• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Strategi-strategi untuk Mengatasi Kendala

1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin.

a. Tenaga Pengajar

Fungsi perencanaan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala dalam aspek tenaga pengajar adalah melakukan pendataan secara lengkap terhadap semua guru di SMA di Kabupaten Belu sehingga bisa diketahui kompetensi dan keahlian yang dimiliki guru tersebut. Karena berdasarkan pengalaman, perekrutan tenaga pengajar yang dilakukan di sekolah-sekolah di Kabupaten Belu tidak berdasarkan kebutuhan sekolah, tetapi lebih pada faktor kedekatan dan kekeluargaan. Hal ini bisa menjadi menjadi boomerang bagi pendidikan Kabupaten Belu. Dinas PPO Kabupaten Belu harus lebih tegas dalam bersikap untuk mengatasi masalah ini. Misalnya dengan membuat ketentuan untuk yang boleh diterima di setiap sekolah adalah guru-guru yang memiliki IPK minimal 2, 75. Hal ini penting dilakukan untuk menagatasi kekurangan SDM yang bermutu di Kabupaten Belu.

95

b. Sarana-prasarana

Menurut Affifudin (2014) Perencanaan merupakan kegiatan penyusunan daftar sarana prasarana yang dibutuhkan setiap sekolah. Startegi yang ditawarkan di Kabupaten Belu untuk mengatasi hambatan dalam sarana prasarana adalah sebelum implementasi K-13, sebaiknya pemerintah bekerja sama dengan setiap sekolah untuk mengadakakan inventarisasi terhadap sarana prasarana yang ada di setiap sekolah (SMA) di Kabupaten Belu untuk mengetahui sarana prasarana apa saja yang masih dibutuhkan oleh sekolah yang bersangkutan. Setelah itu pemerintah dan sekolah bertanggung jawab untuk mengadakan sarana prasarana yang belum tersedia untuk mendukung implementasi K-13. Selain itu, sekolah juga bisa menganggarkan dalam rencana anggaran rutin atau anggaran BOS untuk mengadakan sarana prasana yang bisa dijangkau dengan ana rutin dan dana BOS.

c. Proses Pengembangan Kurikulum

Perencanaan implementasi harus dilaksanakan secara matang. Artinya, sebelum implementasi, pemerintah bekerja sama dengan sekolah sudah harus melakukan penyelidikan dan penelitian terkait

96

hal-halyang diperlukan dalam implementasi. Hal utama yang harus dipersiapkan adalah dikenalnya konten dari kurikulum itu sendiri. Kurikulum baru sudah haru s dikenal oleh guru, siswa dan masyarakat (komite sekolah) yang terlibat dalam pengembangan kurikulum. Caranya adalah dengan memberikan sosialisasi dan pelatihan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum. Dari hasil sosialisasi dan pelatihan akan diketahui keberatan dan kendala apa saja yang dirasakan oleh guru, sisiwa, dan komite sekolah.

2. Pengorganisasian

Pengorganisasian merupakan fungsi manajemen yang kedua dan merupakan langkah strategis untuk mewujudkan suatu rencana organisasi. Menurut Afifudin (2010) pengorganisasian ialah suatu proses di mana pekerjaan yang ada dibagi dalam komponen-komponen yang dapat ditangani dan aktivitas-aktivitas mengkoordinasikan hasil yang dicapai untuk mencapai tujuan tertentu.

a. Tenaga Pengajar

Yang dimaksudkan dengan pengorganisasian tenaga pengajar dalam lingkup pengembangan K-13 adalah menetapkan secara tepat tugas dan fungsi tenaga pengajar (guru, kepala sekolah, siswa dan pengawas) dan masyarakat (komite sekolah) yang terlibat dalam implementasi sehingga tidak terjadi perdebatan dan kesalahpahaman dalam pelaksanaan tugas dalam pengembangan dan implementasi kurikulum. Hal ini penting untuk dilakukan di Kabupaten Belu karena

