• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Demografi FE UI (2000 dalam Yuliaw, 2010) menyatakan bahwa, status perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekanto (2000 dalam Yuliaw, 2010) menyatakan bahwa, perkawinan (marriage) adalah ikatan yang sah antara seorang pria dan wanita yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara mereka maupun turunannya.

Menurut Undang-Undang UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan salah suatu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan suatu aktivitas dari satu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka itu tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam tujuan tersebut (Walgito, 2004 dalam Tarigan, 2011).

2.1.3. Pendidikan

Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan pembangunan sektor ekonomi, yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan berlangsung dengan berbarengan (Hamalik, 2008).

Secara umum pendidikan diartikan sebagai segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi usia baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik (Notoatmodjo, 2005). Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan pembimbing, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pengertian ini menekankan pada pendidikan formal dan tampak lebih dekat dengan penyelenggaraan pendidikan secara operasional (Notoatmodjo, 2005). Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (UU RI No. 2 Tahun 1989, Bab 1, Pasal 1 dalam Hamalik, 2008).

Menurut UU nomor 20 (tahun 2003 dalam Notoatmodjo, 2005), jalur pendidikan sekolah terdiri dari :

1. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Di akhir masa pendidikan dasar selama 6 (enam) tahun pertama (SD/MI), para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN) untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama pendidikan 3 (tiga) tahun.

2. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah (sebelumnya dikenal dengan sebutan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) adalah jenjang pendidikan dasar.

a. Pendidikan menengah umum

Pendidikan menengah umum diselenggarakan oleh sekolah menengah atas (SMA) (sempat dikenal dengan “Sekolah Menengah Umum” atau SMU) atau

Madrasah Aliyah (MA). Pendidikan menengah umum dikelompokkan dalam program studi sesuai dengan kebutuhan untuk belajar lebih lanjut di perguruan tinggi dan hidup di dalam masyarakat. Pendidikan menengah umum terdiri atas 3 (tiga) tingkat.

b. Pendidikan menengah kejuruan

Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan menengah kejuruan dikelompokkan dalam bidang kejuruan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dunia industri/dunia usaha, ketenagakerjaan baik secara nasional, regional maupun global, kecuali untuk program kejuruan yang terkait dengan upaya-upaya pelestarian warisan budaya. Pendidikan menengah kejuruan terdiri atas 3 (tiga) tingkat, dapat juga terdiri atas 4 (empat) tingkat sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Satuan pendidikan penyelenggara Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) dan program paket C.

c. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah. Penyelenggara pendidikan tertinggi adalah akademi, institut, sekolah tinggi, universitas.

GBHN (1993 dalam Hamalik, 2008), menetapkan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.

Secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik cara formal maupun informal. Proses dan kegiatan pendidikan pada dasarnya melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok (Sunaryo, 2004).

Yuliaw (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, serta dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahaun (Notoatmodjo, 2005).

2.1.4. Pekerjaan

Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Rohmat, 2010 dalam Lase, 2011).

Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi (Notoatmodjo, 2010).

Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagaian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan yang berbeda.

2.1.5. Agama

Secara etimologi kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “tidak kacau balau”. Dari makna kata ini dapat diduga bahwa diharapkan agama dapat menciptakan keadaan, kehidupan yang tidak kacau balau, walaupun dalam realitanya justru agama secara langsung atau tidak langsung sering kali menciptakan keadaan dan kehidupan yang kacau balau. Dalam bahasa inggris agama disebut religion yang berasal dari bahasa latin religare yang artinya dasarnya adalah keterikatan, maksudnya setiap orang yang menganut agama

dengan sungguh-sungguh tentulah terikat kepada agama yang dianutnya (Sinulingga, 2008).

Mubarak (2009) mengatakan bahwa, Agama (bahasa inggris religion, yang berasal dari bahasa latin religare, yang berarti menambatkan), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. (kamus filosofi dan agama) mendefenisikan agama sebagai berikut, ”sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, serta menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati”. Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti “10 firman” dalam agama Kristen atau “5 rukun Islam” dalam agama Islam.

Agama merupakan kepercayaan individu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama merupakan tempat mencari makan hidup yang terakhir atau penghabisan. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang masuk ke dalam konstruksi suatu kepribadian seseorang sangat berpengaruh dalam cara berpikir, bersikap, bereaksi, berperilaku individu, dan prilaku hidup sehat (Sunaryo, 2004).

Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Agama dan kepercayaan spiritual sangat mempengaruhi pandangan klien tentang kesehatan dan penyakitnya, rasa nyeri dan penderitaan, serta kehidupan dan kematian. Sehat spiritual terjadi saat individu menentukan keseimbangan antara nilai-nilai dalam kehidupannya, tujuan, dan kepercayaan dirinya dengan orang lain. Penelitin

menunjukkan hubungan antara jiwa, daya pikir, dan tubuh. Kepercayan dan harapan individu mempunyai pengaruh terhadap kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009).

Ajaran Agama umumnya mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan hal-hal yang baik dan melarang berbuat yang tidak baik. Perbuatan baik atau yang tidak baik yang berkaitan dengan tata kehidupan. Agama memiliki aturan mengenai makanan, perilaku, dan cara pengobatan yang dibenarkan secara hukum agama. Dipandang dari sudut pandang agama apapun, pada prinsipnya mereka mengajarkan kebaikan. Sumber agama merupakan dasar dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Hal ini berarti bahwa berbuat baik dianggap melakukan perintah Tuhan, dimana perintah tersebut dianggap sebagai moral yang baik dan benar. Sedangkan larangan Tuhan adalah sebagai hal yang salah dan buruk. Persepsi yang demikian mencerminkan pola berpikir yang berpedoman pada teori etika. Pada pemahaman ini, agama dianggap mampu memberi arahan dan menjadi sumber mortalitas untuk tindakan yang akan dilaksanakan. Pada dasarnya, aturan-aturan etis yang penting diterima oleh semua agama, maka pandangan moral yang dianut oleh agama-agama besar pada dasarnya hampir sama. Agama berisi topik-topik etis dan memberi motivasi pada penganutnya untuk melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma dengan penuh kepercayaan (Sudarman, 2008).

Sebagian dari kita menciptakan permasalahan atau penyakit sebagai jalan dalam mengarahkan diri kita ke arah kegembiraan terbesar kita. Mungkin tidak selalu terasa seperti ini manakalah pada saat kita merasa sakit atau berhadapan

dengan gejala yang membatasi mobilitas kita dan menghalangi hidup kita, tetapi tentu banyak orang tumbuh melalui berbagai macam penayakit mereka, menjadi semakin sadar akan diri mereka, lebih mandiri secara spiritual. Itu membentuk kita untuk dapat memandang semua hal yang terjadi pada kita, sebagai suatu kesempatan bukan suatu bencana (Malkani, 2001).

Sudarman (2008) menyebutkan bahwa, pola hubungan agama dan kesehatan secara teoritis dapat dirincikan tiga (3) kemingkinan pola hubungan antara agama dan kesehatan.

1. Saling berlawanan

Agama dan kesehatan potensial muncul sebagai dua bidang kehidupan yang saling berlawanan atau setidaknya tema kesehatan tersebut masih menjadi wacana prokontra. Dalam batasan tertentu, hal ini menunjukan bahwa apa yang dianjurkan dalam bidang kesehatan , tidak selaras dengan apa yang dianjurkan dalam agama. Contohnya, penggunaan pengobatan alternatif, dalam kebatinan Jawa praktik kesehatan ada yang dilakukan oleh dukun, yaitu dukun mendapat ilmu kesehatan dari Nyi Roro Kidul. Pengakuan terhadap adanya peran makhluk halus merupakan praktik kesehatan yang bertentangan dengan ajaran agama yang lebih menekankan aspek ketulusan beribadah dan rasionalitas dalam berpikir.

2. Saling mendukung

Agama dan ilmu pengetahuan kesehatan memiliki potensi saling mendukung. Contohnya, tradisi puasa atau diet merupakan salah satu terapi yang diakui oleh kalangan medis dalam meningkatkan kesehatan. Oleh karena itu, ajaran agama sejatinya memiliki potensi untuk memberikan dukungan terhadap kesehatan dan

begitu pula sebaliknya. Untuk menggenapkan masalah ini, secara umum dapat dikatakan bahwa dari sisi pengobatan modern ada teknologi kesehatan dan dalam agama ada moral kode etik penerapan teknologi kesehatan. Inilah peran simbiosis mutualisme antara agama dan kesehatan.

