• Tidak ada hasil yang ditemukan

Total 51 91,1 5 8,9 56 100 7 Pekerjaan Tidak Bekerja 9 100 0 0 9 100 0,004 Pensiunan 6 100 0 0 6 100 PNS 5 55,6 4 44,4 9 100 Pegawai Swasta 5 100 0 0 5 100

Wiraswata 13 92,9 1 7,1 14 100 Lain-lain 13 100 0 0 13 100 Total 51 91,1 5 8,9 56 100 8 Penghasilan <Rp.500.000 1 100 0 100 1 100 0,193 Rp.500.000-1000.000 20 100 0 100 20 100 >Rp.1000.000 30 85,7 5 14,3 35 100 Total 51 91,1 5 8,9 56 100 5.3. Pembahasan

Karakteristik adalah hal yang membedakan seseorang atau hal yang menggambarkan bagaimana diri seseorang. Karakteristik membuat seseorang unik atau berbeda dengan orang lain. Karakteristik adalah sarana untuk menggambarkan ciri-ciri seseorang, dengan demikian seseorang dapat memberikan penilaian terhadap orang lain melalui pengamatannya (Sunaryo, 2004).

Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Banyak orang yang beranggapan bahwa orang terkena penyakit gagal ginjal akan mengalami penurunan dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik seseorang sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang terutama yang menderita penyakit gagal ginjal kronik (Yuliaw, 2010).

Penyebab dari gangguan fungsi ginjal pada kenyataannya bukan merupakan penyebab tunggal melainkan sangat kompleks. Menurut Pernefri (2002 dalam Nurhalimah, 2012) penyebab penyakit ginjal di Indonesia yaitu 46,39% disebabkan oleh glumerulonefritis, 18,65 % oleh diabetes mellitus, 12,85 % disebabkan oleh obstruksi dan infeksi, 8,46 % disebabkan oleh Hipertensi dan 13,65 % disebabkan oleh sebab lain. Hasil penelitian ini penyebab penyakit gagal ginjal disebabkan oleh diabetes mellitus 19,60%, disebabkan hipertensi 39,30% dan disebabkan oleh sebab lain seperti batu ginjal, glumerulonefritis, asam urat, nefrotik sindrowm dan batu ginjal 41,10%.

Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa dihadapkan dengan berbagai masalah seperti masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, depresi dan ketakutan terhadap kematian. Hal ini akan menyebabkan ketidakpuasaan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Brunner & Suddarth, 2002).

Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa masih merupakan masalah yang menarik perhatian para profesional kesehatan. Pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisa, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari terapi hemodialisa (Togatorop, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 91,1% pasien yang menjalani terapi hemodialisa mempersepsikan kualitas hidupnya pada tingkat yang sedang dan 8,9% pada kualitas hidup yang baik. Sedangkan hasil penelitian Ibrahim (2009) menunjukkan bahwa 57.2% pasien yang menjalani hemodialisa

mempersepsikan kualitas hidupnya pada tingkat rendah dan 42,9% pada tingkat tinggi.

Penelitian ini akan menguraikan satu per satu karakteristik pasien yang telah diteliti dalam penelitian ini, untuk lebih jelas diuraikan sebagai berikut:

5.3.1. Usia

Usia erat kaitannya dengan proses terjadinya penyakit dan harapan hidup pasien gagal ginjal kronik yang berusia diatas 55 tahun berpeluang besar terjadinya berbagai komplikasi yang dapat memperberat fungsi ginjal bila dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun (Indonesiannursing, 2008). Sesudah usia 40 tahun akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus secara progresif hingga usia 70 tahun, kurang lebih 50% dari normalnya, dengan demikian adanya penuaan ginjal menjadi berkurang kemampuannya dalam berespon terhadap perubahan cairan dan elektrolit yang akut (Smeltzer & Bare, 2002).

Hasil analisa yang dilakukan dengan uji chi square didapat nilai p=0,973 yang artinya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan usia dengan kualitas hidup. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wagner, Abbot, dan Lett (2004 dalam Nofitri, 2009) yang menemukan adanya hubungan usia dalam aspek-aspek kehidupan individu dalam meningkatkan kualitas hidup. Ryff dan Singer (1998 dalam Nofitri, 2009) individu mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasa madya. Penelitian yang dilakukan oleh Rugerri, dkk (2001 dalam Nofitri, 2009)

menemukan adanya kontribusi faktor usia terhadap kualitas hidup secara subjektif.

Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu. Umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya umur. Penderita gagal ginjal kronik usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik karena kondisi fisiknya lebih baik dibandingkan penderita gagal ginjal kronik yang berusia tua. Penderita yang usia produktif merasa terpacu untuk sembuh karena usianya masih muda dan mempunyai harapan hidup yang lebih tinggi, sementara penderita gagal ginjal kronik yang berusia tua menyerahkan keputusan pada keluarga atau anak-anaknya dan banyak dari mereka merasa lelah dan hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang motivasi dalam menjalani terapi hemodialisa (Indonesiannursing, 2008).

Dari uraian diatas peneliti mengambil suatu asumsi, bahwa usia tidak memiliki hubungan dengan kualitas hidup dan mayoritas usia yang memiliki kualitas hidup yang rendah berada pada rentang usia 41-60 tahun. Hal ini disebabkan responden yang diteliti dalam penelitian ini heterogen dan jumlah responden setiap karakteristiknya berbeda-beda. Pada usia 41-60 tahun atau disebut dewasa madya adalah masa transisi dan masa yang sangat ditakuti karena terjadi penurunan kekuatan fisik, memburuknya kesehatan dan pada usia ini biasanya individu mudah lelah akibat menurunya fungsi tubuh secara fisiologis. Pada rentang usia 18-40 tahun adalah masa pencarian kehidupan baru, dimana pada masa usia ini individu berusaha mencari makna hidup, penuh dengan semangat, berusaha untuk memperbaiki hidup dan merawat kesehatan. Sedangkan

pada rentang usia >60 tahun adalah masa kemunduran baik fisik dan mental secara berlahan. Pada masa usia ini individu tidak mampu merawat dirinya secara mandiri sehingga kualitas hidupnya masih sedang.

5.3.2. Jenis Kelamin

Manusia merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia dibedakan menurut jenis kelamin yaitu pria dan wanita. Istilah gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Gender adalah pembagain peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma dan adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat (Mubarak, 2009).

Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan, hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika atau kondisi fisiologis (Budiarto & Anggraeni, 2002).

Ryff dan Singer (1998 dalam Papalia, dkk (2007) mengatakan bahwa secara umum, kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan lebih banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif sedangkan kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik.

Hasil analisa yang dilakukan dengan uji chi square didapat nilai p=0,245 yang artinya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kualitas hidup. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Yuwono (2000) mengatakan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup dan laki-laki kualitas hidupnya lebih jelek dari perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan Yuliaw (2010) juga mengatakan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup dan laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan serta responden yang memiliki karakteristik yang baik bila dilihat dari jenis kelamin, bahwa perempuan lebih banyak menderita penyakit gagal ginjal kronik, sedangkan laki-laki lebih rendah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi tidak adanya hubungan jenis kelamin dengan kualitas hidup adalah jumlah responden yang diteliti pada penelitian ini heterogen. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kebanyakan laki-laki rendah kualitas hidupnya dibandingkan perempuan karena laki-laki biasanya lebih aktif bekerja maupun mencari nafkah bagi keluarganya, maka standart aktivitas lebih tinggi dibandingkan penderita perempuan sehingga hasil kualitas hidup laki-laki didapat rendah bila dibandingkan dengan perempuan. Disamping itu, perempuan lebih perhatian, mampu merawat diri, dan peka terhadap masalah kesehatan dibandingkan laki-laki.

5.3.3. Suku

Budaya merupakan konteks dimana sekelompok individu menafsirkan dan mendefinisikan pengalaman mereka yang berkaitan dengan transisi kehidupan, seperti kelahiran, penyakit, dan kematian. Budaya adalah bagaimana orang lain mendefinisikan fenomena sosial seperti saat individu sehat atau memerlukan intervensi (Kulwicky, 2003 dalam potter & ferry, 2009).

Hasil analisa yang dilakukan dengan uji chi square didapat nilai p=0,260 yang artinya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara suku dengan kualitas hidup. Latar belakang budaya dan etnik seseorang mengajarkan cara sehat, cara mengenali sakit, dan cara merawat orang sakit. Efek penyakit dan interprestasinya berbeda menurut keadaan kultural. Perbedaan etnik dapat mempengaruhi keputusan tentang layanan kesehatan serta penggunaan layanan diagnostik dan kesehatan (Murray & Zentner, 2001 dalam Potter & Perry, 2009).

Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan, klasifikasi penyakit berdasarkan suku sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit di antara suku maka dibuat kalsifikasi walaupun terjadi kontroversial. Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan.

Dari uraian diatas peneliti berasumsi bahwa suku terbanyak yang memiliki kualitas hidup sedang adalah suku Batak. Hal ini terjadi disebabkan oleh responden yang diteliti pada penelitian ini heterogen dan jumlah respondennya

berbeda-beda. Suku yang memiliki kualitas hidup yang baik ada pada suku Jawa. Hal ini mungkin terjadi karena faktor kebiasaan dan faktor lingkungan yang dapat memberi pengaruh terhadap kesehatan. Misalnya, cara merawat orang yang sakit, cara menjaga kesehatan dan makanan-makanan yang dipantangkan untuk dimakan selama sakit yang bertentangan dengan kesehatan. Biasanya suku Jawa identik dengan kelemah lembutan, memperhatikan penampilan dan peduli terhadap kesehatan dan menjaga pola hidupnya.

5.3.4. Agama

Hasil analisa yang dilakukan dengan uji chi square didapat nilai p= 0.136 yang artinya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara agama dengan kualitas hidup.

Agama merupakan kepercayaan individu kepada Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan tempat mencari makan hidup. Agama sebagai keyakinan hidup seseorang dan sangat memberi pengaruh dalam cara berpikir, bersikap, bereaksi, berperilaku hidup sehat (Sunaryo, 2004).

Agama dan kepercayaan spiritual sangat mempengaruhi pandangan klien tentang kesehatan dan penyakitnya, rasa nyeri dan penderitaan, serta kehidupan dan kematian. Sehat spiritual terjadi saat individu menentukan keseimbangan antara nilai-nilai dalam kehidupannya, tujuan, dan kepercayaan dirinya dengan orang lain. Penelitian menunjukkan hubungan antara jiwa, daya pikir, tubuh,

kepercayan dan harapan individu mempunyai pengaruh terhadap kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009).

Sudarman (2008) menyebutkan bahwa, pola hubungan agama dan kesehatan secara teoritis dibagi menjadi 3 bagian. Pertama agama dan kesehatan potensial muncul sebagai dua bidang kehidupan yang saling berlawanan atau setidaknya tema kesehatan tersebut masih menjadi wacana prokontra. Hal ini menunjukan bahwa apa yang dianjurkan dalam bidang kesehatan tidak selaras dengan apa yang dianjurkan dalam agama seperti penggunaan pengobatan alternatif yang dilakukan oleh dukun dan pengakuan terhadap adanya peran makhluk halus merupakan praktik kesehatan yang bertentangan dengan ajaran agama yang lebih menekankan aspek ketulusan beribadah dan rasionalitas dalam berpikir (Sudarman, 2008).

Kedua, agama dan ilmu pengetahuan kesehatan memiliki potensi saling mendukung, seperti puasa atau diet merupakan salah satu terapi yang diakui oleh kalangan medis dalam meningkatkan kesehatan sehingga ajaran agama memiliki potensi untuk memberikan dukungan terhadap kesehatan dan begitu pula sebaliknya. Menggenapkan masalah ini, secara umum dapat dikatakan bahwa dari sisi pengobatan modern ada teknologi kesehatan dan dalam agama ada moral kode etik penerapan teknologi kesehatan (Sudarman, 2008).

Ketiga, saling melengkapi maksudnya adanya peran dari agama untuk mengoreksi praktik kesehatan atau ilmu kesehatan yang mengoreksi praktik (kesehatan) keagamaan. Adanya saling mengoreksi menyebabkan praktik

kesehatan dapat dibangun lebih baik lagi seperti Islam memberikan kritik pada praktik kesehatan modern yang lebih bersifat dualistis material. Dalam dunia medis, masalah kesehatan lebih banyak dianggap sebagai masalah jasmaniah belaka. Padahal, kenyataannya masalah sakit dan sehat manusia dipengaruhi oleh psikis individu (Sudarman, 2008).