97

ada berbagai pihak yang belum menyadari adanya keterlibatan mereka dalam implementasi K-13. Penentuan tugas dan fungsi masing-masing pengembang ini bisa dilaksanakan dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan baik oleh pemerintah maupun oleh sekolah yang bersangkutan.

b. Sarana Prasarana

Setalah mendata dan membuat inventarisasi terhadap sarana prasarana di setiap sekolah, langkah berikutnya adalah mengorganisasikan sarana prasarana. Pengorganisasian ini bisa dilakukan dengan upaya menghadirkan sarana prasarana untuk menunjang proses belajar mengajar. Cara untuk menghadirkan sarana prasarana ini adalah dengan menghubungi pemerintah dan usaha mandiri dari sekolah melalui annggaran rutin dan dana BOS serta kerja sama dengan orang tua.

c. Proses Pengembangan Kurikulum

Dalam proses pengembangan kurikulum, hubungan antara sekolah dan masyarakat harus dikelola dengan baik dan produktif. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat benar-benar merasa memiliki sekolah. Dari hal tersebut, diharapkan terbentuklah suatu hubungan yang sinergis antara sekolah dan masyarakat untuk mewujudkan program-program sekolah. Dengan demikian, hubungan yang baik antara masyarakat dan sekolah dalam keterlibatannya dengan manajemen kurikulum dimaksudkan agar dapat memahami, membantu,

98

dan mengontrol implementasi kurikulum, sehingga lembaga pendidikan atau sekolah selain dituntut kooperatif juga mampu mandiri dalam mengidentifikasi kebutuhan kurikulum, mendesain kurikulum, menentukan prioritas kurikulum, melaksanakan pembelajaran, menilai kurikulum, mengendalikan serta melaporkan sumber dan hasil kurikulum baik pada masyarakat maupun pada pemerintah.

3. Pelaksanaan

Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi actuating justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi.

Terry (1986) mengemukakan bahwa pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya.

a. Tenaga Pengajar

Terkait dengan pelaksanaan dalam aspek tenaga pengajar, penulis merekomendasikan agar aspek ini harus betul-betul di tingkatakan demi keberhasilan implementasi K-13 dan keberhasilan pendidikan di

99

Kabupaten Belu. Penentuan dan pembagian fungsi dan tugas masing- masing warga sekolah (kepala sekolah, guru, siswa dan komite sekolah) bisa dilakukan oleh pemerintah melalui sosialisasi dan pelatihan ke sekolah-sekolah. Pelatihan ini bisa dikemas dalam ragam kegiatan yang bagus seperti permainan, pemecahan masalah dan cara lainnya dengan tetap merujuk pada tujuan K-13 yaitu untuk menciptakan generasi yang seimbang dalam aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan. Selain sosialisasi dan pendampingan, kepala sekolah dan guru-guru juga harus lebih bersifat proaktif untuk mencari hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran berbasis informasi dan teknologi, strategi pembelajaran dan metode pembelajaran yang efektif. Hal ini bisa dilakukan melalui pencarian di internet, mengikuti seminar tentang K-13 dan berdiskusi dengan teman-teman guru.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sistem rekrutmen tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan kompetensi pendidikan yang dibutuhkan tetapi lebih pada rasa kekeuargaan dan belas kasihan.

b. Sarana Prasarana

Fungsi pelaksanaan dalam manajemen sarana prasarana di Kabupaten Belu lebih berkaitan dengan kegiatan pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana untuk menunjang proses belajar

100

mengajar. Pengadaan dilakukan dengan cara membeli, menyumbang, hibah dan bantuan dari pemerintah. Dalam aspek pengadaan, pihak sekolah dapat berkonsultasi dan bekerja sama dengan pihak pemerintah untuk meminta bantuan, mengadakan sarana prasarana seperi ruang kelas, laboratorium, dan komputer serta LCD. Sekolah juga bisa mengadakan media pembelajaran lainnya (media cetak dan media elektronik serta medoia berbasis lingkungan hidup) melalui penganggaran dalam dana rutin sekolah dan dana BOS. Sedangkan dalam aspek pemeliharaan, kepala sekolah bertanggung jawab penuh dalam prsoses pemeliharaan ini. Pertanggung jawaban kepala sekolah bisa diimplementasikan dengan mengangkat dan memberi tugas khusus kepada guru-guru, pegawai dan siswa untuk memelihara sarana prasarana yang ada dalam sekolah tersebut. Penekanan pada aspek pemeliharaan ini dimaksudkan untuk mengurangi peluang sarana dan prasarana sekokplah yang memerlukan yang bersifat mendesak.

