• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran dan Indikator Kemiskinan

Ukuran-ukuran kemiskinan perlu ditentukan dengan akurat. Menurut Ravallion (1998) pengukuran tingkat kemiskinan dilakukan dalam tiga tahap: (1) mendefinisikan suatu indikator kesejahteraan (welfare indicator), misalnya pengeluaran per kapita (per capita expenditure); (2) menentukan standar minimum indikator tersebut untuk mengidentifikasi penduduk miskin, misalnya garis kemiskinan (poverty line), dan (3) menghitung ukuran statistik yang merangkum informasi distribusi indikator kesejahteraan tersebut dan posisinya relatif terhadap standar minimum, misalnya headcount index yang akurat.

Beberapa model pengukuran dan indikator kemiskinan yang selama ini digunakan adalah:

1. Sayogyo (1977) menyatakan bahwa ukuran kemiskinan mengacu pada biaya kebutuhan pokok yang disetarakan dengan ukuran beras, dan dibedakan antara perdesaan dan perkotaan. Perbedaan kota dengan desa ini mengacu pada standar hidup yang berbeda antara desa dan kota. Di perdesaan, dikategorikan miskin jika pengeluarannya kurang dari setara 320 kg beras per kapita per tahun, miskin sekali jika pengeluaran kurang dari setara 240 kg beras per kapita per tahun dan paling miskin jika pengeluaran kurang dari setara 180 kg beras per kapita per tahun. Sedangkan di perkotaan, miskin jika pengeluaran setara 480 kg beras per kapita per tahun, miskin sekali jika pengeluaran setara 360 kg beras per kapita per tahun dan paling miskin jika pengeluaran setara 270 kg beras per kapita per tahun.

2. BPS (2016) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) dan menghasilkan data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Data kemiskinan makro bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), juga digunakan Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan. Indikator kemiskinan yang dihasilkan diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (Po/Head Count Index), Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/Poverty Gap Index), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2/Poverty Severity Index). Pendekatan kebutuhan dasar ditentukan melalui Garis Kemiskinan sebagai batas standar minimum pengeluaran per kapita dengan menghitung biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi makanan yang memenuhi syarat nutrisi yang cukup yaitu 2100 kalori per orang per hari dan biaya kebutuhan penting lainnya seperti pakaian, kesehatan, dan tempat tinggal.

Data kemiskinan mikro merupakan data level individu, seperti Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05), Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan 2007 (SPDKP07) yang merupakan bagian PSE05 untuk rumah tangga-rumah tangga tertentu, Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS08), dan Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011 (PPLS11). PPLS11 merupakan kegiatan pendataan rumah tangga untuk program bantuan

dan perlindungan sosial yang keempat. Kegiatan PPLS11 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan basis data terpadu yang dapat digunakan untuk program-program bantuan dan perlindungan sosial pemerintah pada tahun 2012-2014. Tujuan dari PPLS11 adalah untuk mendapatkan 40 persen rumah tangga sasaran kelompok menengah ke bawah (masyarakat miskin dan rentan miskin) secara nasional. Untuk mendapatkan daftar nama yang akan didata, digunakan data dari Sensus Penduduk (SP) 2010 dengan menggunakan model Poverty Targeting (PovTar). Model PovTar merupakan model yang dikembangkan dari model PovMap, dan juga merupakan pengembangan dari model Proxy Means Test (PMT). Model ini dapat memperkirakan jumlah rumah tangga (kuota) yang akan didata sampai dengan level desa/kelurahan. Selain dari PovTar, kuota PPLS 2011 juga mempertimbangkan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Apabila ditemukan di suatu wilayah hasil PovTar lebih rendah daripada PPLS2008, maka kuota di wilayah tersebut minimal sama dengan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Kuota yang dihasilkan dari model Povtar ini merupakan perkiraan jumlah rumah tangga yang akan didata dalam suatu wilayah. Apabila ternyata wilayah tersebut masih banyak ditemukan rumah tangga yang dianggap miskin, maka wilayah tersebut bisa menambah pendataan sekitar 5 persen dari kuota.

