• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan Di Provinsi Jambi Dan Jawa Barat Menggunakan Geographically Weighted Regression

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan Di Provinsi Jambi Dan Jawa Barat Menggunakan Geographically Weighted Regression"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN

DI PROVINSI JAMBI DAN JAWA BARAT MENGGUNAKAN

GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION

INTI PERTIWI NASHWARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat menggunakan Geographically Weighted Regression adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

INTI PERTIWI NASHWARI. Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat menggunakan Geographically Weighted Regression. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, HERMANTO SIREGAR dan BAMBANG JUANDA.

Subsektor tanaman pangan mendominasi usaha pertanian di Indonesia, dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 17,73 juta rumah tangga dan merupakan salah satu penyumbang angka kemiskinan. Kemiskinan petani tanaman pangan diduga disebabkan oleh fluktuasi harga gabah, land tenure, akses petani terhadap pusat ekonomi, infrastruktur yang rendah, tidak banyaknya sektor nonpertanian sebagai alternatif usaha, kurangnya akses terhadap kelembagaan, dan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Kemiskinan yang dialami oleh petani tanaman pangan dapat menyebabkan penurunan minat petani untuk bertani tanaman pangan karena tidak adanya insentif petani dalam berusahatani. Kondisi ini pada akhirnya akan menghambat produksi tanaman pangan nasional sehingga mengancam ketahanan pangan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pada masyarakat perdesaan dan petani sudah cukup diketahui melalui hasil-hasil penelitian sebelumnya. Namun keragaman pengaruh faktor-faktor tersebut secara spasial/lokasional belum cukup diketahui. Pengambilan kebijakan hanya berdasarkan pertimbangan permasalahan agregat (non spasial) dapat menyebabkan tidak efektifnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan di lapangan.

Pendekatan penanggulangan kemiskinan tidak cukup hanya dengan kebijakan-kebijakan melalui pendekatan sektoral melainkan memerlukan juga pendekatan-pendekatan spasial atau lokalitas. Penggunaan teknik disagregasi geografis atau pendekatan spasial dibutuhkan untuk memberikan gambaran mengenai variasi kemiskinan secara geografis, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih baik agar upaya variasi pendekatan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan pada tingkat yang terendah. Sesuai dengan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menguraikan sebaran spasial kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat secara spesifik lokasi; (2) menguraikan karakteristik setiap variabel yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat spesifik lokasi; dan (3) menjelaskan alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat. Metode spasial dengan pendekatan titik yang dipilih adalah Geographically Weighted Regression (GWR) yang dapat menghasilkan analisis yang lebih fokus dan terarah dalam menemukan keragaman faktor-faktor penyebab kemiskinan petani tanaman pangan secara spesifik lokasi. Penelitian ini menggunakan data 131 kecamatan di Provinsi Jambi dan 626 kecamatan di Jawa Barat.

(6)

wilayah pegunungan dataran tinggi di Barat Jambi dan pesisir di wilayah Selatan dan Utara Jawa Barat dengan infrastruktur yang relatif kurang baik dan akses yang kurang terjangkau kepada pusat ekonomi.

Pengaruh keragaman wilayah ditemukan dalam kemiskinan petani tanaman pangan. Wilayah penghasil pangan mempunyai variabel yang lebih berpengaruh terhadap kemiskinan petani tanaman pangan dibandingkan wilayah bukan penghasil pangan. Kemiskinan petani tanaman pangan lebih sensitif terhadap perubahan luas tanam padi di wilayah penghasil pangan (Jawa Barat) dibandingkan dengan wilayah bukan penghasil pangan (Jambi). Alternatif penghasilan nonpertanian berpengaruh nyata terhadap kemiskinan di kedua wilayah, di wilayah dataran tinggi Jambi bagian Barat dan di Jawa Barat sepanjang pantai Selatan, bagian Timur dan Utara. Kegiatan pemberdayaan masyarakat, keberadaan koperasi dan usaha produktif yang lebih fokus kepada pertanian tanaman pangan lebih berpengaruh di wilayah penghasil pangan (Jawa Barat) dibandingkan di Jambi. Sedangkan irigasi dapat meningkatkan produktivitas namun belum mampu mengurangi kemiskinan petani tanaman pangan di Jambi maupun Jawa Barat.

Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kabupaten di Jambi bagian Barat dan Jawa Barat bagian Selatan dan Utara perlu melakukan pengembangan sarana dan prasarana untuk menunjang perekonomian di wilayah pedesaan untuk mendukung diversifikasi usaha dan pendapatan rumah tangga yang diharapkan dapat memacu peningkatan pendapatan petani tanaman pangan. Pemerintah Pusat perlu segera memberlakukan land reform instrument dan menahan laju konversi lahan pertanian di wilayah Utara, Selatan dan Timur Jawa Barat.

(7)

INTI PERTIWI NASHWARI. Food Crops Farmers Poverty Analysis in Jambi and West Java using Geographically Weighted Regression Province. Supervised by ERNAN RUSTIADI, HERMANTO SIREGAR dan BAMBANG JUANDA.

Food crop subsector involving 17,73 million households is one of the biggest contribution to the national poverty index. Many efforts has been conducted by the government to decrease the number of poor household, but non significally reduced the poverty of food crop farmer. This situation might demotivate farmer to continue food production, so can threaten the national food security.

Factors that influence the level of poverty in rural communities and farmers are already fairly well known through the results of previous studies. But the diversity of factors influence the spatial/locational is not quite known. Policy decisions based only on an aggregate consideration of issues (non-spatial) may lead to ineffective policies applied in the field.

Disaggregation techniques geographic or spatial approach may required for give a description of the geographical variations in poverty and possible to provide better information in order to attempt a variety of approaches to reduce poverty can be done at sub district. In accordance with these problems, the purpose of this study are: (1) describe the spatial distribution of poverty food crop farmers in the provinces of Jambi and West Java specific location; (2) describes the characteristics of each variable that affects the poverty reduction food crop farmers in the provinces of Jambi and West Java specific location; and (3) explain the policy alternatives that could be considered in crop farmers poverty alleviation in the provinces of Jambi and West Java. Geographically Weighted Regression (GWR) is selected spatial methods in this study as point approach for a better analysis focused and spatial differences in discovering the diversity of factors that cause poverty food crop farmers in specific locations. This study using the data 131 sub-districts in Jambi province and 626 sub-districts in West Java.

Spatial aspects/ locational influence on pattern of food crop farmers poverty in Jambi and West Java. The influence of the spatial context is determined by the physical conditions of mountainous areas in the western part of Jambi highlands and the coast in southern and northern region of West Java with relatively poor infrastructure and lack of affordable access to economic centers.

(8)

Local Government especially District Government particularly in Western part of Jambi and Southern and Northern West Jawa have to do the development of facilities and infrastructure to support the economy in rural areas to support the diversification of business and household income is expected to spur an increase in the income of farmers crops. The Central Government should immediately enact land reform instrument and restrain the rate of conversion of agricultural lands in the Northern, Southern and Eastern West Java.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

ANALISIS KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN

DI PROVINSI JAMBI DAN JAWA BARAT MENGGUNAKAN

GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi Dr. Ir. Arif Haryana, MSc.

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan tepat waktu. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan menggunakan Geographically Weighted Regression di Provinsi Jambi dan Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam perencanaan wilayah dan pengambilan kebijakan untuk mengurangi kemiskinan petani tanaman pangan secara spesifik lokasi.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr., Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., serta Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS atas pendampingan serta bimbingan selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

Ucapan terimakasih disampaikan juga kepada:

1. Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II, ujian tertutup serta ujian terbuka;

2. Dr. Slamet Sutomo, SE selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II;

3. Dr. Ir. Arif Haryana, MSc selaku penguji pada ujian tertutup dan ujian terbuka juga atas bantuannya dalam mengarahkan penulis selama penulisan disertasi ini.

4. Dr. Ir. Sri Mulatsih selaku Sekretaris Program Studi PWD yang selalu memberikan arahan dalam teknik penulisan disertasi ini.

5. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian dan Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Kementerian Pertanian atas kesempatan tugas belajar yang diberikan kepada penulis

6. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian atas dukungan finansial bagi penulis selama menempuh tugas belajar.