Masalah keterlambatan pendistribusian buku juga menjadi kendala utama terhambatnya implementasi K-13 di tingkatt SMA di Kabupaten Belu. Hal yang perlu dibenahi dalam aspek pengembangan kurikulum adalah adanya organisasi dan kerja sama yang lebih matang antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sekolah-sekolah untuk lebih tepat mengadakan buku-buku. Strategi lainnya adalah, sebaiknya pengadaan buku-buku pedoman guru dan siswa tidak tergantung pada ketersediaan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) tiap sekolah

101

karena seperti yang dikatakan oleh Yohanes Bau Mali selaku Kepala Sekolah SMAN Weluli ketika diminta penjelasan mengenai keterlambatan buku, beliau mengatakan bahwa di Kabupaten Belu bukan hal baru lagi bahwa pencairan dana BOS selalu mengalami hambatan dengan alasan yang tidak jelas. Penekanan dan ketegasan dari pemerintah dalam ketetapatan pencairan dana BOS tiap sekolah sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

c. Pengembangan Kurikulum

Strategi yang ditawarkan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam aspek proses pengembangan kurikulum adalah

1) Sebelum implementasi K-13 seharusnya diberikan bekal keterampilan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) terhadap guru-guru di setiap sekolah, sehingga implementasi K-13 benar- benar berjalan sesuai harapan.

2) Sekolah perlu membuat kegiatan untuk pembinaan berkelanjutan bagi guru dalam implementasi K-13 , melalui MGMP sekolah, kegiatan workshop, lokakarya, dan sebagainya. Pembiayaan kegiatan ini dapat menggunakan dana BOS atau BOS, dana rutin sekolah atau dukungan komite sekolah.

3) Guru yang belum memahami konsep dan teknis penilaian keterampilan agar mendapat "pendampingan khusus" oleh Tim yang dibentuk Dinas Pendidikan setempat dan/atau diikutkan

102

dalam kegiatan penyegaran K-13 khusus pada materi penilaian keterampilan.

4. Pengawasan

Menurut Mulyasa (2012) pengawasan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam keseluruhan proses pendidikan. Pengawasan (controlling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan.

Strategi yang perlu dilakukan terkait dengan pengawasan adalah :

1) Adanya pendampingan rutin tim pengembangan kurikulum dari Kabupaten dan Provinsi untuk melihat, menilai dan membenahi implementasi kurikulum di setiap sekolah.

2) Pengawasan sarana prasarana yaitu kegiatan pengamatan, pemeriksaan dan penilaian terhadap pelaksanaan administrasi sarana dan prasarana. Pengawasan ini bisa dilakukan oleh guru, siswa atau pegawai yang bertanggung jawab terhadap keberadaan sarana prasarana disekolah yang bersangkutan. Dalam pengawasan sarana prasarana juga, segenap SMA di Kabupaten Belu perlu mengawasi pemakaian barang-barang milik sekolah dan wajib membuat laporan tentang pertanggungjawaban. Kepala sekolah mempunyai wewenang untuk menagturhal ini. Ketegasan dari kepala sekolah menjadi kunci keberhasilan pengawasan sarana prasarana

103

3) Di Kabupaten Belu, penguatan montoring dan evaluasi masih perlu untuk ditingkatkan pelaksanaannya untuk memperoleh umpan balik pelaksanaan kurikulum. Hambatan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam rangka implementasi, solusi, dan strategi perbaikan dari hasil monitoring dan evaluasi akan menjadi materi umpan balik untuk penguatan implementasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan, terutama pada pelaksanaan kurikulum di tingkat mikro, sekolah dan kelas-kelas melalui kegiatan proses belajar mengajar. Umpan balik dalam rangka monitoring dilakukan terhadap guru, kepala sekolah, siswa, orang tua maupun pihak terkait, seperti dinas pendidikan dan atau komite sekolah.

