh nonpertanian, jasa, industri dan perdagangan mempunyai kontribusi yang berarti bagi wilayah tersebut. Kegiatan petani dalam sektor nonpertanian yang dapat menghasilkan pendapatan tambahan di wilayah tersebut mampu memberikan alternatif sumber penerimaan bagi petani dan perlahan-lahan dapat melepaskannya dari kemiskinan. Tampak di gambar, sebagian wilayah yang berpengaruh adalah wilayah pesisir pantai Selatan, sebagian di pesisir pantai laut Jawa (pantai Utara), dan Jawa Barat bagian Timur. Di wilayah tersebut tingkat kemiskinan petani cukup tinggi, sehingga meskipun jumlah rumah tangga petani yang mempunyai penghasilan nonpertanian tidak banyak dibandingkan dengan wilayah lain, namun keberadaan sumber penerimaan nonpertanian misalnya dari sektor pariwisata dan akses jalur

lingkar Selatan Jawa Barat mampu membuat kemiskinan petani tanaman pangan menurun.

Temuan dalam penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Rachman et. al (2004) yang menunjukkan bahwa diversifikasi sumber pendapatan rata-rata rumah tangga petani maupun buruh tani di Jawa lebih beragam dibandingkan di luar Jawa. Di samping itu ada kecenderungan diversifikasi sumber pendapatan rumah tangga terkait dengan diversifikasi usahatani di lahan sawah, aksesibilitas daerah terhadap pusat perekonomian, dan ketersediaan serta kesempatan kerja di luar pertanian. Peranan pendapatan yang berasal dari usahatani padi terhadap total pendapatan rumah tangga lebih rendah di Jawa dibandingkan di luar Jawa. Implikasinya di Jawa walaupun peranannya relatif kecil karena usahatani padi tidak sepenuhnya dilandasi motif ekonomi namun juga kondisi fisik sumberdaya lahan, padi sebagai bahan pangan utama penduduk dan juga merupakan komoditas streategis di tingkat nasional maka upaya peningkatan pendepata petan padi melalu penemuan varietas unggul baru, efisiensi penggunaan input dan keterjaminan harga dan pemasaran input-output merupaakan strategi kebijkan yang patut diutamakan. Implikasi dari temuan ini adalah pentingnya Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten perlu melakukan pengembangan sarana dan prasarana untuk menunjang perekonomian di wilayah pedesaan untuk mendukung diversifikasi usaha dan pendapatan rumah tangga yang diharapkan dapat memacu peningkatan pendapatan rumah tangga.

Dalam model kemiskinan petani tanaman pangan dengan unit analisis kabupaten, variabel penghasilan nonpertanian tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan petani tanaman pangan baik di Jambi dan Jawa Barat (Gambar 23). Hal ini cukup membuktikan untuk mengetahui pengaruh variabel penghasilan nonpertanian terhadap kemiskinan petani sebaiknya digunakan pemodelan dengan unit analisis kecamatan atau hirarki data unit level rendah, karena jika menggunakan unit analisis kabupaten atau unit level lebih tinggi tidak akan menghasilkan varibel yang signifikan di seluruh wilayah yang dianalisis. Hasil ini

Gambar 22 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan nonpertanian terhadap kemiskinan petani tanaman pangan di kecamatan

sesuai dengan penelitian Pratiwi (2013). Ada dua masalah utama yang mungkin muncul akibat mengabaikan struktur hirarki. Pertama, jika analisis dilakukan dengan mengumpulkan data unit level rendah ke unit level tinggi (aggregation), maka banyak informasi yang hilang dan analisis statistika menjadi kehilangan kekuatan. Kedua, apabila seorang peneliti tidak hati-hati dalam menginterpretasi hasil maka akan menimbulkan kesalahan seperti menganalisis data pada salah satu level dan merumuskan kesimpulan pada level lain.

Demikian pula dengan model kemiskinan penduduk di kecamatan, variabel penghasilan nonpertanian tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan (Gambar 24).