7. Prof. Dr. Achmad Suryana, MS beserta Prof. Dr. Rita Nurmalina, MS yang selalu memberikan dukungan bagi penulis.

8. Dr. Ir. Mei Rohjat Darmawiredja, Ir. Ning Pribadi, MSc, Ir. Ratna Kusuma Dewi, dan Ir. Herena Pudjihastuti, MSc, Ir. Solihin, MS, Ir. Hasanuddin Rumra, MM yang selalu memberikan semangat selama masa studi dan bagi pencapaian karir penulis.

9. Rekan-rekan dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian khususnya rekan-rekan di Bidang Analisis Kerawanan Pangan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

10. Rokhana Dwi Bekti, MSi beserta Tim atas bantuannya dalam melakukan pengolahan dan analisis data dan Ahmad Azhari, SSi yang telah membantu menyediakan data yang dibutuhkan oleh penulis.

11. Anggit Gantina, SP, Diah Chandra Aryani, PhD, Tono, MSi, Lukytawati Anggraeni, PhD, Anto Gustanto, SP, MSi, Pini Wijayanti, MSi, Febrina Cholida, MSi, Lala Komalawati, M.Sc dan Mulawarman, MSi yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi.

(16)

13. Keluarga besar Alm. Prof. Dr. Yusuf Enoch, MA dan Almh. Hj. Fatimah Yusuf, khusus kepada N. Budimansyah dan Emma Sartika serta Titayanto Pieter dan Prof. Ir. Tian Belawati, M.Ed, Ph.D., yang selama ini memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

14. Keluarga besar Alm. H.M.O. Qussoy dan Almh. Hj. Enyi Marikah beserta keluarga besar H. Sjarifudin dan Hj. Yayih Solihah yang selalu memberikan kasih sayangnya kepada penulis.

15. Orangtua penulis (Bapak Alm. H. Nashwari dan ibu Hj. Eni Ruhaeni), bapak dan ibu mertua (H. Dedi Aziz dan ibu Hj. Ella Komala), serta kakak Ganjar Praputra, MM, Santi Nirmala, SH, Yuni Wahyuniwati, Hermanto, Yanny Agustiani, MH, adik Rika Suwartika, SP, AKBP Matrius, yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, dukungan dan keyakinan bahwa penulis bisa menyelesaikan studi ini tepat waktunya. Khusus untuk keponakan penulis, Nashya, Neysa, Neyra, Neyva, Neyta, Sissie, Fanya yang selalu memberikan keceriaannya.

16. Suami tercinta, R. Yaddi Akhmad Ghazali, ST, MT, dan anak-anak tersayang Nafeeza Ghassani dan Edgar Ghaissan yang selalu memberikan doa dan cintanya bagi penulis serta merelakan sebagian waktunya berkurang bersama penulis selama penyelesaian studi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

(17)

DAFTAR ISI

RINGKASAN i

SUMMARY iii

PRAKATA xi

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 9

Hipotesis 9

Ruang Lingkup Penelitian 10

Kebaruan (Novelty) Penelitian 10

2 TINJAUAN PUSTAKA 12

Pengukuran dan Indikator Kemiskinan 12

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Petani 14

Karakteristik Rumah Tangga Pertanian 15

Pemberdayaan Masyarakat dan Akses terhadap Kelembagaan Keuangan 18

Penerimaan Desa 19

Kelembagaan Irigasi 20

Jarak ke Ibukota 21

Analisis Spasial 21

Penelitian Terdahulu 24

3 METODE PENELITIAN 29

Kerangka Pemikiran 29

Sumber Data 29

Tahap Analisis Data 32

Variabel Dependen Kemiskinan Petani 32

Variabel Independent yang Mempengaruhi Kemiskinan Petani 32 Analisis Karakteristik Kemiskinan Petani Tanaman Pangan 35

Analisis Regresi Global (OLS) 35

Metode Analisis Uji Efek Spasial 38

Geographically Weighted Regression (GWR) 40

Penentuan Bandwidth 42

Pemilihan Pembobot Spasial 42

Uji Perbandingan GWR dan OLS 45

Pemetaan Hasil GWR 45

4 GAMBARAN UMUM KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN 46

Kemiskinan Petani Tanaman Pangan 46

Kondisi Wilayah Provinsi Jambi 47

(18)

5 PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP

KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN 56

6 INTEGRASI ASPEK SPASIAL KE DALAM PERENCANAAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN DI

JAMBI DAN JAWA BARAT 63

Alternatif Pendapatan Nonpertanian 63

Luas tanam padi sawah 66

Kegiatan Pemberdayaan Petani 69

Usaha produktif petani 73

Akses Masyarakat Terhadap Kredit 76

Jumlah Koperasi 78

Jumlah Penerimaan Desa 81

Sarana Irigasi 83

Jarak ke ibukota provinsi 86

Luas Tanam Perkebunan 88

Implikasi Kebijakan 90

7 SIMPULAN DAN SARAN 93

Simpulan 93

Saran 94

DAFTAR PUSTAKA 95

LAMPIRAN 103

(19)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan Model Regresi Global dengan GWR 24

2 Variabel independent pemodelan regresi 34

3 Perbandingan jumlah penduduk miskin menurut data Susenas 2011 dan

PPLS 2001 47

4 Jumlah dan persentase penduduk PPLS berusia 15 tahun ke atas

menurut lapangan usaha dan status kesejahteraannya 48 5 Luas panen, produksi dan produktivitas padi menurut kabupaten/kota di

Provinsi Jambi 2014 49

6 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi menurut Kabupaten/Kota

di Provinsi Jawa Barat 2014 53

7 Hasil Estimasi Parameter Regresi OLS dan GWR kemiskinan petani

tanaman pangan (Y2) di Kecamatan Jambi dan Jawa Barat 59

8 Hasil Uji Moran‟s I di Kecamatan Jambi dan Jawa Barat 60 9 Hasil Estimasi Parameter Regresi OLS dan GWR kemiskinan petani

tanaman pangan di Kabupaten/Kota (Y1) di Provinsi Jambi dan Jawa

Barat 61

10 Hasil Estimasi Parameter Regresi OLS dan GWR kemiskinan

penduduk (Y3) di Kecamatan Jambi dan Jawa Barat 62

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase penduduk miskin tahun 2006 – Maret 2015 1 2 Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga pertanian di Indonesia

menurut sumber pendapatan utama 2

3 Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di Provinsi Jambi

Tahun 2013 4

4 Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di Provinsi Jawa

Barat Tahun 2013 5

5 Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas yang bekerja di

sektor pertanian di Provinsi Jambi 2013 7

6 Persentase penduduk miskin usia 15 Tahun ke atas yang bekerja di

sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat 2013 7

7 Lingkaran Perangkap Kemiskinan 15

8 Analisis spasial dan kelompok-kelompok analisis pecahannya dalam

perpektif ilmu geografi kuantitatif 23

9 Kerangka pemikiran penelitian 30

10 Lokasi penelitian 31

11 Tahap analisis data 33

12 Perbandingan jumlah rumah tangga pertanian di Provinsi Jambi

menurut subsektor Tahun 2003 dan 2013 49

13 Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga petani menurut wilayah

dan sumber pendapatan utama di Provinsi Jambi 50

(20)

16 Perbandingan jumlah rumah tangga pertanian di Provinsi Jawa Barat

menurut subsektor Tahun 2003 dan 2013 52

17 Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga petani menurut sumber

pendapatan dan wilayah di Provinsi Jawa Barat 53 18 Persentase kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jawa Barat 55 19 Persentase kemiskinan penduduk di Provinsi Jawa Barat 55 20 Tingkat Signifikansi Uji LISA : (a) kemiskinan petani tanaman pangan,

