• Tidak ada hasil yang ditemukan

B Diduga kromatogram

4.1.9 Perhitungan Jumlah Spermatosit Pakiten

Data hasil perhitungan jumlah spermatosit pakiten pada lima tubulus seminiferus tiap tikus setelah pemberian ekstrak etanol 96% daun sambiloto dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Rerata jumlah spermatosit pakiten tikus jantan yang diberikan ekstrak etanol 96% daun sambiloto

Kelompok Uji Rerata Jumlah Spermatosit Pakiten ± SD

Kontrol 55,70 ± 2,900

Dosis 100 mg/kgBB 45,65 ± 1,763

Dosis 200 mg/kgBB 40,80 ± 0,350

Dosis 400 mg/kgBB 33,05 ± 0,854

Hasil perhitungan jumlah spermatosit pakiten pada kelompok perlakuan mengalami penurunan terhadap kontrol. Penurunan jumlah spermatosit pakiten yang terjadi sesuai dengan peningkatan dosis ekstrak yang diberikan kepada hewan uji.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Data hasil perhitungan jumlah spermatosit pakiten kemudian diolah menggunakan uji One Way ANOVA yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna (p≤0.05). Hasilnya kemudian dilanjutkan dengan uji LSD yang menunjukkan terjadi perbedaan bermakna (p≤0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan yaitu dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 400 mg/kgBB. Juga terjadi perbedaan bermakna antar kelompok uji seiring dengan terjadinya kenaikan dosis. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% daun sambiloto dapat mempengaruhi jumlah spermatosit pakiten dan juga dipengaruhi oleh kenaikan dosis, semakin tinggi dosis ekstrak maka semakin tinggi penurunan jumlah spermatosit pakiten. Hasil analisa statistik dapat dilihat pada Lampiran 16.

4.2 Pembahasan

Salah satu tanaman yang diharapkan dapat digunakan sebagai agen antifertilitas adalah sambiloto (Andrographis paniculata Nees.). Bagian tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sambiloto yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO) Bogor. Determinasi tanaman dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar Andrographis paniculata Nees. dari famili Acanthaceae.

Senyawa kimia yang terkandung dalam sambiloto yang diduga bertanggung jawab sebagai bahan antifertilitas adalah andrografolid, yang memiliki sifat mudah rusak jika terkena panas yang tinggi (Christijanti, 2007 dan Nurasiah, 2010).Senyawa andrografolid merupakan dasar dalam pemilihan metode ekstraksi, pelarut dan konsentrasi pelarut. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Metode maserasi dipilih karena dapat digunakan untuk menarik senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan. Selain itu memiliki keuntungan lain yaitu peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dalam proses pengerjaannya. Pelarut yang digunakan adalah etanol 96%. Etanol merupakan pelarut

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta universal yang dapat menarik senyawa baik polar, semipolar dan nonpolar. Menurut Kumoro et al (2009) senyawa andrografolid akan lebih banyak tertarik pada pelarut metanol dan etanol, namun kurang larut dalam air. Menurut Depkes RI (2005) penggunan pelarut yang diperbolehkan untuk ekstrak tumbuhan obat adalah etanol dan air, oleh karena itu digunakan pelarut etanol untuk ekstraksi. Etanol 96% dapat menarik senyawa andrografolid lebih banyak jika dibandingkan dengan konsentrasi 75%, 50%, dan 25% (Kumoro et al. 2009).

Filtrat hasil maserasi yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator yang bertujuan untuk menguapkan pelarut sehingga diperoleh ekstrak kental. Dari 1 kg serbuk daun sambiloto yang dimaserasi, diperoleh 120,925 gram ekstrak kental. Sehingga diperoleh rendemen ekstrak sebanyak 12,093%. Pemeriksaan parameter non spesifik seperti kadar air dan kadar abu dilakukan juga. Kadar air yang dilakukan bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000). Sementara tujuan pemeriksaan kadar abu adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak (Depkes RI, 2000). Hasil yang diperoleh pada pemeriksaan kadar air dan kadar abu ekstrak etanol 96% daun sambiloto adalah 13,55% dan 0,056%.