PPLS didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pada data kemiskinan makro. Indikator-indikator yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu: (1) luas lantai rumah; (2) jenis lantai rumah; (3) jenis dinding rumah; (4) fasilitas tempat buang air besar; (5) sumber air minum; (6) penerangan yang digunakan; (7) bahan bakar yang digunakan; (8) frekuensi makan dalam sehari; (9) kebiasaan membeli daging/ayam/susu; (10) kemampuan membeli pakaian; (11) kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik; (12) lapangan pekerjaan kepala rumah tangga; (13) pendidikan kepala rumah tangga; dan (14) kepemilikan aset. Metode yang digunakan adalah sistem skoring, yaitu setiap variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan pada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di setiap kabupaten. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk setiap kabupaten/kota selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga. Selanjutnya indeks diurutkan dari terbesar sampai terkecil, semakin tinggi nilainya, maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2011).

3. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 1992) mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria pemenuhan Indikator Ekonomi dan Indikator Non Ekonomi : (a) Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) (Sangat Miskin), (b) Keluarga Sejahterara I (KS I) (Miskin), (c) Keluarga Sejahterara II (KS II), dan (d) Keluarga Sejahterara III (KS III).

4. Bank Dunia (2007) mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$ 1 per hari untuk kemiskinan absolut dan kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Petani

Ketidakmerataan pembangunan antarwilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi antarwilayah. Ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan. Ketimpangan desa-kota juga disebabkan oleh urbanisasi dan proses aglomerasi yang berlangsung sangat cepat (Bappenas 2007).

Akibat hubungan dan keterkaitan yang tidak berimbang dan tidak berkualitas antara pusat kegiatan (perkotaan) dengan daerah-daerah hinterland- nya (perdesaan) menciptakan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah/kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash), yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju ke pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan. Selanjutnya kemiskinan di wilayah belakang/perdesaan akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya menjadi melemah dan inefsien karena timbulnya berbagai penyakit urbanisasi yang luar biasa (Rustiadi et al. 2004).

Faktor-faktor penyebab terjadinya urbanisasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok faktor pendorong (pushing factors) dan kelompok faktor penarik (pulling factors). Faktor pendorong utama yang menyebabkan banyaknya penduduk perdesaan bermigrasi ke perkotaan adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan di perdesaan. Yang termasuk ke dalam kelompok faktor pendorong ialah faktor –faktor yang bersumber dari perdesaan, antara lain : (1) lahan garapan yang makin sempit; (2) sempitnya lapangan kerja di desa sehingga meningkatkan pengangguran; (3) kurangnya fasilitas infrastruktur seperti fasilitas sosial, pendidikan, kesehatan, olahraga, rekreasi, listrik, sarana komunikasi, dan lain-lain; (4) tekanan adat istiadat; (5) sulitnya memasarkan produk pertanian; (6) rendahnya pendapatan masyarakat, sehingga kemiskinan di desa makin meluas; dan (7) cita-cita yang kuat dari masyarakat desa untuk menjadi orang kaya. Ketujuh faktor yang bersumber dari desa tersebut mendorong masyarakat perdesaan, terutama generasi muda yang relatif lebih berpendidikan, untuk pindah ke kota dengan harapan memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi (Nishom 2012).

Faktor penarik utama yang menyebabkan orang-orang desa datang ke kota adalah masifnya pembangunan di perkotaan, sehingga perekonomian dan peredaran uang di kota tumbuh pesat dan menciptakan banyak lapangan kerja. Faktor penarik adalah daya tarik yang bersumber dari perkotaan, yaitu antara lain: (1) relatif luasnya lapangan pekerjaan, terutama di sektor industri, konstruksi, dan

jasa; (2) lebih lengkapnya fasilitas terutama pendidikan, kesehatan, olahraga, rekreasi, dan sebagainya; (3) longgarnya aturan adat dan tidak mengikat, sehingga kebebasan pribadi makin terjamin; dan (4) tingkat upah yang lebih tinggi (Nishom 2012).

