• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi implementasi kurikulum 2013 di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi implementasi kurikulum 2013 di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur."

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

i INTISARI

EVALUASI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DI KABUPATEN BELU

NUSA TENGGARA TIMUR

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi Kurikulum 2013 di Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Belu, NTT. Jenis Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif denagn pendekatan evaluasi. Model evaluasi yang digunakan adalah model CIPP (contex, input, process dan product). Pengambilan sampel menggunakan metode sampel bertujuan (purposive sampling). Keseluruhan informan berjumlah 156 orang. Masing-masing terdiri dari 7 orang kepala sekolah, guru berjumlah 70 orang, siswa berjumlah 70 orang, komite sekolah berjumlah 7 orang dan pengawas berjumlah 2. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pembagian kuesioner, observasi dan dokumentasi. Teknik analitis data menggunakan model deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari evaluasi contex(1) Sarana prasarana penunjang implementasi K13 di Kabupaten Belu berada pada kategori kurang baik (50, 57%), pemahaman siswa dan guru berada pada kategori baik, sedangkan keterlibatan komite sekolah dalam pengembangan K13 belum maksimal. Dari evaluasi input, buku pedoman guru dan siswa tidak terlaksana karena belum tersedianya buku. Pelatihan guru dan kepala sekolah berjalan dengan sangat baik (79, 44%) Sedangkan pendampingan guru berjalan dengan kurang baik (37,31%). Manajemen pembelajaran berada pada kategori cukup baik (73,47%) dan layanan kesiswaan juga berada pada kategori baik (69,64%). Berdasarkan hasil evaluasi contex, proses pembelajaran berjalan dengan cukup baik (76,51%). Sedangkan proses penilaian berjalan kurang baik (49, 28%). Hasil dari evaluasi input (keluaran) hasil yang diperoleh adalah banyak warga sekolah yang senang dengan kehadiran K13. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada kendala- kendala dalam implementasi pleh karena itu direkomendasikan strategi untuk mengatasi kendala implementasi K13 di tingkat SMA di Kabupaten Belu. matang, koordinasi terhadap rencana implementasi, fokus pada pelaksanaan dan meningkatkan pengawasan dan evaluasi.

(2)

ii ABSTRACT

EVALUATION OF IMPLEMENTATION CURRICULUM 2013 IN THE SENIOR HIGH SCHOOL LEVEL IN THE DISTRICT BELU,

EAST NUSA TENGGARA

This study aims to evaluate the implementation of Curriculum 2013 in Level School High School in the district Belu, NTT. Type research uses descriptive method with qualitative evaluation approach. Evaluation model used is the CIPP (contex, input, process and product) model. The subjects consisting of sthis study was established using the purposive sampling technique. Overall informants totaling 156 people. Each consists of seven principals, teachers informants 70 people, students 70 people, school committee amounted to 7 people and supervisors amounted to 2. The data collection technique using interviews, questionnaires distribution, observation and documentation. Mechanical analytical data using analytical descriptive model.The results showed that of the evaluation contex (1) Means infrastructure supporting the implementation of K13 in district Belu are in the unfavorable category (50, 57%), understanding of students and teachers were in the good category, while the school committee's involvement in the development of K13 is not maximized. From the input evaluation, the teacher manual and the student was not implemented because of the unavailability of books. Training teachers and principals went very well (79, 44%), while teacher mentoring runs poorly (37.31%). Learning management that are in good category (73.47%) and student services are also in a good category (69.64%). Based on the evaluation contex, the learning process works very well (76.51%). While the assessment process going well (49, 28%). The results of the evaluation of the input (output) results obtained are many schools are happy with the presence of K-13.The results showed that there are still obstacles in the implementation therefore recommended strategies to overcome implementation obstacles K13 at the high school level in Belu. Strategy in the form of careful planning, the coordination of the implementation plan, focusing on the implementation and improve monitoring and evaluation.

(3)

EVALUASI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI

TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DI

KABUPATEN BELU, NUSA TENGGARA TIMUR

TESIS

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh

Efrems Hendro Loe Loko

132222211

FAKULTAS EKONOMI

(4)

i

EVALUASI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI

TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DI

KABUPATEN BELU, NUSA TENGGARA TIMUR

TESIS

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN

MENCAPAI DERAJAT SARJANA S-2.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh

Efrems Hendro Loe Loko

132222211

FAKULTAS EKONOMI

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

vi

INTISARI

EVALUASI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DI KABUPATEN BELU

NUSA TENGGARA TIMUR

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi Kurikulum 2013 di Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Belu, NTT. Jenis Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif denagn pendekatan evaluasi. Model evaluasi yang digunakan adalah model CIPP (contex, input, process dan product). Pengambilan sampel menggunakan metode sampel bertujuan (purposive sampling). Keseluruhan informan berjumlah 156 orang. Masing-masing terdiri dari 7 orang kepala sekolah, guru berjumlah 70 orang, siswa berjumlah 70 orang, komite sekolah berjumlah 7 orang dan pengawas berjumlah 2. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pembagian kuesioner, observasi dan dokumentasi. Teknik analitis data menggunakan model deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari evaluasi contex(1) Sarana prasarana penunjang implementasi K13 di Kabupaten Belu berada pada kategori kurang baik (50, 57%), pemahaman siswa dan guru berada pada kategori baik, sedangkan keterlibatan komite sekolah dalam pengembangan K13 belum maksimal. Dari evaluasi input, buku pedoman guru dan siswa tidak terlaksana karena belum tersedianya buku. Pelatihan guru dan kepala sekolah berjalan dengan sangat baik (79, 44%) Sedangkan pendampingan guru berjalan dengan kurang baik (37,31%). Manajemen pembelajaran berada pada kategori cukup baik (73,47%) dan layanan kesiswaan juga berada pada kategori baik (69,64%). Berdasarkan hasil evaluasi contex, proses pembelajaran berjalan dengan cukup baik (76,51%). Sedangkan proses penilaian berjalan kurang baik (49, 28%). Hasil dari evaluasi input (keluaran) hasil yang diperoleh adalah banyak warga sekolah yang senang dengan kehadiran K13. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada kendala- kendala dalam implementasi pleh karena itu direkomendasikan strategi untuk mengatasi kendala implementasi K13 di tingkat SMA di Kabupaten Belu. matang, koordinasi terhadap rencana implementasi, fokus pada pelaksanaan dan meningkatkan pengawasan dan evaluasi.

(10)

vii

ABSTRACT

EVALUATION OF IMPLEMENTATION CURRICULUM 2013 IN THE SENIOR HIGH SCHOOL LEVEL IN THE DISTRICT BELU,

EAST NUSA TENGGARA

This study aims to evaluate the implementation of Curriculum 2013 in Level School High School in the district Belu, NTT. Type research uses descriptive method with qualitative evaluation approach. Evaluation model used is the CIPP (contex, input, process and product) model. The subjects consisting of sthis study was established using the purposive sampling technique. Overall informants totaling 156 people. Each consists of seven principals, teachers informants 70 people, students 70 people, school committee amounted to 7 people and supervisors amounted to 2. The data collection technique using interviews, questionnaires distribution, observation and documentation. Mechanical analytical data using analytical descriptive model.The results showed that of the evaluation contex (1) Means infrastructure supporting the implementation of K13 in district Belu are in the unfavorable category (50, 57%), understanding of students and teachers were in the good category, while the school committee's involvement in the development of K13 is not maximized. From the input evaluation, the teacher manual and the student was not implemented because of the unavailability of books. Training teachers and principals went very well (79, 44%), while teacher mentoring runs poorly (37.31%). Learning management that are in good category (73.47%) and student services are also in a good category (69.64%). Based on the evaluation contex, the learning process works very well (76.51%). While the assessment process going well (49, 28%). The results of the evaluation of the input (output) results obtained are many schools are happy with the presence of K-13.The results showed that there are still obstacles in the implementation therefore recommended strategies to overcome implementation obstacles K13 at the high school level in Belu. Strategy in the form of careful planning, the coordination of the implementation plan, focusing on the implementation and improve monitoring and evaluation.

