BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.3.2. Perikanan Budidaya Keramba Jaring Apung
Kegiatan Keramba Jaring Apung merupakan kegiatan Budidaya Perikanan yang telah beroperasi di Danau Sias sejak tahun 2008. Kondisi saat ini ada 3 unit KJA yang beroperasi di Danau Siais, yang terdiri dari 31 buah. Masing-masing KJA memiliki ukuran 6 m x 12 m x 4 m, jumlah padat tebar berkisar antara 12.000 s/d 30.000 ekor, ukuran benih berkisar 5 – 10 cm, dengan masa panen
produksi KJA yaitu 4 – 5 bulan. Adapun jenis ikan yang dipelihara di KJA adalah ikan mas (Cyprinus carpio.), dan nila (Oreochromis niloticus). Benih ikan yang digunakan adalah benih kualitas unggul, yang didatangkan dari panti dengan kisaran harga Rp. 200 s/d Rp. 500 per ekor. Luas lahan danau yang terpakai untuk
lokasi budidaya KJA + 8.964 m3
Tabel 4.2. Data Kegiatan Keramba Jaring Apung di Danau Siais
atau 0,9 ha dari luas danau keseluruhan. Adapun data Keramba Jaring Apung yang diperoleh di perairan Danau Siais pada saat pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :
KJA Jlh KJA (lubang) Ukuran KJA (m Luas Lahan ) (m Padat Tebar 3) (ekor) Jlh Pakan (ton) Hasil Panen (ton) FCR = jlh pakan/jlh panen 1 2 6x12x4 300 12.000 3,5 4 0,9 2 17 6x12x4 4.908 14.000 dan 20.000 3,5 4 0,9 3 12 6x12x4 3.468 25.000 dan 30.000 10 6 1,7 Jlh 31 Lubang 8.676 m 3 17 ton 14 ton 1,2
Keramba satu berjumlah 2 buah dengan ukuran 6 m x 12 m x 4 m, jenis
ikan yang dipelihara di dalam KJA ini adalah ikan mas (Cyprinus carpio), jumlah
padat tebar yaitu 12.000 ekor, dengan ukuran benih 5 cm/ekor dan telah beroperasi selama + 6 bulan. Jarak antara keramba satu dengan keramba dua berkisar 1,5 km ke arah hilir. Pakan yang digunakan adalah merk bintang 888, dengan jumlah pakan yang dibutuhkan hingga panen yaitu 3,5 ton/panen/buah lubang KJA. Masa panen membutuhkan waktu 4-5 bulan, dan diperoleh hasil
panen 4 ton/panen/buah. KJA ini memiliki jumlah hasil panen sebesar
Keramba kedua berjumlah 17 buah dengan ukuran 6 m x 12 m x 4 m. Jenis
ikan yang dipelihara di dalam KJA ini yaitu ikan mas (Cyprinus sp.), dan nila
(Oreochromis sp.), ukuran benih yang digunakan baik ikan mas maupun ikan nila yaitu berukuran 5 cm, dengan jumlah padat tebar masing-masing 14.000 ekor/ buah dan 20.000 ekor/ buah. Untuk pemeliharaan ikan mas terdiri dari 12 buah lubang KJA, sedangkan ikan nila sebanyak 5 buah lubang KJA, keramba ini telah beroperasi selama + 1,6 bulan. Jarak antara keramba dua dengan keramba tiga berkisar 500 m ke arah hilir. Pakan yang digunakan adalah bintang 888, dengan jumlah pakan yang dibutuhkan hingga panen yaitu 3,5 ton/panen/buah lubang KJA. Baik ikan mas dan nila membutuhkan waktu 4-5 bulan untuk panen, dan diperoleh hasil 4 ton/panen/buah. KJA ini memiliki jumlah hasil panen 136 ton/tahun.
Keramba ketiga berjumlah 12 buah dengan ukuran 6 m x 12 m x 4 m.
