• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eco spatial behavior approach of settlement occupancy In Kota Baru Bandar Kemayoran Flats

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eco spatial behavior approach of settlement occupancy In Kota Baru Bandar Kemayoran Flats"

Copied!
320
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN

ECO-SPATIAL BEHAVIOR

PENGHUNIAN RUMAH SUSUN

KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN

BAMBANG DELIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pendekatan Eco-spatial Behavior Penghunian Rumah Susun Kota Baru Bandar Kemayoran adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diujikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Maret 2011

Bambang Deliyanto

(4)
(5)

PENDEKATAN

ECO-SPATIAL BEHAVIOR

PENGHUNIAN RUMAH SUSUN

KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN

BAMBANG DELIYANTO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

NIM : P062050584

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Ketua

Dr. Ir. Aris Munandar, MS Dr. Harsiti

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya

Alam Dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Sumardjo

2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Budi Faisal, MAUD, MLA

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2009 ini ialah Pendekatan Eco Spatial Behavior Penghunian Rumah Susun Kota Baru Bandar Kemayoran

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku ketua Komisi Pembimbing yang dengan sabar memberikan kontribusi pemikiran, saran dan bimbingannya kepada penulis. Karena saat-saat terakhir menjelang ujian terbuka beliau sakit sehingga tugas sebagai Ketua dialihkan kepada anggota Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS beliau sangat membantu penulis dalam menyelesaian dan mengontrol kemajuan penulisan disertasi melalui zemi yang dilaksanakan secara teratur, juga kepada ibu Dr. Harsiti selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar memberikan kontribusi pemikiran tentang perilaku dan ketelitian tata cara penulisan . Terima kasih disampaikan kepada Dr. Etty Riani atas perhatian, dukungan, dorongan semangat untuk menyelesaikan penulisan disertasi. Terima kasih juga kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS-PSL) Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan seluruh staff sekretariat PSL atas perhatian, dukungan, dan dorongan semangat. Kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana, disampaikan terima kasih atas perhatiannya. Terimasih kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo dan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tertutup, serta masukannya untuk penyempurnaan penulisan disertasi.

Rasa terima terima kasih juga penulis sampaikan kepada pengurus Persatuan Penghuni Rumah Susun Kemayoran, Karang Taruna rumah susun Kemayoran , serta mahasiswa Planologi Universitas Tarumanagara yang telah membantu dalam mewawancarai dan pengisian kuesioner oleh responden sehingga penelitian ini bisa terselesaikan. Terima kasih secara khusus disampaikan kepada Universitas Terbuka yang telah memberikan kesempatan dan dukungan beasiswa kepada penulis.

Akhirnya penulis mengucapkan kepada berbagai pihak atas bantuan dan perhatiannya dalam menyelesaikan disertasi ini terutama teman-teman seangkatan mas Widodo, pak Deddy, pak Thoha, pa Toto, pak Sutopo, serta mas Harry. Secara khusus kepada almarhum ayahnda Asrori Yusuf dan ibunda Hj. Rohayah Asrori yang telah membesarkan dan mendidik secara baik dalam menghadapi kehidupan. Kepada istri terkasih Melly Prabawati, anak-anak tercinta Nandha dan Asto yang telah memberikan perhatian penuh, dorongan semangat dan selalu sabar dalam menemani penulis setiap saat.

Penulis sangat berharap hasil penelitian dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan yang terkait dengan permukiman, walaupun masih banyak penelitian lanjutan yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari hal-hal yang belum tercakup dalam penelitian ini.

Bogor, September 2011

(9)
(10)

Alm. Asrori Yusuf (Kol. Purn) dan ibu Hj. Rohaya Asrori. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Penulis mengikuti pendidikan SD di Magelang (Jawa Tengah), SMP dan SMA di Jakarta. Pendidikan jenjang D3 diselesaikan pada Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Trisakti Jakarta (1982), dan jenjang S1 penulis selesaikan pada Universitas yang sama (1985). Sebagai dosen PNS Universitas Terbuka penulis mendapat beasiswa dari Dikti untuk menyelesaikan pendidikan S2 Ilmu Lingkungan - Ekologi Manusia di Universitas Indonesia (1993) dan beasiswa (2005 – 2008) dari Universitas Terbuka untuk pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana IPB.

(11)

BAMBANG DELIYANTO. Eco-spatial Behavior Approach of Settlement Occupancy In Kota Baru Bandar Kemayoran Flats. Under direction of HADI SUSILO ARIFIN, ARIS MUNANDAR, and HARSITI

Eco-spatial Behavior (ESB) is the embodiment of spatial setting that resulted from human action, which are in appropriated with the principles of ecology. These actions include human behavior towards space such as attitude, motivation, human action and achievement; and the fluctuation of the non-sensation system elements, which can form a pattern of human behavior. ESB will affect and be affected the quality of built environments, such as residential flat. In order to rejuvenate the environment Kota Baru Bandar Kemayoran in the 1980s have been aquality decreasing gradually. The study has used system approach and post occupancy evaluation method. The objectives of study are (1) to evaluate the technical performance, function and behavior post-occupancy of residential occupancy in low cost housing flats (2) to evaluate the indicators and ESB performance of residential low cost housing Flats, (3) to identify antecedents to behave ESB occupancy response, and (4) develop a model and ESB application scenario in the low cost Housing flats Bandar Kemayoran. The result showed that the achievement of technical performance of the flats building is 57% - 60%, performance achievement for occupancy function is 80% - 90%, and perception of the value of residential flats reaches 2.5 to 3.8 on a scale of 5 . Value of ESB performance is between 2 - 4. The antecedents of preserve the environment and behavior (ESB 1) and environmental coping efforts (ESB 2) are the attributes of presence or absence of opportunities, easy doing, and the norm (social pressure) which requires that will keep up the environment. The antecedents of motivation to improve the welfare of the inhabitants (ESB3) is the belief in the success and benefits of behaviors such as the benefits from action to increase the quality of home, income, health, pleasure and knowledge of residential flats. Organizational activity (ESB4) preceded by antecedent attributes such as awareness of environmental condition, occupant is adaptability, and residential regulation. The results simulation of the dynamics system for social model of ESB indicate that the number of occupants, spatial response, ESB, and public participation is declining, different from economic model of the ESB simulation that shows the welfare of residents is increasing. The environment model for the simulation ESB model shows the quality of residential flats is progressively decreasing, although the number of waste decreased.

(12)
(13)

Rumah Susun Kota Baru Bandar Kemayoran. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, ARIS MUNANDAR, dan HARSITI.

Pembangunan rumah susun (rusun) merupakan salah satu bentuk implementasi Agenda 21 yang diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah dalam merehabilitasi kawasan kumuh (slum) di kota-kota besar khususnya DKI Jakarta. Penghunian rusun telah memunculkan kebiasaan baru yang menimbulkan permasalahan bagi penghuninya dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Ketidakberhasilan penghuni dalam beradaptasi ini dapat menimbulkan tekanan jiwa (stress) dan gangguan kesehatan. Sikap negatif ini akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan, dan pada akhirnya akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mengantisipasi kegagalan interaksi penghuni dengan lingkungannya yang kompleks dan dinamis tersebut diperlukan penelitian untuk mengamati spatial behavior khususnya eco-spatial behavior (ESB) penghunian rusun melalui pendekatan sistem. Penelitian ini dilakukan di rusun Kota Baru Bandar Kemayoran (KBBK). Tujuan penelitian: (1) mengetahui performansi pascahuni penghunian rusun di KBBK, yang mencakup performansi teknis, fungsi hunian, dan gejala persepsi lingkungan; (2) menentukan indikator dan mengetahui performansi ESB penghunian di permukiman rusun KBBK; (3) mengidentifikasi

anteseden agar penghuni berperilaku ESB dalam penghuniannya di permukiman

rusun KBBK; (4) menyusun skenario pendekatan ESB pada penghunian rusun melalui pengembangan Model ESB.

Penelitian dilaksanakan selama periode Oktober 2009 – Januari 2010 dengan populasi seluruh kepala keluarga (KK) penghuni rusun di KBBK. Subyek penelitian adalah KK pemilik dan penghuni Blok bangunan Apron, Boeing, Conver, dan Dakota. Jumlah sampel 105 KK yang dipilih dari 2076 KK dengan menggunakan cluster random sampling berdasarkan Blok bangunan yang secara administratif adalah satu Rukun Warga. Data dikumpulkan melalui alat bantu kuesioner terstruktur yang telah dikalibrasi. Data karakteristik penghuni dan performansi ESB merujuk pada 3 komponen dasar pembangunan berkelanjutan yaitu karakteristik lingkungan hunian, ekonomi, dan sosial. Persepsi performansi teknis bangunan merujuk pada 49 komponen persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana bertingkat tinggi (Permen PU no 05/PRT/M/2007). Data persepsi fungsional bangunan merujuk pada 9 kriteria fungsi hunian dari Kaiser. Data persepsi penghunian atas seting spasial rusun merujuk pada penilaian gejala persepsi lingkungan dari Bell (1978) untuk mengetahui gejala perilaku. Hasil dari dan performansi ESB dianalisis secara deskriptif. Untuk mengetahui keterkaitan performansi ESB dengan komponen karakteristik dan perilaku penghuni dilakukan analisis Biplot.