(11)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

INTISARI ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Batasan Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 7

G. Keterbatasan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Evaluasi Implementasi Kurikulum ... 9

1. Evaluasi ... 9

2. Implementasi ... 10

3. Kurikulum ... 11

a. Pengertian Kurikulum ... 11

(12)

ix

1) Tujuan Kurikulum 2013 ... 14

2) Landasan Yuridis Kurikulum 2013 ... 14

3) Struktur Kurikulum 2013 ... 15

4. Implementasi Kurikulum ... 16

5. Evaluasi Kurikulum ... a. Konsep Evaluasi Kurikulum ... 18

b. Peranan Evaluasi Kurikulum ... 20

c. Tujuan Evaluasi Kurikulum ... 21

d. Model Evaluasi Kurikulum ... 23

B. Faktor-faktor dalam Implementasi Kurikulum ... 26

1. Faktor Perencanaan Implementasi Kurikulum ... 26

2. Faktor Kurikulum... 27

3. Faktor Guru dalam Implementasi Kurikulum ... 28

4. Faktor Sarana dan Prasarana ... 30

5. Faktor Iklim dan Budaya Sekolah... 31

6. Faktor Peran Kepala Sekolah ... 32

7. Faktor Pelaksanaan Penilaian ... 33

8. Faktor Keterlibatan Komite Sekolah ... 34

C. Strategi Untuk Implementasi Kurikulum 2013 ... 35

1. Strategi Diklat Guru Kelas/Mapel, Kepala Sekolah, dan Pengawas ... 35

2. Pengadaan Sarana dan Prasarana ... 36

(13)

x

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

B. Jenis Penelitian ... 39

C. Teknik Pengumpulan Data ... 40

1. Wawancara ... 40

2. Kuesioner... 41

3. Dokumentasi ... 43

4. Pengamatan ... 44

D. Informan ... 44

E. Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Belu Model CIPP ... 49

1. Evaluasi Konteks (Contex) ... 49

a. Sarana Prasarana ... 50

b. Pemahaman Guru tentang Kurikulum 2013 ... 53

c. Pemahaman Siswa tentang Kurikulum 2013 ... 55

d. Keterlibatan Orang Tua (Komite Sekolah) dalam Kurikulum ... 58

2. Evaluasi Masukan (Input) ... 62

a. Buku Pedoman Guru dan Siswa ... 62

b. Pelatihan dan Pendampingan Guru ... 65

c. Manajemen Pembelajaran ... 72

d. Layanan Kesiswaan ... 75

3. Evaluasi Proses (Process) ... 77

(14)

xi

b. Proses Penilaian ... 82

4. Evaluasi Keluaran (Product) ... 82

B. Faktor-faktor yang Menghambat Implementasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Belu ... 89

C. Strategi-strategi untuk Mengatasi Kendala Implementasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Belu ... 94

1. Perencanaan (Planning) ... 96

2. Pengorganisasian (Organizing) ... 98

3. Pelaksanaan (Actuating) ... 100

4. Pengawasan (Controlling) ... 104

BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 108

(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Gradasi jawaban responden ... 40

Tabel 3.2 Kategori Tingkatan Jawaban Responden ... 46

Tabel 4.1 Hasil Skor Nilai Sarana Prasarana ... 50

Tabel 4.2 Hasil Skor Nilai Pelatihan K13 ... 65

Tabel 4.3 Hasil Skor Nilai Pendampingan ... 69

Tabel 4.4 Hasil Skor Nilai Manajemen Pembelajaran Kasek ... 72

Tabel 4.5 Hasil Skor Nilai Layanan Kesiswaan ... 75

Tabel 4.6 Hasil Skor Nilai Proses Pembelajaran ... 77

(16)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perbedaan Kurikulum 2013 dan KTSP 114

Lampiran 2 Lembar Permohonan Menjadi Responden 115

Lampiran 3 Surat Persetujuan Responden 116

Lampiran 4 Pedoman Wawancara 117

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memasuki pertengahan tahun 2013, dunia pendidikan Indonesia

dihadapkan pada kebijakan nasional yang sangat penting, yaitu mulai

diterapkannya Kurikulum 2013(K-13). Penerapan K-13 di seluruh sekolah di

Indonesia ini mengacu pada Permendikbud No. 81A tahun 2013 tentang

implementasi K-13. Kebijakan kurikulum baru menjadi menarik untuk terus

dikaji, terutama secara akademik. Hal ini karena kurikulum merupakan salah

satu aspek penting dalam proses pendidikan, dan selalu mengalami proses

pembaharuan seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Oleh

sebab itu, pembaharuan kurikulum harus dipandang sebagai suatu tuntutan

perubahan. Dinamika perkembangan kurikulum sebagai suatu tuntutan

perubahan mengandung implikasi bahwa perubahan kurikulum merupakan

sesuatu yang imperatif agar kurikulum yang berlaku tetap memiliki relevansi

dengan kebutuhan masyarakat.

Kebijakan tentang pemberlakukan K-13 harus dilihat dalam konteks

tuntutan perubahan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, baik saat ini

maupun untuk masa yang akan datang. Pada setiap kesempatan sosialisasi

K-13, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI ketika itu Muhammad Nuh

(2013) mengemukakan bahwa terdapat berbagai rasional pentingnya K-13.

(18)

2

Indonesia merdeka. Hal ini berkaitan dengan struktur penduduk Indonesia

2010, penduduk usia 0-9 tahun dan 10-19 tahun menempati porsi yang sangat

besar, yaitu usia 0-9 tahun berjumlah 45,93 juta, dan usia 10-19 thn

berjumlah 43,55 juta (Indratno, 2013). Kedua adalah masalah pembentukan karakter bangsa. Beberapa masalah penting pembangunan karakter bangsa

dan negara Indonesia saat ini dan ke depan antara lain adalah disorientasi dan

belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai-nilai etika dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap

nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya

kemandirian bangsa (Winataputra, 2010:9).

Perubahan kurikulum 2006 menjadi K-13 pada dasarnya adalah

perubahan pola pikir (mindset), dapat dikatakan merupakan perubahan

budaya mengajar dari para guru dalam melaksanakan pendidikan di sekolah.

Dengan demikian untuk mendukung pelaksanaan K-13 harus sesuai dengan

rancangan yang diinginkan (Mulyasa, 2013).

Seiring berjalannya waktu, keputusan pun berubah. K-13 yang sudah

dijalankan pada tahun ajaran baru 2013/2014 dibatalkan melalui surat edaran

Menteri dan Kebudayaan Nomor 179342/MPK/KR/2014 tanggal 5 Desember

2014. Ada tiga keputusan utama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

yang dijelaskan pada surat edaran tersebut:

1. Menghentikan pelaksanaan K-13 bagi sekolah yang baru melaksanakan.

(19)

3

K-13 satu semester ini supaya kembali melaksanakan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 pada semester genap 2014/2015.

2. Tetap melaksanakan K-13 bagi sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan

K-13 tahun pelajaran 2013/2014.

3. Mengembalikan tugas pengembangan K-13 kepada Pusat Kurikulum dan

Perbukuan. Dan, pemerintah akan melakukan perbaikan mendasar

terhadap K-13 sehingga dapat dilaksanakan dengan baik

Hal ini memicu perdebatan diantara para akademisi, intelektual,

pemerhati pendidikan, guru-guru dan juga siswa. Abduhzen (2015) Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta: Ketua Litbang PB PGRI, berpendapat bahwa kebijakan pemberhentian kurikulum ini adalah sesuatu yang sulit dan tak langsung menyelesaikan problem K-13

yang tergesa-gesa, bahkan menjadi komplikasi bagi pembelajaran mendatang.