(b) kemiskinan penduduk 58

21 Persentase rumah tangga petani tanaman pangan dengan penghasilan

nonpertanian 64

22 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan

nonpertanian terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kecamatan 65 23 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan

nonpertanian terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kabupaten 66 24 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan

nonpertanian tanaman terhadap kemiskinan penduduk kecamatan 66 25 Luas tanam padi sawah (m2) per rumah tangga petani 67 26 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga petani

terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kecamatan 68 27 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga petani

terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kabupaten 69 28 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga petani

terhadap kemiskinan penduduk kecamatan 69

29 Persentase desa yang melakukan pemberdayaan masyarakat 70 30 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat terhadap kemiskinan

petani tanaman pangan kecamatan 72

31 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat terhadap kemiskinan

petani tanaman pangan kabupaten/kota 73

32 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat terhadap kemiskinan

penduduk kecamatan 73

33 Persentase desa yang memperoleh dana hibah/bergulir untuk usaha

produktif petani 74

34 Signifikansi hubungan perolehan dana hibah/bergulir untuk usaha produktif petani terhadap kemiskinan petani tanaman pangan

kecamatan 75

35 Signifikansi hubungan perolehan dana hibah/bergulir untuk usaha produktif petani terhadap kemiskinan petani tanaman pangan

kabupaten/kota 75

36 Signifikansi hubungan perolehan dana hibah/bergulir untuk usaha

produktif petani terhadapkemiskinan kecamatan 76 37 Persentase desa yang memperoleh kredit (KKPE, KUR, KUK) 77 38 Signifikansi hubungan perolehan kredit terhadap kemiskinan petani

tanaman pangan kecamatan 77

39 Signifikansi hubungan perolehan kredit kredit terhadap kemiskinan

kecamatan 78

40 Signifikansi hubungan perolehan kredit terhadap kemiskinan petani

tanaman pangan kabupaten/kota 78

(21)

42 Signifikansi hubungan jumlah koperasi terhadap kemiskinan petani

tanaman pangan kecamatan 80

43 Signifikansi hubungan jumlah koperasi terhadap kemiskinan

kecamatan 80

44 Signifikansi hubungan jumlah koperasi terhadap kemiskinan petani

tanaman pangan kabupaten/kota 80

45 Rasio penerimaan desa terhadap penduduk (juta rupiah per kapita) 82 46 Signifikansi hubungan dana penerimaan desa terhadap kemiskinan

petani tanaman pangan kecamatan 82

47 Signifikansi hubungan dana penerimaan desa terhadap kemiskinan

penduduk kecamatan 83

48 Signifikansi hubungan dana penerimaan desa terhadap kemiskinan

petani tanaman pangan kabupaten/kota 83

49 Rasio luas lahan dengan irigasi (hektar) terhadap penduduk 84 50 Signifikansi hubungan sarana irigasi terhadap kemiskinan petani

tanaman pangan kecamatan 85

51 Signifikansi hubungan sarana irigasi terhadap kemiskinan petani

tanaman pangan kabupaten/kota 85

52 Signifikansi hubungan sarana irigasi terhadap kemiskinan penduduk

kecamatan 85

53 Jarak (km) kecamatan ke ibukota propinsi 86

54 Signifikansi hubungan jarak ke ibukota terhadap kemiskinan petani

tanaman pangan kecamatan 87

55 Signifikansi hubungan jarak ke ibukota terhadap kemiskinan penduduk

kecamatan 87

56 Signifikansi hubungan jarak ke ibukota kemiskinan petani tanaman

pangan kabupaten/kota 88

57 Luas lahan perkebunan (m2/penduduk) 89

58 Signifikansi hubungan luas tanam perkebunan terhadap: (a) kemiskinan petani tanaman pangan kecamatan, (b) kemiskinan penduduk

kecamatan 89

DAFTAR LAMPIRAN

1. Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas yang bekerja 103 2. Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Indonesia 2013 dan 2014 104 3. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan Tahun 2014 105 4. Distribusi persentase PDRB ADHB untuk sektor pertanian di setiap 106 5. Rata-rata luas lahan yang dikuasai per rumah tangga petani 107

6. Kode kecamatan di Propinsi Jambi 108

7. Output Moran dan LISA Propinsi Jambi 111

8. Output Moran dan LISA Propinsi Jawa Barat 115

9. Output OLS dan GWR Y1 di Kabupaten/Kota Propinsi Jambi 118

10. Output OLS dan GWR Y2 di Kecamatan Propinsi Jambi 123

(22)

12. Output OLS dan GWR di Kabupaten/Kota (Y1) Propinsi Jawa Barat 131

13. Output OLS dan GWR Y2 di Kecamatan Propinsi Jawa Barat 135

(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Millennium Development Goals (MDGs) telah berakhir pada September 2015 dan diganti dengan “Sustainable Development Goals” (SDGs) sebagai tujuan pembangunan global yang baru. Tujuan pertama SDGs adalah “Mengakhiri Kemiskinan dalam Segala Bentuk Di Mana Pun” (End poverty in all its forms everywhere). Menurut World Bank (2015), jumlah penduduk miskin di Indonesia memang mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dari 24 persen (1999) menjadi 11,3 persen (2014). Namun, dalam perkembangannya, kecepatan penurunan kemiskinan berkurang tajam. Tingkat penurunan kemiskinan hanya mencapai 0,7 persen dalam dua tahun terakhir (2013-2014), yang terlambat sepanjang satu dekade terakhir. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 secara nasional berada di kisaran lebih dari sepuluh persen (BPS 2015a), angka kemiskinan di perdesaan mendekati 15 persen sedangkan perkotaan sekitar delapan persen ditunjukkan pada Gambar 1.

Hampir 90 persen penduduk di perdesaan yang termasuk dalam kriteria miskin dan hampir miskin memperoleh pendapatan dari sektor pertanian (BPS 2015a). Sebanyak 14 juta penduduk miskin mempunyai pekerjaan sebagai petani. Jumlah tenaga kerja pertanian pada Agustus tahun 2014 sebesar 35,59 juta orang atau 32,12 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia dan penyerapan tenaga kerja terbesar di subsektor tanaman pangan (51,36 persen) (Kementan 2014). Namun demikian, pertumbuhan sektor pertanian mengalami stagnasi dan tertinggal dari pertumbuhan sektor nonpertanian, ditunjukkan oleh 40 persen masyarakat yang terlibat dalam pertanian masih hidup di bawah garis kemiskinan. Studi yang pernah dilakukan Asian Development Bank (ADB) pada 2009 menunjukkan bahwa 82 persen pekerja miskin berada di perdesaan, 66 persennya terkait

(24)

pertanian, dengan upah pekerja informal di sektor pertanian hanya sekitar 46 persen dari karyawan sektor formal (Media Indonesia 2015). Lampiran 1 menunjukkan persentase penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian. Secara rata-rata, penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian di Indonesia adalah 38 persen. Persentase tertinggi di Papua yaitu 74,54 persen dan terendah di DKI Jakarta 1,99 persen.

Subsektor tanaman pangan mendominasi usaha pertanian di Indonesia, dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 17,73 juta rumah tangga dan disebut sebagai salah satu penyumbang angka kemiskinan. Perbandingan rata-rata pendapatan rumah tangga di sektor pertanian dapat dilihat pada

Gambar 2. Rumah tangga petani tanaman padi dan palawija memiliki persentase sumber penerimaan usaha di sektor pertanian yang relatif kecil dibandingkan dengan rumah tangga petani lainnya. Share pendapatan yang kecil di sektor pertanian mendorong petani tanaman padi dan palawija untuk mencari sumber pendapatan lain di luar sektor pertanian karena daya tawar petani terhadap komoditas pangan yang dihasilkan relatif rendah. Menurut Rozany et al. (1978), petani kecil dan buruh tani/petani buruh mengalami defisit pendapatan dari sektor pertanian (pendapatan dari sektor pertanian saja tidak cukup untuk membiayai keluarganya) sehingga terpaksa mencari pekerjaan yang padat tenaga kerja dan kurang membutuhkan modal seperti warung kecil, pedagang, kerajinan tangan, bekerja di bidang jasa dan sebagainya.