Pemilihan alternatif pendekatan ESB penghunian rusun dan komponen-komponen yang dominan dianalisis dengan AHP yang diolah melalui perangkat lunak Criterium Decision Plus versi student. Atribut anteseden yang mempengaruhi penghuni berperilaku ESB dianalisis melalui analisis Biplot. Skenario pendekatan ESB penghunian rusun yang berkelanjutan untuk kondisi saat ini dan kondisi akan datang diperoleh dengan melakukan analisis sintesis dari hasil analisis sistem dinamik, dengan data yang diperoleh dari hasil POE, E-ESB, Analisis Biplot, dan AHP. Analisis sistem dinamik menggunakan perangkat lunak

Powersim Constructor 2.5.

(14)

sudah di atas 50 %. Secara agregat ketercapaian performansi teknis masing-masing Blok bangunan rusun dikategorikan sedang (Apron=58,7; Boing=60,29; Conver=60,29; dan Dakota= 57,11).

Analisis performansi fungsional bangunan rusun menunjukkan bahwa 3 dari 9 item performansi seluruh telah mencapai ketercapaian 100 %. Ketiga item tersebut adalah berfungsi sebagai shelter; aman dari gangguan fisik dan psikologis; serta lokasi yang dekat dengan aksesibilitas fasilitas sosial ekonomi. Performansi item fungsional hunian dengan ketercapaian di atas 60 % adalah fungsi bangunan rusun sebagai tempat mengasuh anak (83,33 %), sebagai tempat simbol jati diri penghuni (50%-66,7%) , sebagai tempat berinteraksi sosial (83,33% - 100%) dan sebagai tempat yang dapat memberikan kesenangan di waktu luang

(leisure). Secara agregat ketercapaian performansi fungsional masing-masing

Blok bangunan rusun dikategorikan tinggi (Apron=80,56; Boing=84,26; Conver=87,96; dan Dakota=83,33).

Analisis terhadap 4 komponen sikap (covert) indikator ESB menunjukkan bahwa komponen motivasi untuk peningkatan kualitas lingkungan permukiman yang dihuni mempunyai skor yang tertinggi (4,18 pada skala 5) seperti merawat rumah, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan pengetahuan penghunian, dan memanfatkan fasilitas lingkungan untuk aktivitas leisure. Skor terendah (2,54) adalah komponen kesadaran dalam berorganisasi, seperti kemauan ikut dan aktif baik perhimpunan penghuni (PPRSK) maupun kelompok-kelompok kegiatan sosial seperti pengajian, arisan dan lain-lain. Komponen tindakan ESB (overt) memperoleh skor tertinggi (4,4) adalah tindakan pelestarian lingkungan, seperti: tindakan menjaga ketertiban, menjaga keamanan lingkungan, kerukunan warga merawat dan memanfaatkan benda dan enerji secara efisien , dan skor terendah (1,27) adalah sama dengan komponen sikap ESB yaitu keaktifan dan keikutsertaan dalam berorganisasi. (

Analisis Biplot menunjukkan bahwa penghuni rusun T21 dan T36 mempunyai kemiripan karakteristik jawaban atas persepsi penghuni rusun, seperti persepsi kondisi ekosistem, fungsional seting hunian, seting spasial, dan persepsi sosial. Persepsi penghuni rusun T18 dan T42 memiliki perilaku karakteristik yang berbeda dengan persepsi penghuni rusun T21 dan T36. Seting spasial T18 mempunyai teras bersama yang lebih luas dapat berfungsi sebagai ruang publik sekelompok hunian yang terletak pada satu lantai yang sama, sehingga dapat menstimulus penghuninya untuk saling berkomunikasi. Penghuni T42 lebih sejahtera dan mayoritas pendidikan penghuninya lebih tinggi dibandingkan dengan penghuni rusun tipe lainnya. Kepadatan penghuni T42 (10.5 m2/jw) memenuhi persyaratan standard kepadatan berdasarkan WHO (10m2/jw) dan Kementerian PU (8m2/jw), dan mempunyai kepadatan penghuni lebih tinggi dibandingkan dengan tipe lainnya ( T18=4.05 m2/jw; T21=5.74 m2/jw; T36=8.88 m2/jw). Namun secara hubungan sosial, analisis Biplot menunjukkan bahwa T18, T21, dan T36 lebih baik dibandingkan T42.

Nilai keragaman ESB di rusun KBBK cukup tinggi dibandingkan nilai keragaman ekosistem, fungsi hunian, permormansi teknis rusun, dan respons spasial yang mempunyai keragaman yang kecil. Nilai keragaman ini ditunjukkan oleh panjang pendeknya atribut vektor pada Biplot. Perilaku ESB lebih dekat dengan T18 dibandingkan dengan tipe lainnya, namun untuk atribut ekosistem, fungsi hunian, dan respons spasial relativ berjarak sama terhadap semua tipe.

(15)

memicu motivasi penghuni untuk meningkatkan kesejahteraan (ESB3) adalah adanya atribut keyakinan akan keberhasilan melakukan perilaku meningkatkan kesejahteraan (E), seperti tindakan meningkatkan kualitas rumah, penghasilan, kesehatan, kesenangan, dan pengetahuan penghunian rusun. Keyakinan akan keberhasilan meningkatkan kualitas rumah, penghasilan, kesehatan, kesenangan, dan pengetahuan penghunian rusun inilah yang akan memicu motivasi penghuni untuk meningkatkan kesejahteraan. ESB3 juga distimulus oleh atribut yang merasakan manfaat dari hasil seseorang berperilaku ESB (F), seperti manfaat dari tindakan meningkatkan kualitas rumah, penghasilan, kesehatan, kesenangan, dan pengetahuan penghunian rusun. Perilaku dalam berkelembagaan penghuni (ESB 4) lebih distimulus oleh atribut anteseden kesadaran lingkungan (A), kemampuan adaptasi (B) dan tata aturan penghunian (D) dibandingkan dengan atribut anteseden lainnya. Tata aturan tinggal di rusun mewajibkan warganya berhimpun dalam perhimpunan penghuni,

Hasil simulasi eksisting sistem dinamik causal loop model dan sub-sub model (sosial, ekonomi, dan lingkungan) menghasilkan bahwa terjadi penurunan jumlah penghuni rusun yang cukup besar dari tahun 2004 hingga tahun 2009, yaitu dari 6.223 jiwa menjadi 5.514 jiwa, dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh jumlah penghuni rusun sekitar 4.368 jiwa. Hal ini positif, karena menuju daya tampung atau daya dukung hunian rusun di KBBK. Tingkat respon spatial atau eco- spatial behavior dari tahun 2004 hingga tahun 2009, yaitu dari 74,43% menjadi 68,96% dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh respons spatial sebesar 60,20%.

Kondisi eksisting ESB cenderung mengalami penurunan dari awal tahun simulasi hingga akhir tahun Pada akhir tahun simulasi (2030) penurunan simulasi yang terjadi berturut-turut antara lain organisasi menurun menjadi 31,31%, coping

menurun menjadi 57,15%, Motivasi sejahtera menurun menjadi 52,70% dan Pelestarian menurun menjadi 40,25%.

Hasil simulasi sub model sosial terlihat penurunan tingkat partisipasi, persepsi penghunian, anteseden dalam berperilaku Pada akhir tahun simulasi (2030) partisipasi menurun menjadi 47,19%, persepsi menurun menjadi 58,26%, anteseden menurun menjadi 59,15% dan sikap dalam berperilaku menurun menjadi 39,42%. Pada sisi lain terjadi penambahan tingkat pendapatan penghuni yang pada tahun akhir simulasi 2030 mengalami peningkatan cukup besar, yaitu Rp. 10.748.689,39. Namun simulasi sub model lingkungan menunjukkan penurunan kualitas lingkungan akhir tahun simulasi (2030) adalah sebesar 56,19%.

Faktor atau komponen yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan penghunian permukiman rusun KBBK dengan analisis AHP didapat : 1) Coping

dan Adjustment, 2) Interaksi Sosial, 3) Standard teknis dan desain spasial yang

adaptabel, dan 4) Fungsional spasial hunian. Berdasarkan keempat kondisi (state) faktor-faktor tersebut disusun skenario (1) Skenario Pesimis, (2) Skenario Moderat, dan (3) Skenario Optimis untuk dapat memprediksi suatu kondisi di masa yang akan datang. Hasil simulasi ketiga skenario tersebut menghasilkan bahwa skenario moderat dan optimis menggambarkan pendekatan ESB dapat menunjang keberlanjutan penghunian rusun. Dari kedua skenario tersebut dipilih kebijakan yang memprioritaskan pada skenario moderat .