Di sektor pertanian, potensi sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal serta sumber daya manusia yang tidak memadai akan menyebabkan produktivitas menjadi rendah dan berimplikasi pada rendahnya pendapatan petani. Pendapatan yang rendah menyebabkan rendahnya kemampuan menabung dan demand rendah sehingga pembentukan modal pun menjadi rendah. Hal ini dijelaskan dalam lingkaran perangkap kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 7.

Karakteristik Rumah Tangga Pertanian

BPS (2014) menyatakan karakteristik kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari karakteristik sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan, dan tempat tinggal. Berhubungan dengan karakteristik ketenagakerjaan, salah satu hal yang dapat menggambarkan adanya perbedaan antara rumah tangga miskin dan tidak miskin adalah lapangan usaha atau sektor yang menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga. Profil orang miskin seringkali melekat dengan orang yang bekerja di sektor pertanian, seperti petani gurem, nelayan, buruh tani dan perkebunan. Sebagian besar orang miskin adalah bekerja di sektor pertanian dan berdomisili di perdesaan. Berdasarkan hal ini maka peningkatan sektor pertanian

Gambar 7 Lingkaran Perangkap Kemiskinan Sumber : Nurkse 1953

dan pengentasan petani miskin dapat menjadi akar untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang membangun perekonomian di Indonesia disamping sektor-sektor lainnya. Peran sektor pertanian bagi penduduk Indonesia sangat besar, diantaranya: memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian, menampung sebagian besar tenaga kerja Indonesia, menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia, menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Namun demikian, sektor ini belum memberikan kesejahteraan kepada petani. Indikator ini dilihat dari Nilai Tukar Petani, upah buruh tani, dan tingkat kemiskinan petani. Rendahnya kesejahteraan tersebut, karena : (1) daya beli petani rendah; (2) produktifitas tenaga kerja rendah; (3) rendahnya pendapatan petani; dan (4) rumah tangga usaha pertanian masih bergulat pada kemiskinan.

Beberapa karakteristik rumah tangga pertanian di Indonesia berdasarkan sensus pertanian 2013 adalah: (1) sektor pertanian masih menjadi tumpuan hidup; (2) pendapatan dari usaha pertanian masih minim; (3) beban dan rasio ketergantungan relatif tinggi; (4) jumlah petani gurem berkurang; (5) penguasaan lahan pertanian yang meningkat; (6) usaha perikanan lebih menjanjikan; (7) partisipasi sekolah anggota rumah tangga usaha pertanian masih rendah; (8) anggota rumah tangga usaha pertanian berkerja sebagai pekerja keluarga; (9) pekerja anak masih berstatus pelajar; (10) profesi petani semakin tidak diminati; (11) pendidikan petani rendah; dan (12) usahatani didominasi petani usia senja.

Ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh petani meliputi beberapa faktor atau unsur-unsur yang melekat pada diri seseorang dapat dikatakan sebagai karakteristik petani. Petani miskin di perdesaan dapat diidentikkan dengan petani berlahan sempit yang disertai oleh keterbatasan aksesibilitas terhadap peluang ekonomi sebagai sumber pendapatan di luar pertanian. Soentoro (1989) beranggapan bahwa kemiskinan petani disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya. Faktor eksternal adalah faktor di luar jangkauan individu yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Sementara itu, berbagai studi memberi gambaran bahwa kemiskinan suatu komunitas dicirikan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia (Rachman 1989), rendahnya penguasaan aset produktif, seperti lahan pertanian dan rendahnya aksesibilitas anggota masyarakat terhadap sumber permodalan dan peluang ekonomi (Taryoto 1995).

