PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Responden
6.4 Perilaku Berdasarkan Tingkat Pengetahuan, Sikap, Sumber Informasi, Harga dan Ketersediaan Garam Beriodium
Pengetahuan dengan mengadopsi dengan mengadopsi konsep dari teori Green adalah faktor enabling yang mengarahkan tindakan tepat pada perilaku kesehatan. Pengetahuan akan membuka wawasan ibu terhadap masukan informasi khususnya garam beriodium dan selanjutnya dipraktikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menggunakan garam beriodium. Menurut Soehardjo hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Selanjutnya perubahan perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Sikap merupakan respon seseorang terhadap suatu hal dan dia akan berprilaku sesuai dengan respon tersebut. Praktek dibentuk oleh pengalaman interaksi individu dengan lingkungan khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap terhadap suatu objek (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan responden tentang garam beriodium sebagian besar cukup yaitu sebanyak 52,2%. Terdapat kecenderungan antara pengetahuan garam beriodium dengan perilaku mengkonsumsi garam beriodium, responden dengan tingkat pengetahuan baik cenderung memiliki perilaku yang baik pula (50,0%) . Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Setiarini, 2010 yaitu dari 198 orang responden yang memilki pengetahuan yang baik mengenai garam beriodium akan membentuk sikap yang baik dan menjadi dasar untuk memiliki perilaku yang baik dalam menggunakan garam beriodium (36,7%).
Hasil tabulasi silang antara perilaku dengan sikap (tabel 12) didapatkan terdapat kecenderungan antara sikap atau persepsi terhadap perilaku penggunaan garam beriodium dengan konsumsi garam beriodium.
Hal ini dapat terlihat dari responden dengan sikap baik sudah memiliki perilaku yang baik (28,2%), dan responden dengan sikap yang kurang masih memiliki perilaku yang kurang (78,9%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto 2011 yang mendapatkan hasil besarnya sikap yang baik
36 diikuti dengan oleh tindakan yang baik yaitu hanya sebesar 23,9%. Dan responden dengan sikap kurang juga memiliki perilaku yang kurang (45,8%).
Menurut hasil penelitian pada tabel 8 diperoleh gambaran umum mengenai perilaku Ibu Rumah Tangga terhadap konsumsi garam beryodium yaitu sebagian besar responden sudah menggunakan garam beryodium yaitu sebanyak 65,6%. Namun, angka ini masih berada dibawah target yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali yaitu sebesar 80% (Dinkes Provinsi Bali, 2008). Sebanyak 34,4% masih belum mengonsumsi garam beriodium, berasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi dan Ekawati, 2013 menyebutkan bahwa perilaku Ibu Rumah Tangga yang tidak mengkonsumsi garam beryodium dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman Ibu Rumah Tangga akan pentingnya konsumsi garam beryodium bagi kesehatan. Rendahnya penggunaan garam beriodium pada rumah tangga di kawasan penelitian juga disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya sudah menjadi kebiasaan turun temurun penggunaan garam tidak beriodium, harga garam krosok lebih murah dibandingkan dengan garam yodium, selera rasa, serta kemudahan mereka dalam mendapatkan garam krosok.
Garam yang bermutu adalah garam beriodium yang jika diuji menggunakan tes cepat (iodine test) mengalami perubahan warna berwarna ungu dan mengandung iodium sebanyak 30-80 ppm. Penggunaan garam beriodium bertujuan untuk menyediakan unsur iodium kepada masyarakat secara teratur dan berkesinambungan agar masyarakat tercukupi kebutuhannya akan unsur iodium. Untuk mengatasi kekurangan asupan iodium dalam makanan, pemerintah membuat program penggunaan garam beriodium dengan menambahkan (suplementasi) kalium iodat ke dalam garam dapur sesuai dengan standar nasional, tetapi masih banyak garam yang ditemukan beredar tidak memenuhi standar.
Dari hasil observasi dan pengecekan kandungan iodium pada garam yang digunakan oleh responden, sebanyak 34,4% responden masih menggunakan garam tidak mengandung iodium, hanya 30% responden yang mempunyai hasil tes iodine positif berubah menjadi ungu tua yang menunjukkan bahwa baru 30%
responden menggunakan garam beriodium yang sesuai standar. Dan sebanyak 35,6% garam yang digunakan oleh responden memiliki kandungan iodium yang tidak memenuhi standar. Hasil ini sejalan dengan hasil survei semi kuantitatif yang menunjukkan secara nasional persentase rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium dengan kandungan cukup (30-80ppm) sejak tahun 1997-2003 berkisar antara 62% sampai dengan 73,24% (Kartono, 2010). Kandungan iodium yang tidak memenuhi standar nasional juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Amalai pada tahun 2015, didapatkan sebanyak 88,9% garam yang digunakan memiliki kandungan iodium <30ppm.