Hasil penapisan fitokimia terhadap eksrak etanol 96% daun sambiloto menunjukkan adanya alkaloid, flavonoid, tanin, steroid, dan diterpenoid. Karena andrografolid ini diduga sebagai senyawa yang berperan untuk bahan antifertilitas maka untuk memastikan keberadaan senyawa tersebut dilakukan analisa kualitatif senyawa andrografolid dengan uji KLT (Kromatografi Lapis Tipis) yang kemudian pengamatan hasilnya dilanjutkan menggunakan TLC scanner. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kromatogram yang selanjutnya pada Rf 0,39 dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum maka diperoleh 233 nm. Menurut beberapa literatur senyawa andrografolid memiliki panjang gelombang maksimum 230 nm - 235 nm (Awal, 2011; Nugroho, 2014;

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Chamoli, 2013). Panjang gelombang maksimum 233 nm masih termasuk kedalam rentang, diduga ekstrak etanol 96% daun sambiloto ini mengandung andrografolid yang terlihat pada Rf 0,39.

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor tikus jantan galur Sprague Dawley yang berusia 7-8 bulan. Tikus yang digunakan merupakan tikus yang sehat dan fertil dengan bobot tikus sekitar 350 – 400 gram. Tikus dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan yang diberi ekstrak dengan dosis rendah (100 mg/kgBB), dosis sedang (200 mg/kgBB), dan dosis tinggi (400 mg/kgBB). Setiap kelompok ditempatkan dalam kandang yang berbeda dengan jumlah masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Penentuan jumlah tikus tersebut berdasarkan Research Guidelines for Evaluating The Safety and Efficacy of Herbal Medicines (WHO, 2000) yang menyatakan bahwa hewan pengerat masing-masing kelompok perlakuan harus terdiri dari setidaknya lima ekor. Hewan uji kemudian diaklimatisasi selama 3 minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru.

Pemberian ekstrak etanol 96% daun sambiloto selama 48 hari kepada masing-masing tikus menggunakan alat bantu pencekok oral (sonde). Sebelum diberi perlakuan, setiap hari tikus ditimbang berat badannya terlebih dahulu untuk menyesuaikan pemberian dosis ekstrak yang akan diberikan. Sediaan bahan uji dibuat dengan mendispersikan ekstrak dengan Tween 80 konsentrasi 2%. Tween 80 digunakan sebagai pembawa karena ekstrak etanol daun sambiloto terdispersi lebih baik dalam Tween 80. Menurut Evaluation Report of Food Additives Polysorbates (Polysorbates 20, 60, 65 and 80) (2007) pemberian Tween 80 konsentrasi 5% dan 10% kepada tikus jantan dan betina tidak menyebabkan efek yang nyata pada fungsi reproduksi serta pada pemberian Tween 80 konsentrasi 2% tidak memberikan efek pada fertilitas dan pertumbuhan.

Pada hari ke-0 dan hari ke-49 dilakukan pengambilan darah tikus melalui ekor (lateral tail vein) serta pada hari ke-49 tikus dikorbankan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan cara membiusnya menggunakan eter. Kemudian dilakukan pembedahan dan diambil testis serta kauda epididimisnya. Kauda epididimis berperan penting dalam penyimpanan sperma yang matang. Sehingga diperkirakan jumlah spermatozoa yang telah matang paling banyak di bagian kauda epididimis.