3. Saling melengkapi

Saling melengkapi merupakan adanya peran dari agama untuk mengoreksi praktik kesehatan atau ilmu kesehatan yang mengoreksi praktik (kesehatan) keagamaan. Dengan adanya saling mengoreksi ini, menyebabkan praktik kesehatan dapat dibangun lebih baik lagi. Contohnya, Islam memberikan kritik pada praktik kesehatan modern yang lebih bersifat dualistis material. Dalam dunia medis, masalah kesehatan lebih banyak dianggap sebagai masalah jasmaniah belaka. Padahal, pada kenyataannya masalah sakit dan sehat manusia dipengaruhi oleh psikis individu. Oleh karena itu, agama memberikan tambahan perspektif mengenai sakit dan sehat manusia.

Sudarman (2008) menyebutkan bahwa, fungsi agama bagi kesehatan ada tiga hal yaitu:

1. Sumber moral

Agama memiliki fungsi yang strategis untuk menjadi sumber kekuatan moral baik bagi pasien dalam proses penyembuhan maupun tenaga kesehatan. Misalnya, bagi seorang yang beragama, sehat atau sakit adalah bagian dari perilaku Tuhan bagi umatnya dan sakit adalah karena takdir Tuhan, serta hanya Tuhan jugalah yang memiliki kemampuan menyembuhkannya. Dengan keyakinan seperti ini, seorang pasien dapat memiliki semangat hidup yang lebih baik. Bagi orang yang

beragama, mereka memang keyakinan bahwa perlakuan Tuhan sesuai dengan persangkaan manusia kepada-Nya. Agama menjadi sumber sugesti dan motivasi yang kuat dalam diri pasien untuk hidup secara positif.

2. Sumber keilmuan

Sejalan dengan agama sebagai sumber moral, agama pun berperan sebagai sumber keilmuan bagi bidang kesehatan. Konseptualisasi dan pengembangan ilmu kesehatan atau kedokteran yang bersumber dari agama, dapat kita sebut kesehatan profetik, dalam konteks Islam disebut dengan ilmu kesehatan Islami atau kedokteran Islami. Praktik-praktik keagamaan menjadi bagian dari sumber ilmu dalam mengembangkan terapi kesehatan. Tidak bisa dipungkiri, yoga dan meditasi adalah beberapa ilmu agama yang dikonversikan menjadi bagian dari terapi kesehatan. Dalam ajaran Islam, puasa telah diakui berbagai pihak sebagai praktik agama yang dapat menyehatkan, didalam rukun Islam dan rukun iman memiliki kandungan hikmah dalam mengembangkan kesehatan mental. Agama Khususnya Islam, sebagai sumber pengembangan tenoklogi kesehatan dikemukakan oleh Osman Bakar. Dalam kaitan ini, Osmar Bakar menyebutkan empat cabang pengobatan yang dikembangkan dalam pengobatan Islam, yaitu terapi resimental seperti terapi fisik; pijat bayi dan mandi uap, terapi diet seperti pengaturan pola makan, farmakoterapi seperti obat-obatan, dan pembedahan. 3. Amal agama sebagai amal kesehatan

Seiring dengan pemikiran yang dikemukakan sebelumnya, bahwa pola pikir yang dianut dalam wacana ini adalah all for health, yaitu sebuah pemikiran bahwa berbagai hal yang dilakukan individu, mulai dari bangun tidur, mandi pagi,

makan, kerja, sehat sore hari, sampai tidur lagi, bahkan selama tidur sekalipun, memiliki implikasi dan kontribusi nyata terhadap kesehatan. Seiring dengan pandangan ini, maka agama atau ritual keagamaan perlu dipahami sebagai bagian dari aktivitas manusia yang harus mendukung pada kesehatan. Oleh karena itu, selaras dengan uraian sebelumnya, dapat dikemukakan bahwa praktik agama ini memiliki kaitan dengan masalah kesehatan pikiran, asupan makanan (aspek biologis), maupun jiwa (aspek psikologis). Puasa dan sholat dalam ajaran Islam merupakan salah satu contoh amal agama yang relevan dengan aktivitas kesehatan jasmaniah. Sedangkan penekanan pada hukum makanan yang harus memuat syarat halal dan bersih merupakan amal agama yang terkait dengan nutrisi. Sementara pembiasaan berpikir positif merupakan bagian dari upaya membangun jiwa yang sehat.

Dokumen terkait