37 Dari hasil observasi didapatkan hanya 31,3% responden yang menggunakan garam iodium dengan label kandungan iodium 30-80ppm. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan responden terhadap kandungan iodium yang sesuai dengan standar nasional hanya 12,2% responden yang mengetahui bahwa sebaiknya membeli garam iodium dengan label kandungan 30-80ppm. Selain itu faktor yang mempengaruhi responden menggunakan garam dengan kandungan iodium yang tidak sesuai standar karena masih banyak garam beriodium yang beredar tidak memenuhi standar.
Salah satu aspek yang berperan terhadap jenis garam yang digunakan saat ini adalah faktor ketersediaan daripada garam tersebut. Garam sehat adalah garam konsumsi dengan kandungan yodium minimal 30 ppm dan dianjurkan mengkonsumsi garam beriodium 6-10 gram/hari (1 sendok makan). Dipasaran terdapat 3 jenis garam diantaranya yaitu garam halus, garam krosok dan garam briket. Dari segi kualitas, maka garam halus adalah yang paling bagus, kemudian garam briket dan yang terakhir garam krosok (Sarlan, 2009). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran umum mengenai jenis garam yang dikonsumsi ibu rumah tangga yaitu sebagian besar responden mengkonsumsi bentuk garam halus (67,8%). Ini menunjukkan responden sudah menggunakan jenis garam yang benar. Namun sebanyak 80% responden belum menggunakan garam beriodium sebanyak 6-10 gram/hari (1 sendok makan). Hal ini disebabkan karena pengetahuan responden masih kurang mengenai seberapa banyak garam yang harus dikonsumsi perhari, selain itu responden juga tidak pernah mengukur takaran garam yang digunakan tergantung dengan keperluan saat memasak dan takaran yang digunakan hanya perkiraan saja.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas iodium pada garam di rumah tangga antara lain adalah penggunaan dan penyimpanan garam oleh ibu rumah tangga, walaupun garam yang dibeli mengandung iodium cukup tetapi pengelolaan dan penyimpanan oleh ibu rumah tangga yang kurang baik dapat menyebabkan kandungan iodium dalam garam berkurang bahkan bisa hilang (BPS-UNICEF, 1995).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa cara penyimpanan garam beriodium oleh ibu rumah tangga sebanyak 52,2% sudah menyimpan garam dengan cara yang benar yaitu pada tempat yang tertutup rapat dan tidak dekat dengan panas. Sebanyak 47,8% ibu masih menyimpan garam dengan cara yang salah yaitu dekat dengan panas atau ditaruh pada tempat yang terbuka. Masih banyak responden yang menyimpan garam berioidum dengan salah disebabkan karena kurangnya pengetahuan akan fungsi menyimpan garam dengan benar, jadi masih banyak responden yang menyimpan dengan cara yang salah.
Dalam pengolahan makanan cara penggunaan garam sebagian besar masih salah yaitu sebanyak 87,8%.
Hanya 12,2% responden yang benar untuk cara penggunaan garam. Cara ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan oleh ibu rumah tangga dengan pemberian garam pada proses pemasakan lebih praktis.
38 Hasil ini sejalan dengan penelitian Sihombing, 2014 yang didapatkan 69,14% responden sudah menyimpan garam dengan baik dan cara penggunaan garam sebagian besar masih salah yaitu pada awal/waktu persiapan (38,06%) maupun pada saat proses pemasakan (23,64%).
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa 34,4% responden tidak menggunakan garam beriodium, alasan paling banyak tidak menggunakan adalah sudah menjadi kebiasaan turun temurun dari keluarga, yaitu sebesar 45,2%. Pengaruh kebiasaan yang dipelajari dan dikerjalan sejak kecil dengan mudah menjadi tingkah laku menetap dan sukar diubah, dan kepraktisan merupakan pendorong bagi setiap diberlakunya kebiasaan yang diinternalisasikan sejak masa kecil. Alasan harga garam beriodium tidak terjangkau merupakan alasan terbanyak kedua yaitu 19,4%, dimana hal tersebut membuktikan masih terdapat masyarakat dengan status ekonomi rendah di kawasan ini. Untuk alasan terbesar ketiga yaitu alasan rasa tidak enak dengan angka sebesar 19,4%, kebanyakan responden yang mengatakan alasan ini mengatakan rasa dari garam beriodium lebih pahit dari garam krosok sehingga penyebabkan mereka tetap memilih garam krosok. Untuk alasan lainnya sebesar 3,2% yaitu faktor tidak tidak tersedia di kawasan tempat tinggal dan sulit mendapat akses ke penjual garam beriodium menunjukkan masih ada kesulitan dan kekurangan dalam ketersediaan garam beriodium.
Konsumsi makanan laut dikatakan sudah baik karena sebagian besar responden sudah mengonsumsi makanan laut (62,2%). Makanan laut yang dikonsumsi antaranya adalah ikan laut. Secara tidak langsung responden mendapatkan asupan iodium dari ikan laut yang dikonsumsinya. Diperlukan suatu upaya sosialisasi dari puskesmas agar masyarakat mengetahui bahwa makanan laut adalah salah satu sumber iodium, sehingga pencapaian ini dapat ditingkatkan.