4) Guru yang belum memahami konsep dan teknis penilaian sikap agar mendapat "pendampingan khusus" dan/atau diikutkan dalam kegiatan penyegaran K-13 khusus pada materi penilaian sikap, keterampilan dan pengetahuan.

BAB V KESIMPULAN

104

1. Evaluasi Implementasi K-13 di Kabupaten Belu

Berdasarkan hasil penelitian mengenai implementasi K-13 di tingkat SMA di Kabupaten Belu dapat disimpulkan impelemtasi K-13 di tingkat SMA di Kabupaten Belu belum bisa dikatakan berjalan lancar dan sempurna. Hal ini dikarenakan kurangnya persiapan implementasi kurikulum dari sekolah-sekolah (SMA). Selain itu keterbatasan sarana- prasarana menjadi kendala tersendiri dalam implementasi K-13 di Kabupaten Belu. Akan tetapi, di tengah serba kurangnya persiapan dan keterbatasan sarana prasarana tersebut, bisa dikatakan implementasinya sudah sesuai dengan karakteristik K-13 yakni menggunakan pendekatan ilmiah atau saintifik yang meliputi mengamati, menanya, mengumpulkan.

2. Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Implementasi K-13 Tingkat SMA di Kabupaten Belu

Dalam implementasi K-13 di tingkat SMA di Kabupeten Belu, ada beberapa faktor yang dianggap menghambat implementasi K-13 yaitu

a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti guru, pengawas dan kepala sekolah sebagai pendukung implementasi K-13

b. Keterbatasan sarana-prasarana pendukung implementasi K-13(buku, laboratorium, perpustakaan, komputer, jaringan internet, LCD, proyektor)

105

c. Kurangnya informasi yang akurat tentang K-13 karena lambatnya sosialisasi dari pihak Departemen pendidikan dan Kebudaayaan tentang K-13.

d. Kebiasaan para guru masih menggunakan metode pembelajaran lama. e. Waktu yang terlalu membebani siswa

3. Strategi-stretegi yang Perlu Disiapkan di Kabupaten Belu untuk Mengatasi Kendala Implementasi K-13 di Tingkat SMA di Kabupaten Belu

a. Perencanaan secara matang oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengenai sarana prasarana, tenaga pengajar dan proses implementasi K-13 di Kabupeten Belu sebelum implementasi K-13. Caranya adalah dengan mendata seluruh kebutuhan, baik kebutuhan tenaga pengajar, kebutuhan akan sarana prasarana maupun kebutuhan yang diperlukan dalam proses implementasi yang diperlukan oleh setiap sekolah di Kabupaten Belu. b. Pengorganisasian yang solid antara pemerintah dan sekolah serta

dengan masyarakat mengenai kendala implementasi K-13 di Kabupaten Belu: sarana prasarana, ketersediaan pengajar dan proses implementasi K-13 di tingkat SMA di Kabupaten Belu dan cara mengatasi kendala- kendala tersebut.

106

c. Pelaksanaan (pemenuhan kebutuhan sarana prasarana, tenaga pengajar dan kendala proses imlementasi) secara tepat, cermat dan teliti demi suksesnya implementasi K-13 di tingkat SMA di Kabupaten Belu. Contohnya penyediaan sarana prasarana dan tenaga pengajar sesuai kebutuhan yang sudah didata dan direncanakan.

d. Pengawasan dan pemeliharaan terhadap sarana prasarana yang ada dan pengawasan terhadap proses implementasi yang sedang berjalan dengan aktif melakukan pendampingan baik oleh tim dari Kabupaten Belu maupun dari Provinsi NTT