Jenis ikan yang dipelihara di dalam KJA ini adalah ikan mas (Cyprinus sp.), dan
nila (Oreochromis sp.), ukuran benih yang digunakan baik ikan mas maupun ikan
nila yaitu berukuran 10 cm, dengan jumlah padat tebar masing-masing 25.000 ekor/ buah dan 30.000 ekor/ buah. Untuk pemeliharaan ikan mas dan nila masing-masing terdiri dari 6 buah lubang KJA, dan keramba ini telah beroperasi selama + 5 tahun. Pakan yang digunakan adalah Comfeed. Dengan jumlah pakan yang dibutuhkan hingga panen yaitu 10 ton/panen/buah lubang KJA. Baik ikan mas dan nila membutuhkan waktu 4-5 bulan untuk panen, dan diperoleh hasil panen 6 ton/ panen/buah. KJA ini memiliki jumlah hasil panen 144 ton/tahun.
Dari kondisi KJA yang ada di Danau Siais, dapat dilihat padat tebar yang dimiliki masing-masing KJA jumlahnya sangat tinggi, serta efisiensi jumlah dan waktu pemberian pakan juga tidak sesuai dengan yang disarankan oleh manajemen KJA yang ramah lingkungan, dimana padat tebar yang disarankan
yaitu 10 ekor/m3. Maka dengan ukuran KJA 6 m x 12 x 4 m yang ada di Danau
Siais, padat tebar seharusnya adalah 2.880 ekor/m3
Dari hasil kegiatan KJA diperoleh nilai FCR yang berbeda, dimana pada kegiatan KJA ke 3 nilai FCR yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai FCR KJA 1 dan 2. Hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya yaitu : 1) Kegiatan manajemen pemberian pakan yang kurang biak pada masing-masing
kegiatan KJA, sehingga terjadi ketidak efisiensian pemberian pakan. Semakin rendah nilai FCR yang dihasilkan maka semakin tinggi efisiensi penggunaan pakan oleh ikan budidaya, sehingga pakan yang tersisa baik yang tidak termanfaatkan maupun sisa-sisa kotoran oleh ikan budidaya yang mengendap di dasar perairan semakin rendah. 2) Jumlah padat tebar ikan pada KJA 3 dengan luas keramba yang sama memiliki jumlah padat tebar yang paling tinggi dibandingkan dengan KJA 1 dan 2, hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam memperoleh pakan atau makanan dan persaingan dalam pemanfaatan ruang. 3). Tata letak KJA 3 berada pada daerah hilir, memungkinkan kondisi arus yang lebih cepat dibandingkan KJA 1 dan 2, kondisi ini menyebabkan waktu
, efisiensi jumlah dan waktu pemberian pakan yaitu 3-5% dari bobot tubuh ikan serta diberikan 3-5 kali/hari. Hal ini dimaksud untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan yang akan berakibat buruk terhadap penurunan kualitas perairan tersebut. Kadar protein pakan disarankan berkisar 25–30% (Arie, 2012).
tinggal pakan sangat singkat sehingga cepat terbawa arus akibatnya pakan tidak termanfaatkan secara efisien.4). Keberadaan atau kelimpahan pakan alami (plankton) pada KJA 3 lebih rendah daripada KJA 1 dan 2, hal ini disebabkan letak KJA 3 berada di bagian hilir, memungkinkan arus lebih cepat sehingga keberadaan plankton sebagai pakan alami terbatas pada KJA tersebut. Dimana diketahui bahwa arus merupakan salah satu faktor pembatas keberadaan jumlah plankton diperairan.
Jika dilihat dari kualitas air secara fisika dan kimia pada masing-masing KJA, hasilnya menunjukkan kondisi perairan pada kisaran toleransi yang masih mampu mendukung kehidupan organisme aquatik, dengan kisaran suhu yang mampu mendorong nafsu makan ikan budidaya khususnya di perairan. Namun secara keseluruhan nilai FCR yang diperoleh pada ketiga KJA tersebut, nilainya masih sesuai dengan nilai disarankan pada kegiatan KJA, yaitu antara 0,8 – 2 baik untuk budidaya KJA ikan mas maupun ikan nila.