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xviii

DAFTAR GAMBAR

xix

DAFTAR LAMPIRAN

xxii

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Kerangka Pikir 5

1.3. Perumusan Masalah 8

1.4. Tujuan Penelitian 10

1.5. Manfaat Penelitian 11

1.6. Novelty 12

II. TINJAUAN PUSTAKA 13

2.1. Konsep Dasar Spatial Lingkungan Buatan 13

2.1.1. Pengertian Spasial 13

2.1.2. Lingkungan Buatan 15

2.1.3. Lingkungan Permukiman Rumah Susun 16

2.2. Perilaku Manusia 23

2.2.1. Pengertian Perilaku 23

2.2.2. Perilaku Manusia dan Interaksinya dengan Lingkungan 24

2.3. Perilaku Spasial 34

2.3.1. Konsep Perilaku Spasial 34

2.3.2. Pola Perilaku Spasial 36

2.3.3. Seting Perilaku 38

2.4. Eco-Spatial Behavior 41

2.4.1. Konsep Eco-Spatial Behavior 41

2.4.2. Prinsip-Prinsip yang dapat Mendukung Eco-Spatial Behavior 42 2.4.3. Indikator Eco-Spatial Behavior Penghunian Rumah Susun 48

2.5. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu 51

2.5.1. Coping Terhadap Rumah Susun 51

2.5.2. Adaptasi Penghuni Terhadap Rumah Sederhana 51 2.5.3. Rumah Susun Bagi Anak, Wanita dan Lanjut Usia 52

(17)

2.6.1. Evaluasi Pascahuni (Post Occupancy Evaluation) 59 2.6.2. Metode Biplot 61

2.6.3. Proses Hierarki Analitik 61

2.6.4. Pendekatan Sistem 63

2.6.5. Model 65

III. METODE PENELITIAN 69

3.1. Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian 69

3.1.1. Pemilihan Lokasi 69

3.1.2. Waktu Penelitian 70

3.2. Jenis Data Pendukung dan Karakteristik Responden 70

3.3. Jenis Data dan Peubah yang Diamati 72

3.3.1. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Performansi Teknis, Fungsi Hunian, dan Perilaku (Tujuan Penelitian 1) 72 3.3.2.Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Performansi ESB

(Tujuan Penelitian 2) 74

3.3.3. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Menemukenali

Anteseden ESB Penghunian Rumah Susun (Tujuan Penelitian 3) 80 3.3.4. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Menyusun

Model ESB Penghunian Rumah Susun (Tujuan Penelitian 4) 82

3.4. Metode Pengumpulan Data 85

3.4.1. Pengumpulan Data untuk Performansi Teknis, Fungsi Hunian,

dan Perilaku (Tujuan Penelitian 1) 85

3.4.2. Pengumpulan Data untuk Performansi ESB (Tujuan Penelitian 2) 86 3.4.3. Pengumpulan Data untuk Menemukenali Anteseden ESB

Penghunian Rumah Susun (Tujuan Penelitian 3) 86 3.4.4. Pengumpulan Data untuk Menyusun Model ESB Penghunian Rumah

Susun (Tujuan Penelitian 4) 86

3.4.5. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 87

3.5. Teknik Analisis Data 87

3.5.1. Teknik Analisis Data untuk Performansi Teknis, Fungsi Hunian,

dan Perilaku (Tujuan Penelitian 1) 89

3.5.2. Teknik Analisis Data untuk Performansi ESB (Tujuan Penelitian 2) 91 3.5.3. Teknik Analisis Data untuk Menemukenali Anteseden ESB

(18)

3.5.4. Teknik Analisis Data untuk Menyusun Model ESB Penghunian

Rumah Susun (Tujuan Penelitian 4) 92

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 101

4.1. Gambaran Umum Kota Baru Bandar Kemayoran 101 4.1.1. Pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran 101 4.1.2. Kondisi Sosial Ekonomi Kelurahan Kebon Kosong 102

4.2. Seting Spasial Rumah Susun Sederhana Kota Baru Bandar Kemayoran 105 4.2.1. Legalitas dan Seting Penghunian Rumah Susun 105

4.2.2. Tipe Unit Rumah Susun 108

4.2.3. Prasarana Lingkungan 114

4.2.4. Fasilitas Lingkungan Rumah Susun 116

4.2.5. Seting Spasial dan Wilayah Administratif Rumah Susun KBBK 117

V. EVALUASI PASCAHUNI 121

5.1. Performansi Teknis Bangunan Rumah Susun 124

5.1.1. Hasil Performansi Teknis 124

5.3.5. Persepsi Penghuni Terhadap Performansi Teknis Rumah Susun 125 5.2. Performansi Fungsional Bangunan Rumah Susun 127

5.2.1. Performansi Fungsional bangunan rumah susun sebagai bangunan

hunian 127

5.2.2. Efektifitas pemanfaatan ruang hunian 130 5.2.3. Persepsi Penghuni Terhadap Fungsional Rumah Susun 136

5.3. Perilaku Penghunian 138

5.3.1. Perilaku Kesejahteraan Penghunian 140

5.3.2. Perilaku Sosial Penghunian 141

5.3.3. Perilaku Penghuni Terhadap Seting Spasial 142 5.3.4. Persepsi Penghuni Terhadap Seting Spasial Rumah Susun 135

VI. ECO-SPATIAL BEHAVIOR PENGHUNIAN RUMAH SUSUN 145

6.1. Pelestarian Lingkungan 145

6.2. Tindak Penyesuaian Diri (Coping) Terhadap Lingkungan 148

6.3. Motivasi Kesejahteraan 151

(19)

6.5. Analisis Keterkaitan Karakteristik Penghuni Rumah Susun

Terhadap ESB 157

VII. ANTESEDEN BERPERILAKU ECO-SPATIAL BEHAVIOR 161

VIII. PENDEKATAN SISTEM 169

8.1. Analisis Kebutuhan Sistem 169

8.2. Formulasi Masalah 170

8.3. Identifikasi Sistem 171

8.4. Simulasi Model 176

8.4.1. Sub-Model Sosial 176

8.4.2. Sub-Model Ekonomi 181

8.4.3. Sub-Model Lingkungan 183

8.5. Simulasi Model Existing 186

8.5.1. Sub-Model Sosial 186

8.5.2. Sub-Model Ekonomi 190

8.5.3. Sub-Model Lingkungan 191

8.6. Validasi Model 193

8.6.1. Validasi Struktur Model 194

8.6.2. Uji Konstruksi Kesesuaian Struktur 194

8.6.3. Uji Kestabilan Struktur 194

8.6.4. Validasi Kinerja Model 198

IX. DESAIN KEBIJAKAN PENGHUNIAN RUMAH SUSUN DI KOTA BARU

BANDAR KEMAYORAN 203

9.1. Penyusunan Skenario 203

9.1.1. Simulasi Model Sosial 209 9.1.2. Simulasi Model Ekonomi 217 9.1.3. Simulasi Model Lingkungan 218

9.2. Perbandingan Simulasi Skenario 220 9.3. Arahan Kebijakan ESB Penghunian Rumah Susun KBBK 224

X. SIMPULAN DAN SARAN 229

(20)
(21)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1 Gejala spasial dan berbagai cara pandangan ilmu 14 2.2 Rumah dalam pemenuhan kebutuhan manusia 18 2.3 Gejala persepsi akibat adanya hubungan interpersonal manusia

dalam suatu seting spasial dan lingkungan spasial yang terbentuk

38

2.4 Variasi perilaku masyarakat midwest yang ditentukan oleh penduduk dalam memanfaatkan waktu terbesarnya

40

2.5 Kasus penghunian suatu permukiman rumah susun 41 2.6 Prinsip – prinsip yang dapat mendukung terwujudnya eco-spatial

behavior

46

2.7 Indikator dan tolok ukur keberhasilan eco-spatial behavior pada penghuni rumah susun

50

2.8 Penelitian terdahulu yang relevan 55

2.9 Skala perbandingan AHP 62

3.1 Jenis data pendukung dan kerateristik responden 71 3.2 Jenis dan sumber data evaluasi pascahuni 72 3.3 Komponen eco-spatial behavior dan aspek yang diukur 74 3.4 Kisi-kisi jenis data sikap peduli terhadap lingkungan (ESB 1) 74 3.5 Kisi-kisi jenis data sikap adaptasi secara mental dalam coping

lingkungan (ESB 2)

75

3.6 Kisi-kisi jenis data motivasi meningkatkan kesejahteraan (ESB 3) 75 3.7 Kisi-kisi jenis data kesadaran berorganisasi ( ESB 4) 75 3.8 Kisi-kisi jenis data tindakan pelestarian fungsi lingkungan (ESB 1) 76 3.9 Kisi-kisi jenis data tindakan coping lingkungan ( ESB 2 ) 76 3.10 Kisi-kisi tindakan meningkatkan kesejahteraan ( ESB 3 ) 76