Luas tanam padi sawah

Perbedaan tipologi wilayah nampak jelas terlihat, Jawa Barat sebagai provinsi penghasil pangan, dalam penelitian ini pembahasan lebih diutamakan pada tanaman padi, mempunyai luas tanam padi sawah sebesar 1.898.455 hektar jauh lebih tinggi dibandingkan di Jambi yang hanya 121.722 hektar. Luas tanam

Gambar 23 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan nonpertanian terhadap kemiskinan petani tanaman pangan di kabupaten

Gambar 24 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan nonpertanian terhadap kemiskinan penduduk di kecamatan

padi sawah disajikan secara proporsional dengan jumlah rumahtangga di setiap kecamatan yang ditunjukkan pada Gambar 25. Lokasi dengan luas tanam padi sawah per rumahtangga sebagian besar berada di wilayah Timur Jambi tepatnya di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur dengan luas tanam padi lebih dari 5.000 m2 per rumahtangga. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai potensi padi sawah yang cukup tinggi dan memiliki luas wilayah yang cukup besar sehingga luas tanam padi per rumahtangga menjadi besar. Selain itu di Tanjung Jabung Timur, sejak tahun 2012 pemerintah telah berupaya untuk membuka lahan baru untuk persawahan. Di Jawa Barat, luas tanam padi sawah per rumahtangga di sepanjang wilayah Pantai Utara relatif lebih tinggi dibandingkan di wilayah lainnya, yaitu lebih besar dari 9.000 m2 per rumahtangga.

Berdasarkan hasil uji signifikansi pengaruh luas tanam padi terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kecamatan di Jambi, luas tanam padi tidak berpengaruh terhadap kemiskinan di seluruh kecamatan Jambi (Gambar 26). Berbeda dengan di Jambi, luas tanam padi sawah di Jawa Barat berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan petani tanaman pangan di beberapa kecamatan khususnya di kecamatan yang berada di wilayah Timur dan Selatan. Hal inilah yang menjadi pembeda antara dua tipologi wilayah, wilayah penghasil pangan akan lebih sensitif terhadap perubahan luas tanam padi. Berbeda dengan wilayah bukan penghasil pangan, meskipun terdapat kecamatan dimana peningkatan luas tanam padi mempunyai kecenderungan menurunkan angka kemiskinan petani tanaman pangan, namun hal ini tidak terbukti secara nyata.

Di wilayah Utara Jawa Barat, meskipun luas tanam padi lebih besar dibandingkan wilayah lain, namun berbeda dengan wilayah Selatan, hubungan luas tanam padi sawah dengan kemiskinan petani tanaman pangan tidak signifikan di Utara. Padahal berdasarkan hasil penelitian Rachman et. al, (2004), pola hubungan antara luas penguasaan lahan sawah dengan besarnya tingkat pendapatan terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan dengan semakin luasnya penguasaan lahan sawah garapan. Sumbangan pendapatan yang berasal dari usahatani padi juga makin besar dengan makin luasnya penguasaan lahan,berkisar antara 0,0 persen (landless) sampai 43 persen lebih bagi petani dengan penguasaan lahan sawah lebih dari satu hektar. Sumbangan pendapatan yang berasal dari sektor pertanian tidak memiliki pola hubungan yang konsisten

mer

dengan luas penguasaan lahan. Namun secara keseluruhan di semua kelas penguasaan lahan pangsa pendapatan yang berasal dari pertanian masih dominan dalam menyumbang pendapatan rumah tangga.

Di wilayah Utara Jawa Barat cenderung terjadi alih fungsi lahan yang berkaitan dengan perubahan dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian serta banyaknya petani bukan pemilik lahan (buruh tani). Pangsa pendapatan yang berasal dari sektor pertanian pada rumah tangga buruh tani lebih tinggi dibandingkan rumah tangga petani. Tingginya pangsa pendapatan rumah tangga buruh tani tersebut bersumber dari berburuh tani di lahan sawah. Sementara bagi rumah tangga petani, sumber pendapatan dari sektor pertanian dominan berasal dari usahatani padi.