Keseluruhan hasil produksi KJA Danau Siais adalah 296 ton/tahun. Diperoleh nilai FCR rata-rata berkisar 1,2 nilai ini menunjukkan bahwa setiap 1 kg ikan konsumsi dihasilkan dari 1,2 kg pakan. Untuk Rfish diperoleh nilai sebesar 72%, yang menyatakan bahwa 72% pakan yang menjadi daging dan diserap oleh ikan, sedangkan 28% pakan menjadi sisa kotoran ikan dan terbuang ke dasar perairan tersebut. Nilai FCR KJA yang disarankan baik ikan mas dan nila
berkisar 0,8–2 dengan Rfish sebesar 60–65% (Nur, 2007), sedangkan
(Azwar et. al., 2004) menyatakan dari jumlah pakan yang diberikan ada bagian yang tidak dikonsumsi mencapai 20–25% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan ke lingkungan periaran sebagai bahan pencemar. Adapun
komposisi pakan yang digunakan pada kegiatan KJA di Danau Siais yaitu sebagai berikut :
Tabel 4.3. Komposisi Pakan yang digunakan pada KJA di Danau Siais
No. Komposisi Merk Pakan
Bintang 888 Comfeed
1. Protein 28 - 29 % 28 - 30 %
2. Lemak Min 4 % Min 4 %
3. Serat Max 6 % Max 8 %
4. Abu Max 13 % Max 12 %
5. Kalsium 22 % 22 %
6. Phospor 1,3 % 1,5 %
7. Kadar Air Max 12% Max 12 %
Jika dianalisis secara deskriptif, dari hasil yang diperoleh selama waktu pengamatan di lapangan terhadap kegiatan KJA di Danau Siais. Jumlah padat tebar serta efisiensi jumlah dan waktu pemberian pakan tidak sesuai dengan yang disarankan oleh manajemen KJA yang ramah lingkungan. Namun kegiatan KJA
yang ada masih berada dalam Carrying Capacity lingkungan perairan Danau
Siais. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1. Jumlah dan luas lahan danau yang dimanfaatkan untuk kegiatan KJA, masih
dalam jumlah relatif yang sedikit, yaitu 31 buah keramba dengan luas lahan + 0,9 ha dari luas danau secara keseluruhan.
2. Kondisi lingkungan perairan Danau Siais secara fisika, kimia dan biologi
masih baik dan mampu mendukung kelangsungan hidup organisme aquatik di perairan khusunya ikan. Kondisi ini dibuktikan dengan diperolehnya nilai
masing-masing parameter yang berada pada kisaran toleransi organisme aquatik.
3. Pakan yang digunakan oleh petani KJA adalah pakan ikan dengan kualitas yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya nilai FCR yaitu sebesar 1,2. Nilai tersebut menyatakan bahwa setiap 1 kg ikan konsumsi dihasilkan dari 1,2 kg pakan ikan.
4. Keadaan cuaca yang baik mengikuti musim, di Danau Siais merupakan faktor
pendukung yang sangat tinggi terhadap nafsu makan ikan, dengan suhu rata-rata berkisar 27 – 29 ,5 0
5. Adanya sirkulasi air yang baik, hal ini dibuktikan dengan adanya manajemen
tata letak antara KJA ke arah hilir, kedalaman perairan yaitu 6,7-7,2 m dan kedalaman KJA yaitu 4 m. Dengan demikian pakan yang tersisa akan mudah terbawa arus ke hilir perairan. Khairuman (2013) menyatakan bahwa penenmpatan KJA ke arah hilir serta kedalaman KJA minimal 3 m di perairan, merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk meminimalisir sisa kotoran atau bahan organik akibat aktivitas KJA.
C, nilai ini sangat mendukung kelangsungan hidup organisme ikan di perairan (25-32 0C) adalah suhu yang toleransi terhadap kelangsungan hidup organisme ikan khususnya di daerah tropis (Sihotang et al. 2007).
6. Terjadinya kondisi pemulihan lingkungan (self furification), kondisi ini
dimaksudkan agar pakan dan kotoran yang menumpuk di dasar perairan tidak dalam keadaan jumlah yang banyak yang mengakibatkan pegkayaan unsur hara (eutrofikasi) serta penurunan terhadap kualitas perairan Danau Siais. Kondisi ini dibuktikan dengan adanya masa istirahat produksi KJA setelah pasca panen oleh petani KJA.