3.11 Kisi-kisi tindakan berorganisasi ( ESB 4) 76

3.12 Atribut dan komponen berperilaku ESB 78

3.13 Kisi-kisi jenis data anteseden penghuni berperilaku ESB 78

3.14 Data untuk peubah sosial 79

3.15 Kebutuhan data untuk peubah model ekonomi 80

3.16 Kebutuhan data untuk peubah model lingkungan 81 3.17 Tujuan, jenis data, teknik dan keluaran analisis 84 3.18 Jumlah komponen penilaian dan bobot performansi rusun 86 3.19 Struktur matrik data antaseden penghuni berperilaku ESB 88

3.20 Kriteria alternatif pendekatan ESB 91

4.1 Jumlah penduduk kelurahan Kebon Kosong 99

4.2 Jumlah penduduk menurut agama 99

4.3 Mata pencaharian penduduk 100

4.4 Tingkat pendidikan 100

4.5 Jumlah dan lokasi fasilitas kesehatan 101

(22)

Tabel Judul Halaman 4.7 Tipe unit satuan rumah susun dan jumlah berdasarkan

pemanfaatannya

104

4.8 Seting spasial penyusunan RT/RW berdasarkan nama blok dan ti[pe rumah susun

115

5.1 Ketercapaian performansi rumah susun 123

6.1 Bentuk usaha dalam meningkatkan kesejahteraan penghunian 153 6.2 Tipe unit rusun berdasarkan atribut penghuni rusun 158

7.1 Atribut dan komponen berperilaku ESB 163

7.2 Data anteseden penghuni berperilaku ESB 163 7.3 Perbandingan antara sikap dan tindakan berperilaku ESB 166 8.1 Analisis kebutuhan ESB penghunian permukiman rumah susun di

KBBK

169

8.2 Kriteria validasi dengan pedigree matriks Y 199

8.3 Assessment trend data informasi 201

8.4 Perhitungan skor terhadap kriteria penilaian 201 9.1 Alternatif pendekatan ESB berdasarkan kondisi awal seting

spasial dan seting perilaku

203

9.2 Nilai tingkat kepentingan antara aspek seting spasial fungsional dan perilaku ESB

205

9.3 Hasil interpretasi kondisi eksisting dan tiap skenario 207 9.4 if f Faktor-faktor penentu tingkat kepentingan faktor-faktor yang

berpengaruh pada sistem ESB penghunian rumah susun KBBK

207

9.5 Hasil perbandingan dan persen perbedaan tiap skenario 221 9.6 Keterkaitan arahan kebijakan antara faktor dominan dan

komponen pendekatan ESB penghunian rumah susun

224

(23)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1.1 Skema rumusan masalah 8 1.2 Bagan kerangka berpikir 11 2.1 Proses menghuni sebagai interaksi antara impian dan

kenyataan

22

2.2 Komponen sikap menyatu dalam kontinum evaluatif 27

2.3 Konsepsi skematik hirarki sikap 28

2.4 Pengaruh individu dan lingkungan terhadap perilaku dapat melalui proses 1 maupun proses 2

31

2.5 Model tindak penyesuaian diri 33

2.6 Bentuk coping yang terdiri dari adaptasi dan adjustment 33 2.7 Paradigma perilaku, pemahaman ruang, dan perilaku

spasial

35

2.8 Interface antara perilaku manusia dan lingkungan 36

2.9 Perilaku spasial melalui proses perilaku individu 37

2.10 Proses evaluasi pascahuni 60

2.11 Tahap pendekatan sistem 65

3.1 Lokasi penelitian 70 3.2 Tahap penelitian dan analisis yang digunakan 89 3.3 Teknik analisis dan tahapan penyusunan skenario

pendekatan ESB penghunian rusun

93

3.4 Struktur hirarki pemilihan alternatif pendekatan ESB penghunian rumah susun

95

4.1 Rencana induk bagian wilayah Kota Baru Bandar Kemayoran

102

4.2 Rencana tata letak rumah susun Kota Baru Bandar Kemayoran

107

4.3 Denah lantai dasar dan tipikal T 18A 109

4.4 Denah lantai dasar dan tipikal T 18B 110

4.5 Denah lantai dasar dan tipikal T 21 111

4.6 Denah lantai dasar dan tipikal T 36A 112

4.7 Denah lantai dasar dan tipikal T 36B 113

4.8 Denah lantai dasar dan tipikal T 42 114

4.9 Pembagian wilayah administrasi kelurahan 118

4.10 Seting pengelompokan blok rumah susun 119

5.1 Ketercapaian performansi teknis 125

5.2 Diagram balok dan boxplot persepsi performansi teknis 126

5.3 Bagian bangunan yang kurang terawat 127

(24)

Gambar Judul Halaman 5.7 Tempat-tempat dan suasana tempat bermain anak 133 5.8 Tempat remaja bermain dan panggung hiburan sebagai

salah satu tempat berkumpul remaja dalam berekspresi

134

5.9 Selasar/teras bersama yang lua dan dapur bersama unit rumah susun T18 sebagai tempat bersosialisasi antar warga penghuni

135

5.10 Warung yang terletak di lantai dasar dan halaman di sekitar unit rumah susun T21, T36, dan T42 sebagai tempat bersosialisainya antar warga penghuni

135

5.11 Tempat sosialisasi warga dan suasana halaman sebagai tempat sosialisasi antar warga

136

5.12 Diagram balok dan boxplot persepsi fungsi hunian 137 5.13 Diagram balok dan boxplot persepsi penghunian 138 5.14 Diagram balok dan boxplot persepsi kesejahteraan 139 5.15 Diagram balok dan boxplot persepsi sosial 140 5.16 Diagram balok dan boxplot persepsi kondisi lingkungan 141 5.17 Diagram balok dan boxplot persepsi spasial lingkungan

hunian

142

6.1 Diagram balok sikap kepedulian pelestarian lingkungan hunian rumah susun

146

6.2 Tindakan pelestarian lingkungan hunian rumah 147 6.3 Diagram balok dan boxplot coping mental penghunian

h susun

148

6.4 Bentuk coping tindakan adjusment terhadap unit rumah susun yang di huni

150

6.5 Coping tindakan penghunian rumah 151

6.6 Coping tindakan berdasarkan sifat ruang 151 6.7 Motivasi kesejahteraan penghuni rumah susun 152 6.8 Sikap dan tindakan penghuni rumah susun dalam

berorganisasi

154

6.9 Seting spasial hunian rumah susun di KBBK terkait dengan tempat-tempat berorganisasi

156

6.10 Sikap dan tindakan penghuni rumah susun dalam berperilaku ESB

157

6.11 Biplot penghunian rumah susun di KBBK 158

7.1 Skema anteseden penghuni berperilaku ESB 162

7.2 Biplot anteseden berperilaku ESB 164

7.3 Biplot anteseden ABCD terhadap ESB 164 7.4 Hubungan komponen ESB terhadap atribut anteseden 165 7.5 Keterkaitan antar komponen eco- spasial behavior 168 8.1 Variabel – variabel yang mempengaruhi pengembangan

ESB penghunian rumah susun KBBK

173

8.2 Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perilaku spasial pada permukiman rumah susun

(25)

Gambar Judul Halaman 8.3 Diagram lingkar sebab akibat sub-model sosial 177 8.4 Stock flow diagram sub-model sosial dalam sistem

pendekatan ESB penghunian rumah susun KBBK 178 8.5 Diagram lingkar sebab akibat sub-model ekonomi 181

8.6 Stock flow diagram sub-model ekonomi dalam sistem

pendekatan ESB penghuni rumah susun di KBBK 182 8.7 Diagram lingkar sebab akibat sub-model lingkungan 184 8.8 Stock flow diagram sub-model lingkungan dalam sistem

pengembangan ESB penghunian rumah susun KBBK 188 8.9 Simulasi model pertambahan dan pengurangan

penghuni rumah susun

186

8.10 Simulasi model tingkat kesejahteraan penghuni rumah susun

187

8.11 Simulasi model tingkat respons spasial penghuni rumah susun

187

8.12 Simulasi model untuk keaktifan berorganisasi, coping

dalam beradaptasi, motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepedulian dalam melestarikan

lingkungan 188

8.13 Simulasi model tingkat kecukupan penggunaan 189 8.14 Simulasi model tingkat partisipasi, persepsi, anteseden,

dan sikap perilaku penghuni rumah susun 190 8.15 Simulasi model ekonomi berdasarkan tingkat

pendapatan penghuni rumah susun 190 8.16 Simulasi model lingkungan berdasarkan kualitas

lingkungan

191

8.17 Simulasi model jumlah sampah 192

8.18 Simulasi model jumlah limbah 192

9.1 Skematik hirarki pendekatan ESB pada penghuni rumah susun

204

9.2 Hasil AHP pendekatan ESB pada penghuni rumah susun 206 9.3 Simulasi model pertambahan dan pengurangan

penghuni rumah susun

210

9.4 Simulasi model tingkat kesejahteraan penghuni rumah susun

211

9.5 Simulasi model tingkat respons spasial penghuni rusun 212 9.6 Simulasi model tingkat kecukupan penggunaan pada

kondisi optimis, moderat, pesimis, dan eksisting. 213 9.7 Simulasi model tingkat partisipasi, persepsi, anteseden

dan sikap penghuni rumah susun kondisi pesimis. 215 9.8 Simulasi model untuk ESB pada kondisi optimis,

moderat, pesimis, dan eksisting. 217 9.9 Simulasi model ekonomi berdasarkan tingkat

pendapatan penghuni rumah susun 217

(26)