B. Saran

1. Saran Untuk Pengambil Kebijakan Publik (Pemerintah Pusat)

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebaiknya memikirkan secara matang mengenai kesiapan, pelaksanaan dan akibat yang ditimbulkan dari keputusan yang diambil sehingga pada pelaksanaanya tidak terkesan amburadul dan terkesan adanya unsur politis di dalam pengambilan keputusan itu. Sebagai contoh imlementasi K-13 yang dinilai banyak kalangan sebagai kebijakan pemerintah yang belum tepat. Bila perlu melihat dan mengecek langsung semua unsur yang dibutuhkan dalam implementasi; apakah sudah tersedia dan sudah siap melaksanakan implementasi atau belum, apabila belum siap maka pemerintah pusat

107

bekerja sama dengan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengadakan dan memenuhi semua yang diperlukan dalam implementasi. 2. Untuk Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Belu).

Pemerintah daerah sebaiknya rutin melakukan pendampingan terhadap para guru sehingga memperoleh umpan balik (feedback) mengenai kendala yang mereka hadapi dalam implementasi K-13 Setelah mengetahui kendala implementasi, pemerintah daerah (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus membentuk tim pendamping khusus K-13 yang bertugas untuk mendampingi dan mengarahkan para guru yang belum memahami konsep dan teknis implementasi K-13 untuk lebih memahami dan mengerti tentang implementasi K-13. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belu juga harus lebih menekankan pelaksanaan tugas pengawasan dan supervisi bagi para pengawas tingkat SMA di Kabupaten Belu. Agar mereka lebih aktif dalam melakukan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pengawas.

3. Untuk Kepala Sekolah

Kepala sekolah harus meningkatkan koordinasi dengan segenap pelaksana K-13 baik guru, komite sekolah, pengawas, dan orang tua siswa untuk mengatasi kendala/hambatan dalam pelaksanaan K-13. Caranya adalah kepala sekolah mengadakan sosialisasi mengenai hambatan implementasi di sekolah tersebut dan bersama perangkat

108

sekolah mencari solusi untuk mengatasi hambatan yang dialami oleh sekolah dalam implementasi K-13.

4. Untuk Guru dan Siswa

Guru dan siswa hendaknya lebih proaktif untuk mengetahui konsep dan teknis mengenai implementasi K-13. Dalam hal ini mereka harus menggunakan metode jemput bola untuk lebuh memehami mengenai implementasi K-13. Tidak melulu hanya menunggu sosialisasi dan pelatihan dari pemerintah setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Abduhzen, Mohammad. (2015). Kurikulum Ganda. KOMPAS, 05 Januari 2015. Kemdikbud. RI/posts/655757491200361?fref=nf.

Abidin, Yunus. (2014). Desain Sistem Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung : PT. Refrika Aditama.

109

Alawiyah, Faridah, (2014). Dampak Implementasi Kurikulum 2013 Terhadap Guru. Jurnal Info Singkat Kesejahteraan Sosial ISSN 2088-2351 Volume V. No. 19/I/P3DI/Oktober/2013 halaman 9-12. Jakarta: jurnal on line www.dpr.go.id

Altrichter, Herbert. (2005). “Curriculum Implementation–Limiting and Facilitating Factors, Johannes-Kepler-University”, Published in Peter Nentwig and David Waddington (eds.): Context Based Learning of Science. Waxmann: Münster 2005, 35–62, www.c2c.oise.utoronto.ca, Arifin, Zaenal. (2015). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdokarya. Arikunto, Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,

Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Cronholm, S dan Goldkuhl, G. (2003). Strategies for Information systems Evaluation- Six generic Types. Electronic journal of Information Systems Evaluations. Vol.6. Academic conference Limited.www. ejise.com.

De Bruyn, A. & Lilien, G.L. (2008). A Multi-Stage Model Of Word-Of-Mouth Influence Through Viral Marketing. Intern. J. Of Research In Marketing.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Dimba, Friedah Moko. (2001). The Role of Principals in Managing Curriculum Change, Department of Educational Planning and Administration University of Zululand, 2001. www. uzspace.uzulu.ac.za.