Berdasarkan hasil perhitungan spermatozoa yang dilakukan di bilik hitung Neubauer menunjukkan bahwa terjadi kenaikan konsentrasi spermatozoa namun secara tidak bermakna (p>0,05). Pada penelitian menurut Kumar et al (2011) pemberian ekstrak air daun sambiloto selama 45 hari pada tikus jantan dapat menyebabkan penurunan konsentrasi spermatozoa jika dibandingkan dengan kontrol. Juga pada penelitian yang dilakukan oleh Akbarsha et al. (2000), bahwa dengan pemberian serbuk daun kering sambiloto terjadi penurunan konsentrasi spermatozoa. Dalam penelitian ini peningkatan konsentrasi spermatozoa pada kelompok perlakuan terhadap kontrol yang terjadi tidak berbeda secara signifikan. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menurut Allan et al (2009), bahwa pemberian ekstrak etanol daun sambiloto selama 65 hari dapat meningkatkan konsentrasi spermatozoa jika dibandingkan dengan kontrol, namun peningkatannya tidak berbeda secara bermakna. Konsentrasi spermatozoa pada kelompok kontrol yaitu 9,688 x 106 per mL, sehingga konsentrasi spermatozoa tersebut masuk dalam kriteria subfertil, yaitu < 13,8x106 /mL (Guzick, 2001). Menurut Beekhuizen et al (2012) subfertil merupakan kemampuan seorang pria atau wanita ataupun pasangan untuk dapat menyebabkan kehamilan yang lebih rendah dibandingkan dengan normal tetapi masih tetap bisa hamil. Sehingga tikus jantan yang digunakan diperkirakan masih memiliki kemampuan untuk membuahi ovum atau menyebabkan kehamilan.

Konsentrasi spermatozoa pada hewan uji yang lebih sedikit dikarenakan tikus sudah lebih dari dewasa atau bisa dikatakan sudah tua dengan usia sekitar 7-8 bulan. Menurut Lucio et al (2013) dalam penelitiannya yang membandingkan konsentrasi spermatozoa pada tikus usia 3 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan, konsentrasi sperma yang dihasilkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tikus tua hanya sekitar setengahnya dari tikus muda. Namun belum ada penelitian yang menyatakan bahwa dengan terjadinya pengurangan konsentrasi spermatozoa tersebut cukup dapat mengurangi fertilitas. Sehingga pemberian ekstrak etanol daun sambiloto selama 48 hari pada penelitian ini tidak berpengaruh pada konsentrasi spermatozoa tikus jantan. Dalam menentukan suatu senyawa toksik potensial yang berpengaruh pada jumlah sperma diperlukan periode perlakuan yang lebih lama, dan juga untuk melihat efeknya terhadap sel germinal spermatogonium yang diperoleh dari kauda epididimis atau dari sperma yang diejakulasikan, perlakuan pada pria dewasa seharusnya dilanjutkan selama minimal 6 siklus epitel germinal, atau sekitar 80 hari pada tikus (Allan et al. 2009).

Pengamatan selanjutnya yang dilakukan yaitu morfologi spermatozoa abnormal pada tikus jantan. Abnormalitas spermatozoa dapat terjadi pada bagian kepala, midpiece atau ekor (Sukmaningsih et al, 2012). Hasil analisa data menunjukkan terjadi perbedaan bermakna antara kelompok dosis dengan ketiga kelompok perlakuan yaitu dosis rendah, dosis sedang, dan dosis tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstak etanol 96% daun sambiloto dapat meningkatkan morfologi spermatozoa yang abnormal. Semakin bertambahnya dosis ekstrak yang diberikan semakin meningkatnya morfologi spermatozoa yang abnormal. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya Kumar et al (2011) namun dengan perbedaan jenis ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak air daun sambiloto, yang dapat meningkatkan persentase abnormalitas morfologi spermatozoa secara signifikan. Jika dilihat secara statistik dari data LSD, perbedaan nilai mean antara kelompok kontrol dan dosis tinggi paling tinggi dibandingkan dengan dosis rendah dan dosis sedang. Dosis perlakuan yang paling dapat menyebabkan peningkatan abnormalitas pada morfologi spermatozoa adalah dosis tinggi (400 mg/kgBB).