Gambar Judul Halaman lingkungan

9.11 Simulasi model jumlah sampah 219

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1. Lampiran Bab V. Evaluasi Pascahuni 247

2. a. Penilaian Performansi Teknis 251

3. b. Penilaian Performansi Fungsi Hunian 251 4. Lampiran Bab VI - ESB Penghunian Rumah Susun 252 5. Lampiran Bab VIII - Pendekatan Sistem 254 6. Lampiran Bab IX - Desain Kebijakan Penghunian

Rumah Susun di KBBK

259

7. Kuesioner 273

(28)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bertambahnya jumlah penduduk dan sempitnya lahan untuk kegiatan pembangunan dan pertanian merupakan salah satu masalah dunia yang dihadapi dewasa ini, baik di perdesaan maupun di perkotaan (Santun, 2006). Gejala ini dapat dilihat dari meningkatnya penduduk dunia yang tinggal di kota dari 1,983 milyar pada tahun 1985, 3 milyar pada tahun 2000 dan akan mencapai 5 milyar pada tahun 2025 (WCED, 1988; SKEPHI), Hal ini juga terjadi di Indonesia, jumlah penduduk perkotaan dalam beberapa dekade mengalami pertambahan yang sangat pesat. Pada tahun 2004 persentase penduduk perkotaan mencapai 48,3 persen. Kondisi ini terus meningkat seperti keadaan tahun 1971 yang hanya sebesar 17,4 persen menjadi sebesar 22,27 persen pada tahun 1980 dan pada tahun 1995 sebesar 35,9 persen. Diperkirakan pada tahun 2025 proporsi penduduk perkotaan akan mencapai 68,3 persen (Indrawati, 2005).

Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia semakin mengkota dan kota semakin mendunia, diikuti dengan sistem ekonomi yang semakin menuju pada sistem ekonomi perkotaan, dengan jaring-jaring komunikasi, produksi, dan perdagangan yang saling tumpang tindih (WCED, 1988). Pesatnya kegiatan perekonomian pada kota-kota besar tersebut umumnya diikuti dengan fenomena ekslusivisme permukiman kota dan kian meningkatnya kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat kota. Sementara itu, di tingkat internal kota muncul tantangan meningkatnya permintaan terhadap pelayanan publik, seperti transportasi massal, air bersih dan sanitasi, enerji, pekerjaan yang layak, perumahan dan lingkungan yang aman, bersih serta sehat (Indrawati, 2005).

(29)

mampu meningkatkan1 kapasitasnya untuk menghasilkan dan mengelola infra struktur, pelayanan, dan permukiman perkotaannya. Salah satu upaya yang pernah dicoba untuk mengatasi besarnya tantangan perkotaan di DKI Jakarta tersebut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Inpres No. 13/1976 tentang Pengembangan Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) untuk meringankan tekanan penduduk DKI Jakarta. Kebijakan ini ternyata sampai dengan tahun 1997 telah mendorong dikeluarkannya 1.592 Ijin Lokasi untuk pembangunan perumahan dan permukiman seluas 121.631 ha oleh Pemda setempat. Dinyatakan Bappeda DKI (1997) dalam Properti Indonesia, Oktober 1997, bahwa pada tahun 1997 Kabupaten dan Kodya Bogor telah bertambah 130 permukiman baru; Kabupaten dan Kodya Bekasi bertambah 107 permukiman baru; dan Kabupaten dan Kodya Tangerang bertambah 152 permukiman baru. Jumlah tersebut baru merupakan realisasi sebagian dari 1.592 Ijin Lokasi, dan baru mencapai 16.609 ha dari 121.631 ha.

Kebijakan tersebut, di sisi lain ternyata berdampak negatif pada kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Dari 193 situ yang ada di Jabotabek, 65% menjadi permukiman dalam kurun waktu 20 tahun terakhir; luas area DKI yang terkena banjir dari 21,36% tahun 1992 menjadi 79,71% pada tahun 2002 (Bappeda, 2002); alokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 1965-1985: 37% turun menjadi 25,85% pada RTRW 1985-2005, kini RTH yang dialokasikan RT/RW 2005-2010 tinggal 13,94% (Yoga, 2006), ironisnya kini RTH di DKI Jaya tinggal 9% . Akibat ketidaksiapan Pemerintah Kota dalam mengelola lingkungan menyebabkan kualitas udara Jakarta menduduki peringkat terkotor ke 3 di dunia. Ketidaksiapan ini juga memberikan dampak sosial dalam bentuk kriminal seperti perampokan, penodongan, dan penggunaan narkoba yang menurut data adalah merupakan tiga kejahatan yang paling kerap terjadi (Kusumawijaya, 2006).

Ketidak-sanggupan Pemerintah Kota dalam meningkatkan pelayanan infra struktur dan permukiman mengakibatkan menjamurnya permukiman kumuh dan liar2 dengan kepadatan yang terus meningkat, diikuti dengan berjangkitnya

1 WCED (1988) menyebutkan diperlukan peningkatan fasilitas pelayanan hingga 65 % dalam kurun waktu 15 tahun hingga tahun 2000-an.

(30)

penyakit menular yang berkaitan dengan lingkungan yang kurang sehat3. Masalah permukiman kumuh dan permukiman liar tersebut apa bila tidak dibenahi akan terus meningkat. Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992 mengamanatkan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di sektor permukiman dan lingkungan hidup, maupun sektor lainnya seperti sektor pertambangan dan energi, serta transportasi yang telah diratifikasi oleh banyak negara termasuk Indonesia.

Beberapa upaya dan kebijakan stratejik dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk mengurangi peningkatan dampak negatif dari kebijakan pembangunan permukiman dan memperbaiki kualitas lingkungan permukiman kumuh dan liar di perkotaan. Lima kebijakan pengelolaan lingkungan untuk memecahkan masalah lingkungan permukiman kumuh dan liar adalah (1) program pemindahan penduduk, (2) bantuan penataan lingkungan permukiman, (3) perbaikan kampung, (4) rehabilitasi kawasan kumuh, (5) peremajaan lingkungan4 permukiman kumuh dan membangun permukiman susun (Komarudin, 1999).

Membangun permukiman susun melalui kegiatan peremajaan lingkungan merupakan upaya yang menjadi prioritas Pemerintah Daerah dalam merehabilitasi kawasan kumuh di perkotaan. Di sisi lain, peralihan kebiasan atau budaya menghuni permukiman tidak susun (landed houses) ke permukiman susun akan memunculkan permasalahan penghunian bagi penghuni terutama dalam beradaptasi dengan lingkungan permukiman rumah susun. Ketidakmampuan beradaptasi ini dapat menimbulkan tekanan jiwa (stress) dan gangguan kesehatan pada penghuninya (Bell, 1978; Holahan, 1982; Wirawan 1992). Frick (2006) mengatakan, interaksi sosial antar manusia dalam rumah susun seringkali kurang akrab dibandingkan dengan kampung atau desa. Kehidupan sosial di rumah susun yang dikenal sebagai kehidupan masyarakat modern menuntut kesiapan sikap, perilaku, dan pola hidup tertentu. Pada umumnya dijumpai bahwa kondisi penghuni belum dibekali oleh sikap dan kesiapan mental maupun perilaku yang cocok untuk hidup di rumah susun.

3 Di Jakarta 25,82% rumah tidak mempunyai got atau mempunyai got tetapi alirannya lambat dan tergenang, 59,43%

rumah tangga merasakan gangguan polusi (BPS, 2004).