Menurut Hartanto (1984) karakteristik petani meliputi umur, pendidikan, luas lahan, pendapatan petani dan pengalaman. Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usaha taninya. Menurut Kartasapoetra (1991), petani yang berusia lanjut akan sulit untuk menerima pengertian-pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara hidup baru. Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal yang baru dalam menjalankan usaha taninya.

Permasalahan dalam upaya pengurangan kemiskinan di perdesaan seperti diuraikan oleh Purwanto et al. (2015) terdiri dari: (1) permasalahan internal yaitu pemanfaatan sumber daya pertanian bagi peningkatan produksi pertanian belum optimal dan peran dan eksistansi kelembagaan pertanian di perdesaan belum optimal; (2) permasalahan eksternal yaitu lemahnya keterkaitan antara aktivitas pertanian skala besar dan skala kecil; dan (3) permasalahan struktural yaitu upaya

pengurangan kemiskinan belum mampu menciptakan reproduksi finansial kapital di perdesaan. Selain itu, kebijakan pertanian kurang mendukung kepentingan petani dan pemberdayaan petani masih sebatas pemberian bantuan secara instan. Soetomo (1997) juga menyebutkan petani sebagai manusia yang selalu kalah. Hal ini disebabkan oleh : (1) kekalahan yang datang dari alam; (2) terbentuknya masyarakat dan lembaga beserta sistem kekuasaan dan politik yang ada di dalamnya; (3) ilmu pengetahuan dan teknologi yang diangankan bisa mengatasi tradisionalitas ternyata juga tidak tercapai.

Ciri dasar struktur agraris di perdesaan Jawa menurut Wiradi (2008) yaitu: (1) terdiri dari pertanian yang luasnya sempit; (2) pemilikan lahan cenderung sempit tetapi relatif merata bila dibandingkan dengan daerah di luar Jawa; (3) status dan bentuk pemilikan lahan yang sangat beragam; (4) sebagian usahataniterdiri dari pertanian yang digarap oleh pemilik tanah sendiri; (5) proporsi penggunaan tenaga keluarga untuk kegiatan pra-panen sangat besar dan untuk pemanenan lebih besar lagi; (6) Terdapat jutaan keluarga tunakisma (tidak memiliki tanah); (7) bagi masyarakat pedesaan, pendapatan yang berasal dari kegiatan non-pertanian merupakan tambahan pendapatan yang sangat penting; dan (8) terdapat kelembagaan hubungan kerja tradisional yang rumit.

Pendapatan dari kegiatan-kegiatan nonpertanian di dalam perekonomian agraris secara teoritis dapat mempunyai pengaruh positif, negatif atau netral terhadap pemerataan penyebaran pendapatan total di perdesaan. Menurut Sinaga dan White (1980), penguasaan lahan usahatanimempunyai hubungan positif dengan besarnya pendapatan yang berasal dari sektor nonpertanian. Makin luas penguasaan tanah pertanian, makin besar pula pendapatan dari kegiatan di luar sektor pertanian. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pemilikan modal yang dapat dipergunakan untuk modal usaha di kegiatan nonpertanian. Kalau hal ini benar, maka keadaan tersebut akan menyebabkan makin timpangnya penyebaran pendapatan di antara penduduk perdesaan. Oleh karena itu salah satu usaha peningkatan pendapatan masyarakat di perdesaan sebaiknya dilakukan melalui peningkatan dalam kegiatan di luar sektor pertanian.

Dijelaskan oleh Husein (1995), petani di perdesaan pada umumnya mempunyai berbagai sumber mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang dilakukan sendiri, menggantungkan dan atau kerjasama dengan orang lain. Pekerjaan yang dilakukan dan diperolehnya itu biasanya lebih dari satu jenis, pekerjaan pokoknya sukar sekali dinilai dan diklasifikasikan secara jelas. Seringkali petani berganti pekerjaan utamanya dari musim ke musim tergantung dari kesempatan yang ada. Tidak jarang dua macam pekerjaan atau lebih sekaligus dikerjakan dalam hari dan waktu yang hampir bersamaan. Semakin luas usahataniyang mampu dikuasai, semakin tinggi total pendapatan yang akan diperolehnya.

