• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

F. Perilaku dan Kohabitas

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978).

Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdayahabitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial.

Lutung dan monyet ekor panjang adalah primata yang hidup berkelompok. Lutung adalah satwa arboreal yang beraktivitas pada siang hari (Lekagul & McNeely 1977) dan quadropedal yaitu berjalan, berlari dan bergerak secara horizontal dan kontinyu menggunakan keempat tungkainya (Fleagle 1978). Kartikasari (1982) menyatakan bahwa lutung hidup berkelompok yang beranggotakan sekitar 10 ekor, yaitu 1 ekor jantan, beberapa betina dewasa, anak dan bayi serta poligami. Menurut Medway (1970) lutung budeng berkelompok dengan anggota 6–23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin

17 kelompok. Aldrich-Blake (1980) menyatakan bahwa monyet ekor panjang adalah primata pemakan buah, sering berada di tajuk pohon, hidup berkelompok dan menguasai suatu daerah kecil dekat sungai pada ketinggian kurang dari 300 mdpl. Jumlah individu dalam koloni monyet ekor panjang yaitu 29 ekor (Rowe 1996) sedangkan menurut Sularso (2004) yaitu 39 ekor.

Sistem perkawinan/kekerabatan pada primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah satu bentuk persaingan interfensi, dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan (Schoener 1993). Membandingkan dua spesies yang secara ekologi mirip namun berbeda ukuran tubuh dan perilaku sosialnya sangat membantu untuk mengetahui pengaruh kebutuhan energi atau dominasi dalam strategi pencarian dan pembagian pakan (Fedrianiet al. 2000). Sistem hierarki dan teritorialisme pada primata menyebabkan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984). Pada komunitas dimana satwa berkohabitasi maka terjadi interaksi diantaranya (sympatric).Sympatricadalah keadaan dimana suatu populasi spesies bertemu dan mengalami tumpang tindih (overlap) daerah jelajahnya (Caughley 1984). Tumpang tindih dapat terjadi interaksi ruang, waktu dan sumberdaya dalam suatu habitat. Sebagai contoh adalah interaksi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP.

Mekanisme koeksistensi spesies menjadi isu utama dalam ekologi

komunitas (Begon et al. 1990). Koeksistensi spesies ini diharapkan dapat

memberikan strategi pembedaan relung, terutama ketika sumberdaya langka. Perbedaan pemilihan sumberdaya merupakan proses dasar peran bersama spesies untuk tetap berkoeksistensi. Pada dekade ini perhatian peneliti terfokus pada interaksi biotik khususnya menerangkan perbedaan penggunaan habitat diantara spesies yang berkoeksistensi (Rosenzweig 1981). Berkurangnya kesamaan relung pakan dapat terjadi karena pembagian pakan menurut tipe suatu ukuran mangsa dan pemisahan area pencarian pakan (Chesson & Huntly 1997). Koeksistensi spesies tergantung pada pembagian sumberdaya sebagai upaya setiap spesies dalam menjamin kelangsungan hidup dan reproduksinya. Koeksistensi atau hidup bersama pada suatu habitat mungkin saja terjadi dimana spesies memanfaatkan

sumberdaya yang sama dan terbatas (Basset 1995). Berdasarkan teori pencarian pakan optimal, Brown (1989) melakukan pendekatan dengan menguji dua spesies yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dan terbatas akhirnya mengetahui bagaimana mekanisme koeksistensi terjadi. Hal tersebut memperkuat pendapat Martin (1986) yang menyatakan bahwa perbedaan pemanfaatan sumberdayaoleh spesies yang berkoeksistensi merupakan refleksi yang berbeda dalam sejarah evolusi. Pada spesies yang berkohabitasi mungkin juga tidak terjadi asosiasi pada skala temporal sehingga tidak terjadi koeksistensi (Kronfeld-Schor & Dayan 2003). Pemisahan relung secara temporal terjadi pada skala diurnal dimana pemisahan puncak aktivitas spesies pesaing pada waktu yang berbeda dalam satu hari (Gutman & Dayan 2005). Pemisahan relung temporal tersebut dapat menyebabkan pemisahan relung antar spesies yang membutuhkan habitat mirip, meskipun hal tersebut secara sejarah kurang mendapat perhatian daripada pemisahan habitat atau preferensi pakan (Schoener 1974).