4 Prinsip peremajaan lingkungan permukiman kumuh adalah memukimkan kembali penghuni permukiman kumuh

(31)

Mayoritas calon penghuni bertahun-tahun tinggal dan hidup di lingkungan permukiman kumuh yang serba tidak teratur dan tidak tertib harus menempatkan diri ke dalam pola hidup masyarakat rumah susun (bertingkat) yang serba teratur, tertib, tertata, terbatas teritorinya, dan dikendalikan oleh peraturan dan norma-norma sosial tertentu. Proses pengubahan sistem nilai seperti tersebut memerlukan waktu dan proses belajar yang cukup lama. Masyarakat yang bertahun-tahun terbiasa hidup dengan pola dan gaya hidup mereka sendiri, bertetangga yang sifatnya horizontal, harus menyesuaikan diri pada lingkungan permukiman baru yang sama sekali berbeda. Hidup yang biasa melekat dengan tanah, bercocok tanam, memelihara unggas/ binatang, dibiasakan untuk hidup bertetangga secara vertikal, keluar rumah harus naik-turun tangga, tidak gaduh, tenggang rasa antar tetangga dan antara etnik, toleransi menggunakan dan memelihara ruang dan benda bersama, menjaga kebersihan di ringkungan unit masing-masing, dan mentaati peraturan dan tata tertib yang berlaku. Beberapa perilaku yang sering terjadi di lingkungan permukiman rumah susun misalnya duduk-duduk di tangga, bersuara keras, menyetel radio/tape/televisi keras-keras, anak-anak berlarian di selasar dan berteriak-teriak, membuang sampah tidak pada tempatnya, meletakkan barang bekas di ruang bersama, menjemur pakaian di jendela/balkon, dan kurang peduli terhadap kehidupan tetangga dan kebersihan lingkungan. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan kultural

(cultural gap) antara kehidupan di permukiman tidak susun dengan

kehidupan di rumah susun, penghuni menjumpai suatu kondisi yang berbeda sama sekali dengan apa yang dialami sebelumnya di hunian tidak bertingkat atau susun, mereka mengalami kejutan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Kesenjangan kultural ini dimungkinkan karena menurut psikolog John S. Nimpuno bahwa tingkah laku manusia tidak bisa dilepaskan dari ketergantungannya pada tiga sistem, yaitu sistem lingkungan hidup biofisik, sistem sosial dan sistem konsep/orientasi budaya (Darmiwati, 2000).

(32)

rumah susun di Pruitt-Igoe, St Louis, Missori AS, sehingga permukiman rumah susun tersebut dihancurkan pada tahun 1972.

Kesenjangan kultural tersebut di atas dapat menimbulkan sikap negatif penghuni terhadap lingkungan permukiman rumah susun, sikap tersebut dapat mendorong pada kondisi permukiman yang tidak berkelanjutan atau fungsi lingkungan permukiman tidak lestari. Fungsi lingkungan permukiman akan terlaksana dengan optimal bila didukung oleh sikap positif penghuni terhadap lingkungan, baik secara kognisi, afeksi, maupun konasi, juga didukung adanya peningkatan motivasi hidup sehat, serta peningkatan status sosial ekonomi yang mencakup pendidikan, pendapatan, kualitas rumah, dan kualitas hidup (Harsiti, 2002, Gamal, 2009). Bila fungsi lingkungan permukiman ini bisa lestari dan berkelanjutan pada ujungnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai penghuninya, seperti yang dinyatakan oleh Kirmanto (2002), bahwa dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya terlihat bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat masyarakat tinggal.

Uraian tersebut di atas menunjukkan adanya transaksi antara individu (manusia) dengan seting fisiknya Gifford (1987), seperti juga yang dikemukakan Kurt Lewin dalam teori medan (field theory) bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungannya. Adanya hubungan timbal balik5 ini, maka diperlukan kegiatan penelitian yang mengevaluasi apakah performansi seting lingkungan buatan (rumah susun) yang dibangun untuk meremajakan lingkungan tidak menimbulkan permasalahan baik secara teknis, fungsional maupun perilaku bagi penghuninya, dan apakah performansi perilaku penghuni sudah berperilaku ekologis? Sehingga diharapkan dapat menjaga kualitas lingkungan secara berkelanjutan selama dihuni. Frick (2006), menyatakan bahwa di Indonesia masih sangat miskin akan penelitian tersebut, apalagi suatu penelitian yang menggabungkan kegiatan evaluasi pascahuni dan evaluasi perilaku ekologis ke dalam suatu model eco-spatial behavior (ESB) yang dapat memprediksikan kualitas lingkungan rumah susun dimasa mendatang berdasarkan berbagai skenario penghunian.

(33)

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan penelitian evaluasi performansi seting rumah susun dan performansi perilaku ekologis penghuni hasil peremajaan lingkungan, serta penyusunan model pendekatan ESB penghunian rumah susun. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi adanya interaksi antara perilaku penghuni dengan seting spasial huniannya kepada stakeholder yang terkait dengan permukiman, khususnya hunian rumah susun.

1.2. Perumusan Masalah

Membangun rumah susun tidak sekedar membangun bangunan fisik rumah saja, tetapi juga mencakup aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat penghuni. Oleh karena itu rumah susun secara teknis dan fisik harus bisa dihuni

(livable), secara sosial budaya harus sesuai kebiasaan budaya penghuni

(habitable), dan bisa dihuni secara berkelanjutan (sustainable) baik secara

sosial, ekonomi, dan lingkungan atau ekologis (Timmer and Seymoar, 2006; Fann, 2006; Munasinghe, 1993)

(34)

maupun sosial budaya yang akhirnya dapat mempengaruhi kualitas lingkungan huniannya.

Dikemukakan Kirmanto (2002), bahwa kualitas sumber daya manusia di masa datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat masyarakat tinggal (rumah susun), karena manusia sangat bergantung pada sistem lingkungan hidup biofisik, dan dua sistem lainnya, yaitu sistem sosial, dan sistem konsep/orientasi budaya (Darmiwati, 2000). Untuk mengetahui kualitas lingkungan permukiman rumah susun perlu dilakukan penilaian (evaluasi) baik evaluasi kehidupan sosial budaya maupun evaluasi seting spasial. Penelitian ini lebih difokuskan pada evaluasi seting spasial, walaupun tetap memperhatikan aspek lainnya. Evaluasi seting spasial merupakan evaluasi pascahuni (POE) untuk mengetahui performansi dari behavior setting rumah susun yang mencakup performansi teknis, performansi fungsi, dan perilaku spasial (Snyder dan Catanese, 1979). Apakah performansi behavior setting

tersebut dapat mendukung kualitas lingkungan rumah susun di masa mendatang atau tidak, bila tidak apakah diperlukan model pendekatan penghunian lain (

eco-spatial behavior) agar aktivitas penghunian pada behavior setting rumah susun

dapat berkelanjutan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah performansi penataan (behavior setting) rumah susun di KBBK telah memenuhi aspek teknis, fungsional, dan perilaku?

2. Apakah penghuni rumah susun di KBBK dalam memanfaatkan kemanfaatan lingkungan/ruang sudah berperilaku ESB?

3. Aspek-aspek utama apa saja yang mendahului situasi (anteseden) respons penghuni agar berperilaku ESB dalam penghunian di rumah susun KBBK?

4. Apakah diperlukan penyusunan skenario pendekatan penghunian ESB di rumah susun KBBK?.

(35)
[image:35.595.80.504.76.776.2]

Gambar 1.1 Skema Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengkaji dan memberikan pemikiran tentang konsep pendekatan ESB dalam penghunian rumah susun, dilanjutkan dengan menyusun alternativ solusi melalui permodelan ESB yang kemudian diterapkan melalui kebijakan penghunian dalam mengelola kualitas lingkungan rumah susun di KBBK secara berkelanjutan.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengevaluasi performansi pascahuni yang mencakup performansi teknis, fungsi hunian dan perilaku penghunian rumah susun di KBBK.

b. Mengevaluasi performansi ESB aktivitas penghunian di rumah susun KBBK. Pemrograman Behavior Setting Respons Spasial Penyusunan Model ESB Perancangan behavior Setting Pelaksanaan Pembangunan Penghunian Evaluasi Spasial  Teknis  Fungsional  Persepsi  Perilaku ESB

Respons Sosekbud Evaluasi Sosekbud Fokus penelitian Permasalahan

adaptasi spasial & spatial behavior Permasalahan

adaptasi sosekbud

Efek terhadap  Fisik  Psikologis  Sosekbud Efek terhadap

 Fisik  Psikologis  Sosekbud

Peremajaan lingkungan

melalui pembangunan

rusun yang :

(36)

c. Menemu-kenali aspek utama yang mendahului situasi (anteseden utama) respons penghuni agar berperilaku ESB dalam aktivitas penghunian di rumah susun KBBK.

d. Menyusun skenario pendekatan ESB penghunian di rumah susun KBBK.

1.4. Kerangka Pikir

Salah satu masalah yang mendapat perhatian masyarakat dunia dan telah dituangkan ke dalam Agenda 21 di Rio de Janeiro tahun 1992 adalah pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di sektor permukiman dan lingkungan hidup. Peremajaan lingkungan perkotaan melalui pembangunan rumah susun adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di sektor tersebut.

Berkaitan dengan hal peremajaan lingkungan permukiman di perkotaan khususnya DKI Jakarta, Pemerintah Pusat melalui Surat Menteri Sekretaris Negara No 12.130/M/SEKNEG/1987 menetapkan peruntukan sebagian tanah komplek Kemayoran6 untuk pembangunan rumah susun, kemudian Menteri Negara Perumahan Rakyat melalui Perum Perumnas membangun rumah susun di kawasan tersebut sebanyak 8.252 berbagai tipe unit satuan rumah susun dan berbagai tipe unit untuk usaha (Perumnas, 1990), yang sejak 1992 sudah dihuni kembali oleh penghuni sekitar peremajaan lingkungan permukiman.