Namun, putusan ini mesti diambil agar beragam kerancuan substansi dan

kesukaran teknis implementasi K-13 tak berkepanjangan. Sedangkan Fadillah

(2014) berpendapat bahwa alangkah bijaksana bila evaluasi sebagaimana

dicantumkan dalam pasal 2 ayat 2 dilakukan secara lengkap dan menyeluruh

sebelum kurikulum baru ini diterapkan di seluruh sekolah. Konsekuensi dari

penerapan menyeluruh sebelum evaluasi lengkap adalah bermunculannya

masalah-masalah yang sesungguhnya bisa dihindari jika proses perubahan

dilakukan secara lebih seksama dan tidak terburu-buru.

Berdasarkan keputusan Permendikbud No. 81A tahun 2013 tentang

(20)

4

lapisan pendidikan di Kabupaten Belu mulai dari tingkat SD, SMP,

SMA/SMK sampai pada tingkat Perguruan Tinggi, turut mengambil bagian

dalam penerapan K-13 meskipun hanya 1 (satu) semester. Selama

implementasi kurikulum ini banyak hal yang dilalui dan dirasakan bersama

oleh pemerintah Dinas Pendidikan Kabupaten Belu bersama seluruh

jajarannya termasuk sekolah-sekolah. Banyak faktor yang dianggap

menghambat terlaksananya K-13 ini. Konkritnya berdasarkan studi

pendahuluan di Kabupaten Belu menunjukkan beberapa guru mengeluhkan

waktu untuk sosialisasi K-13 yang terlalu singkat, persiapan implementasi

yang terbatas, dan kesulitan dalam melakukan penilaian. Sedangkan dari

beberapa siswa calon responden mengeluhkan jam sekolah berlebihan dan

terlalu menekan siswa. Setelah keluarnya surat edaran dari Mendikbud

tentang pemberhentian sementara K-13 ini, Dinas Pendidikan Kabupaten

Belu dan sekolah-sekolah merasa senang karena sepertinya ada beban di

pundak yang terangkat begitu saja. Tanpa banyak pertimbangan mereka pun

memberhentikan Impelementasi K-13.

Mencermati fenomena di atas dan kondisi pelaksanaan K-13 di setiap

satuan pendidikan semenjak K-13 diberlakukan pada tahun ajaran 2014/2015

hingga diberhentikan dengan alasan peninjauan ulang, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan tema “Evaluasi Implementasi K-13 di Tingkat

Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Belu-Nusa Tenggara Timur”.

Evaluasi kurikulum adalah suatu aktivitas ilmiah yang memiliki

(21)

5

Menurut Mafuddin (2011) dalam penelitian mereka tentang evaluasi KTSP

Bahasa Asing SMA, evaluasi terhadap kurikulum memainkan peranan yang

sangat penting dalam proses pendidikan karena merupakan proses

pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh

melalui pengukuran baik kualitatif maupun kuantitatif. Maksud evaluasi tentu

saja adalah memberi nilai tentang kualitas sesuatu; seberapa proses atau hasil

suatu program (misalnya) dapat dicapai.

Studi ini merupakan sebuah kajian akademis dari perspektif manajemen

untuk melakukan sebuah evaluasi mengenai implementasi K-13 di tingkat

SMA di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. Hal ini penting dilakukan

karena kurikulum ini tetap akan diimplementasikan di seluruh wilayah NKRI

(Negara Kesatuan Republik Indonesia), sehingga pemangku kepentingan

termasuk pemerintah, pihak sekolah, siswa dan orang tua perlu mendapat

masukan yang obyektif tentang kelebihan dan kelemahan K-13 sehingga

implementasinya dapat menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik.

B. 0Perumusan Masalah

Dengan latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah yang

akan diteliti dalam studi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Implementasi K-13 di Kabupaten Belu?

2. Apa kendala yang dihadapi dalam implementasi K-13 di Kabupaten Belu?

3. Apa strategi terbaik yang harus disiapkan dan digunakan untuk

(22)

6

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi K-13 di Kabupaten Belu?

2. Untuk mendeskripsikan kendala-kendala implementasi K-13 SMA di

Kabupaten Belu?

3. Untuk memberi gambaran dan strategi dalam menghadapi kendala

implementasi K-13 ke depannya.

D. Manfaat Penelitian

Studi ini bermanfaat bagi pengembangan teori manajemen khususnya

dalam hal pendidikan. Intervensi teori manajemen dalam menyikapi

kurikulum dan implikasinya akan memperkaya teori manajemen pendidikan,

agar pengelolaan pendidikan dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan

efisien, sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern.

E. Batasan Penelitian

Studi ini terbatas pada aspek evaluasi sebagai bagian dari manajemen

terhadap K-13. Sekalipun demikian, beberapa fakta yang berkaitan dengan

obyek manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan dan capaian ikut dibahas

(23)

7

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai

berikut:

BAB I Pendahuluan, berisi uraian mengenai latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, batasan penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan

Pustaka berisi uraian teoritik mengenai evaluasi, implementasi, kurikulum

dan hambatan implementasi kurikulum. BAB III Metodologi Penelitian berisi

uraian mengenai profil lokasi penelitian metode penelitian, populasi dan

sampel, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV Evaluasi Implementasi K-13 di Kabupaten Belu-Nusa Tenggara

Timur, bagian ini berisi analisis data penelitian, interpretasi dan disertai

pembahasan hasil penelitian. BAB V Kesimpulan dan Saran sebagai bab

penutup, di bagian ini disarikan kesimpulan hasil penelitian disertai

saran-saran yang relevan.

G. Keterbatasan Penelitian

1. Ada kepala sekolah dan guru yang tidak jujur dengan keadaan sekolah

yang sesungguhnya

2. Ketiadaaan buku pedoman guru dan siswa membuat penulis sulit

melakukan penelitian khusus tentang buku pedoman guru dan siswa.

(24)

8

siswa mengisi angket. Belum semua sekolah diobservasi.

4. Evaluasi implementasi K-13 pada tahap outcomes hanya sebatas pada hasil

tanggapan warga sekolah terhadap kehadiran K-13 sedangkan dampak

pelaksanaan K-13 bagi guru dan siswa, dampak lingkungan pembelajaran

belum bisa digali lebih lanjut karena siswa yang melaksanakan K-13 baru

berjalan 3 semester

(25)

9

TINJAUAN PUSTAKA

A. Evaluasi Implementasi Kurikulum

1. Evaluasi

Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen. Menurut

Liderman (2007), secara umum sistem manajemen mencakup empat

bagian yaitu 1. Perencanaan, 2. Pengorganisasian, 3. Pelaksanaan, dan 4.

Evaluasi.

Perencanaan merupakan proses yang mendahului pengambilan

keputusan (Robbins, et al., 2009).

Pengorganisasian adalah penyusunan struktur organisasi yang

sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya yang dimilikinya dan

lingkungan yang melingkupinya (Handoko, 2003).

Pelaksanaan merupakan sistem kerjasama sekelompok orang, yang

dilakukan dengan pembidangan dan pembagian seluruh pekerjaan atau

tugas dengan membentuk sejumlah satuan atau unit kerja, yang

menghimpun pekerjaan sejenis dalam satu-satuan kerja. Kemudian

dilanjutkan dengan menetapkan wewenang dan tanggungjawab

masing-masing dengan mengatur hubungan kerja baik secara vertikal maupun

horizontal (De Bruyn, Lillien, 2008).