Dari uraian diatas peneliti berasumsi bahwa salah satu faktor yang menyebabkan responden yang beragama Kristen lebih banyak memiliki kualitas hidup yang sedang karena responden yang diteliti pada penelitian ini respondennya heterogen dan jumlah respondennya berbeda-beda setiap karakteristik. Faktor yang mungkin mempengaruhi kualitas hidup responden adalah bagaimana responden koping individu terhadap penyakitnya dan bagaimana individu percaya dan lebih mendekatkan, dan menyerahkan segala penyakitnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga mungkin terjadi apabila responden tidak dapat menerima dengan ikhlas keadaanya dan mengaanggap bahwa penyakit itu hukuman yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa padanya. Sehingga responden selalu berpikiran negatif terhadap keadaanya, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatannya. Pada penelitian ini mayoritas responden berada pada rentang usia 41-60 tahun, dimana pada masa ini terjadi penurunan kebugaran fisik, dan individu merasa lelah karena mendekati usia lanjut. Sehingga kebanyakan waktu mereka dihabiskan untuk istirahat dirumah sehingga menggangu kegitan keagamaan responden misalnya pergi ke gereja dan sholat.

5.3.5. Status Perkawinan

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, pasti membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala kebutuhanya (Yanto, 2010). Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Yanto, 2010).

Hasil analisa yang dilakukan dengan uji chi square didapat nilai p=0,752 yang artinya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan kualitas hidup. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Moons, dkk (2004 dalam Nofitri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah, individu bercerai ataupun janda, dan individu yang menikah. Zapf et al (1987 dalam Nofitri, 2009) mengatakan bahwa status pernikahan merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup secara keseluruhan. Myers, dkk (1999 dalam Nofitri, 2009) juga mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik secara fisik maupun emosional.

Dari uraian diatas peneliti berasumsi yang menyebabkan status perkawina tidak memiliki hubungan dengan kualitas hidup karena responden yang diteliti pada penelitian ini respondennya heterogen. Pada penelitian ini usia responden

kebanyakan berada pada rentang usia 41-60 tahun. Dimana pada masa ini baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah dan pada usia ini responden lebih mementingkan karir/pekerjaan serta akivitas sosialnya. Sehingga hubungan atau perhatian terhadap suami atau istri lebih berkurang, akibatnya dukungan yang diberikan pun berkurang. Efek dari penyakit gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialsa salah satunya adalah menurunnya libido akibat penurunan hormon reproduksi. Sehingga hubungan suami istri akan terganggu dan berdampak pula pada keharmonisan rumah tangga, berkurangnya semangat/motivasi dari pasangan dan dukungan emosinal yang berdampak bagi kesehatan responden.

5.3.6. Pendidikan

Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka mampu melakukan apa yang diharapkan (Notoatmodjo, 2005). Pendidikan merupakan proses kehidupan, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik cara formal maupun informal (Sunaryo, 2004). Semakin tinggi pendidikan seseorang kesadaran mencari pengobatan dan perawatan akan masalah kesehatan yang dialaminya juga akan semakin tinggi dan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan cenderung untuk berpikir positif karena pendidikan (pemahaman) dan perilaku dalam diri seseorang (azwar, 2005 dalam Nurchayati, 2010 ).

Hasil analisa yang dilakukan dengan uji chi square didapat nilai p= 0,466 yang artinya bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan kualitas hidup gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2005) yang mengatakan bahwa, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih baik dari pada yang tidak didasari pengetahaun. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Moons, dkk (2004 (dalam Nofitri, 2009) mengatakan bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup secara subjektif. Wahl, dkk (2004 dalam Nofitri, 2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu dan menemukan adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup subjektif.

Penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, serta dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan (Yuliaw, 2010).

Dari uraian diatas peneliti berasumsi, walaupun pendidikan responden cukup dan tinggi tetapi kualitas hidupnya masih sedang. Hal ini disebabkan

kurangnya informasi tentang kesehatan yang didapatkan responden dari petugas kesehatan selama menjalani terapi hemodialisa serta kurangnya pemahaman responden terhadap penyakit yang didertinya. Pendidikan responden mungkin cukup dan tinggi tetapi tindakan dan sikap responden terhadap kesehatan kurang atau responden kurang memanfaatkan pendidikan yang dimilikinya untuk mencari informasi tentang kesehatan. Walaupun pendidikannya tinggi tetapi pengalaman dalam menjaga kesehatan dan merawat penyakit masih kurang. Akibat terjadinya penurunan kesehatan dan menurunnya kekuatan fisiknya sehingga responden lebih banyak mengahiskan waktu untuk istirahat di rumah dan hanya mengharapkan informasi yang diperoleh dari keluarga atau dokter saat melakukan pemeriksaan di rumah sakit.