Distribusi dari garam akan dipasarkan ke berbagai tempat, pemasaran akhir umumnya melalui pengecer formal yaitu melalui pasar besar dan supermaket, sampai dengan pengecer kecil diperkotaan dan pinggiran kota melalui warung-warung dan penjual keliling (Depkes RI, 2005). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa sebagian besar responden membeli garam yang digunakan sehari-hari paling banyak di warung yaitu 72,2%. Hal tersebut dikarenakan dengan alasan akses yang lebih mudah dan cepat untuk membeli garam disekitar rumah. Selain warung 18,9% responden membeli garam di pasar. Pasar merupakan tempat yang lengkap dan sebagian besar ibu-ibu membeli segala bahan masakan di pasar besar terdekat. Hanya 8,9% responden yang membeli garam dari supermarket. Ini juga dipengaruhi dengan faktor perjalanan yang harus menempuh jarak yang jauh.
39 Kebijakan pemerintah dalam progam penggunaan garam beriodium oleh masyarakat dibuat dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri tahun 1985 yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Perdagangan dan Menteri Koperasi tentang pengadaan dan pendistribusian garam beriodium di daerah. Dengan adanya surat keputusan bersama ini diharapkan garam yang beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat mengadung iodium sesuai dengan yang ditetapkan sehingga progam penanggulangan masalah GAKI di Indonesia dapat dilakukan (Panjaitan, 2008).
Dari hasil penelitian mengenai harga garam iodium di masyarakat ditemukan bahwa sebagian besar responden mengatakan harga yang terjangkau untuk garam beriodium yaitu sebesar 90% hal itu dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak merasa terbebani dengan harga garam beriodium dan merasa harga tidak terlalu berbeda jauh dengan harga garam yang kiloan jika dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan dari garam beriodium.
Sumber informasi merupakan faktor penguat perilaku seseorang untuk menggunakan garam beriodium.
Adanya himbauan atau dorongan dari pihak lain untuk menggunakan garam beriodium akan mendukung perilaku terhadap garam beriodium yang baik (Hidayat, 2012). Informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi bermanfaat untuk menambah pengetahuan, meyakinkan atau memberi kepastian kepada penerima informasi, dan memberikan standar atau aturan-aturan untuk melakukan hal tertentu (Sutanta, 2003).
Dari hasil penelitian didapatkan responden yang tidak pernah mendengar informasi tentang garam beriodium, sebagian besarnya memiliki tingkat perilaku garam beriodium yang kurang (87,5%), dibandingkan dengan responden lain yang pernah mendengar informasi tentang garam beriodium.
Persentase tingkat perilaku baik yang paling tinggi terdapat pada responden yang mendapatkan sumber informasi dari petugas kesehatan. Hal ini bisa disebabkan karena responden paling suka mendapatkan informasi dari petugas kesehatan karena informasi yang didapatkan lebih terpercaya dibandingkan dengan sumber informasi lainnya (Depkes, 2000), sehingga perilaku garam beriodium yang baik dapat terbentuk.
Meninjau dari hasil penelitian kami dan penelitian sebelumnya, perlu dilakukan peningkatan penyuluhan oleh tenaga kesehatan karena sumber informasi tersebut paling disenangi oleh masyarakat.
Sedangkan yang mendapatkan sumber informasi dari media elektronik dalam hal ini televisi, masih cenderung memiliki tingkat perilaku yang kurang. Hal ini berbeda dengan penelitian tentang kampanye dan penggunaan garam berioidum di Jawa Barat menyatakan bahwa pesan yang disampaikan dalam media elektronik televisi dapat diterima dengan baik hingga kini walaupun tayangan tersebut sudah
40 berakhir tahun 2003. Tayangan iklan juga jelas, mudah dimengerti dan logis, karena penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Saat ini memang, tayangan tersebut sudah tidak muncul di televisi (Anggorodi, 2010). Pada penelitian kami, walaupun infomasi dari media elektronik jelas dan mudah dipahami, namun iklan pada media elektronik sudah berakhir tahun 2003, sehingga hanya 4,1% responden yang menyatakan mendapat informasi dari media elektronik. Responden yang mendapat informasi dari media elektronik sebanyak 66,7% memiliki prilaku yang kurang, hal ini memperlihatkan bahwa informasi dari petugas kesehatan yang lebih informatif dan komunikatif lebih efektif dalam meningkatkan perilaku responden.
Dari tabel 17 tabulasi silang antara ketersediaan garam dan tingkat perilaku dapat dilihat bahwa 51,9%
responden yang menyatakan garam beriodium tersedia tetapi masih memiliki perilaku yang kurang. Dari tabel 16 harga garam dan tingkat perilaku memperlihatkan bahwa sebanyak 50,6% responden yang menyatakan harga garam beriodium terjangkau masih memiliki perilaku yang kurang. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, perilaku penggunaan garam beriodium dipengaruhi oleh banyak faktor.