Evaluasi merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil

implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk

(26)

10

mengenai sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai sehingga bisa

diketahui bila terdapat perbedaan antara rencana yang telah ditetapkan

dengan hasil yang bisa dicapai. Setiap program, kegiatan atau aktivitas

yang direncanakan selalu diakhiri dengan suatu evaluasi (Liderman, 2007).

Evaluasi dimaksudkan untuk melihat kembali apakah suatu program atau

kegiatan telah sesuai dengan perencanaan atau belum (Sukmadinata,

2008).

2. Implementasi

Meter dan Horn (1965) dalam Wahab (2001) merumuskan makna

implementasi sebagai berikut: tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh

individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah

atau swasta yang diarahkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang telah

digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Miller (1985) (dalam Subandijah, 2006) mendefenisikan

implementasi sebagai kegiatan memenuhi, melaksanakan, memproduksi

dan menyelesaikan sebuah kebijakan yang telah diambil sebelumnya.

Sementara itu Tornanatzky dan Johnson, 1982 (dalam Subandijah, 2006)

membuat batasan tentang implementasi sebagai terjemahan dari alat,

teknik, proses atau metode dari pengetahuan untuk berlatih.

Dari pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa

implementasi adalah tindakan melaksanakan atau mewujudkan apa yang

(27)

11

3. Kurikulum

a. Pengertian Kurikulum

Pada awal mulanya, istilah kurikulum berasal dari bahasa

Yunani yaitu curir, artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Kurikulum berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari

dari awal (start) sampai akhir (finish) untuk bisa mendapatkan

penghargaan. Dalam dunia pendidikan, jarak tersebut diartikan program

pendidikan yang berisi mata pelajaran. Dengan demikian, pengertian

sederhana kurikulum dari bahasa aslinya yaitu program pendidikan

berisi mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk bisa

memperoleh ijazah ( Arifin, 2013).

Caswel & Campbell (1935) dalam Majid (2014) mendefinisikan

kurikulum dengan pengertian yang hampir sama sebagai: “ to be composed of all experiences children have under the guidance of teacher”. Kurikulum berisi seperangkat rencana berisi pengalaman yang akan

dimiliki siswa di bawah bimbingan guru. Kurikulum yang dirancang

merupakan satu set rencana yang berisi pengalaman yang akan dimiliki

siswa selama mengikuti program pendidikan. Pengalaman siswa dalam

serangkaian kegiatan pembelajaran berada di bawah bimbingan guru.

Guru bertanggung jawab dalam membimbing siswa selama proses

pembelajaran dalam mengimplementasi sebuah kurikulum.

Saylor (1956) dalam Oliva (1992) memberikan definisi yang

(28)

12

"curriculum as a plan for providing sets of learning opportunities for persons to be educated”. Kurikulum sebagai rencana untuk menyediakan

kesempatan belajar bagi orang-orang untuk dididik. Dalam hal ini,

kurikulum disusun untuk memberikan berbagai kesempatan siswa untuk

belajar. Siswa diberi kesempatan untuk menambah kemampuan diri.

Oliva (1992) menjelaskan bahwa pada masa Gaius Julius Caesar

dikenal sebuah trek oval yang di atasnya digunakan untuk arena

balap kereta Romawi. Trek itu disebut the curriculum. Pada masa itu

kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang

pelari dimulai dari titik start sampai finish untuk mendapatkan medali

atau penghargaan.

Definisi yang terkait dengan kurikulum memberikan penekanan

tertentu. Seperti 2 definisi yang dirangkum oleh Marsh (2009) berikut:

a) “Curriculum is all planned learnings for which the school is

responsible”, b) “the totality of learning experiences provided to

students so that they can attain general skills and knowledge at a

variety of learning sites”. Dapat diartikan bahwa kurikulum adalah semua

rencana pembelajaran yang menjadi tanggung jawab sekolah dan juga

pengalaman yang diberikan kepada siswa dalam belajar sehingga

mereka dapat mencapai keterampilan umum dan pengetahuan di

berbagai materi pembelajaran.

Pengertian yang serupa dijelaskan dalam Undang-Undang nomor

(29)

13

menetapkan pengertian kurikulum sebagai: seperangkat rencana dan

pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran

untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum berisi perencanaan

dan pengaturan yang berisi tujuan, bahan ajar, cara yang ditempuh untuk

mencapai tujuan yang digunakan sebagai pedoman pembelajaran.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

kurikulum merupakan rencana/program kegiatan pembelajaran yang berisi

tujuan, isi, dan bahan/materi pelajaran yang akan memberikan pengalaman

belajar bagi siswa, memberikan bekal ketrampilan umum dan pengetahuan

untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

b. Kurikulum 2013

Berdasarkan Permendikbud nomor 81A tentang implementasi

K-13, kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia mulai

tahun ajaran 2013/2014 adalah K-13. K-13 merupakan langkah lanjutan

dari KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan

keterampilan secara terpadu. (Perbedaan KTSP dan K-13 lihat pada

lampiran 1).

1) Tujuan K-13

Dengan demikian, K-13 bertujuan untuk mempersiapkan insan

(30)

14

warganegara yang kreatif, produktif, kreatif, inovatif, afektif serta

mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan peradaban dunia (Dokumen K-13).

2) Dasar/Landasan Yuridis K-13 a) Landasan Filosofis

(1) Filosofis Pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan

(2) Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, (3) Nilai akademik, kebutuhan siswa, dan masyarakat.

b) Landasan Yuridis

(1) RPJMM 2010-2014 Sektor Pendidikan, tentang Perubahan metodologi Pembelajaran dan Penataan Kurikulum

(2) PP No. 19 tahun 2005, Tentang Standar Nasional Pendidikan.

(3) INPRES Nomor 1 Tahun 2010, tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.

c) Landasan Konseptual

(1) Relevansi pendidikan (link and match) (2) Kurikulum berbasis kompetensi dan karakter (3) Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and (4) learning)

(5) Pembelajaran aktif (student active learning)

(6) Penilaian yang valid, utuh, dan menyeluruh (Dokumen K-13).

3) Struktur Kurikulum 2013 untuk SMA

Dalam K-13 SMA terdapat 3 kelompok mata pelajaran. Pertama, kelompok A yang didalamnya terdapat mata pelajaran Pendidikan

Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,

Matematika, Sejarah Indonesia dan Bahasa Inggris. Kedua, kelompok B

yang terdiri dari mata pelajaran Seni Budaya, Pendidikan Jasmani,

(31)

15

pelajaran peminatan yang didalamnya terdapat peminatan akademik

Matematika dan Sains (Matematika, Biologi, Fisika, dan Kimia),

peminatan Sosial (Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi dan

Antropologi), serta peminatan Bahasa (Bahasa dan Sastra Indonesia,

Bahasa dan Sastra Mandarin, Bahasa dan Sastra Inggris, Bahasa dan

Sastra Arab). Ada juga mata pelajaran pilihan yang terdiri dari bahasa

asing lain (Jepang, Korea, Jerman, Prancis), Literasi Media, Teknologi

Terapan, dan lainnya.

Seluruh siswa wajib mengikuti pelajaran kelompok A dan

kelompok B, serta memilih salah satu pelajaran peminatan dengan

menempuh 18 jam untuk pelajaran wajib, 16 jam untuk pelajaran

peminatan, dan 6 jam untuk mata pelajaran lintas minat, pendalaman

minat, pelajaran pilihan, maupun pelajaran pilihan tambahan dari

sekolah. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam K-13

jumlah mata pelajaran menjadi berkurang, sebaliknya jumlah jam

pelajaran semakin bertambah. Peminatan mata pelajaran untuk SMA

dimulai dari kelas X (Dokumen K-13).