Agar penghunian kembali permukiman rumah susun ini dapat mendukung permukiman yang berkelanjutan7 baik berkelanjutan secara ekonomi, sosial maupun ekologis, maka behavior setting8 permukiman rumah susun seyogyanya juga merujuk pada ketiga indikator keberlanjutan tersebut, yaitu behavior setting

untuk aktivitas individu & sosial, behavior setting untuk aktivitas ekonomi, dan

behavior setting yang berkaitan pengelolaan lingkungan permukiman rumah

susun.

6 Lahan seluas 454 ha ex Bandara Internasional Kemayoran (yang dikelola Setneg) yang kosong sejak Bandara

tersebut dipindahkan ke Cengkareng. Lahan tersebut dimanfaatkan sebagai momen untuk menata permukiman kumuh yang dihuni oleh 4.902 Kepala Keluarga (pemilik, penyewa, penggarap) di sekitar wilayah tersebut yaitu di Kelurahan Gunung Sahari Selatan, PademanganTimur, dan Kebon Kosong (Perumnas, 1990.

7 Pembangunan berkelanjutan hendaknya mencakup tiga komponen yaitu keberlanjutan secara ekosistem,

ekonomi, dan sosial (Munasinghe, 1992 dalam Bunasor, 2006).

8 Behavioral Setting didefinisikan sebagai pola perilaku kelompok, (bukan perilaku individu) yang terjadi sebagai

(37)

Penghunian kembali ini mengakibatkan terjadinya interaksi manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini dapat menimbulkan berbagai dampak fisik maupun dampak psikologis, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif merupakan sesuatu yang diharapkan oleh para perancang lingkungan buatan (arsitek) atau perancang behavior setting, namun menurut Holahan (1982) sebagian besar hasil rancangan arsitek ternyata telah gagal mempertemukan kebutuhan perilaku (behavioral need) pemakainya. Penyataan ini ternyata dirasakan pula oleh penghuni rumah susun Kota Baru Bandar Kemayoran (KBBK). Mereka merasakan bahwa Rumah Susun yang dihuni belum sesuai dengan yang diharapkan, karena adanya peralihan kebiasaan dari menghuni permukiman horisontal (landed houses) menuju kebiasaan baru tinggal di permukiman rumah susun. Peralihan kebiasaan ini akan memunculkan permasalahan penghunian bagi penghuni dalam beradaptasi dengan lingkungan permukiman rumah susun. Ketidakmampuan beradaptasi ini dapat menimbulkan tekanan jiwa (stress) dan gangguan kesehatan pada penghuninya (Bell, 1978; Holahan, 1982; Wirawan 1992), yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas permukiman yang dihuni itu sendiri. Oleh karena itu untuk mengetahui kesenjangan antara kebutuhan penghunian penghuni dan hasil rancangan

behavior setting tersebut diperlukan suatu evaluasi yaitu evaluasi pascahuni atau

Post Occupancy Evaluation9 (POE) untuk mengetahui performansi teknis, fungsi

spasial, dan perilaku spasial penghunian.

Interaksi antara penghuni dan seting lingkungan buatan untuk aktivitas penghunian (behavior setting penghunian) rumah susun menghasilkan respons

spatial behavior10 (perilaku spasial) bagi penghuninya. Baik itu respons yang

dapat merangsang penghuni berperilaku ekologis (eco-spatial behavior)11 melalui evaluasi performansi ESB, maupun respons spatial behavior tanpa adanya pengaruh dari perilaku ekologis melalui POE.

Edward Chase Tolman (1886-1959), menyatakan bahwa respons penghuni terhadap behavior setting dipengaruhi oleh situasi dan hal-hal yang mendahului situasi tersebut atau antecedent. Oleh karena itu diperlukan suatu pengamatan

9 POE adalah pengujian efektivitas sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia (Snyder dan Catanese, 1979.

Diterjemahkan Sangkayo, 1984)

10 Spatial Behavior adalah cara bagaimana manusia menggunakan suatu setting lingkungan atau kemanfaatan

(affordances) lingkungan (Laurens, 2005), atau sebaliknya yaitu spatial behavior merupakan perwujudan setting (tatanan) phisik ruang akibat dari perilaku manusia terhadap ruang dan fluktuasi dari unsur-unsur sistem nonsensate. (Golledge & Stimson, 1997 : 5-7).

11 Eco Spatial Behavior adalah spatial behavior yang memperhatikan prinsip-prinsip ekologis (keseimbangan,

(38)

yang dapat mengetahui anteseden utama apa yang dapat menstimulus penghuni agar berperilaku ESB.

Agar dapat menjawab tujuan penelitian tersebut di atas, serta menghasilkan rekomendasi behavior setting yang mampu merangsang respons penghuni agar berperilaku keruangan yang ekologis diperlukan suatu model ESB penghunian rumah susun dengan tujuan bisa mendorong penghunian rumah susun menghasilkan permukiman rumah susun yang berkelanjutan di kawasan peremajaan lingkungan KBBK.

[image:38.595.94.559.281.704.2]

Secara skematis kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut ini:

(39)

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoretik

a. Sebagai evaluasi ada tidaknya penerapan pendekatan ESB dan faktor lain dalam penghunian rumah susun yang mempengaruhi situasi di lokasi penelitian.

b. Memberikan kontribusi terhadap pengetahuan lingkungan dalam hal adanya interaksi timbal balik antara perilaku penghuni dan penataan (setting) lingkungan buatan.

1.5.2. Manfaat Praktis

a. Hasil evaluasi pascahuni suatu peremajaan lingkungan permukiman dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan untuk peremajaan lingkungan yang akan datang. b. Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan dan

pengembang dalam perencanaan permukiman baru (peremajaan kota) yang berorientasi pada pelestarian fungsi lingkungan permukiman, kemampuan coping lingkungan penghunian rumah susun, peningkatan kesejahteraan, dan peningkatan kesadaran institusi sosial.

c. memberikan masukan dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan penghunian permukiman baru (permukiman rumah susun).

1.6. Novelty

Novelty penelitian ini adalah menghasilkan model pendekatan ESB pada penghunian rumah susun di KBBK berdasarkan hasil evaluasi pascahuni (Post

Occupancy Evaluation) yang lazim dilakukan untuk desain lingkungan buatan

dan hasil evaluasi perilaku penghuni dalam menjangkau kemanfaatan setting

behavior penghunian rumah susun agar penghuni berperilaku ESB. Model ini

berkemampuan untuk:

1. Mengukur performansi ESB, teknis spasial, fungsi spasial, dan perilaku spasial penghuni

(40)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini membahas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan ruang dan perilaku manusia di dalamnya, terutama seting ruang yang dapat mendorong perilaku spasial yang memperhatikan prinsip-prinsip ekologis

(Eco-Spatial Behavior). Berkaitan dengan hal tersebut akan dibahas teori-teori

yang berkaitan dengan: (1) spasial dari lingkungan buatan rumah susun; (2) makna dan konsep rumah susun melalui pemahaman hakekat rumah dan kebutuhan manusia akan rumah; (3) perilaku manusia dan interaksinya dengan lingkungan serta sikap manusia terhadap lingkungan maupun perilaku manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan; (4) konsep pembangunan yang berkelanjutan melalui pemahaman akan pengertian pembangunan berkelanjutan dan upaya pelestarian fungsi lingkungan; (5) konsep model; dan (6) penelitian terdahulu yang relevan, seperti uraian di bawah ini.

2.1. Konsep Dasar Spasial Lingkungan Buatan

2.1.1. Pengertian Spasial

Istilah spasial berasal dari kata bahasa Inggris spatial yang mempunyai arti segala sesuatu yang berkenaan dengan ruang (space), tetapi bukan ruangan yang diartikan sebagai room (bahasa Inggris). Oleh karena itu, penggunaan terjemahan spatial menjadi spasial dalam bahasa Indonesia untuk menghindari kerancuan pengertian yang sempit sebagai

room tersebut.

Banyak para ahli menggunakan istilah “Ruang” sebagai tempat kehidupan, dengan demikian pengertian ruang tidak lain adalah biosphere

yang merupakan persinggungan antara lithosphere, hydrosphere, dan

atmosphere (Miller,1985), dan Rustiadi (2006) menempati ruang berkisar 3

(41)

Grolier Webster International Dictionary, ruang dapat diartikan sebagai area tiga dimensi yang ukurannya dapat tak terbatas 12.

Para ahli, pengertian spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan yang berlatar belakang sosial (Rustiadi, dkk. 2000). Dalam perspektif geografi, pengertian spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala sesuatu yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu tempat atau lokasi secara geografi sangat jelas, tegas, dan lebih terukur karena setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Domain kajian spasial dalam ilmu geografi lebih fokus pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial. Perspektif ilmu sosial ekonomi (termasuk ilmu kewilayahan) tidak mendefinisikan spasial dalam bahasa posisi sebagai lokasi kuantitatif, melainkan lebih kepada makna atau masalah yang ada di dalamnya (seperti makna dan permasalahan yang ada di desa, kota atau hinterland ). Segala aspek spasial yang dijelaskan dalam geografi hanya akan memiliki makna dalam kaca mata ilmu sosial-ekonomi jika dipahami ada masalah dan ada pemahaman sosial ekonomi di atasnya. Ilmu psikologi membagi spasial berdasarkan bagaimana individu mempersepsikan ruang di sekitarnya, apakah bersifat pribadi atau publik.

