• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Perilaku Manusia

2.2.1. Pengertian Perilaku

Perilaku atau behavior menurut Sarwono (1997) adalah perbuatan- perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat indera) maupun yang tertutup (tidak kasat mata). Perbuatan yang terbuka dinamakan overt behavior, yaitu semua perilaku yang bisa ditangkap langsung dengan indera seperti: menulis, menggeser, dan lainnya, sedangkan perilaku yang tak kasat indera disebut dengan covert behavior, yaitu motivasi, fantasi, sikap, berpikir, beremosi dan minat. Pendapat ini senada dengan pernyataan Decrades yang dikutip oleh Noor (1997) menyatakan bahwa ada perilaku mekanis yaitu perilaku yang berhubungan erat dengan gerakan badan, dan ada perilaku rasional yang erat hubungannya dengan jiwa.

Tuan (1974), perilaku (tingkah laku) atau tindakan adalah usaha dari suatu kebutuhan dasar dan struktur kepribadian individu dikombinasikan rangkaian proses penyesuaian dirinya terhadap situasi dan kondisi fisik. Proses tersebut merupakan proses kognitif dari penilaian stimuli eksternal dan aktivitas yang nampak. Adapun ciri-ciri perilaku menurut Watson (1878-1958) yang dikutip oleh Laurens (2005) sebagai berikut:

a. Perilaku itu sendiri adalah kasat mata, tetapi penyebab terjadinya perilaku secara langsung mungkin tidak dapat diamati.

b. Perilaku mengenal beberapa tingkatan, yaitu perilaku sederhana dan steoreotip, seperti perilaku binatang bersel satu, refleks; dan perilaku kompleks seperti perilaku sosial manusia.

c. Perilaku bervariasi dengan klasifikasi: kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang menunjukkan pada sifat rasional, emosional, dan gerakan fisik dalam berperilaku.

d. Perilaku bisa disadari dan bisa tidak disadari.

Berdasarkan pengertian dan ciri perilaku tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian perilaku atau behavior adalah perbuatan-perbuatan manusia, baik yang overt behavior maupun yang covert behavior, yang disadari atau tidak disadari baik secara rasional, emosional, maupun gerakan fisik dalam berperilaku.

2.2.2. Perilaku Manusia dan Interaksinya dengan Lingkungan a. Interaksi Manusia dengan Lingkungan

Manusia dan habitatnya (lingkungan hidup manusia), keduanya saling berinteraksi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Manusia merupakan pusat lingkungan dan sekaligus menjadi bagian dari lingkungan. Cara pandang manusia terhadap lingkungan dapat secara imanen atau transenden. Interaksi manusia dengan lingkungan merupakan jalinan

transactional independency atau saling ketergantungan satu sama

lain, artinya perilaku manusia mempengaruhi lingkungannya, sebaliknya Gifford (1987) dan Bubolz (1979) yang disitasi oleh Bianpoen (2000) lingkungan akan mempengaruhi perilaku dan pengalaman manusia itu sendiri. Melalui proses interaksi dengan lingkungan hidupnya, selain manusia akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, ia juga membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya (Soemarwotto, 1989; Soerjani, 1988)

Digambarkan oleh Rambo (1981) secara analitik proses interaksi ini terjadi di dalam sistem sosial (socio sistem) dengan ekosistem. Kedua sistem ini saling berhubungan terus menerus

melalui aliran enerji, materi dan informasi, sehingga terjadi proses seleksi dan adaptasi antara keduanya. Dalam proses interaksi yang berlangsung secara terus-menerus, manusia berupaya menjaga, mempertahankan, memelihara, memperbaiki, membangun, dan mengembangkan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya, sehingga manusia dapat hidup sejahtera dengan kualitas hidup yang lebih baik.

Interaksi manusia dengan lingkungannya dapat menimbulkan berbagai dampak fisik maupun dampak psikologis, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif merupakan sesuatu yang diharapkan oleh para perancang lingkungan, namun menurut Holahan sejumlah besar hasil rancangannya ternyata telah gagal mempertemukan kebutuhan perilaku (behavioral need) pemakainya (Holahan, 1982). Di dalam lingkungan, selain manusia berinteraksi antar sesamanya secara individu atau kelompok, manusia juga berinteraksi dengan komponen-komponen lingkungan lain, baik biotik maupun abiotik. Hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan yang sifatnya positif menguntungkan manusia dan lingkungan, sebaliknya hasil interaksi yang sifatnya negatif dapat merugikan manusia dan Iingkungannya. Bahkan bila peristiwa terus-menerus berlangsung dapat merusak lingkungan yang berakibat pada menurunnya kualitas hidup manusia. Interaksi ini sifatnya kompleks berlangsung dinamik dan terus menerus, meskipun dalam kondisi berubah-ubah diharapkan akan tetap dalam suatu keseimbangan (Soerjani, 2002).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan interaksi manusia dengan lingkungan adalah proses hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya yang berlangsung secara terus-menerus, dalam hubungan timbal balik ini manusia berupaya menjaga, mempertahankan, memelihara, memperbaiki, membangun, dan mengembangkan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya.