Mintoro (1984) mengkaji pola hubungan di dalam rumah tangga antara pendapatan dari sektor pertanian dan luar pertanian (rumah tangga yang pendapatannya hanya dari luar sektor pertanian dikeluarkan dari populasi) di antara kelas pemilikan sawah, terdapat tiga macam hubungan : (1) hubungan positif, artinya makin besar pandapatan dari sektor pertanian karena makin luasnya tanah milik, makin besar pula pendapatan dari luar sektor pertanian; (2) tidak ada hubungan; dan (3) hubungan negatif, artinya makin kecil pendapatan dari sektor pertanian karena makin sempitnya luas tanah milik, makin besar pula

pendapatan dari luar sektor pertanian. Walaupun ada hubungan seperti pola satu, yaitu makin besar pendapatan dari sektor pertanian makin besar pula pendapatan dari luar sektor pertanian, belum berarti bahwa kelebihan pendapatan dari sektor pertanian memacu pendapatan dari luar sektor pertanian. Masih hasil dari kajian Mintoro, hanya satu dari dua belas desa penelitian yang hubungan antara pendapatan rumah tangga dari sektor pertanian dan sektor nonpertanian negatif. Tingkat pendidikan yang relatif baik dapat dipakai sebagai ukuran tingginya kemampuan perorangan untuk mempergunakan peluang kerja yang ada. Demikian pula dengan adanya kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang cukup besar dari luar dan dalam desa, dapat digunakan oleh golongan lemah (pemilik tanah sempit dan tidak bertanah).

Pemberdayaan Masyarakat dan Akses Petani terhadap Kelembagaan Keuangan

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Menurut Sumodiningrat (2002), upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan dan membangun kemampuan masyarakat untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Upaya pengentasan kemiskinan yang dianjurkan menurut kebijakan pemberdayaan masyarakat adalah kebijakan yang memberikan ruang gerak, fasilitas publik dan kesempatan-kesempatan yang kondusif bagi tumbuhnya kemampuan dan kemungkinan kelompok masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka sendiri, dan tidak untuk justru menekan dan mendesak mereka ke pinggir atau posisi ketergantungan (Suyanto 1996).

Beberapa program pemberdayaan masyarakat di desa/kelurahan selama tiga tahun terakhir yang dirangkum dari buku Potensi Desa, terdiri dari: (1) peningkatan kapasitas ekonomi berupa dana bergulir/simpan pinjam mencakup pendanaan dalam bentuk pinjaman secara bergulir untuk modal usaha pertanian/nonpertanian yang telah direalisasikan. Dana hibah mencakup pendanaan dalam bentuk pemberian/tanpa pengembalian untuk usaha produktif budidaya maupun nonbudidaya; (2) peningkatan kapasitas sosial kemasyarakatan berupa peningkatan keterampilan produksi mencakup pelatihan ketrampilan dan pengusaan teknologi untuk memproduksi barang. Peningkatan keterampilan pemasaran hasil produksi mencakup pelatihan keterampilan untuk pemasaran hasil produksi.

Dengan pola pertanian yang didominasi oleh pertanian rakyat skala kecil, petani selalu berada dalam posisi tawar yang sangat lemah. Berbagai kelembagaan petani yang dibentuk tidak banyak membantu memperkuat posisi petani. Salah satunya adalah lembaga keuangan yang berfungsi untuk mengalokasikan dana antar berbagai kegiatan ekonomi maupun antarwaktu, memperkecil risiko dan biaya transaksi. Apabila lembaga keuangan perdesaan berfungsi secara optimal makaakan mendorong pertumbuhan investasi di perdesaan. Menurut Cotler (1984), tujuan perkreditan perdesaan adalah untuk meratakan pengeluaran, yaitu di satu pihak mencukupi kebutuhan yang paling mendesak (biaya hidup, pengolahan tanah) di waktu paceklik, dan kekurangan uang yang dibayar kembali bila pemasukan uang lebih besar, di lain pihak kredit membantu supaya pengeluaran uang yang besar dibagi selama masa yang lebih panjang.