Perbedaan cara pandang tersebut di atas, dapat dijelaskan lebih rinci melalui komponen atau gejala yang dapat menimbulkan kesan spasial antara ilmu sosial-ekonomi dan ilmu geografi, seperti yang disajikan dalam Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Gejala spasial dari berbagai cara pandang ilmu

Komponen / gejala adanya Spasial Geografi Sosial Ekonomi & Ilmu

kewilayahan

Psikologi

Golledge (1997) 1. Movement

2. Network (paths)

3. Nodes (intersections)

4. Nodal Hierarchies

5. Areas

Rustiadi (2006) 1. Jarak 2. Arah 3. Posisi

Gifort & Golledge (1997), Bell (1978), Holahan (1982) 1. Personal space

2. Territoriality, 3. Crowding & density, 4. Privasi

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian spasial adalah segala sesuatu mengenai ruang, baik ruang daratan, lautan,

(42)

maupun ruang udara yang di dalamnya terdapat aktivitas kehidupan yang dapat terukur secara kuantitatif, makna, maupun persepsinya.

Rekonstruksi pemikiran atau pemahaman suatu ruang atau Spatial

Cognition ini, direpresentasikan melalui struktur, entities, dan hubungan

dari suatu spasial. Downs dan Stea (1977), proses menggabungkan atau menyusun transformasi psikologis individu dalam menyimpan, memanggil, dan menandai informasi tentang lokasi dan atributnya suatu fenomena keseharian lingkungan spasial disebut dengan pemetaan kognitif (cognitive

mapping), yang sangat bergantung peta kognitif (cognitive map). Salah

satu kegunaan peta kognitif untuk mengetahui perilaku spasial seseorang. Merekonstruksikan ini dibutuhkan suatu keterampilan yang disebut dengan

spatial abilities, Golledge (ibid),spatial abilities di antaranya meliputi :

a. Kemampuan berpikir secara geometri

b. Kemampuan menggambarkan hubungan ruang yang kompleks secara 3 dimensi maupun 2 dimensi.

c. Kemampuan menyusun fenomena variasi pola spasial pada skala yang berbeda.

d. Kemampuan mengintepretasi hubungan spasial secara makro baik untuk distribusi sebaran penduduk, vegetasi maupun tanah.

e. Kemampuan menyusun gambaran spasial ke dalam bentuk tulisan, dan lainnya.

2.1.2. Lingkungan Buatan

(43)

bahwa lingkungan tidak saja yang ada di sekeliling kita, tetapi semua keadaan yang diperoleh dalam kehidupan dan perilaku manusia.

Sejak manusia muncul di bumi, lingkungan alami mengalami perubahan, karena perilaku manusia dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup. Lingkungan yang tadinya alami berubah secara drastik menjadi ”lingkungan buatan manusia”(man-made environment), baik itu akibat aktivitas pertanian, manufaktur, maupun permukiman di perkotaan atau di pedesaan. Oleh karena itu para ahli dalam bidang lingkungan seperti Otto Soemarwoto, Soerjani, Emil Salim, Rambo, Roberts (1984), dan yang lainnya membagi lingkungan hidup menjadi tiga jenis yaitu: (l) lingkungan alam meliputi udara, air, tanah, dan organisme yang berada dalam kelompok tanaman atau hewan hidup, (2) lingkungan buatan (built

environment) dan (3) lingkungan sosial berkaitan dengan kebudayaan,

hukum, ekonomi, musik, dan lainnya.

Lingkungan buatan sebagai bagian dari lingkungan hidup manusia adalah lingkungan hidup alam yang telah berubah drastis akibat intervensi yang tinggi dari peradaban manusia dan perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan buatan ini sangat ditentukan oleh lingkungan sosial budaya (Soerjani, 1988). Salah satu contoh lingkungan buatan di perkotaan adalah permukiman rumah susun yang di dalamnya terdapat seting fisik permukiman, seting aktivitas, dan interaksi penghuni baik dengan lingkungan tempat tinggalnya maupun sesama penghuni, akibat dari penghunian rumah susun.

2.1.3. Lingkungan Permukiman Rumah Susun

Memahami lingkungan permukiman rumah susun akan dibahas mengenai makna rumah itu sendiri yang dikembangkan menjadi makna rumah susun dan lingkungannya serta penghunian rumah susun.

a. Makna Rumah

Rumah13 merupakan komponen utama perumahan14 dan perumahan sendiri merupakan komponen utama suatu

13 Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan

keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Undang-undang no 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman).

14 Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang

(44)

permukiman15. Bagi penghuni, rumah tidak hanya berarti fisik semata, tetapi juga mempunyai makna tersendiri.

Pengertian rumah tidak hanya sebagai bangunan rumah saja juga dikemukakan oleh Pedro Arrupe yang dikutip Budihardjo (1987):

”A House is much more than building. It is social context of family life

– the place where man loves and shares with those who are closed to

him”. Rumah juga bukan semata-mata merupakan tempat bernaung

untuk melindungi diri dari pengaruh fisik belaka, melainkan juga harus mampu memenuhi hasrat psikologis insani dalam membina keluarga (Soedarsono, 1986). Makna yang lebih luas rumah harus mampu membuka jalan dan memberikan saluran bagi kebutuhan aspirasi, dan keinginan manusia secara penuh menuju perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Batubara, 1986). Rumah sebagai tempat tinggal merupakan satuan yang kompleks yang melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan (Suparlan, 1991).

Dari beberapa makna rumah tersebut di atas, Hayward (1987) merumuskan hakekat rumah adalah sebagai berikut:

1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri, yaitu sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni.

2. Rumah sebagai wadah keakraban, yaitu dalam rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman.

3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi, yaitu merupakan tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin.

4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan, yaitu dalam konsep kampung sebagai tempat kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam menuju masa depan.

5. Rumah sebagai wadah kegiatan sehari-hari. 6. Rumah sebagai pusat jaringan sosial

7. Rumah sebagai struktur fisik bangunan

15 Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang

(45)
[image:45.595.139.486.179.393.2]

Rumah sebagai benda dalam pemenuhan kebutuhan manusia dapat merujuk pada pemenuhan kebutuhan berdasarkan kebutuhan hirarki dari Maslow, seperti yang disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Rumah dalam pemenuhan kebutuhan manusia

No Kebutuhan Bertingkat (Maslow)

Pemenuhan Kebutuhan Melalui Rumah

1 Fisiologis Memberikan perlindungan dari gangguan alam dan binatang; tempat istirahat dan pemenuhan fungsi badani.

2 Rasa aman Rasa aman menjalankan kegiatan ritual,

penyimpanan harta, menjamin hak pribadi

3 Rasa cinta dan memiliki Memberi peluang untuk berinteraksi dan aktivitas komunikasi, serta mempunyai identitas dalam komunitas lingkungan perumahan yang ditinggali

4 Rasa harga diri Memberi peluang untuk tumbuhnya harga diri melalui kepemilikan dan tampilan rumah yang ditinggali

5 Aktualisasi diri Rumah mencerminkan kesuksesan penghuninya sebagai bagian mengaktualisasikan diri.

Sumber: Deliyanto, 1997

Dari

Gambar

Tabel Judul
Gambar Judul
Gambar Judul
Gambar Judul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengalaman Kerja Gender Equity Sensitivity Self Efficacy Auditor internal LOC dengan auditor external LOC Auditor Senior dengan Auditor Yunior Auditor Pria dengan

Sesuai dengan jenis penelitian ini, yaitu penelitian tindakan kelas, maka desain penelitian tindakan kelas dalam penelitian ini adalah model siklus yang

• Sasaran pusat berjaya dicapai dengan purata 4.01 tahap kepuasan majikan terhadap graduan politeknik yang bekerja • Semua politeknik mencapai sasaran masing masing

Pemberita masa kini yang percaya bahwa telah diselamatkan oleh salib Kristus juga mesti melaksanakan tujuan utama panggilannya yakni memberitakan misteri Allah

Dengan demikian, pengajaran yang disampaikan guru Kristen akan membawa para siswa memiliki nilai-nilai kebenaran yang justru kembali kepadaTuhan dan berpusat kepada

Komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada Hotel Resty Menara Pekanbaru, untuk itu pihak Hotel Resty Menara Pekanbaru perlu

Konfirmasi point 8 selanjutnya mahasiswa menyerahkan full naskah yg dilengkapu bukti foto memo dari sekertaris jurusan ke admin jurusan melalui email jurusan.. mahasiswa

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin menerapkan elemen-elemen yang dimiliki Balanced Scorecard untuk mengukur kinerja organisasi melalui empat aspek