Menurut WHO (2010) kriteria morfologi normal jika bentuk spermatozoa normalnya ≥ 4%. Pada kelompok kontrol dan kelompok

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tikus yang diberi perlakuan ekstrak dengan dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB memiliki persentase morfologi spermatozoa normal yang memasuki kriteria. Nilai persentase abnormalitas morfologi spermatozoa pada penelitian ini masih termasuk ke dalam kriteria morfologi normal, meskipun demikian ekstrak etanol 96% daun sambilo ini dapat menyebabkan peningkatan persentase morfologi spermatozoa yang abnormal yang dipengaruhi dengan kenaikan dosis. Bentuk morfologi spermatozoa berpengaruh terhadap pembuahan, jika jumlah abnormalitas spermatozoa terlalu tinggi maka akan menurunkan fertilitasnya (Ermayanti et al. 2010).

Menurut Ermayanti et al (2010) meningkatnya bentuk spermatozoa yang abnormal kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas primer diduga karena adanya gangguan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus pada fase spermiogenesis yaitu saat pembentukan spermatozoa dari spermatid. Fase spermiogenesis terdiri dari fase golgi, tutup, akrosom dan pematangan spermatozoa untuk membentuk morfologi normal spermatozoa yang terdiri dari kepala, leher, dan ekor yang normal (Sinaga, 2012). Sementara abnormalitas sekunder terjadi diduga karena adanya gangguan maturasi spermatozoa dalam epididimis sehingga mengakibatkan ditemukannya spermatozoa abnormal (Ermayanti et al. 2010). Senyawa metabolit sekunder flavonoid yang terkandung dalam ekstrak etanol 96% daun sambiloto diduga berperan dalam menyebabkan abnormalitas primer karena flavonoid memiliki kemampuan dalam merusak tahapan akhir spermatogenesis (Nurcholidah et al 2013).

Jumlah spermatozoa yang dihasilkan testis tidak cukup untuk mendiagnosa fertil atau infertilnya seseorang yang normal tetapi bila memiliki morfologi dan kecepatan yang kurang baik akan bisa menyebabkan fertil. Sebaliknya dengan jumlah spermatozoa yang sedikit tapi memiliki morfologi dan kecepatan normal maka masih bisa fertil (Guyton, 1997).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Parameter lain yang dilakukan yaitu pengukuran konsentrasi hormon testosteron. Hormon testosteron yang diukur diperoleh dari serum darah tikus pada hari ke-0 dan hari ke-49. Hasil pengukuran konsentrasi testosteron antara hari ke-0 dan hari ke-49 menunjukkan penurunan konsentrasi pada kelompok kontrol dan kelompok dosis 200 mg/kgBB serta peningkatan konsentrasi pada kelompok dosis 100 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB. Menurut Alpco Diagnostics (2013), rentang konsentrasi testosteron normal pada tikus jantan yaitu 0,66 – 5,4 ng/ml. Penurunan konsentrasi testosteron pada kelompok kontrol dan dosis 200 mg/kgBB serta peningkatan konsentrasi testosteron pada kelompok 400 mg/kgBB masih berada dalam rentang normal. Berbeda dengan peningkatan konsentrasi testosteron pada kelompok dosis 100 mg/kgBB melebihi rentang konsentrasi normal yaitu 8,17 ng/ml. Hasil analisa dengan Paired-Sample T-Test menunjukkan bahwa kelompok dosis 100 mg/kgBB mengalami peningkatan konsentrasi yang bermakna (p≤0,05). Pada kelompok dosis 400 mg/kg peningkatan konsentrasi yang terjadi tidak mengalami perbedaan yang bermakna. Begitu juga pada kelompok kontrol dan kelompok dosis 200 mg/kgBB yang mengalami penurunan konsentrasi testosteron yang tidak bermakna (p≥0,05).