Effendi Tadjuddin ,.Noer. (1995) Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana

Faddilah, M. (2014). Implementasi Kurikulum 2013. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Fullan, M.G. (2007). School development: the new meaning of educational

change. New York: Teachers College Press

Kemendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 65 Tahun 2013 Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.

Handoko ,T. Hani (2003). Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE.

Hamalik, Oemar. (2008). Implementasi Kirikulum (Hand out) PPS Universitas Pendidikan Indonesia.

110

Hasan, Hamid. (2009). Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. Indrtano, T.Ferry. (2013). Menyambut Kurikulum 2013. Jakarta: Kompas Media

Nusantara.

Katuuk, D. Adolfien, (2014). Manajemen Implementasi Kurikulum: Strategi Penguatan Implementasi Kurikulum 2013. Cakrawala Pendidikan, Th.XXXIII, No. 1. Jurnal Ilmiah UNY Yogyakarta.

Kunandar. (2013). Penilaian autentik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Labane, Nokubonga. (2009). Planning and Managing Curriculum Implementation in Rural Schools: an Investigation, Nelson Mandela Metropolitan University, www.- dspace.nmmu.ac.za:8080.

Lindeman, M. (2007). Program Evaluation. Sumber:www.tedi.uq.edu.au/conferences/A_conf/papers/Isaacs.html. Mafuddin, Azis. (2011). Evaluasi Pelaksanaan Kurikulum Satuan Pendidikan.

(Tesis)

Majid, A. (2014). Implementasi Kurikulum 2013 Kajian Teoritis dan Praktis. Bandung: Interes Media

Marsh, C.J. (2009). Key concepts for understanding curriculum (4thed). New York. Routledge.

Mendikbud. (2013). Dokumen Kurikulum 2013 (Draf). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kemendikbud, 2013.

___________ Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

___________ Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (2013).

____________ Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum 2013.

____________ Salinan Lampiran Permendikbud No. 69, tahun 2013

____________ Surat Edaran No. 179342/MPK/KP/2014 tentang Pemberhentian K-13

Miles, Matthew. B & Michael Huberman. (2009). Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI-Press

111

Moleong. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyasa.E. (2004). Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nazir, Muhammad. (2009). Metode Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nuh, Mohammad. (2013). Arahan Mendikbud Pengembangan Kurikulum 2013.

Jakarta: www.kemendikbud.go.id.

Nurdin, syafruddin, & Basyiruddin Usman, (2011). Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press.

Nursalam. (2010). Metodologi Penelitian. Bandung: Alfabeta

Oliva, P.F. (1992). Developing The Curriculum. Harper: Collins Publishers. Pangabaean, S. Mutiara. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bogor : Ghalia Indonesia.

Purwanto.(2011) Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robbins, Stephen dan Mary Coulter. (2007), Management. New York :PrenticeHall.

Stufflebeam, D.L. (1971). Educational evaluation: Theory and practice. Oshio: Charles A. Jones Publishing Company.

Subandija. (2006). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sudjana, Nana. 2005. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar

Baru Algesindo.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sukardi. 2012. Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: Bumi

Aksara

Sukmadinata, N. S. (2008). Pengembangan kurikulum. Teori dan praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syaodih.,Nana (2009). Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.

112

Syarief, A. Hamid. (2012). Pengembangan Kurikulum. Surabaya: Bina Ilmu Suyanto & Asep Jihad. (2013). Menjadi guru profesional. Jakarta:

ErlanggaThomas, J. Alan. (2005). The Productive School:A system analisys Approach to educational administration. Chicago University. Terry, George. (1986). Asas-Asas Manajemen. (terjemahan oleh Winardi).

Bandung : R. Publisher.

Tilaar & Riant Nugroho. 2008. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Usman, Husaini dan Akbar. (2007), Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta : Bumi Aksara.

Wahab, Abdul. (2008), Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara

Widoyoko, Eko Putro (2009). Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Worthen, B.R & Sanders, J.R.2010 , Program Evaluation in Higher Education

International Journal of Research & Review . Oct2010, Vol. 5 Issue 2, p56-65. 10p. 1 Diagram

Yusuf T. Farida. (2008). Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi. Jakarta:Rineka Cipta.

Dokumen terkait