4. Implementasi Kurikulum

Fullan (2007) mendefinisikan implementasi kurikulum sebagai :

(32)

16

adalah kegiatan mempraktikan/menerapkan suatu ide, program atau

seperangkat kegiatan yang baru untuk individu atau organisasi yang

menggunakan kurikulum. Sebuah ide, program, atau rencana kegiatan bisa

nyata diterapkan melalui serangkain kegiatan implementasi. Implementasi

bisa dilakukan perorangan ataupun kelompok.

Marsh (2009) menyebutkan hal senada bahwa: “Implementation

refers to actual use, but there is also an important, attitudinal, ‟element”. Penerapan kurikulum mengacu pada penggunaan kurikulum

secara aktual, namun yang terpenting adalah yang berkaitan dengan

elemen sikap‟.

Implementasi kurikulum mencakup tiga kegiatan pokok, yakni

pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi

pembelajaran. Pengembangan program berkiatan dengan kegiatan

menyusun rancangan kurikulum. Kegiatan menerapkan rancangan

kurikulum dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran berupa

kegiatan untuk menilai proses pembelajaran (Kunandar, 2011).

Menurut Rusman (2012), pembelajaran di dalam kelas menjadi

tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Dalam kegiatan

pembelajaran, konsep kurikulum akan diwujudkan secara nyata (actual curriculum-curriculum in action) dalam implementasi kurikulum oleh guru sebagai implementator kurikulum.

Ada dua hal penting dari kurikulum yaitu kurikulum sebagai

(33)

17

kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru. Sedangkan kurikulum

sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman dalam kegiatan

pembelajaran (Suyanto & Asep, 2013).

Hal tersebut selaras dengan pernyataan Katuuk (2014),

bahwa implementasi kurikulum dapat dilihat dalam dua sudut pandang

yaitu sebagai instrumen dan sebagai proses. Sebagai instrumen,

implementasi berperan dalam mewujudkan gagasan, ide, dan/atau

tujuan kurikulum. Implementasi kurikulum sebagai suatu proses

sebagai upaya mewujudkan tujuan kurikulum ke dalam proses

pembelajaran.

Majid (2014) memaknai implementasi kurikulum sebagai

operasionalisasi konsep kurikulum yang masih bersifat potensial (tertulis)

menjadi aktual dalam bentuk kegiatan pembelajaran.

Jadi implementasi kurikulum dapat diartikan sebagai

penerapan dari ide, program, dan rancangan kurikulum yang masih

bersifat tertulis sebagai bahan pedoman bagi guru ke dalam

aktivitas/tingkah laku nyata pada proses pembelajaran untuk mencapai

tujuan kurikulum.

5. Evaluasi Kurikulum

a. Konsep Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam

(34)

18

pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi

kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan

dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan

kebijakan pengembangan model kurikulum dan pendekatan yang

digunakan. Tanpa evaluasi, maka tidak akan diketahui bagaimana

kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta

hasilnya (Chronholm dan Goldkuhl, 2003).

Yusuf (2012) mengatakan bahwa dilihat dari berbagai konsep

kurikulum, evaluasi memiliki kedudukan yang sangat penting dan

strategis. Jika ingin memahami dan mengembangkan kurikulum, maka

wajib mempelajari tentang evaluasi karena evaluasi merupakan konsep

yang melekat pada kurikulum. Kurikulum penting untuk dievaluasi dan

dikembangkan secara baik dan berkelanjutan untuk memacu para

pelaksana kurikulum di sekolah yang siap pakai, aktif, dan kreatif serta

mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lembaga

pendidikan yang ada didalamnya. Untuk mencapai hal tersebut,

diperlukan suatu sistem kurikulum yang efektif dan efisien pada setiap

program kegiatan pendidikan.

Dari konsep evaluasi kurikulum di atas, jelas bahwa evaluasi

kurikulum dimaksudkan sebagai suatu proses mempertimbangkan

untuk memberi nilai dan arti terhadap suatu kurikulum pendidikan dan

pelatihan tertentu. Dengan demikian evaluasi kurikulum adalah proses

(35)

19

untuk membuat keputusan tentang kurikulum pendidikan dan pelatihan

yang sedang berjalan atau telah dijalankan.

Evaluasi kurikulum minimal terfokus pada empat bidang; yaitu

evaluasi terhadap penggunaan kurikulum, desain kurikulum

(curriculum design), hasil dari peserta didik, liable kurikulum. Dengan

kata lain, liable evaluasi kurikulum dapat dilakukan pada hasil (outcome) dari kurikulum tersebut (outcomes based evaluation) dan

juga dapat pada komponen kurikulum tersebut (intrinsic evaluation).

Outcomes based evaluation merupakan liable evaluasi kurikulum yang paling sering dilakukan (Worthen, Sanders. 1981).

Wilayah evaluasi kurikulum yang akan memberikan sejumlah

informasi yang penting bagi perancang dan pengembang kurikulum

menyangkut kelemahan dan kekuatan sebuah kurikulum yang telah

dirancang dan diimplementasikan sehingga informasi ini akan sangat

berguna untuk pengambangan dan perubahan kurikulum di masa yang

akan datang sekaligus sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan

Indonesia dalam menciptakan manusia Indonesia yang bermutu dan

berdaya saing dalam persaingan global (Yunus, 2010).

b. Peranan Evaluasi Kurikulum

Peranan evaluasi kurikulum khususnya dalam penentuan

kebijaksanaan pendidikan itu berkenaan dengan tiga hal, yaitu:

(36)

20

Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari

suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan

berikutnya.

2) Evaluasi dan penentuan keputusan

Pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau

kurikulum itu sangatlah banyak, misalnya: guru, siswa, orang tua,

kepala sekolah, para pengembang kurikulum dan sebagainya. Pada

prinsipnya tiap individu di atas membuat keputusan sesuai posisinya.

Besar kecilnya peranan keputusan yang diambil itu sesuai

dengan lingkup tanggung jawabnya, serta lingkup masalah yang

dihadapinya. Misalnya siswa mengambil keputusan sesuai dengan

kepentingannya,apabila seorang siswa mendapat nilai kurang baik,

maka keputusanyang diambil adalah meningkatkan kualitas

belajarnya. Beberapa hasilevaluasi akan menjadi pertimbangan bagi

pengambil keputusan (Zaini, 2009).

3) Evaluasi dan konsensus nilai

Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan

evaluasikurikulum, sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang

yang ikutterlibat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para

partisipan dalamevaluasi pendidikan dapat terdiri dari: orang tua,

(37)

21

Sehingga kesatuan penilaian diantara mereka (partisipan dalam

evaluasi pendidikan) hanya dapatdicapai melalui suatu konsensus.

Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal

dari tradisi tes mental serta eksperimen. Konsensus tersebut berupa

kerangka kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan

khusus, pengukuran prestasi belajaryang bersifat behavioral, analisis

statistik dari prestasi test dan posttes (Zaini, 2009).

c. Tujuan Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat

ketercapaian tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui

kurikulum yang bersangkutan, indikator kinerja yang akan dievaluasi

yaitu efektivitas program (Syaodih, 2009).

Dalam arti luas evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk

memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari beberapa

aspek yaitu efektivitas, relevansi, efisiensi, dan kelayakan (feasibility) program. Evaluasi dalam pengembangan kurikulum dimaksudkan untuk

keperluan:

1) Perbaikan program

Evaluasi bersifat konstruktif karena informasi hasil evaluasi

dijadikan input bagi perbaikan pengembangan program kurikulum.

Jadi evaluasi dipandang sebagai tolak ukur hasil pengembangan

sistem.