Menurut Dasuki et al (2010), profil kadar testosteron tikus setelah pemberian ekstrak 50% etanol sambiloto selama 4 minggu dengan lima variasi dosis yaitu 0,5 mg/kgBB, 1 mg/kgBB, 10 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi testosteron pada dosis 10 mg/kgBB. Peningkatan ini terjadi secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok dosis lain. Dengan kenaikan dosis menjadi 100 mg/kg BB dan 1000 mg/kgBB, konsentrasi testosteron mengalami penurunan walaupun tidak bermakna, dengan nilai konsentrasi yang masih masuk kedalam rentang normal testosteron. Hasil penelitian Dasuki et al (2010) mendukung hasil penelitian ini yang dilakukan menggunakan ekstrak etanol 96% daun sambiloto bahwa pada dosis rendah yaitu dosis 100 mg/kgBB, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi testosteron. Kemudian seiring dengan kenaikan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dosis menjadi 200 mg/kgBB terjadi penurunan konsentrasi meskipun tidak bermakna.

Pada kelompok dosis rendah (100 mg/kgBB) yang mengalami peningkatan konsentrasi testosteron secara signifikan diduga dipengaruhi juga oleh kandungan metabolit sekunder dalam ekstrak etanol 96% daun sambiloto yaitu flavonoid. Menurut Susetyarini (2009) flavonoid mampu menghambat enzim aromatase, yaitu enzim yang mengkatalis konversi androgen menjadi estrogen yang akan meningkatkan hormon testosteron.

Menurut penelitian Burgos (1997), pemberian ekstrak kering herba sambiloto selama 60 hari dosis 20 mg/kgBB, 200 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB pada tikus jantan menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi testosteron secara tidak bermakna. Sel Leydig sangat berperan dalam produksi testosteron pada pria. Untuk mengetahui apakah adanya perubahan morfologi pada sel Leydig maka dilakukan pengamatan histologi testis tikus jantan dengan mikroskop elektron. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan morfologi sel Leydig. Hal tersebut menunjukkan bahwa esktrak kering sambiloto tidak mempengaruhi hormon LH tikus jantan melainkan hormon FSH, sehingga LH yang berfungsi untuk merangsang sel Leydig dalam menghasilkan hormon testosteron masih bisa disintesis secara normal, meskipun terjadi penurunan. Menurut Susetyarini (2009), hormon FSH berfungsi merangsang sel Sertoli dalam pembentukan Androgen Binding Protein (ABP). ABP berperan dalam pengangkutan testosteron ke dalam tubulus seminiferus dan epididimis. Apabila produksi FSH terhenti atau berkurang oleh karena efek umpan balik negatif tersebut, maka spermatogenesis menjadi terhenti pula, dan akibatnya jumlah sel-sel spermatogenik menjadi berkurang (Widiyani, 2006).

Berdasarkan penelitian diatas, maka ekstrak sambiloto yang memiliki kandungan utama senyawa andrografolid diduga memang dapat meningkatkan dan menurunkan konsentrasi testosteron. Pengaruhnya terhadap produksi testosteron melalui mekanisme umpan balik. Pada saat dosis rendah maka dapat meningkatkan konsentrasi testosteron, namun

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada saat dosis tinggi akan menyebabkan penurunan konsentrasi testosteron. Terjadinya penurunan konsentrasi testosteron ini tidak berbeda secara bermakna, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi testosteron dipertahankan dalam kondisi normal.

Testosteron yang meningkat atau rendah (diluar rentang normal) dalam darah akan berakibat umpan balik negatif pada hipotalamus dan hipofisis anterior. Jika terjadi efek umpan balik negatif pada hipotalamus maka sekresi GnRH (Gonadotropins Releasing Hormone) akan terhenti sehingga menghambat sekresi gonadotropin (LH dan FSH) oleh hipofisis anterior. LH (Luteinzing Hormone) berfungsi merangsang sel Leydig untuk menghasilkan testosteron, sedangkan FSH (Follicle Stimulating Hormone) berfungsi merangsang spermatogenesis dan pembentukan protein pengikat androgen/ABP (Androgen Binding Protein) oleh sel sertoli. Selain membentuk ABP, sel sertoli juga membentuk inhibin, yaitu suatu hormone nonsteroid yang mempunyai mekanisme umpan balik untuk menghambat produksi FSH yang berlebihan. Mekanisme ini penting untuk mencapai kadar testoteron yang dibutuhkan untuk terjadinya spermatogenesis. Penghambatan dan sekresi FSH serta LH tampak oleh umpan balik melalui hipotalamus dan GnRH (Susetyarini, 2009). Penurunan kadar hormon testosteron dapat menyebabkan penurunan kualitas spermatozoa karena fungsi dari hormon testosteron antara lain adalah mempengaruhi maturitas spermatozoa (Nuraini, 2012).