Kemiskinan yang masih dialami oleh petani tanaman pangan menunjukkan bahwa permasalahan yang mendasar dalam pertanian tanaman pangan belum dapat diselesaikan. Masalah yang mendasar terjadi pada sektor pertanian termasuk tanaman pangan di Indonesia (Yustika 2003) adalah kepemilikan lahan yang sangat kecil. Pada tahun 2013 tercatat bahwa jumlah rumah tangga usaha

Gambar 2 Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga pertanian di Indonesia menurut sumber pendapatan utama

(25)

pertanian dengan luas lahan yang dikuasai kurang dari 0,10 hektar sebanyak 4,34 juta rumah tangga, sedangkan rumah tangga usaha pertanian dengan luas lahan yang dikuasai antara 0,10 – 0,19 hektar sebanyak 3,55 juta rumah tangga (BPS 2013b). Rumah tangga usaha pertanian paling banyak menguasai lahan dengan luas antara 0,20 – 0,49 hektar (6,73 juta rumah tangga). Dari 98,53 persen rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan, sebanyak 14,25 juta rumah tangga (55,33%) merupakan rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 hektar). Dengan struktur kepemilikan lahan seperti itu, maka efisiensi dan produktivitas akan sulit dicapai, harapan akan peningkatan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan juga sangat sulit diperoleh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan petani tanaman pangan berkisar pada isu: (1) on farm yaitu akses yang kurang terhadap penggunaan teknologi dan rendahnya luas lahan yang dimiliki petani; (2) ekonomi yaitu ada tidaknya alternatif pendapatan nonpertanian, fasilitas kredit atau keuangan yang diperoleh dan tinggi rendahnya penerimaan desa tempat tinggal petani; (3) kurangnya akses terhadap kelembagaan dan kebijakan-kebijakan pemerintah seperti kegiatan pemberdayaan dan perolehan bantuan dana dari pemerintah; dan (4) efisiensi pemasaran yaitu keberadaan koperasi.

Upaya penanganan kemiskinan belum sepenuhnya sensitif dan terintegrasi dengan aspek spasial. Oleh karena itu, pengintegrasian aspek spasial menjadi sangat penting dan strategis dalam upaya perumusan strategi penanggulangan kemiskinan petani tanaman pangan. Urgensi atas analisis spasial itu menjadi lebih rasional ketika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia. Indonesia memiliki keragaman wilayah dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat antardaerah yang tidak sama, serta perbedaan dalam ketersediaan sumber daya alam serta prasarana fisik wilayah. Atas dasar fakta itu, penanggulangan kemiskinan petani tanaman pangan tidak dapat diperlakukan seragam untuk seluruh provinsi, perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh karakteristik dan permasalahan kemiskinan petani tanaman pangan di setiap wilayah sehingga penanganan dilakukan dengan mengutamakan pendekatan lokasional.

Dalam penelitian ini dipilih dua wilayah provinsi yang mewakili tipologi dan karakteristik yang berbeda sebagai representasi dari keragamanan wilayah di Indonesia. Provinsi yang dipilih adalah Provinsi Jambi, representasi provinsi bukan penghasil komoditas pangan yang memiliki NTP rendah (88,93) namun memiliki potensi perkebunan yang melimpah terutama pada komoditas karet dan kelapa sawit. Di Provinsi Jambi terdapat luas panen padi sawah seluas 121.722 hektar, dan masih terdapat petani tanaman pangan yang miskin di beberapa wilayah. Provinsi lainnya adalah Provinsi Jawa Barat yang dipilih sebagai representasi dari provinsi penghasil pangan dengan luas panen padi 1.898.455 hektar dan memiliki karakteristik yang khas dengan perkembangan kegiatan ekonomi yang pesat khususnya industri dan jasa serta jumlah penduduk yang tinggi. Selain itu, Provinsi Jawa Barat mempunyai infrastruktur pertanian yang lebih baik dibandingkan Provinsi Jambi.

(26)

beberapa tahun terakhir, namun di Provinsi Jambi PDRB sektor pertanian masih tinggi karena rumah tangga petani tanaman pangan beralih menjadi tanaman perkebunan. Persentase PDRB sektor pertanian yang tinggi berada di wilayah Barat Jambi (Gambar 3). Di wilayah ini terdapat luas tanam padi yang relatif tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Wilayah ini berada di dataran tinggi dengan karakteristik infrastruktur yang kurang baik dan mempunyai jarak ke ibukota provinsi yang cukup jauh. Oleh karena itu dapat diduga kemiskinan petani tanaman pangan di wilayah ini akan lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Jambi.

Transformasi terhadap lahan pertanian pangan menjadi lahan perkebunan di Jambi semakin besar terjadi ditandai oleh penurunan luas lahan pertanian sawah diiringi dengan penurunan jumlah rumah tangga subsektor tanaman pangan pada tahun yang sama. Sedangkan subsektor perkebunan khususnya karet dan sawit mengalami peningkatan dan cenderung mendominasi. Hal ini telah dikaji oleh Pasaribu et al. (2011) yang menyatakan bahwa pada tahun 2010 total luas lahan pangan di Jambi yang sudah mulai beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit mencapai 75.000 hektar.

Sedangkan di Jawa Barat, secara umum transformasi struktural ditandai dengan peralihan dan pergeseran kegiatan perekonomian dari sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa). PDRB ADHB sektor pertanian di Jawa Barat tahun 2013 sebesar 11,95 persen. PDRB telah dikuasai oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran.Seluruh kabupaten di Jawa Barat mempunyai distribusi persentase PDRB sektor pertanian yang kurang dari 50 persen (Gambar 4). Hanya di bagian Selatan yang didominasi oleh kabupaten mempunyai persentase PDRB sektor pertanian mendekati 40 persen di yaitu Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya. Wilayah Selatan merupakan wilayah pesisir, mempunyai akses ke pusat ekonomi yang cukup sulit. Kemiskinan petani tanaman pangan di wilayah ini diduga cukup tinggi. Di Utara, Kabupaten Subang, Majalengka, Cirebon dan Kuningan. Kabupaten/kota lainnya memiliki sektor usaha yang lebih berkembang selain pertanian, seperti industri pengolahan, perdagangan, hotel, restaurant, konstruksi serta jasa-jasa.

Gambar 3 Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di Provinsi Jambi Tahun 2013

(27)

Aspek spasial/lokasional dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap penyebaran kemiskinan petani tanaman pangan di Jambi dan Jawa Barat. Konsentrasi kemiskinan petani tanaman pangan bisa berada di wilayah dengan karakteristik yang berbeda di Jambi dan Jawa Barat. Sementara itu, implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan petani juga mempunyai tingkat keberhasilan yang berbeda di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan penanggulangan kemiskinan petani tanaman pangan, dibutuhkan kesesuaian upaya penanggulangan dengan kendala-kendala lokasional yang ditemui di masing-masing wilayah.

Perumusan Masalah

Kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan lapangan kerja di Indonesia tetap tinggi, meskipun persentase orang yang bekerja di sektor pertanian terus menurun (BPS 2013b). Para petani gurem di Indonesia memiliki lahan yang produktivitasnya sangat rendah dengan luas lahan yang sangat sempit seluas kurang dari 0,5 hektar. Di Jawa Barat, sebagian besar petani miskin adalah petani penggarap dan petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Sedangkan di Jambi petani tanaman pangan cenderung menjadi petani kecil dengan lahan terbatas, karena banyaknya penggunaan lahan yang diperuntukkan kepada tanaman perkebunan.

Kondisi kemiskinan yang dialami petani tanaman pangan apabila dibiarkan berlarut-larut maka dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya penurunan minat petani untuk bertani padi, karena petani tidak mampu menanggung biaya produksi dan menerima pendapatan yang rendah sedangkan pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari tidak bisa terelakkan. Tidak adanya insentif petani dalam berusahatani, akan menghambat produksi tanaman pangan nasional sehingga sulit untuk mencapai swasembada pangan dan pada akhirnya mengancam ketahanan pangan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pada masyarakat perdesaan dan petani sudah cukup diketahui melalui hasil-hasil penelitian sebelumnya, namun keragaman pengaruh faktor-faktor tersebut secara spasial/lokasional belum banyak diketahui. Selama ini pengambilan kebijakan

Gambar 4 Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

(28)

hanya berdasarkan pertimbangan pemahaman agregat (non spasial) yang dapat menyebabkan tidak efektifnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Upaya-upaya penanganan kemiskinan juga belum sepenuhnya sensitif dan berintegrasi dengan aspek spasial. Hal ini patut dipertimbangkan mengingat pemahaman pengintegrasian aspek spasial sangat penting dan strategis dalam upaya perumusan strategi penanggulangan kemiskinan petani tanaman pangan. Berdasarkan hasil kajian World Bank (2007), adanya ketimpangan antarwilayah termasuk ketimpangan desa-kota, menunjukkan bahwa lokasi geografis juga berkorelasi dengan kemiskinan. Oleh karena itu, dibutuhkan penggunaan teknik disagregasi geografis atau pendekatan spasial yang mampu memberikan gambaran mengenai variasi kemiskinan secara geografis, sehingga dimungkinkan untuk memberikan informasi yang lebih baik agar upaya variasi pendekatan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan pada tingkat yang terendah.

