• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergolakan Dalam Tubuh HKBP Merembes ke Universitas K onflik yang terjadi dalam Universitas HKBP Nommensen tahun

H ingga tahun 1955 ketiga-tiga fakultas yang dibuka pada waktu peresmian berdirinya universitas masih dapat bertahan Namun,

2.8. Pergolakan Dalam Tubuh HKBP Merembes ke Universitas K onflik yang terjadi dalam Universitas HKBP Nommensen tahun

1960-an sesungguhnya berasal dari persoalan yang terjadi dalam tubuh HKBP. Persoalan dimaksud telah mulai muncul setidaknya sejak tahun 1961 walaupun riaknya yang hampir memperkeruh suasana dalam tubuh universitas terjadi pada bulan-bulan permulaan tahun 1963. Awal pertikaian yang merembes dalam tubuh universitas adalah suatu perselisihan paham antara Rektorat dan dekan-dekan fakultas disatu pihak dengan Depiya Universitas HKBP Nommensen pada pihak lain. Pada tanggal 21 Juli 1963, yakni sebelum berjalan tahun akademi

1963/64, Depiya telah memutuskan untuk menaikkan uang kuliah sebanyak 300 persen di kampus Medan dan menjadikan uang kuliah sebagai sumber pemasukan keuangan yang utama bagi universitas. Selain itu diputuskan juga untuk mengijinkan dosen tetap dapat bekerja di luar kampus. Keputusan tersebut sesungguhnya adalah salah satu solusi yang dipikirkan Depiya untuk mengatasi persoalan keuangan yang bertambah gawat dengan harapan bahwa universitas akan dapat

self supporting sehingga tidak bergantung pada bantuan gereja lagi. Apa yang dipikirkan dan diputuskan oleh Depiya tersebut ternyata berlawanan dengan apa yang dipikirkan oleh Rektorat. Pihak Rektorat menginginkan gaji yang lebih tinggi bagi karyawan fakultas dan bantuan gereja masih diperlukan untuk meningkatkan mutu akademis tanpa menaikkan uang kuliah. Oleh karena itu Rektor memutuskan untuk menuntut, berdasarkan kewenangan yang ada padanya, supaya karyawan-karyawan yang full time di fakultas meninggalkan pekerjaannya di luar dan mendesak penambahan gaji sebagai imbalannya.

Dengan tidak mengindahkan perintah ini, dua orang anggota fakultas menyebarkan pamflet stensilan yang isinya menyerang Rektorat dan meminta dukungan dari dewan mahasiswa dan Depiya. Akhirnya Depiya memberi reaksi dengan mengambilalih urusan-urusan keuangan universitas dan meminta agar Wakil Rektor meletakkan jabatan. Krisis ini selanjutnya semakin memuncak ketika Rektorat pada tanggal 12 September 1963 menyatakan bahwa mereka tidak mengakui lagi kekuasaan Ketua Depiya. Keputusan Rektorat ini mendapat dukungan yang luas dari pihak anggota-anggota fakultas di Universitas HKBP Nommensen. Pada tanggal 20 September 1963 Depiya membebastugaskan Rektor dari tanggung jawabnya dan menyerahkan

persoalan itu kepada Pucuk Pimpinan HKBP. Pada tanggal 15 Oktober 1963, Rektorat membalas dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengakui lagi Ephorus HKBP dan mengajukan persoalan mereka kepada anggota-anggota HKBP. Pada waktu pengurus gereja HKBP mengadakan rapat untuk memperbincangkan persoalan itu, Rektor tidak bersedia lagi untuk hadir dan kedudukan Rektor pun dicela oleh pengurus gereja ketika itu.