Efek peningkatan konsentrasi testosteron dari andrografolid yang terkandung dalam sambiloto, dapat digunakan sebagai afrodisiak dan untuk mengobati ejakulasi dini (Sattayasai, 2010). Afrodisiak adalah bahan atau obat yang meningkatkan gairah seksual atau libido (Dorland, 2002). Pemberian sambiloto atau andrografolid pada pasien gangguan hormon testosteron dapat mengembalikan konsentrasi hormon testosteron ke nilai normal, sehingga dapat memperbaiki penurunan libido dan penurunan aktivitas seksual (Sattayasai, 2010).

Menurut Sattayasai et al. (2010) efek andrografolid terhadap sperma beragam baik yang menyebabkan efek negatif, positif ataupun tak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berefek. Hal tersebut diduga karena perbedaan jenis ekstrak yang diujikan, perbedaan hewan uji dan juga senyawa yang terkandung dalam ekstrak yang beragam yang dipengaruhi oleh genetik (bibit), lingkungan (tempat tumbuh), rekayasa agronomi (pemupukan selama pertumbuhan), dan pemanenan (waktu dan pasca panen) (Halim, 2004). Pengaruh waktu panen sangat penting terhadap kandungan senyawa andrografolid, karena kandungan zat aktif daun sambiloto mencapai jumlah optimal pada saat tanaman akan berbunga (umur tanaman sambiloto 2-3 bulan), sehingga sebaiknya dipanen pada waktu tersebut untuk digunakan sebagai obat tradisional (Halim et al, 2004 dan Sawitti, 2013). Pada penelitian ini ekstrak yang digunakan diperoleh dari daun sambiloto yang dipanen saat sudah dewasa yaitu saat tanaman sambiloto sudah berbunga (umur tanaman sambiloto 3 bulan). Hal tersebut menunjukkan bahwa seharusnya kandungan andrografolid yang terdapat dalam ekstrak etanol 96% daun sambiloto yang digunakan berada dalam jumlah optimal sehingga bisa mempengaruhi sperma.

Terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi konsentrasi testoteron dalam tikus diantaranya adalah waktu pengambilan sampel, faktor ini merupakan faktor yang penting saat menginterpretasikan serum testosteron. Menurut Heywood (1980) pada saat pagi hari konsentrasi testoteron lebih tinggi, sehingga hal ini salah satunya dapat mempengaruhi peningkatan konsentrasi pada tikus yang diambil darahnya pada pagi hari, sementara pada tikus yang diambil darahnya lewat dari pagi hari konsentrasi testoteronnya akan lebih rendah atau mengalami penurunan. Faktor stres juga dapat berpengaruh terhadap konsentrasi testosteron pada tikus. Menurut Faldikova et al. (2001) stres dapat menyebabkan produksi testosteron berkurang. Hal tersebut terjadi karena sensitivitas sel Leydig terhadap gonadotropin berkurang yang berpengaruh terhadap produksi testosteron. Faktor lain yang dapat berpengaruh yaitu usia, penurunan konsentrasi testoteron berhubungan dengan usia (Svartberg et al. 2003). Penuaan dapat menyebabkan peningkatan SHBG (Sex Hormone Binding

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Globulin) yang berpengaruh terhadap penurunan testosteron (Zitzmann et al. 2001).