b. Sikap Manusia terhadap Lingkungan

Perilaku manusia sangat bergantung pada sikapnya. Dikemukakan Azwar (2007) bahwa Berkowitz (1972) menemukan pengertian lebih dari 30 definisi sikap. Puluhan pengertian sikap itu pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah satu di antara tiga kerangka pemikiran, yaitu:

Pertama adalah kerangka pemikiran yang dikemukakan oleh Thrstone (1928) dan Likert (1932) mendefinisikan sikap adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan (Azwar, 2007). Sikap seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Holahan (1982) berpendapat bahwa sikap manusia terhadap lingkungan adalah perasaan senang atau tidak senang tehadap lingkungan sebagai obyek sikap, baik itu isu yang berkenaan dengan karakteristik lingkungan maupun isu lingkungan fisik misalnya terhadap desain rumah, penataan rumah, dan lainnya yang mereka tempati. Sikap manusia terhadap lingkungan dibentuk atas dasar keputusan tentang keiinginan untuk hidup maupun kepuasan dan ketidakpuasan

(disatification) berkaitan dengan lingkungan hidup sekarang.

Pemikiran yang kedua dikemukakan oleh Chave (1926); Bogardus (1931) dan Allport (1935), sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu (Azwar, 2007). Kesiapan bereaksi yang dimaksud, merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respons. LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang dikondisikan. Oleh karena itu Deaux (1990) menyatakan bahwa sikap memberikan petunjuk tentang perilaku di masa datang, sehingga dimungkinkan untuk meramalkan bagaimana seseorang akan bertindak jika ia menghadapi obyek keyakinannya.

Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadic (triadic scheme), yaitu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konasi yang saling berintegrasi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek. Komponen kognisi terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai obyek sikap yang mencakup fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang obyek, komponen afeksi terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap obyek sikap, dan komponen konasi adalah kesiapan seseorang untuk bereaksi atau berperilaku terhadap obyek (http//www.sbs.eku.edu/psy/winslow/psy.300.attitude.htm2/1/00p1 1of 2).

Berkaitan dengan kelompok pemikiran yang ketiga ini, ada dua pendekatan dalam melihat konstrak komponen-komponen sikap (kognisi, afeksi dan konasi), yaitu yang menyatu dan sebagai yang tidak menyatu (Rosenberg dan Hovland, 1960).

Pemikiran yang melihat komponen sikap sebagai satu kesatuan, Ajzen (1988) melihat semua komponen berada dalam suatu kontinum evaluatif, namun masing-masing dapat berbeda. Sebagai contoh seseorang yang mempunyai afeksi negatif terhadap penerbangan (takut & cemas naik pesawat) tetapi mempunyai kognisi positif terhadap pilot (pilot terlatih dan berpengalaman) akan tetap memutuskan bersedia ikut dalam penerbangan (konasi positif).

Gambar 2.2 Komponen sikap menyatu dalam kontinum evaluatif Pemikiran yang tidak menyatu menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam

Keyakinan (Kognisi) Emosi (Afeksi) Konasi (Kecende- rungan ber- perilaku) SI K AP

suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal jenjang kedua (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Konsepsi skematik hirarki sikap (Rosenberg & Hovland, 1960) Berdasarkan uraian di atas, sikap dapat digunakan untuk meramalkan perilaku, namun membutuhkan beberapa persyaratan yaitu, apabila (1) sikap seseorang kuat dan konsisten, (2) dikaitkan dengan perilaku yang diramalkan, (3) berdasarkan pengalaman, dan (4) sikap individu (Atkitson, 1987).

Terdapat 4 tipologi karakteristik sikap yang digambarkan oleh Krech (1962), yaitu (1) affective association, adalah sikap yang mempunyai kandungan kognisi dan kecenderungan tindakan yang minimal. Respons dari sikap ini didasari oleh emosi yang rendah yang ditimbulkan oleh obyek stimulus. Tipe ini tidak dapat memprediksikan perilaku seseorang; (2) Intellectualized attitude, karakter sikap ini mempunyai komponen kognisi yang tinggi, tetapi kurang berorientasi pada tindakan seperti halnya affective

association tipe juga tidak akurat dalam memprediksi sikap; (3) action

Variabel independent yang bisa diukur

Variabel intervening Variabel independent yang bisa diukur

STIMULI