Salah satu teori relung menyatakan bahwa ketika dua atau lebih spesies yang berkohabitasi, dalam memanfaatkan habitat dan pakan serta mempengaruhi struktur komunitas tidak akan mutlak mirip/sama (Diamond 1978). Pemilihan relung adalah pemanfaatan suatu habitat yang tidak dikuasai oleh pesaing interspesiknya (Boughman et al. 2005). Misalnya, penggunaan ruang secara vertikal pada satwa yang berkohabitasi berupa pembagian strata tajuk dalam beraktivitas disebabkan karena agresivitas salah satu atau lebih spesies tersebut (Johns 1986, Peres 1993, Lopes 1993, Walker 1996, Singh et al. 2000). Hal ini yang perlu dikaji lebih lanjut pada kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung pada kawasan konservasi CAP.

Pada hakekatnya makluk hidup di muka bumi ini tidak hidup sendirian atau hanya hidup bersama individu dalam masyarakatnya sendiri, namun selalu berasosiasi dengan spesies lain. Ukuran sejauh mana tingkat seringnya dua spesies ditemukan secara bersama-sama dalam lokasi yang sama disebut asosiasi interspesifik (Odum 1971). Asosiasi interspesifik terjadi karena: a) kedua spesies memilih atau menghindari habitat atau faktor habitat yang sama, b) kedua spesies pada umumnya mempunyai kebutuhan dan persyaratan lingkungan abiotik dan

19 biotik yang sama, dan c). salah satu atau kedua spesies memiliki afinitas terhadap yang lainnya, baik atraksi maupun repulsi (Ludwig & Reynold 1988).

Asosiasi tersebut bisa bersifat menguntungkan, merugikan atau tidak berpengaruh bagi anggotanya. Keeratan hubungan spesies yang terdapat secara bersama-sama dalam suatu komunitas disebut kohabitasi spesies. Kohabitasi spesies dalam suatu habitat menggunakan sumberdayayang ada secara bersama dan terdapat beberapa kesamaan. Nilai ukuran kesamaan penggunaan sumberdayaoleh pasangan spesies berdasarkan data ekologis disebut afinitas spesies yang biasanya diukur dalam fungsi kesamaan. Fungsi kesamaan

(resemblance function) adalah ukuran kesamaan atau ketidaksamaan antar unit

contoh dalam kaitannya dengan komposisi spesies atau antar spesies dalam penggunaan sumberdaya (Krebs 1989).

Faktor utama yang dapat mempengaruhi hubungan tropis interspesifik spesies dan potensi pembagian sumberdayapakan antara lain kelimpahan pakan, ukuran tubuh, dan sistem perkawinan/kekerabatannya (misalnya pada perilaku

teritorial). Kelimpahan pakan berkaitan langsung dengan kemampuan

menghabiskan dan tingkat persaingan eksploitasi antar individu. Kemudian berkurangnya kesamaan relung pakan terjadi apabila sumberdaya berkurang dan dibutuhkan pengorbanan yang lebih besar (May 1973). Ukuran tubuh berpengaruh pada kekuatan masing-masing spesies. Ukuran tubuh yang besar bermanfaat dalam melawan pesaing interspesifiknya (Shelley et al. 2004) tetapi juga menjadi kelemahan ketika sumberdaya pakan terpatas, karena tubuh yang besar memerlukan pakan yang lebih banyak (Julien-Laferriere 1999). Oleh karena itu maka pembagian pakan berdasarkan ukuran tubuh mangsa mungkin saja terjadi pada spesies yang berbeda ukuran tubuh, dimana diharapkan semakin besar ukuran pakan semakin besar pula ukuran tubuh predatornya (Martiet al.1993).

Nilai penting informasi perilaku spesies yang berkohabitasi yaitu pertama, spesies dapat membentuk asosiasi interspesifik dalam menyelingi/mengisi kokosongan asosiasi spesies dalam sebuah komunitas tanpa terjadi interaksi secara fisik atau asosiasi polyspesifik antar dua spesies yang berinteraksi sosial (Burton & Chan 1996). Apabila dua spesies bersaing dalam memanfaatkan sumberdayayang terbatas, maka studi tentang spesies yang berkohabitasi akan

memberikan informasi tentang proses penyesuaian yang menunjukkan seleksi relung (niche) dimana iklim, hutan, dan spesies yang bersaing tetap (Fleagle 1978). Kedua, pada kasus kohabitasi spesies yang terancam, informasi tentang substrata pemanfaatan pakan, jenis pakan, aktivitas dan lain-lain dapat membantu dalam membuat rancangan ilmiah yang memperhatikan aspek konservasi dan strategi pengelolaan (Singhet al. 2000).

 

 

 

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 

Dokumen terkait