Faktor luar sistem pertanian yang dominan di Utara Jawa Barat adalah pesatnya industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Di Kabupaten Karawang dan Bekasi luas konversi lahan sawah tersebut bahkan mencapai 17,47 hektar dan 8,77 hektar per desa per tahun. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat (Nasoetion dan Winoto, 1996). Hal ini berarti meskipun terjadi peningkatan luas tanam padi sawah, kemiskinan petani tanaman pangan tidak akan terpengaruh. Kondisi ini dapat disebabkan karena peningkatan luas tanam tidak secara langsung akan meningkatkan pendapatan petani. Lahan sawah yang sebagian besar tidak dimiliki oleh petani serta petani yang hanya menjadi buruh tani di lahan tersebut, dapat menjadi penyebab mengapa hal ini terjadi. Kebijakan yang perlu segera diambil berkaitan penanggulangan kemiskinan petani berhubungan dengan luas tanam padi di Provinsi Jawa Barat adalah kewenangan Pemerintah Pusat yaitu land reform instrument agar terwujudnya pemerataan pemilikan dan penguasaan lahan garapan serta menahan laju konversi lahan pertanian di wilayah Utara Jawa Barat.

Apabila pemodelan yang sama dilakukan dengan unit analisis kabupaten, di Jambi luas tanam padi sawah berpengaruh terhadap kemiskinan petani tanaman pangan, sedangkan di Jawa Barat luas tanam padi sawah tidak berpengaruh Gambar 26 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga

terhadap kemiskinan petani (Gambar 27). Luas tanam padi justru dapat mempengaruhi kemiskinan penduduk secara total atau tidak hanya petani tanaman pangan saja di wilayah Utara Jawa Barat (Gambar 28). Luas tanam padi mempengaruhi kemiskinan penduduk secara total di Jawa Barat bagian tengah dan Selatan. Semakin tinggi luas tanam padi sawah signifikan mempengaruhi penurunan kemiskinan penduduk di wilayah tersebut, yaitu tepatnya di Kabupaten Cianjur, Garut, sebagain Tasikmalaya dan Bandung.

.

Kegiatan Pemberdayaan Petani

Proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya masyarakat di perdesaan serta penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan potensi kemampuan yang masyarakat miliki. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pada tingkat penentu kebijakan akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan sumberdaya pembangunan yang semakin terbatas. Program pemberdayaan masyarakat secara umum terkonsentrasi pada

Gambar 27 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga terhadap kemiskinan penduduk kecamatan

Gambar 28 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga terhadap kemiskinan petani tanaman pangan di kabupaten

pengembangan keterampilan dan perilaku di kelompok tani. Program pemberdayaan berupa pelatihan keterampilan diantaranya pelatihan keterampilan untuk produksi dan pemasaran hasil produksi. Tujuan kegiatan pelatihan ini adalah meningkatkan keberdayaan atau kemampuan masyarakat khususnya sikap kewirausahaan agar dapat mengembangkan keahlian dan kemandiriannya untuk menghasilkan pendapatan sehingga masyarakat dapat keluar dari kondisi kemiskinan. Penentuan dilaksanakannya kegiatan pelatihan di suatu desa didasarkan pada potensi masyarakat di desa tersebut, pembinaannya dilakukan oleh dinas atau instansi teknis pemerintah yang menangani kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Persentase desa dalam satu kecamatan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat yang melakukan program/kegiatan pemberdayaan berupa keterampilan produksi dan pemasaran hasil produksi selama tiga tahun terakhir disajikan pada Gambar 29.Di Jambi, kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa tidak banyak dilakukan, di bagian Tengah dan Timur Jambi cenderung lebih banyak desa yang melakukan kegiatan ini, sedangkan di bagian Barat tidak banyak masyarakat mendapatkan kegiatan pemberdayaan ini.