(38)

22

Selama dan terutama pada fase pengembangan kurikulum

diperlukan pertanggungjawaban sosial, ekonomi, dan moral berupa

kekuatan dan kelemahan kurikulum serta upaya untuk

mengatasinya dari berbagai pihak yang mensponsori kegiatan

pengembangan kurikulum dan yang menjadi konsumen dari

kurikulum yang telah dikembangkan.

3) Penentuan tindak lanjut hasil pengembangan

Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat

berbentuk jawaban atas dua kemungkinan pertanyaan. Pertama, apakah kurikulum baru tersebut akan atau tidak akan

disebarluaskan ke dalam sistem yang ada? Kedua, dalam kondisi yang bagaimana dan dengan cara yang bagaimana pula kurikulum

baru tersebut akan disebarluaskan ke dalam sistem yang ada?

Pertanyaan yang kedua dirasakan lebih konstruktif dan lebih dapat

diterima ditinjau dari segi sosial, ekonomi, moral, maupun teknis.

Jadi untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalam

menjawab pertanyaan yang kedua itulah diperlukan adanya

kegiatan evaluasi (Sukmadinata, 2011).

d. Model Evaluasi Kurikulum CIPP

Sesuai dengan namanya, model ini terbentuk dari 4 jenis

evaluasi yaitu evaluasi konteks (contex), masukan (input), pelaksanaan

(39)

23

Stufflebeam pada tahun 1971. Model ini menitikberatkan pada

pandangan bahwa keberhasilan program pendidikan di pengaruhi oleh

berbagai faktor diantaranya: karakteristik peserta didik, lingkungan,

tujuan program, peralatan yang digunakan serta prosedur dan

mekanisme pelaksanaan program itu sendiri.

Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam komponen CIPP

yang akan dievaluasi adalah :

1) Contex: Menurut Zaenal (2009), konteks diartikan sebagai situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan

strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang

bersangkutan. Unsur-unsur yang akan dievaluasi dalam evaluasi ini

konteks adalah: keadaan sekolah yang bersangkutan yaitu mengenai

sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada di sekolah

tersebut, pemahaman guru tentang K-13, pemahaman siswa tentang

2013 dan keterlibatan orang tua (komite sekolah) dalam

perkembangan kurikulum.

2) Input: Menurut Widoyoko (2009), evaluasi input (masukan) membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang

ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk

mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk

mencapainya. Menurut Stufflebeam(1977) sebagaimana yang

dikutip Arikunto (2009), mengungkapkan bahwa pertanyaan yang

(40)

24

yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.

Komponen evaluasi masukan dalam implementasi K-13 meliputi:

pengadaan buku, pelatihan guru dan kepala sekolah, pelaksanaan

pembelajaran , dan pelaksanaan pendampingan K-13.

3) Process: Worthen & Sanders (1981) dalam Widoyoko (2009) menjelaskan bahwa, evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan :

Pertama: evaluasi proses digunakan untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi

selama tahap implementasi, Kedua: menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang

telah terjadi. Ketiga: Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik

pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk

mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan

komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan menurut

Suharsimi Arikunto (2009), evaluasi proses dalam model CIPP

menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam

program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung

jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam

model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan

yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai

(41)

K-25

13 meliputi: proses pembelajaran dan proses penilaian serta

manajemen pembelajaran.

4) Product: Sax (1980) dalam Widoyoko, 2009 memberikan pengertian evaluasi produk/hasil adalah sebagai “ to allow to project director (or techer) to make decision of program “. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau

guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan,

akhir, maupun modifikasi program. Sementara menurut Yusuf

(2000) dalam Widoyoko (2009) menerangkan, evaluasi produk

untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai

hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah

program itu berjalan.

Dari pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpuan bahwa,

evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan untuk melihat

ketercapaian/ keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan

yang telah ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah

seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi

kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan,

dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan.

Berhubungan dengan penelitian evaluasi implementasi K-13

ini, hal-hal yang akan dievaluasi adalah: Bagaimana tanggapan umum

para responden tentang implementasi? Faktor kepuasan terhadap

(42)

26

diselenggarakan selama 1 semester dan belum memiliki outcome atau hasil pembelajaran. Hal berikutnya yang diperhatikan dalam evalausi

product ini adalah strategi-stretegi yang perlu disiapkan di Kabupaten Belu dalam menghadapi implementasi K-13.

B.Faktor-faktor dalam Implementasi Kurikulum

Faktor-faktor implementasi kurikulum merupakan kondisi yang akan

mempengaruhi keberhasilan implementasi kurikulum. Karenanya, kondisi

tersebut perlu mendapatkan perhatian dalam manajemen implementasi

kurikulum.

1. Faktor Perencanaan Implementasi Kurikulum

Perencanaan merupakan faktor strategis dalam implementasi suatu

kurikulum, terutama kurikulum baru. Implementasi kurikulum terkait

dengan banyak faktor yang harus dipersiapkan agar implementasi berhasil

dengan baik. Perencanaan dapat menjadi instrument penting untuk evaluasi

program sejauh mana tujuan dan sasaran implementasi kurikulum dapat

dicapai. Labane (2009) mengemukakan, di dalam implementasinya, setiap

kurikulum, terutama kurikulum baru akan menghadapi banyak masalah.

Perencanaan akan membantu mengidentifikasi cara-cara mengatasi masalah

dan sekaligus membantu mengurangi masalah-masalah yang akan muncul di

dalam implementasi kurikulum. Kejelasan dalam perencanaan terhadap

(43)

27

kepastian bahwa implementasi kurikulum akan berjalan dengan baik

(Hasbullah, 2015).

2. Faktor Kurikulum

Faktor kurikulum merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

implementasi kurikulum itu sendiri. Altrichter (2005) menyebutkan

conceptual matters sebagai salah satu limiting factors dalam implementasi kurikulum. Bennie & Newstead (1999) (dalam Katuuk 2014) menyebutkan

faktor dalam kurikulum yaitu,

a. Kelemahan dalam konstruksi kurikulum, (errors in the construction of

the document); baik perencanaan maupun pengembangannya. Evaluasi terhadap kurikulum lama, kajian dan analisis terhadap kerangka

konseptual dan kontekstual kurikulum baru, serta keterlibatan berbagai

pihak termasuk keterlibatan pengguna kurikulum sangat penting untuk

memperkuat konstruksi kurikulum baru.

b. Kesalahan dalam hal isi kurikulum (content errors). Kesalahan isi kurikulum terutama dilihat dari relevansi dan kontektualitas isi

kurikulum. Kesalahan pada isi kurikulum dapat menyebabkan anak

menerima materi yang tidak standar dan akan berimplikasi pada

kemampuan anak untuk kompetitif.

c. Kesesuaian isi kurikulum (in appropriate content), terutama dilihat dari

aspek psikologis, yaitu kesesuaian dengan tingkat perkembangan

(44)

28

harus memperhatikan kesesuaiannya dengan perkembangan

kemampuan-kemampuan psikologis anak.

3. Faktor Guru dalam Implementasi Kurikulum

Guru mempunyai peranan yang penting dalam implementasi

kurikulum. Peran guru tersebut terutama dalam menjadikan kurikulum

sebagai sesuatu yang aktual (actual curriculum) dalam kegiatan

pembelajaran. Altirchter (2005) menyebutkan tiga faktor penting dari guru

sebagai faktor-faktor yang membatasi implementasi kurikulum, yaitu (1)

competencies and attitude; (2) decision-making participation; and (3) quality of collegial relationship. Ketiga faktor yang dikemukakan Altirchter tersebut menunjuk pada kompetensi, baik kompetensi profesional,

kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian maupun kompetensi sosial.

Partisipasi dalam pengambilan keputusan menunjuk pada kemampuan

partisipatif guru dalam pengambilan keputusan, baik pengembangan

kurikulum maupun pembelajaran.