Sebagai data pembanding untuk perairan danau, beberapa danau yang ada di Indonesia yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan KJA yaitu Danau Maninjau, Danau Toba dan Danau Limboto, dan dalam jumlah kecil di perairan Danau Batur Provinsi Bali. Di perairan Danau Toba, pada tahun 1999 tercatat sekitar 2.400 unit KJA telah beroperasi, dan direncanakan akan dikembangkan lagi menjadi 55.375 unit. Pada tahun 2008 jumlah KJA di perairan Danau Toba yang berada di wilayah kabupaten Simalungun ini mencapai 3816 unit, yang terpusat di Haranggaol dengan jumlah 2.911 unit, sedangkan
lokasi lainnya adalah Pematang Sidamanik (159 unit), Dolok Pardamean
(190 unit), dan Girsang Sipangan Bolon (550 unit). Di perairan Danau Maninjau, jumlah KJA yang tercatat pada tahun 1997 mencapai 2000 unit. Sementara itu di perairan Danau Limboto, jumlah KJA yang beroperasi mencapai 2.5 59 KJA dengan luas total perairan yang dimanfaatkan adalah 5,15 ha (Lukman, 2011).
Untuk data pembanding perairan waduk, di perairan-perairan waduk di Jawa Barat, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur perkembangan KJA demikian pesat. Pada tahun 1991 jumlah KJA dari masing-masing waduk tersebut adalah 1.800, 1.613 dan 502 unit sedangkan jumlah KJA pada tahun 1999 masing-masing telah mencapai 4.425, 27.786 dan 2.194 unit (Garno, 2002). Jumlah KJA yang beroperasi di waduk-waduk tersebut sangat tidak direkomendasikan sebagai pembanding jumlah KJA yang dapat dikembangkan di perairan danau, terutama jika dihubungkan dengan luasan maupun volume perairannya. Hal ini karena yang harus menjadi pertimbangan utama
menentukan jumlah KJA yang dapat beroperasi, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, adalah waktu tinggal air dan karakteristik biologis di dalamnya.
Produksi ikan KJA dari perairan Danau Toba, di wilayah Haranggaol
diperkirakan 57,3 ton/hari, yang terdiri dari ikan nila 49,7 ton dan ikan mas
7,6 ton, dengan prodiksi total mencapai 20.910 ton/tahun
(Lukman, et al. 2010). Data produksi KJA di Danau Toba tersebut, belum
termasuk produksi dari Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), yang diperkirakan jauh lebih tinggi. Sedangkan produksi ikan dari KJA di Danau Maninjau pada tahun 2009 sekitar 31.758 ton. Sementara produksi ikan dari KJA di Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, sebelum krisis moneter mencapai produksi tertinggi 49.171 ton pada tahun 1997 di Waduk Cirata, produksi tertinggi di Waduk Saguling 8.33 1 ton pada tahun 1992, dan di Waduk Jatiluhur mencapai 3.498 ton pada tahun 1999. Tampak peningkatan produksi ikan yang sangat pesat di Waduk Cirata, dibanding waduk-waduk lainnya. Produksi ikan tersebut didukung oleh jumlah KJA yang beroperasi mencapai 25.558 unit (Garno, 2002).
Produksi ikan dari KJA di Waduk Saguling cenderung menurun, yang diduga ini terkait dengan kondisi waduk tersebut yang mengalami pencemaran yang parah tidak hanya sebagai akibat dari aktivitas KJA itu sendiri tetapi karena pencemaran dari kawasan Bandung dan sekitarnya. Sementara itu di Waduk Jatiluhur, produksi ikan dari KJA relatif tetap, terkait pengaturan jumlah KJA yang dapat beroperasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Purwakarta dan pengaturan dari Perusahaan Jasa Tirta (PJT) II karena
kepentingan air waduk tersebut sebagai sumber pemasok air bersih Kota Jakarta (Lukman, 2011)
Melihat data-data pembanding dari beberapa perairan danau dan waduk di atas, dapat dilihat bahwa untuk meningkatkan hasil produksi maka terjadi peningkatan jumlah KJA di perairan, hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap penurunan kualiatas lingkungan perairan tersebut. Sehingga dari data pembanding yang ada dapat disumpulkan, untuk perairan Danau Siais jumlah KJA dan hasil produksi masih relatif sedikit serta jauh dari jumlah produksi maksimum. Dimana lahan danau untuk kegiatan KJA masih luas untuk dapat meningkatkan jumlah hasil produksi KJA. Untuk itu diperlukan manajemen pengelolaan KJA yang bersifat daya dukung lingkungan, agar kelestarian lingkungan perairan dapat dipertahankan serta usaha KJA akan berkelanjutan dimasa yang akan datang.
4.4. Kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) terhadap Kondisi Kualitas