Oleh karena simpati kepada Rektorat, sekelompok pendeta HKBP membentuk sebuah panitia pembaharuan dan mengundurkan diri dari HKBP. Mereka adalah kelompok pendeta yang kecewa, yang dipindahkan ke jemaat–jemaat lain yang bertentangan dengan kemauannya atau karena menentang bertumbuhnya sentralisasi kekuasaan dalam HKBP. Peraturan-peraturan gereja pada tahun 1962, yang menghapuskan rapat-rapat sinode distrik dan menempatkan kekuasaan pimpinan pada pengurus gereja, menjadi suatu sumber ketidakpuasan bagi anggota-anggota yang lebih suka kepengurusan yang lebih didesentralisir. Selain itu pada tahun 1962, Anggaran Dasar Nommensen dirubah dengan seperangkat peraturan-peraturan baru tambahan sesuai dengan instruksi Menteri PTIP. Dalam Anggaran Dasar tersebut universitas langsung dibawah tanggung jawab Depiya Universitas HKBP Nommensen. Peraturan-peraturan baru itu ditafsirkan sebagai perusak otonomi lokal dan kebebasan pribadi dengan menempatkan pendeta dan anggota-anggota fakultas dibawah pengawasan langsung Pucuk Pimpinan HKBP.

Pertentangan tersebut nampaknya sangat meruncing didalam tubuh HKBP termasuk didalam tubuh universitas. Oleh karena situasi tersebut dan setelah bermusyawarah dengan Pucuk Pimpinan HKBP dan Depiya Universitas HKBP Nommensen, maka pemerintah mengambil

kebijaksanaan pengamanan terhadap Universitas HKBP Nommensen. Untuk melaksanakan tugas pimpinan, pengawasan dan pengendalian universitas, pada tanggal 21 Oktober 1963, Gubernur Sumatera Utara menerbitkan Surat Keputusan No. 134/XII/GSU yang isinya membentuk suatu Dewan Presidium Sementara untuk mengadakan pengawasan terhadap universitas dan untuk memungkinkannya berjalan terus. Adapun Dewan Presidium itu terdiri dari:

1. P.R. Telaumbanua Residen diperbantukan pada kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara sebagai Ketua Dewan Presidium Sementara.

2. Letkol Prof. Drg. Oh Tjie Lien sebagai anggota

3. AKBP Drs. Soeharjono, sebagai anggota (kemudian digantikan oleh AKBP Drs. Sukrisno juga sebagai anggota).

Masa peredaan yang dipaksakan ini membatalkan semua keputusan yang dibuat selama perselisihan itu dan kembali kepada keadaan bulan Juli 1963, dengan harapan agar pihak-pihak yang bersangkutan dapat menyelesaikan pertikaian mereka secara tersendiri. Ketika perselisihan berlangsung terus, orang-orang terkemuka dari HKBP membentuk sebuah panitia persatuan sebagai mediator dalam perselisihan itu. Akan tetapi ketika usaha ini dihalang-halangi oleh Pimpinan HKBP, maka mereka memihak kepada Rektorat dan pendeta- pendeta yang telah memisahkan diri itu. Demonstrasi pun digelar di seluruh Sumatera Utara yang menuntut agar diadakan Rapat Sinode Godang Khusus HKBP untuk menyelesaikan perselisihan itu. Pendeta- pendeta yang memisahkan diri mendukung demonstrasi itu bahkan menandatangani suatu janji untuk menentang Pimpinan HKBP tanpa menghiraukan akibat-akibatnya. Perselisihan yang terjadi menimbulkan kecemasan juga bagi pemerintah yang ditunjukkan oleh Departemen

Perguruan Tinggi di Jakarta yang meminta laporan lengkap tentang gejolak yang terjadi di Universitas HKBP Nommensen.

Usaha-usaha organisasi dan perorangan dari kedua belah pihak untuk mediator dalam perselisihan itu kelihatannya sungguh-sungguh mempercepat konflik yang terus berlangsung hingga pertengahan 1964. Dr. Andar Lumban Tobing dan Dr. S.M. Hutagalung, walaupun tidak hadir dalam pembentukan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) di Pematangsiantar tanggal 23 Agustus 1964, namun mereka berdua dipilih dan ditetapkan menjadi Pucuk Pimpinan GKPI. Atas dasar pengangkatan tersebut, HKBP mengeluarkan mereka berdua, yang pada waktu itu, tanggal 30 Agustus 1964, menerima peranan pimpinan dalam GKPI.

Garis besar

Dokumen terkait