Parameter terakhir yang dilakukan yaitu perhitungan jumlah spermatosit pakiten dengan melihat lima tubulus seminiinferus yang mengalami tahap VII-VIII pada setiap hewan uji. Spermatosit pakiten merupakan sel yang memiliki aktivitas tertinggi selama spermatogenesis yaitu terjadinya ekspresi gen untuk protein fungsional sebagai kelengkapan tugas fungsional spermatozoa (Anas et al, 2011). Protein tersebut paling banyak terdapat pada tubulus seminiferus yang mengalami tahap spermatogenik VII – VIII (Yotarlai et al, 2011).

Hasil analisa data perhitungan spermatosit pakiten dengan uji One Way ANOVA menunjukkan terjadi penurunan jumlah spermatosit pakiten secara bermakna (p≤0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 400 mg/kgBB. Penurunan jumlah spermatosit pakiten menunjukkan adanya gangguan pada proses spermatogenesis (Kalla, 1996). Menurut penelitian Satriyasa (2008) penurunan sel-sel spermatosit pakiten kemungkinan disebabkan oleh zat-zat aktif yang terkandung dalam biji papaya yang bersifat sitotoksik, anti androgen atau berefek estrogenik. Efek sitotoksik ini menyebabkan metabolisme sel spermatogenik terganggu. Andrografolid yang terkandung dalam sambiloto diduga bersifat sitotoksik. Diduga ekstrak etanol 96% daun sambiloto ini dapat menurunkan jumlah spermatosit pakiten karena pengaruh andrografolidnya. Gangguan metabolisme sel spermatogenik bisa juga disebabkan oleh efek sitotoksik dari alkaloid yang terkandung dalam biji papaya. Diduga alkaloid yang terkandung dalam ekstrak etanol 96% daun sambiloto ini juga berperan dalam meningkatkan efek sitotoksik terhadap penurunan jumlah spermatosit pakiten.

Penurunan sel-sel spermatosit pakiten tersebut mungkin juga karena terjadi penurunan hormon gonadotropin (FSH dan LH) dan hormon testosteron. Penurunan hormon tersebut menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme pada sel spermatogenik didalam tubulus seminiferus. Penurunan sel spermatosit ini mungkin karena terganggunya fungsi dari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sel sertoli sehingga menyebabkan suplai laktat dan piruvat menurun, yang mana keduanya merupakan sumber energi dari spermatosit pakiten. Proses perubahan spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder dan membentuk spermatid diatur oleh hormon testosteron dan FSH. Penurunan FSH dan testosteron tersebut akan menyebabkan hambatan dalam pengangkutan glukosa kedalam sel spermatosit, yang mengakibatkan sintesis protein spermatosit juga terganggu (Satriyasa, 2008). Dalam penelitian ini penurunan konsentrasi testosteron yang terjadi tidak secara bermakna sehingga diduga penyebab penurunan jumlah spermatosit pakiten ini tidak tidak dipengaruhi oleh hormon testosteron. Sel spermatosit pakiten sangat sensitif terhadap pengaruh luar dan cenderung mengalami kerusakan setelah meiosis pertama (Satriyasa, 2008). Bila sel-sel spermatosit mengalami kerusakan dan mengalami degenerasi maka sel-sel spermatosit ini akan difagositosis oleh sel Sertoli, sehingga menyebabkan jumlah sel spermatosit berkurang (Lohiya et al. 2012).

Menurut Susetyarini (2013) senyawa antifertilitas dari tumbuhan obat bekerja dengan 2 cara, yaitu melalui efek sitotoksik dan melalui efek hormonal. Efek sitotoksik yang terjadi dapat mempengaruhi rekombinan meiosis pada epitel seminiferus yang berisi spermatogonium, spermatosit, spermatid serta merusak lamina basal dan jaringan interstisial. Sementara jika melalui efek hormonal maka dapat mengakibatkan terhambatnya laju

Dokumen terkait