Kondisi berbeda dengan di Jawa Barat yang hampir seluruh kecamatan melakukan kegiatan pemberdayaan. Kegiatan ini dilaksanakan di seluruh kecamatan karena terdapat potensi masyarakat dalam produksi maupun pemasaran yang dapat dikembangkan. Di beberapa kecamatan terdapat desa pelaksana kegiatan pemberdayaan yang persentasenya lebih dari 70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di kecamatan tersebut termasuk petani tanaman pangan di dalamnya memiliki potensi kemampuan untuk dikembangkan. Dengan adanya potensi ini mereka dapat meningkatkan keterampilannya dalam melakukan produksi dan pemasaran. Peningkatan kemampuan inilah yang diharapkan dapat membuat petani tanaman pangan lebih kreatif dalam usahanya dan mampu meningkatkan kemampuannya sehingga terlepas dari belenggu kemiskinan.

Hasil signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat dengan kemiskinan petani tanaman pangan kecamatan disajikan di Gambar 30. Identifikasi signifikansi menurunkan kemiskinan diperoleh dari nilai estimasi parameter yang bertanda negatif dan signifikan berpengaruh pada taraf signifikansi α=10 persen. Dari peta signifikansi tersebut dapat diketahui bahwa pemberdayaan masyarakat dapat memberikan pengaruh yang berbeda-beda di setiap kecamatan. Namun di Provinsi Jambi, kegiatan pemberdayaan tidak

signifikan menurunkan kemiskinan petani di seluruh kecamatan. Artinya meskipun terdapat kegiatan pemberdayaan di kecamatan, namun kegiatan tersebut tidak dapat menurunkan kemiskinan petani tanaman pangan. Hal ini dapat terjadi karena ketidakefektifan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan di wilayah tersebut. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan yang tidak dapat diterjemahkan dan disalurkan secara tepat sesuai dengan kondisi masyarakat serta lingkungan, baik oleh masyarakat sebagai obyek pelaksana maupun oleh aparat yang berwenang di tingkat pemerintahan di daerah. Kegiatan yang tidak didasarkan pada kebutuhan riil atau kebutuhan masyarakat yang vital dapat menjadi penyebabnya. Penyebab lainnya adalah keterbatasan modal yang dimiliki petani untuk pengembangan usaha setelah keterampilan berhasil ditingkatkan.

Pengaruh keberadaan kegiatan pemberdayaan masyarakat terhadap kemiskinan petani tanaman pangan di Jawa Barat hanya terdapat di wilayah Timur tepatnya di Kabupaten Ciamis, Kuningan dan Cirebon (Gambar 30). Semakin besar persentase desa yang melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat di setiap kecamatan di ketiga kabupaten tersebut, maka kemiskinan petani tanaman pangan di kecamatan tersebut akan berkurang. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat efektif dilakukan di kecamatan tersebut. Penerima manfaat dari pemberdayaan masyarakat, pelaku utama terdiri dari masyarakat dan keluarganya yang berperan memobilisasi dan memanfaatkan sumber daya, penentu kebijakan yang terdiri dari aparat birokrasi pemerintah sebagai perencana, pelaksana dan pengendali kebijakan pembangunan. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat tidak hanya bergantung pada pada efektifitas komunikasi antara fasilitator dan masyarakatnya tetapi sering lebih ditentukan oleh perilaku/kegiatan pemangku kepentingan pembangunan yang lain.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) merupakan gabungan dari semua program pembangunan berbasis masyarakat Pemerintah Indonesia. Program ini memberikan hibah langsung ke berbagai kecamatan untuk mendukung proyek pembangunan yang telah diidentifikasi masyarakat. Program ini ditingkatkan selama tahun 2007-2009 dan kini telah menjangkau semua kecamatan di seluruh Indonesia. Program ini telah terbukti berhasil menciptakan lapangan kerja jangka pendek di area pedesaan dan telah terjadi penurunan tingkat pengangguran sebesar rata-rata 1,5 persen. Pemerintah juga menyalurkan dana tambahan melalui program ini untuk membiayai proyek penciptaan lapangan kerja di area yang paling terkena dampak krisis ekonomi global baru-baru ini. Program serupa dapat dilanjutkan dengan melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan dari petani tanaman pangan agar mempunyai dampak dalam pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan.