Menurut Maskun (1995) partisipasi masyarakat atas kebijakan pemerintah ditentukan dengan tingkatan yaitu: (1) terdapatnya pemahaman timbal balik (mutual understanding) antara perangkat pemerintah di tingkat birokrasi Pemerintah Daerah dengan masyarakat yang bersangkutan; (2) terdapatnya sikap solidaritas yang tinggi dari masyarakat atas goodwill pemerintah dan political will pemerintah; (3) tertampungnya kepentingan-kepentingan masyarakat oleh kebijakan-kebijakan pemerintah; dan (4) terdapatnya usaha-usaha motivasi dan stimulasi yang dapat mendorong kreativitas masyarakat. Kebijakan pemerintah tidak akan efektif dan sulit akan bertemu dengan kepentingan-kepentingan riil masyarakat, kecuali kebijakan itu dapat diterjemahkan dan disalurkan secara tepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungan, oleh perangkat yang berwenang di tingkat pemerintahan di daerah. Masih menurut Maskun (1995), mekanisme peningkatan ekonomi desa merupakan andil dari lembaga-lembaga perekonomian desa, melalui : (1) terciptanya sistem pinjaman rakyat desa untuk menutupi kebutuhan akan modal kecil tanpa agunan; (2) terciptanya pelayanan pasar secara lebih berhasil guna dan berdaya guna kepada produsen desa; dan (3) terlindunginya produksi desa dari fluktuasi harga yang dapat merugikan produsen.

Penerimaan Desa

Tersedianya sumber-sumber keuangan desa dapat menjadi pendorong bagi bergeraknya roda perekonomian di pedesaan. Selain itu besarnya alokasi dana desa juga berpengaruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan, karena penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan menggunakan alokasi dana desa. Sumber-sumber keuangan desa selain pendapatan asli desa, yang sering disebut sebagai dana transfer yaitu: (1) bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota (10% utk desa); (2) bagi hasil retribusi daerah kabupaten/kota; (3) bagian dari dana perimbangan keuangan yg diterima kabupaten/kota (10% untuk desa, yakni alokasi dana desa/ADD); (4) bantuan keuangan dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; dan (5) hibah dan sumbangan dari pihak ketiga (Kemendagri 2012). Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang pelaksanaanya diutamakan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan baku lokal, dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat desa setempat. Penyerapan tenaga kerja inilah yang dapat membuat petani memiliki alternatif pendapatan

selain dari usaha taninya, yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan petani di perdesaan.

Penelitian tentang Dampak Alokasi Dana Desa (ADD) terhadap Perekonomian telah dilakukan oleh Prasetyanto (2012). Hasil kajiannya menunjukkan ADD mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, mampu mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan produk domestik regional bruto sektor pertanian. Penelitian Sukesi (2007), tentang efektifitas ADD di Kabupaten Pacitan mengungkapkan bahwa Program bantuan ADD juga memberi dampak positip terhadap peningkatan pelayanan masyarakat oleh pemerintah desa. Mahfud (2009) menyatakan sebagian besar penggunaan ADD lebih banyak diarahkan pada kegiatan fisik (pembangunan sarana dan prasarana fisik) dan penambahan kesejahteraan perangkat desa dalam bentuk dana purna bakti, tunjangan dan sejenisnya serta sebagian lagi untuk kegiatan rutin. Sementara itu, dari aspek realisasi masih ditemui realisasi ADD di bawah 60