Demikian juga dengan kualitas hubungan kolegial di sekolah

dengan sesama guru. Kualitas hubungan kolegial tersebut penting untuk

memperkuat kemampuan parsisipatif guru. Marsh, (2009) menyebutkan

bahwa teachers content knowledge merupakan salah satu faktor rintangan dalam implementasi kurikulum baru. Melalui penelitian yang mereka

(45)

29

experiences. Hasil penelitian ini memperkuat proposisi mengenai peran pengetahuan konseptual guru yang melandasi bahan ajar.

Guru sudah harus memiliki pengetahuan konseptual yang kuat, baik

konten bidang studi maupun pengetahuan konseptual pedagogik dan

pembelajaran. Penguasan konten pedagogik dan keilmuan bidang studi akan

memperkuat kemampuan guru dalam mengembangkan silabus, bahan ajar,

dan pendekatan-pendekatan metodologis pembelajaran. Pengembangan

kemampuan guru untuk implementasi kurikulum baru memerlukan suatu

manajemen kuat dan baik yang mencakup pengembangan kompetensi, baik

kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian maupun social (Suyanto,

Jihad,.2013).

4. Faktor Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor yang mempunyai

peranan penting dalam implementasi kurikulum. Menurut Badan

Pengembangan Mutu Pendidikan (2013) terdapat sarana dan prasarana

utama yang sangat diperlukan dalam implementasi kurikulum baru, yang

terdiri atas hal-hal berikut.

a. Buku pelajaran.

Perubahan kurikulum dan pemberlakukan kurikulum baru akan

berimplikasi pada perubahan materi dan isi kurikulum. Hal ini berarti

diperlukan buku untuk bahan ajar yang baru. Manajemen perbukuan

(46)

30

penentuan jenis, bentuk, dan isi bahan buku; b) pengadaan buku; c)

distribusi buku; dan d) evaluasi dan umpan balik.

b. Laboratorium peralatan dan bahan.

Peralatan dan bahan sudah harus tersedia dalam rasio yang

mencukupi dan yang memenuhi standar mutu minimal laboratorium.

c. Ketersediaan berbagai media pembelajaran

Baik jenis, bentuk maupun model. Media-media pembelajaran

tersebut dapat terdiri atas dari media cetak, elektronik, maupun media

berbasis lingkungan sekolah.

d. Aksesibilitas penggunaan sarana dan prasarana

Aksesibilitas penggunaan sarana dan prasarana oleh siswa dan

guru. Ketersediaan sarana dan prasarana mudah mengakses ataupun

memanfaatkan media yang tersedia.

e. Pemeliharaan, perawatan, dan pengembangan sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana yang tersedia memerlukan perawatan,

pemeliharaan, dan pengembangan sehingga dapat dijamin ketersediaan

sarana dan prasarana tersebut secara berkelanjutan. Buku dan bahan ajar

memerlukan peninjauan kembali setiap tahun ajaran. Laboratorium baik

peralatan maupun bahan sudah harus dijamin selalui tersedia dalam

keadaan baik dan bermutu.

(47)

31

Setiap kurikulum baru memuat banyak hal yang baru.

Inovasi-inovasi baru dapat mencakup tema-tema yang diusung, tata kelola,

pendekatan dalam proses pembelajaran, muatan dan isi kurikulum, dan atau

sistem penilaian. Inovasi dan hal-hal baru tersebut membutuhkan perubahan

dalam pola pikir, sikap, dan juga iklim serta budaya sekolah.

Iklim sekolah sudah harus diciptakan dan dibangun sehingga

memberi ruang terbentuknya sikap dan perilaku ilmiah dalam proses

pembelajaran. Bennie & Newstead, 1999 (dalam Katuuk, 2014)

mengemukakan bahwa school culture sebagai salah satu faktor yang dapat

merintangi implementasi berbagai inovasi kurikulum baru. Berdasarkan

kesimpulan hasil penelitian tersebut, tampak bahwa budaya sekolah

mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam implementasi kurikulum.

Guru mempunyai peran yang penting dalam membangun dan menciptakan

budaya sekolah yang kondusif. Peran itu dapat dilakukan melalui perubahan

cara berpikir, sikap, dan perilaku yang nampak dalam kegiatan-kegiatan

pembelajaran yang dikembangkan guru.

Menurut Nurdin, dkk, (2011) Guru dapat memulai perubahan itu

melalui proses pembelajaran, dari pendekatan pembelajaran yang rote learning ke pembelajaran meaningfull learning. Melalui proses pembelajaran, siswa dilatih dan dibiasakan untuk melakukan

langkah-langkah ilmiah, seperti mengamati, menanya, mencoba, menganalisis,

mengkonstruksi idea atau fakta, menarik konklusi, serta melakukan evaluasi

(48)

32

terjadi proses institusionalisasi nilai-nilai ilmiah sehingga menjadi nilai

lembaga.

6. Faktor Peran Kepala Sekolah

Kepala sekolah mengemban fungsi manajerial dalam implementasi

kurikulum. Fungsi manajerial tersebut mencakup fungsi perencanaan,

pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi, serta fungsi pengembangan.

Dimba (2001) melalui hasil penelitiannya mengemukakan lima

aspek penting dari peran kepala sekolah dalam implementasi kurikulum.

a. Kemampuan kepala sekolah dalam mengorganisir kegiatan

pengembangan, seperti inservice training programmes, workshop, staff development meetings and by inviting experts.

b. Mengembangkan strategi implementasi yang beragam untuk

membimbing guru.

c. Melakukan kolaborasi dengan pemangku kepentingan (stakeholders)

dalam menata kelola perubahan kurikulum.

d. Melibatkan stakeholders dalam manajemen implementasi.

e. Melibatkan orang tua dalam implementasi.

7. Faktor Pelaksanaan Penilaian

Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan

informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup:

(49)

33

ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian

tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian

sekolah/madrasah (Sudjana. 2005).

Selanjutnya Sukardi (2012) menegaskan bahwa penilaian dilakukan

oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian

kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan

laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.

Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan

menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan

kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek

dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri.

Hasil belajar adalah hasil yang dicapai dari proses belajar mengajar

sesuai dengan tujuan pendidikan. Hasil belajar diukur untuk mengetahui

pencapaian tujuan pendidikan sehingga hasil belajar harus sesuai dengan

tujuan pendidikan (Purwanto, 2011).

8. Faktor Keterlibatan Komite Sekolah

Penyelenggaraan otonomi daerah harus diartikan sebagai upaya

pemberdayaan daerah dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan.

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan,

diperlukan wadah yang dapat mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan

(50)

34

dan akuntabilitas. Salah satu wadah tersebut adalah Dewan Pendidikan di

tingkat kabupaten/kota dan komite sekolah di tingkat satuan pendidikan

(Mulyasa, 2013).

Dewan pendidikan dan komite sekolah merupakan amanat rakyat

yang telah tertuang dalam UU Nomor 25 tahun 2000 tentang program

pembangunan nasional (Propernas 2000–2004). Amanat rakyat ini selaras

dengan kebijakan otonomi daerah, yang telah memposisikan kabupaten/kota

sebagai pemegang kewenangan dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan

pendidikan. Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak hanya diserahkan

kepada kabupaten/kota, melainkan juga dalam beberapa hal telah diberikan

kepada satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan sekolah maupun luar

sekolah (Hamalik, 2008).

Dengan kata lain, keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan

tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, melainkan juga

pemerintah propinsi, kabupaten/kota, dan pihak sekolah, orang tua, dan

masyarakat atau stakeholder pendidikan.