Pentingnya penanganan kemiskinan petani tanaman pangan berbasis wilayah karena: (1) kemiskinan cenderung terkonsentrasi, petani tanaman pangan yang miskin dapat terkonsentrasi dan merata tinggal dalam suatu wilayah tertentu; (2) permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan minimnya akses suatu wilayah pada layanan dasar dan infrastruktur (ketertinggalan dan keterisolasian wilayah); dan (3) pendekatan makro agregat dalam penanggulangan kemiskinan seringkali hanya mengutamakan pertimbangan ekonomi semata dan mengabaikan pendekatan kewilayahan padahal secara spasial-kewilayahan, keberadaan sumberdaya tersebar tidak merata. Selain itu, setiap wilayah memiliki karakternya masing-masing sesuai dengan dukungan sumberdaya alam dan manusia, karakter sosial-budaya, dan juga termasuk aktivitas perekonomian masyarakat di dalamnya. Setiap upaya, strategi, kebijakan dan program pengentasan kemiskinan akan membutuhkan spesifikasinya sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristik wilayah.

Konteks spasial kemiskinan petani seharusnya dapat berimplikasi terhadap perencanaan penanggulangan kemiskinan petani. Peran kewilayahan dalam pengimplementasian strategi penanggulangan kemiskinan tentu saja akan berbeda pada setiap tingkatan. Penelitian ini menggunakan unit analisis kecamatan, sebagai tingkatan unit pemerintahan dalam wilayah administrasi. Perencanaan penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan karakteristik dan kebutuhan kecamatan akan langsung fokus dan terarah tepat pada sasaran. Melalui pendekatan kecamatan, batas-batas wilayah dapat diketahui lebih kongkrit dan terjangkau sehingga lebih sensitif secara lokasi dibandingkan dengan pendekatan kabupaten. Selain itu, pendekatan kecamatan mampu menangkap keragaman lebih spesifik dibandingkan kabupaten. Semakin kecil wilayah yang dipilih sebagai unit analisis maka keragaman akan semakin terlihat. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil analisis yang mampu mengungkap keragaman faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan tanaman pangan di kecamatan, dibandingkan dengan di kabupaten.

(29)

agregat tidak terlihat pengaruhnya, apabila dilakukan dengan analisis secara geografis dapat terlihat.

Kantong-kantong kemiskinan petani secara umum telah terbentuk di Provinsi Jambi maupun Jawa Barat, ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Sebanyak 39 persen penduduk miskin Jambi bekerja di sektor pertanian , terutama di bagian Utara Jambi yaitu kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Tebo. Di Jawa Barat, terdapat 21,9 persen penduduk miskin bekerja di sektor pertanian berada di bagian Timur di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Ciamis. Secara kewilayahan, wilayah miskin yang saling berdekatan membentuk wilayah yang homogen berdasarkan kemiskinan, sesuai dengan hukum pertama tentang geografi yang dikemukakan oleh Tobler dalam Anselin dan Rey (2010) bahwa “segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh”.

Keragaman kemiskinan petani tanaman pangan di Indonesia, dalam penelitian ini direpresentasikan oleh Provinsi Jambi sebagai provinsi bukan penghasil pangan dan Jawa Barat sebagai provinsi penghasil pangan. keragaman spasial kemiskinan petani tanaman pangan di kedua provinsi tersebut akan diuji dan diidentifikasi variabel-variabel mana yang secara signifikan berpengaruh terhadap kemiskinan petani tanaman pangan. Hasil identifikasi terhadap variabel dapat menguraikan kebijakan yang diperlukan secara lokasional, lebih lanjut dapat

Gambar 5 Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian di Provinsi Jambi 2013 Sumber: BPS 2013a

(30)

menunjukkan kebijakan mana yang membutuhkan pendekatan spasial dan mana yang tidak. Hal ini mengacu kepada variabel yang berpengaruh nyata di wilayah-wilayah tersebut.

Pendekatan kewilayahan inilah yang dibutuhkan untuk memberikan interpretasi apa penyebab kemiskinan petani di masing-masing wilayah secara lebih luas dan detail sesuai keragaman respon serta koefisien setiap wilayah yang berbeda. Analisis spasial digunakan untuk mengatasi masalah yang muncul pada penggunaan metode global yang sulit digunakan dalam menunjukkan heterogenitas spasial, karena keterbatasan interpretasi dan tidak menunjukan pengaruh kewilayahan (Fotheringham et al. 1998). Kebijakan pengurangan kemiskinan yang tidak memperhitungkan aspek spasial ataupun keragaman karakteristik wilayah akan menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tidak berimbang. Hal ini dikarenakan penerapan kebijakan pengurangan kemiskinan petani tidak mengacu pada keragaman karakteristik atau spesifikasi wilayah sebagai akar masalah di masing-masing wilayah.

Penelitian dengan memasukkan aspek spasial masih terbatas dilakukan di Indonesia, padahal dimensi spasial mewarnai semua aspek kehidupan termasuk kemiskinan. Interaksi antarwilayah ternyata tidak sekedar dipengaruhi oleh jarak tetapi juga posisi relatif serta bentuk-bentuk hubungan fungsional wilayah yang bersangkutan (Rustiadi et al, 2011). Kajian mengenai kemiskinan yang dilakukan oleh Yosnofrizal (2011), Suryahadi (2011), Teguh (2011), Warr (2013), Sudarlan (2015) serta Lisanty dan Tokuda (2015) belum memasukkan aspek spasial dalam analisisnya. Pendekatan spasial khususnya pendekatan area mulai digunakan oleh beberapa peneliti di Indonesia untuk berbagai topik studi empiris seperti Yamauchi et al. (2010), Smajgl dan Bohensky (2013), Jajang (2014) dan Pasaribu (2015).

(31)

Pertanyaan dalam peneltian ini adalah:

1. Sejauh mana terdapat keragaman spasial dan bagaimana sebaran spasial kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat?

2. Variabel apa saja yang mempengaruhi kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat secara spesifik lokasi?

3. Kebijakan apa yang tepat bagi setiap lokasi yang berbeda dalam upaya pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menguraikan sebaran spasial kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat secara spesifik lokasi

2. Mengidentifikasi variabel yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat spesifik lokasi

3. Menjelaskan alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan secara spesifik lokasi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dan Jawa Barat dalam penanganan kemiskinan petani tanaman pangan yang didasarkan kepada kebutuhan wilayah sehingga upaya penanganan kemiskinan petani tanaman pangan menjadi lebih efektif dan efisien

Hipotesis

Beberapa hipotesis penelitian ini adalah:

1. Penyebaran kemiskinan petani tanaman pangan di Jambi dan Jawa Barat dipengaruhi oleh faktor geografis/lokasional. Kemiskinan petani tanaman pangan di Jambi dan Jawa Barat mengelompok pada wilayah yang mempunyai karakteristik pertanian tanaman pangan yang dominan. Di Jambi, wilayah tersebut berada di bagian Barat, lokasi wilayah yang jauh dari pusat ekonomi dan tidak banyak alternatif sektor nonpertanian serta infrastrukturnya rendah, dan kelembagaan petani yang tidak berkembang. Sedangkan di Jawa Barat terletak di bagian Selatan dimana masih ditemukan wilayah-wilayah yang sulit aksesnya ke pusat ekonomi. Di bagian Utara kepemilikan lahan diduga menjadi tingginya kemiskinan petani tanaman pangan.