5.3.7. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Rohmat, 2010 dalam Lase, 2011). Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagaian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan yang berbeda. Umumnya responden yang tidak bekerja menjawab kalau pekerjaan (kegiatan yang dilakukannya) sehari-hari hanya duduk-duduk, menonton, tidur,

makan dan tidak ada lagi aktivitas lain disebabkan tenaga mereka sudah tidak kuat lagi dan merasa cepat kelelahan (Nurchayati, 2010).

Hasil analisa yang dilakukan dengan uji chi square didapat nilai p=0,004 yang artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kualitas hidup pasien. Individu yang harus menjalani hemodialisa sering merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak diramalkan dan ganguan dalam kehidupannya, biasanya pasein akan mengalami masalah keuangan dan kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan (Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian yang dilakukan Asri, dkk (2006, dalam Nurchayati, 2010) magatakan bahwa 2/3 pasien yang mendapat terapi dialisis tidak pernah kembali pada akativitas atau pekerjaan seperti sediakala sehingga banyak pasein kehilangan pekerjaannya.

Hasil penelitian sama dengan hasil penelitian Wahl, dkk (2004 dalam Nofitri, 2009) menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita. Moons, dkk (2004 dalam Nofitri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disablity tertentu).

Dari uraian diatas peneliti berasumsi bahwa apapun pekerjaan responden akan berhubungan dengan kualitas hidupnya. Pada penelitian ini ditemukan kebanyakan responden yang bekerja sebagai wiraswasta memiliki kualitas hidup yang rendah. Perbedaan kualitas hidup pada pekerjaan ini terjadi akibat perbedaan

beban kerja, lingkungan tempat bekerja dan jam kerja masing-masing jenis pekerjaan dari setiap responden dan seberapa puas responden menikmati pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan kondisi pasien yang menjalani terapi hemodialisa di RSUP H. Adam Malik medan, dimana pasien mengeluhkan bahwa mereka cepat lelah saat melakukan pekerjaan sehari-hari, sehingga membuat mereka tidak dapat bekerja terlalu lama seperti waktu sehat dulu. Banyak dari mereka tidak bekerja dan kehilangan pekerjaan akibat kondisi fisiknya yang telah menurun dan cepat lelah setiap melakukan pekerjaan. Pada penelitian ini didapat bahwa kebanyakan usia responden berada pada rentang usia 41-60 tahun, dimana pada masa ini terjadi penurunan fungsi tubuh dan cepat lelah sehingga responden tidak dapat bekerja semaksimal mungkin datambah lagi penyakit gagal ginjal dan terapi hemodialisa yang memperburuk keadaan fisik dan kesehatannya. Sehingga banyak diantara mereka berhenti bekerja setelah cuci darah akibat kondisi fisik yang melemah dan cepat lelah. Sehingga responden lebih banyak menghabiskan waktunya beristirahat dirumah dibandingkan bekerja. Hal ini berdampak pada status ekonomi yang dapat mengganggu tindakan pengobatan yang dilakukan responden. Responden yang bekerja sebagai PNS ada 4 responden yang memiliki kualitas hidup yang baik. Hal ini mungkin status ekonomi yang berkecukupan sehingga memudahkan mendapatkan pelayanan kesehatan dari tunjangan-tunjangan kesehatan dari pekerjaannya seperti adanya ASKES untuk meringankan biaya mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan.

5.3.8. Penghasilan/status ekonomi

Ekonomi mempengaruhi reaksi seseorang terhadap sakit karena halangan ekonomi, seseorang dapat menunda terapi dan meneruskan aktivitas hariannya (Potter & Perry, 2009). Individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, individu yang status sosial ekonominya rendah akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004). Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi ke rumah sakit (Notoatmodjo, 2010).

Dokumen terkait