C.Strategi Implementasi Kurikulum 2013

1. Strategi Diklat Guru Kelas/Mapel, Kepala Sekolah, Pegawas

Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) adalah bagian

dari pengembangan kurikulum. Pelatihan PTK disesuaikan dengan strategi

implementasi yaitu: tahun pertama 2013 sampai tahun 2015 ketika

(51)

35

pelatihan dimulai dengan melatih calon pelatih (Master Trainer) yang terdiri

atas unsur-unsur, yaitu Dinas Pendidikan, Dosen, Widyaiswara, guru inti

nasional, pengawas dan kepala sekolah berprestasi. Langkah berikutnya

adalah melatih master teacher yang terdiri dari guru inti, pengawas dan kepala sekolah. Pelatihan yang bersifat masal dilakukan dengan melibatkan

semua guru kelas dan guru mata di tingkat SD, SMP dan SMA/SMK.

(Dokumen K-13, 2012).

Lebih lanjut, dalam dokumen K-13 ditambahkan proses pelatihan di

daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam bentuk pelatihan Kepala

Sekolah, Sekolah dan Guru Sasaran. Kejelasan materi pelatihan adalah

sangat penting sehingga peserta pelatihan dapat memahami secara

mendalam segala seluk beluk berkenaan dengan implementasi K-13. Materi

yang disampaikan haruslah mencakup perubahan mindset yang diharapkan,

substansi konten materi, pendekatan dan metode yang digunakan dalam

mengimplementasikan, yang disajikan dengan cara menarik oleh

instruktur/nara sumber yang ditunjuk sehingga peserta pelatihan mempunyai

keyakinan yang baik untuk menerapkannya. Agar hasil pelatihan dapat

berdayaguna dan berhasil guna, pengelolaan pelatihan selayaknya

dikerjakan oleh individu yang profesional, yang mampu menyediakan

sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pelatihan.

(52)

36

Pengadaan sarana-prasarana sangat ditekankan dalam K-13.

Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana

pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan

proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam

pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap

satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan

pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan

habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang

proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

3. Pendampingan Pendidik

Pada awal proses pembelajaran dalam mengimplementasikan K-13,

akan dilakukan pendampingan agar guru maupun kepala sekolah dapat

meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan proses

pembelajaran dan manajemen sekolah sesuai K-13. Proses pendampingan

dilakukan oleh pendamping yang dipilih dari guru-guru terbaik dan sudah

terlatih sebagai guru pendamping. Proses pembelajaran di kelas dilakukan

oleh guru yang telah dilatih. Proses pembelajaran meliputi perencanaan

pembelajaran dengan menyiapkan RPP, proses pembelajaran dengan

pendekatan saintifik dan penilaian oleh guru (Implementasi K-13, 2012).

Pendampingan merupakan langkah awal yang sangat penting untuk

mempercepat pemahaman dan keterampilan dalam mengimplementasikan

(53)

37

sekolah agar dapat melaksanakan K-13 dari tahapan merencanakan

pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi pencapaian

kompetensi peserta didik dengan baik.

Fokus pendampingan pelaksanaan K-13 meliputi pemantapan

pengetahuan guru terhadap K-13 yang mencakup: Standar Kompetensi

Lulusan (SKL), kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar proses,

standar penilaian dan pengisian laporan hasil pencapaian kompetensi (rapor)

peserta didik, penyusunan RPP, serta pengembangan bahan ajar, buku guru,

buku siswa, muatan lokal, matrikulasi (bridging course), bimbingan dan

konseling, dan ekstrakurikulerm (Puslitbang Kebudayaan, 2012).

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 7 SMA di Kabupaten Belu Provinsi Nusa

(54)

38

sebuah Kabupaten di ProvinsiNusa Tenggara Timur, Indonesia. Kabupaten ini beribukota di Kota Atambua. Memiliki luas wilayah 1.284,94 km², terbagi

dalam 12 kecamatan, 12 kelurahan dan 96 desa, termasuk 30 desa dalam 8

kecamatan perbatasan.

Total penduduk 368.081 jiwa pada tahun 2013 dengan kepadatan penduduk 0,

29 jiwa/km. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu, 2013).

Wilayah Kabupaten Belu berbatasan dengan:

Utara : Selat Ombai

Selatan : Kabupaten Malaka

Barat : Kabupaten Timur Tengah Utara

Timur : Timor Leste

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yaitu salah satu

penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari jalan keluar atau

pemecahan masalah terhadap hal yang terjadi kemudian disajikan data dan

analisa terhadap informasi yang dikumpulkan (Nazir, 2009). Berhubungan

dengan penelitian ini, maka jenis penelitian ini akan menuturkan dan

menafsirkan data yang berkaitan dengan situasi yang terjadi, sikap,

fenomena-fenomena dan pandangan yang menggejala tentang proses dan

hasil implementasi K-13 di Kabupaten Belu.

(55)

39

Untuk mendapatkan data bagi keperluan penelitian ini, peneliti

melakukan wawancara, observasi, dokumentasi dan pembagian kuesioner

kepada pihak-pihak yang terkait dengan implementasi K-13 yaitu: Dinas

Pendidikan Kabupaten Belu, kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, komite

dan pengawas sekolah di tingkat SMA di Kabupaten Belu.

1. Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan yaitu wawancara semi

terstruktur (yang berpacu pada pedoman namun sifatnya masih terbuka).

Kelompok yang akan menjadi narasumber adalah orang-orang yang

terlibat langsung dalam implementasi K-13 yaitu Kepala Bidang

Kurikulum SMA, yang mewakili Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Belu, guru-guru SMA sebanyak 14 orang, siswa siswi SMA

sebanyak 14 orang dan koordinator pengawas sekolah tingkat SMA serta

komite sekola sebanyak 7 orang. Wawancara terhadap kelompok

narasumber ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang proses

implementasi K-13 dan hasil yang diperoleh setelah diimplementasi

selama 1 semester. Wawancara ini dimaksudkan untuk menjawab

permasalahan kedua dalam penelitian ini yaitu Apa kendala implementasi

K-13 di Kabupaten Belu? (melengkapi dan mengkonfirmasi data-data

yang sudah diperoleh dari kuesioner secara khusus tentang

sarana-prasarana).

Gambar

Tabel gradasi di atas digunakan untuk mengukur tingkatan jawaban
Tabel 3.2
Tabel 4.1.
Tabel 4.2 Tabel Skor Nilai aspek Pelatihan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pergerakan kamera track-in muncul satu kali pada ending scene untuk menunjang perubahan karakter yang terjadi di dalam diri Sumarno yang juga divisualisasikan dengan

180 The Welsh Information Literacy Project (WILP) je međusektorski projekt koji ima za cilj istražiti informacijsku pismenost među knjižničnim osobljem na način da oni podrže

agar lebih menarik dan sesuai dengan tipe website sehingga dapat membuat pengguna lebih puas saat melakukan kunjungan pada website , sedangkan untuk Information

Pada analisis SWOT yang dilakukan menunjukan hasil yang relatif baik, dimana pengelolaan pameran patung di ruang publik pada event JSSP (Jogja Street Sculpture

Dengan mengcau kepada penjabaran sebelumnya maka dapat dirumuskan permasalahan untuk penelitian ini yaitu “Bagaimana membangun kinerja bisnis dengan manajemen

Hasil penelitian Hikmah dan Sulis (2020) menunjukkan bahwa brand engagement berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap repurchase intention sejalan dengan

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Dirjen DIKTI (Prof. Djoko Santoso, M.Sc), Pembicara Kunci (Bapak Chaerul Tanjung dan Bapak Mahmuddin Yasin),

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh biomassa dan lama waktu detensi terhadap kemampuan Elodea canadensis dalam menyerap logam Pb, penurunan kadar Pb