(32)

pemberdayaan dan mendapatkan fasilitas kredit diduga mempunyai kemiskinan petani tanaman pangan yang rendah; (d) wilayah yang mempunyai jumlah penerimaan desa yang besar diduga akan mengurangi jumlah petani tanaman pangan yang miskin; (e) wilayah yang berada jauh dari ibukota provinsi, kemiskinannya akan tinggi; (f) semakin tinggi luas tanam perkebunan diduga akan dapat mengurangi kemiskinan petani tanaman pangan; dan (g) semakin luas lahan sawah yang memiliki irigasi maka kemiskinan petani tanaman pangan akan rendah.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya menguraikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan yang terbatas pada data sekunder yang digunakan yaitu Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011 yang disesuaikan dengan data 2013, Sensus Pertanian tahun 2013, dan Potensi Desa tahun 2014 (pendataan tahun 2013). Pemekaran kabupaten atau kecamatan setelah tahun 2011 tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini. Pembobotan titik pada GWR ditunjukkan dengan koordinat titik pusat (centroid) pada masing-masing kecamatan dan memperhatikan kesinggungan batas administrasi antar kecamatan.

Kebaruan (Novelty) Penelitian

Penelitian mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan di Indonesia selama ini seperti dilakukan Yosnofrizal (2011), Suryahadi (2011), Teguh (2011), Warr (2013) dan Sudarlan (2015) selalu menggunakan pendekatan makro agregat dan tidak mempertimbangkan faktor keragaman di masing-masing wilayah. Sementara di Indonesia, terdapat keragaman wilayah yang cukup tinggi dalam dinamika kemiskinan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten bahkan di kecamatan. Meskipun pendekatan spatial econometric telah mulai digunakan oleh beberapa peneliti di Indonesia seperti Yamauchi et al, (2010), Smajgl dan Bohensky (2013), Jajang (2014), dan Pasaribu (2015), umumnya penelitian tersebut menggunakan pendekatan area dan tidak ada yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Pendekatan area dianggap masih memiliki kelemahan apabila digunakan untuk menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan petani karena tidak dapat menangkap keragaman secara spesifik pada setiap unit analisis.

Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama di Indonesia yang menggunakan pendekatan kewilayahan untuk menguraikan kemiskinan petani tanaman pangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menggunakan pendekatan spasial titik dengan unit analisis kecamatan. Penelitian ini juga memiliki keunggulan karena membandingkan dua karakteristik provinsi sebagai representasi wilayah penghasil pangan dan bukan penghasil pangan di Indonesia sehingga dapat memberikan perspektif yang baru dalam mempertimbangkan kebijakan yang tepat secara lokasional.

(33)
(34)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengukuran dan Indikator Kemiskinan

Ukuran-ukuran kemiskinan perlu ditentukan dengan akurat. Menurut Ravallion (1998) pengukuran tingkat kemiskinan dilakukan dalam tiga tahap: (1) mendefinisikan suatu indikator kesejahteraan (welfare indicator), misalnya pengeluaran per kapita (per capita expenditure); (2) menentukan standar minimum indikator tersebut untuk mengidentifikasi penduduk miskin, misalnya garis kemiskinan (poverty line), dan (3) menghitung ukuran statistik yang merangkum informasi distribusi indikator kesejahteraan tersebut dan posisinya relatif terhadap standar minimum, misalnya headcount index yang akurat.

Beberapa model pengukuran dan indikator kemiskinan yang selama ini digunakan adalah:

1. Sayogyo (1977) menyatakan bahwa ukuran kemiskinan mengacu pada biaya kebutuhan pokok yang disetarakan dengan ukuran beras, dan dibedakan antara perdesaan dan perkotaan. Perbedaan kota dengan desa ini mengacu pada standar hidup yang berbeda antara desa dan kota. Di perdesaan, dikategorikan miskin jika pengeluarannya kurang dari setara 320 kg beras per kapita per tahun, miskin sekali jika pengeluaran kurang dari setara 240 kg beras per kapita per tahun dan paling miskin jika pengeluaran kurang dari setara 180 kg beras per kapita per tahun. Sedangkan di perkotaan, miskin jika pengeluaran setara 480 kg beras per kapita per tahun, miskin sekali jika pengeluaran setara 360 kg beras per kapita per tahun dan paling miskin jika pengeluaran setara 270 kg beras per kapita per tahun.

2. BPS (2016) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) dan menghasilkan data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Data kemiskinan makro bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), juga digunakan Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan. Indikator kemiskinan yang dihasilkan diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (Po/Head Count Index), Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/Poverty Gap Index), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2/Poverty Severity Index). Pendekatan kebutuhan dasar ditentukan melalui Garis Kemiskinan sebagai batas standar minimum pengeluaran per kapita dengan menghitung biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi makanan yang memenuhi syarat nutrisi yang cukup yaitu 2100 kalori per orang per hari dan biaya kebutuhan penting lainnya seperti pakaian, kesehatan, dan tempat tinggal.

(35)

dan perlindungan sosial yang keempat. Kegiatan PPLS11 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan basis data terpadu yang dapat digunakan untuk program-program bantuan dan perlindungan sosial pemerintah pada tahun 2012-2014. Tujuan dari PPLS11 adalah untuk mendapatkan 40 persen rumah tangga sasaran kelompok menengah ke bawah (masyarakat miskin dan rentan miskin) secara nasional. Untuk mendapatkan daftar nama yang akan didata, digunakan data dari Sensus Penduduk (SP) 2010 dengan menggunakan model Poverty Targeting (PovTar). Model PovTar merupakan model yang dikembangkan dari model PovMap, dan juga merupakan pengembangan dari model Proxy Means Test (PMT). Model ini dapat memperkirakan jumlah rumah tangga (kuota) yang akan didata sampai dengan level desa/kelurahan. Selain dari PovTar, kuota PPLS 2011 juga mempertimbangkan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Apabila ditemukan di suatu wilayah hasil PovTar lebih rendah daripada PPLS2008, maka kuota di wilayah tersebut minimal sama dengan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Kuota yang dihasilkan dari model Povtar ini merupakan perkiraan jumlah rumah tangga yang akan didata dalam suatu wilayah. Apabila ternyata wilayah tersebut masih banyak ditemukan rumah tangga yang dianggap miskin, maka wilayah tersebut bisa menambah pendataan sekitar 5 persen dari kuota.

PPLS didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pada data kemiskinan makro. Indikator-indikator yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu: (1) luas lantai rumah; (2) jenis lantai rumah; (3) jenis dinding rumah; (4) fasilitas tempat buang air besar; (5) sumber air minum; (6) penerangan yang digunakan; (7) bahan bakar yang digunakan; (8) frekuensi makan dalam sehari; (9) kebiasaan membeli daging/ayam/susu; (10) kemampuan membeli pakaian; (11) kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik; (12) lapangan pekerjaan kepala rumah tangga; (13) pendidikan kepala rumah tangga; dan (14) kepemilikan aset. Metode yang digunakan adalah sistem skoring, yaitu setiap variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan pada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di setiap kabupaten. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk setiap kabupaten/kota selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga. Selanjutnya indeks diurutkan dari terbesar sampai terkecil, semakin tinggi nilainya, maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2011).

3. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 1992) mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria pemenuhan Indikator Ekonomi dan Indikator Non Ekonomi : (a) Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) (Sangat Miskin), (b) Keluarga Sejahterara I (KS I) (Miskin), (c) Keluarga Sejahterara II (KS II), dan (d) Keluarga Sejahterara III (KS III).

(36)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Petani

Ketidakmerataan pembangunan antarwilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi antarwilayah. Ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan. Ketimpangan desa-kota juga disebabkan oleh urbanisasi dan proses aglomerasi yang berlangsung sangat cepat (Bappenas 2007).

Akibat hubungan dan keterkaitan yang tidak berimbang dan tidak berkualitas antara pusat kegiatan (perkotaan) dengan daerah-daerah hinterland -nya (perdesaan) menciptakan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah/kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash), yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju ke pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan. Selanjutnya kemiskinan di wilayah belakang/perdesaan akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya menjadi melemah dan inefsien karena timbulnya berbagai penyakit urbanisasi yang luar biasa (Rustiadi et al. 2004).