Kegiatan pemberdayaan efektif dilakukan di ketiga kabupaten tersebut karena mampu menurunkan jumlah kemiskinan petani tanaman pangan. Potensi hasil produksi tanaman pangan yang cukup tinggi membutuhkan pasar yang berkesinambungan agar hasil produksi dapat selalu tertampung. Ketiga kabupaten tersebut berada di ujung wilayah Jawa Barat dan perbatasan dengan provinsi Jawa Tengah, namun cukup jauh dari ibukota Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Oleh karena itu, kemampuan pemasaran bagi petani di wilayah ini sangat penting agar petani dapat mencari pasar bagi hasil produksinya. Semakin banyak kegiatan pelatihan pemasaran dilaksanakan di wilayah ini maka kemiskinan petani tanaman pangan akan berkurang.

Model pemberdayaan dengan unit analisis kabupaten ditunjukkan pada Gambar 31. Dapat terlihat dalam peta tersebut bahwa pemberdayaan tidak berpengaruh terhadap kemiskinan petani tanaman pangan di seluruh kabupaten di Jambi namun berpengaruh di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat. Hal ini kembali menegaskan bahwa model dengan unit analisis kecamatan mempunyai kelebihan dibandingkan model dengan unit analisis kabupaten/kota. Sedangkan apabila model kemiskinan tanaman pangan dibandingkan dengan model kemiskinan penduduk secara total terlihat perbedaannya (Gambar 32). Walaupun hasil model di Jambi tetap sama yaitu pemberdayaan tidak berpengaruh terhadap kemiskinan penduduk namun berbeda dengan di Jawa Barat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat signifikan berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan penduduk di seluruh kecamatan wilayah Barat di dalamnya terdapat Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bogor, Bekasi, Karawang dan Purwakarta. Kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan yang berada di kabupaten tersebut akan kemiskinan penduduk di wilayah tersebut. Keenam kabupaten ini mempunyai akses yang cukup dekat dengan ibukota negara maupun ibukota provinsi. Kondisi tersebut dapat menguntungkan bagi penduduknya, karena apabila masyarakat mampu meningkatkan kemampuan berproduksi dan melakukan pemasaran maka hasil produksinya akan mudah dipasarkan sehingga dapat meningkatkan penghasilannya. Hal ini akan berdampak pula kepada masyarakat yang berprofesi sebagai petani tanaman pangan, apabila petani tanaman pangan mampu memaksimalkan potensinya dalam produksi dan pemasaran sesuai dengan tujuan kegiatan pemberdayaan maka petani dapat

Gambar 30 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat desa terhadap kemiskinan petani tanaman pangan di kecamatan

meningkatkan hasil produksi dan memasarkannya untuk memperoleh peningkatan pendapatan dan perlahan-lahan keluar dari kemiskinan.

Usaha produktif petani

Usaha produktif petani dalam penelitian ini merupakan usaha yang dilakukan petani dengan memanfaatkan bantuan dana dari pemerintah atau pihak lain, baik berupa dana hibah maupun bergulir atau simpan pinjam. Pemberian dana tersebut berupa bantuan dana hibah bagi budidaya maupun nonbudidaya, dana bergulir/simpan pinjam untuk modal usaha nonpertanian, dan dana bergulir/simpan pinjam untuk modal usaha pertanian. Dana yang diperoleh ditujukan penggunaannya untuk peningkatan produktivitas, perbaikan mutu dan nilai tambah produk, meningkatkan efisiensi usaha dan pengembangan jejaring kemitraan, optimasi peluang bisnis dan peningkatan aksesibilitas. Seperti halnya kegiatan pelatihan, pemberian dana untuk seluruh kegiatan pemberdayaan juga dilakukan oleh dinas atau instansi teknis yang menangani kegiatan pemberdayaan di kabupaten/kota

Pemanfaatan dana untuk usaha produktif telah banyak dilaksanakan di desa-desa di Jambi maupun Jawa Barat (Gambar 33). Baik di Jambi maupun di

Gambar 31 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat desa terhadap kemiskinan petani tanaman pangan di kabupaten