Faktor-faktor penyebab terjadinya urbanisasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok faktor pendorong (pushing factors) dan kelompok faktor penarik (pulling factors). Faktor pendorong utama yang menyebabkan banyaknya penduduk perdesaan bermigrasi ke perkotaan adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan di perdesaan. Yang termasuk ke dalam kelompok faktor pendorong ialah faktor –faktor yang bersumber dari perdesaan, antara lain : (1) lahan garapan yang makin sempit; (2) sempitnya lapangan kerja di desa sehingga meningkatkan pengangguran; (3) kurangnya fasilitas infrastruktur seperti fasilitas sosial, pendidikan, kesehatan, olahraga, rekreasi, listrik, sarana komunikasi, dan lain-lain; (4) tekanan adat istiadat; (5) sulitnya memasarkan produk pertanian; (6) rendahnya pendapatan masyarakat, sehingga kemiskinan di desa makin meluas; dan (7) cita-cita yang kuat dari masyarakat desa untuk menjadi orang kaya. Ketujuh faktor yang bersumber dari desa tersebut mendorong masyarakat perdesaan, terutama generasi muda yang relatif lebih berpendidikan, untuk pindah ke kota dengan harapan memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi (Nishom 2012).

(37)

jasa; (2) lebih lengkapnya fasilitas terutama pendidikan, kesehatan, olahraga, rekreasi, dan sebagainya; (3) longgarnya aturan adat dan tidak mengikat, sehingga kebebasan pribadi makin terjamin; dan (4) tingkat upah yang lebih tinggi (Nishom 2012).

[image:37.595.117.516.110.672.2]

Di sektor pertanian, potensi sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal serta sumber daya manusia yang tidak memadai akan menyebabkan produktivitas menjadi rendah dan berimplikasi pada rendahnya pendapatan petani. Pendapatan yang rendah menyebabkan rendahnya kemampuan menabung dan demand rendah sehingga pembentukan modal pun menjadi rendah. Hal ini dijelaskan dalam lingkaran perangkap kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 7.

Karakteristik Rumah Tangga Pertanian

BPS (2014) menyatakan karakteristik kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari karakteristik sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan, dan tempat tinggal. Berhubungan dengan karakteristik ketenagakerjaan, salah satu hal yang dapat menggambarkan adanya perbedaan antara rumah tangga miskin dan tidak miskin adalah lapangan usaha atau sektor yang menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga. Profil orang miskin seringkali melekat dengan orang yang bekerja di sektor pertanian, seperti petani gurem, nelayan, buruh tani dan perkebunan. Sebagian besar orang miskin adalah bekerja di sektor pertanian dan berdomisili di perdesaan. Berdasarkan hal ini maka peningkatan sektor pertanian

(38)

dan pengentasan petani miskin dapat menjadi akar untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang membangun perekonomian di Indonesia disamping sektor-sektor lainnya. Peran sektor pertanian bagi penduduk Indonesia sangat besar, diantaranya: memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian, menampung sebagian besar tenaga kerja Indonesia, menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia, menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Namun demikian, sektor ini belum memberikan kesejahteraan kepada petani. Indikator ini dilihat dari Nilai Tukar Petani, upah buruh tani, dan tingkat kemiskinan petani. Rendahnya kesejahteraan tersebut, karena : (1) daya beli petani rendah; (2) produktifitas tenaga kerja rendah; (3) rendahnya pendapatan petani; dan (4) rumah tangga usaha pertanian masih bergulat pada kemiskinan.

Beberapa karakteristik rumah tangga pertanian di Indonesia berdasarkan sensus pertanian 2013 adalah: (1) sektor pertanian masih menjadi tumpuan hidup; (2) pendapatan dari usaha pertanian masih minim; (3) beban dan rasio ketergantungan relatif tinggi; (4) jumlah petani gurem berkurang; (5) penguasaan lahan pertanian yang meningkat; (6) usaha perikanan lebih menjanjikan; (7) partisipasi sekolah anggota rumah tangga usaha pertanian masih rendah; (8) anggota rumah tangga usaha pertanian berkerja sebagai pekerja keluarga; (9) pekerja anak masih berstatus pelajar; (10) profesi petani semakin tidak diminati; (11) pendidikan petani rendah; dan (12) usahatani didominasi petani usia senja.

Ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh petani meliputi beberapa faktor atau unsur-unsur yang melekat pada diri seseorang dapat dikatakan sebagai karakteristik petani. Petani miskin di perdesaan dapat diidentikkan dengan petani berlahan sempit yang disertai oleh keterbatasan aksesibilitas terhadap peluang ekonomi sebagai sumber pendapatan di luar pertanian. Soentoro (1989) beranggapan bahwa kemiskinan petani disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya. Faktor eksternal adalah faktor di luar jangkauan individu yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Sementara itu, berbagai studi memberi gambaran bahwa kemiskinan suatu komunitas dicirikan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia (Rachman 1989), rendahnya penguasaan aset produktif, seperti lahan pertanian dan rendahnya aksesibilitas anggota masyarakat terhadap sumber permodalan dan peluang ekonomi (Taryoto 1995).

Menurut Hartanto (1984) karakteristik petani meliputi umur, pendidikan, luas lahan, pendapatan petani dan pengalaman. Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usaha taninya. Menurut Kartasapoetra (1991), petani yang berusia lanjut akan sulit untuk menerima pengertian-pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara hidup baru. Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal yang baru dalam menjalankan usaha taninya.

(39)

pengurangan kemiskinan belum mampu menciptakan reproduksi finansial kapital di perdesaan. Selain itu, kebijakan pertanian kurang mendukung kepentingan petani dan pemberdayaan petani masih sebatas pemberian bantuan secara instan. Soetomo (1997) juga menyebutkan petani sebagai manusia yang selalu kalah. Hal ini disebabkan oleh : (1) kekalahan yang datang dari alam; (2) terbentuknya masyarakat dan lembaga beserta sistem kekuasaan dan politik yang ada di dalamnya; (3) ilmu pengetahuan dan teknologi yang diangankan bisa mengatasi tradisionalitas ternyata juga tidak tercapai.

Ciri dasar struktur agraris di perdesaan Jawa menurut Wiradi (2008) yaitu: (1) terdiri dari pertanian yang luasnya sempit; (2) pemilikan lahan cenderung sempit tetapi relatif merata bila dibandingkan dengan daerah di luar Jawa; (3) status dan bentuk pemilikan lahan yang sangat beragam; (4) sebagian usahataniterdiri dari pertanian yang digarap oleh pemilik tanah sendiri; (5) proporsi penggunaan tenaga keluarga untuk kegiatan pra-panen sangat besar dan untuk pemanenan lebih besar lagi; (6) Terdapat jutaan keluarga tunakisma (tidak memiliki tanah); (7) bagi masyarakat pedesaan, pendapatan yang berasal dari kegiatan non-pertanian merupakan tambahan pendapatan yang sangat penting; dan (8) terdapat kelembagaan hubungan kerja tradisional yang rumit.

Pendapatan dari kegiatan-kegiatan nonpertanian di dalam perekonomian agraris secara teoritis dapat mempunyai pengaruh positif, negatif atau netral terhadap pemerataan penyebaran pendapatan total di perdesaan. Menurut Sinaga dan White (1980), penguasaan lahan usahatanimempunyai hubungan positif dengan besarnya pendapatan yang berasal dari sektor nonpertanian. Makin luas penguasaan tanah pertanian, makin besar pula pendapatan dari kegiatan di luar sektor pertanian. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pemilikan modal yang dapat dipergunakan untuk modal usaha di kegiatan nonpertanian. Kalau hal ini benar, maka keadaan tersebut akan menyebabkan makin timpangnya penyebaran pendapatan di antara penduduk perdesaan. Oleh karena itu salah satu usaha peningkatan pendapatan masyarakat di perdesaan sebaiknya dilakukan melalui peningkatan dalam kegiatan di luar sektor pertanian.

Dijelaskan oleh Husein (1995), petani di perdesaan pada umumnya mempunyai berbagai sumber mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang dilakukan sendiri, menggantungkan dan atau kerjasama dengan orang lain. Pekerjaan yang dilakukan dan diperolehnya itu biasanya lebih dari satu jenis, pekerjaan pokoknya sukar sekali dinilai dan diklasifikasikan secara jelas. Seringkali petani berganti pekerjaan utamanya dari musim ke musim tergantung dari kesempatan yang ada. Tidak jarang dua macam pekerjaan atau lebih sekaligus dikerjakan dalam hari dan waktu yang hampir bersamaan. Semakin luas usahataniyang mampu dikuasai, semakin tinggi total pendapatan yang akan diperolehnya.

(40)

pendapatan dari luar sektor pertanian. Walaupun ada hubungan seperti pola satu, yaitu makin besar pendapatan dari sektor pertanian makin besar pula pendapatan dari luar sektor pertanian, belum berarti bahwa kelebihan pendapatan dari sektor pertanian memacu pendapatan dari luar sektor pertanian. Masih hasil dari kajian Mintoro, hanya satu dari dua belas desa penelitian yang hubungan antara pendapatan rumah tangga dari sektor pertanian dan sektor nonpertanian negatif. Tingkat pendidikan yang relatif baik dapat dipakai sebagai ukuran tingginya kemampuan perorangan untuk mempergunakan peluang kerja yang ada. Demikian pula dengan adanya kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang cukup besar dari luar dan dalam desa, dapat digunakan oleh golongan lemah (pemilik tanah sempit dan tidak bertanah).

Pemberdayaan Masyarakat dan Akses Petani terhadap Kelembagaan Keuangan

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Menurut Sumodiningrat (2002), upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan dan membangun kemampuan masyarakat untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Upaya pengentasan kemiskinan yang dianjurkan menurut kebijakan pemberdayaan masyarakat adalah kebijakan yang memberikan ruang gerak, fasilitas publik dan kesempatan-kesempatan yang kondusif bagi tumbuhnya kemampuan dan kemungkinan kelompok masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka sendiri, dan tidak untuk justru menekan dan mendesak mereka ke pinggir atau posisi ketergantungan (Suyanto 1996).

(41)

Dengan pola pertanian yang didominasi oleh pertanian rakyat skala kecil, petani selalu berada dalam posisi tawar yang sangat lemah. Berbagai kelembagaan petani yang dibentuk tidak banyak membantu memperkuat posisi petani. Salah satunya adalah lembaga keuangan yang berfungsi untuk mengalokasikan dana antar berbagai kegiatan ekonomi maupun antarwaktu, memperkecil risiko dan biaya transaksi. Apabila lembaga keuangan perdesaan berfungsi secara optimal makaakan mendorong pertumbuhan investasi di perdesaan. Menurut Cotler (1984), tujuan perkreditan perdesaan adalah untuk meratakan pengeluaran, yaitu di satu pihak mencukupi kebutuhan yang paling mendesak (biaya hidup, pengolahan tanah) di waktu paceklik, dan kekurangan uang yang dibayar kembali bila pemasukan uang lebih besar, di lain pihak kredit membantu supaya pengeluaran uang yang besar dibagi selama masa yang lebih panjang.

Menurut Maskun (1995) partisipasi masyarakat atas kebijakan pemerintah ditentukan dengan tingkatan yaitu: (1) terdapatnya pemahaman timbal balik (mutual understanding) antara perangkat pemerintah di tingkat birokrasi Pemerintah Daerah dengan masyarakat yang bersangkutan; (2) terdapatnya sikap solidaritas yang tinggi dari masyarakat atas goodwill pemerintah dan political will pemerintah; (3) tertampungnya kepentingan-kepentingan masyarakat oleh kebijakan-kebijakan pemerintah; dan (4) terdapatnya usaha-usaha motivasi dan stimulasi yang dapat mendorong kreativitas masyarakat. Kebijakan pemerintah tidak akan efektif dan sulit akan bertemu dengan kepentingan-kepentingan riil masyarakat, kecuali kebijakan itu dapat diterjemahkan dan disalurkan secara tepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungan, oleh perangkat yang berwenang di tingkat pemerintahan di daerah. Masih menurut Maskun (1995), mekanisme peningkatan ekonomi desa merupakan andil dari lembaga-lembaga perekonomian desa, melalui : (1) terciptanya sistem pinjaman rakyat desa untuk menutupi kebutuhan akan modal kecil tanpa agunan; (2) terciptanya pelayanan pasar secara lebih berhasil guna dan berdaya guna kepada produsen desa; dan (3) terlindunginya produksi desa dari fluktuasi harga yang dapat merugikan produsen.

Penerimaan Desa

(42)

selain dari usaha taninya, yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan petani di perdesaan.

Penelitian tentang Dampak Alokasi Dana Desa (ADD) terhadap Perekonomian telah dilakukan oleh Prasetyanto (2012). Hasil kajiannya menunjukkan ADD mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, mampu mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan produk domestik regional bruto sektor pertanian. Penelitian Sukesi (2007), tentang efektifitas ADD di Kabupaten Pacitan mengungkapkan bahwa Program bantuan ADD juga memberi dampak positip terhadap peningkatan pelayanan masyarakat oleh pemerintah desa. Mahfud (2009) menyatakan sebagian besar penggunaan ADD lebih banyak diarahkan pada kegiatan fisik (pembangunan sarana dan prasarana fisik) dan penambahan kesejahteraan perangkat desa dalam bentuk dana purna bakti, tunjangan dan sejenisnya serta sebagian lagi untuk kegiatan rutin. Sementara itu, dari aspek realisasi masih ditemui realisasi ADD di bawah 60 persen.

Aldi (2012) melihat dari aspek yuridis ADD terhadap pembangunan desa, penelitiannya menyimpulkan pelaksanaan alokasi dana desa di desa Aliantan Kecamatan Kabun Kabupaten Rokan Hulu belum efektif. Beberapa kendala yang ditemui antara lain kurangnya partisipasi masyarakat, belum berlakunya pembagian alokasi dana desa sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah, dan masih adanya ”lobi-lobi” yang dilakukan pemerintah desa kepada pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan relatif rendahnya sumber daya manusia di desa. Senada dengan penelitian sebelumnya, Thomas (2013) meneliti Pengelolaan Alokasi Dana Desa Dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan di Desa Sebawang Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana Tidung. Hasil kajiannya menunjukkan 30 persen dari dana ADD bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan sisanya kurang optimal. Rendahnya sumber daya manusia aparat desa dan kurangnya koordinasi tentang pengelolaan ADD disinyalir menjadi hambatan dalam proses pengelolaan Alokasi Dana Desa.

Kelembagaan Irigasi

(43)

Jarak ke Ibukota

Faktor fisik wilayah desa yang mempunyai pengaruh terhadap kemiskinan petani tanaman pangan diantaranya adalah faktor geografis, dan curah hujan. Muta‟ali (2014) menjelaskan tentang kontribusi faktor geografis terhadap ketertinggalan kawasan perbatasan. Jarak geografis terhadap pusat konsentrasi ekonomi atau pusat pertumbuhan, menyebabkan perbedaan kesempatan ekonomi antar tempat, kepadatan, dan pembedaan fungsi ruang kegiatan ekonomi. Dengan skala dan spesialisasi tertentu, jarak geografis dapat menentukan pola pers

Gambar

Gambar 7.
Tabel 1 Perbandingan Model Regresi Global dengan GWR
Gambar 9 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 10 Lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan kadar air bijian selama proses pengeringan di dalam In-Store Dryer (ISD) dan mendapatkan nilai simulasi

Tiga asumsi yang mendasari model Arbitrage Pricing Theory (APT) adalah: (Reilly, 2000); (1) Pasar Modal dalam kondisi persaingan sempurna, (2) Para Investor selalu

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas 5 SD pada materi volume kubus

Mata Kuliah metodologi penelitian pariwisata memberikan pemahaman tentang konsep-konsep hakekat penelitian, tipe atau jenis penelitian, proses penelitian, pengukuran

Pengaruh Pemberian Probiotik Pada Pakan Dengan Dosis Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan, Kelulusan Hidup, Efesiensi Pakan dan Retensi Protein Ikan Patin ( Pangasius hypophthalmus

X : perlakuan (treatment) pada kelas eksperimen, yaitu perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan simulasi komputer. Alasan peneliti menggunakan

FAKTOR RISIKO BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR) PADA BAYI BARU LAHIRDI RSUD BANJARNEGARATAHUN 20112. Etika Dewi Cahyaningrum 1) , Wirantika Dwi Nency