• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perawat sebagai individu mempunyai watak, temperamen, sifat dan kepribadian yang berbeda-beda. Mengingat pada dasarnya setiap individu tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan itu ia menjadi anggota dari berbagai kelompok, yang menurut pandangannya akan dapat memenuhi bebrbagai macam kebutuhan dan dapat menyalurkan aspirasinya. Bila seorang perawat sebagai individu itu masuk menjadi anggota suatu rumah sakit, maka segala sifat, watak, temperamen dan kepribadiannya akan ikut masuk ke dalam rumah sakit (Wursanto, 2002). Dengan demikian akan terbentuk perilaku yang pada awal mulanya berorientasi kepada perilaku individu. Perilaku yang demikian, yaitu perilaku kelompok yang berorientasi kepada perilaku individu, harus dikendalikan dan diarahkan ke arah perilaku yang berorientasi kelompok. Hal ini berarti perilaku individu seorang perawat harus diarahkan menuju kepentingan rumah sakit guna mencapai tujuan rumah sakit sehingga dalam perkembangan selanjutnya perilaku kelompok berkembang menjadi perilaku organisasi (rumah sakit).

Sifat, watak, temperamen dan kepribadian setiap perawat berinteraksi dalam sebuah rumah sakit akan mempengaruhi seseorang dalam pekerjaannya. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan rumah sakit, semuanya dapat merupakan tekanan pada perawat dalam pekerjaannya sehingga akan menyebabkan seseorang perawat menjadi stres dalam pekerjaannya (Munandar, 2004). Seorang perawat yang mengalami stres dalam pekerjaan ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu.

2.2. Pengertian stres dan stres kerja

Stres adalah merupakan suatu fenomena yang sangat kompleks dan unik sehingga banyak pakar berbeda pendapat dalam memberikan defenisi tentang stres, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya.

Menurut Hawari (2001), yang dimaksud dengan stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh seseorang mana kala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres, tetapi sebaliknya bila ia mengalami gangguan pada satu atau

lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami stres.

Menurut Hasibuan H. Malayu S.P (2003), stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Orang-orang yang mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Mereka sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat relaks, atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif.

Menurut Carry Cooper (1995), stres adalah tekanan yang terlalu besar bagi kita. Stres itu sangat bersifat personal, setiap orang memiliki tingkatan toleransi tertentu pada tekanan di setiap waktunya, yaitu kemampuan kita untuk mengatasi atau tidak mengatasinya.

National Safety Council (2004) Stres adalah sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut.

Dari beberapa uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang yang terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.

Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis,yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang karyawan (Veithzal Rivai, 2004).

Stres kerja dikategorikan apabila seseorang mengalami stres dan melibatkan pihak organisasi tempat orang yang bersangkutan bekerja (Rice, 1992). Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja, tergantung dari persepsi tenaga kerja terhadap lingkungannya, apabila ia merasakan adanya stres atau tidak.

Luthans (2000) mendefenisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efesiensi di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresif, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil,

sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat dan kesulitan dalam masalah tidur.

Stres dapat terjadi pada hampir semua pekerja, baik tingkat pimpinan maupun pelaksana. Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat potensial untuk menimbulkan stres bagi pekerjanya. Stres dilingkungan kerja memang tidak dapat dihindarkan, yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres tersebut, sehingga tidak menganggu pekerjaan (Notoatmodjo,2003).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan.

2.2.1. Proses Terjadinya Stres , Jenis Stres dan Tingkatan Sres

Dalam peristiwa terjadinya stres, ada tiga hal yang saling terkait satu dengan yang lainnya (Nasution, 2000) yakni :

1. Hal, peristiwa, keadaan, orang yang menjadi sumber stres (stressor) jika dipandang secara umum, hal-hal yang menjadi sumber stres dipahami sebagai ransangan (stimulus).

2. Orang yang mengalami stres (the stressed), kita dapat memusatkan perhatian pada tanggapan (respons) orang tersebut terhadap hal-hal yang dinilai mendatangkan stres. Tanggapan orang tersebut terhadap sumber stres dapat mempengaruhi pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan ini

disebut strain, yaitu tekanan atau tanggapan yang dapat membuat pola pikir, emosi dan perilakunya kacau, dapat membuat gugup dan gelisah. 3. Hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang menjadi

penyebab (transaction). Hubungan itu merupakan proses, yaitu ada penyebab stres dan pengalaman individu yang terkena stres saling terkait. Tidak semua stres itu buruk. Kenyataannya, banyak orang yang setuju kalau kita memang membutuhkan stres sampai derajat tertentu agar tetap sehat. Namun, bagaimana stres bisa menjadi sesuatu yang baik? Apabila stres dianggap sebagai sebuah motivasi positif, stres dapat dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan. Tetapi apabila melebihi poin optimal yang menguntungkan, stres ternyata lebih membawa keburukan daripada kebaikan.

Menurut National Safety Council (2004), stres dibagi dalam dua jenis yaitu : 1. Stres baik (positif).

Yaitu segala situasi dan kondisi apapun yang menurut anda dapat memotivasi atau memberikan inspirasi. Promosi jababatan dan cuti yang dibayar adalah contoh-contoh dari stres baik.

2. Stres buruk (disstres).

Adalah stres yang membuat anda menjadi marah, tegang, bingung, cemas, merasa bersalah, atau kewalahan. Stres buruk (disstres) dibagi menjadi dua bentuk yaitu stres akut dan stres kronik.

Hans Selye (1936), dalam Nurmiati Amir (Jiwa, Indonesian Psychiatric Quarterly : XXXII : 4) memperkenalkan suatu konsep tentang stres yang dikenal

dengan General Adaptation Syndrom. Ia menyatakan ada tiga fase yang dapat di identifikasi bila seseorang terpapar stres, yaitu :

1. Reaksi tanda bahaya, dalam keadaan bahaya timbul ketegangan atau ketakutan tubuh memobilisasi sumber-sumber yang ada untuk meningkatkan aktivitas mekanisme pertahanan. Terjadi peningkatan aktivitas sistim simpatis yang mengakibatkan peninggian sekresi katekolamin. Tubuh dipersiapkan secara psikofisiologis untuk bereaksi dengan stres tersebut. Muncul reaksi emergensi yang dikenal dengan ”melarikan diri atau menyerang”.

2. Reaksi resistensi, terjadi resistensi terhadap stres. Tubuh berusaha beradaptasi dengan stres. Mekanisme defensi bekerja secara maksimum untuk beradaptasi dengan stres. Pada fase ini juga biasanya individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi untuk mengatasi stressor ini. Tubuh berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang telah dipengaruhi selama reaksi waspada untuk sedapat mungkin kembali ke keadaan normal dan pada waktu yang sama pula tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Apabila proses fisiologis telah teratasi maka gejala-gejala stres akan menurun, tubuh akan secepat mungkin berusaha normal kembali karena ketahanan tubuh ada batasnya dalam beradaptasi. Jika stressor berjalan terus dan tidak dapat diatasi/terkontrol maka ketahanan tubuh untuk beradaptasi akan habis dan timbul berbagai keluhan pada individu.

3. Fase kelelahan, bila reaksi tanda bahaya datang terlalu kuat atau sering dan berlangsung dalam waktu lama, kebutuhan energi untuk beradaptasi menjadi habis sehingga timbul kelelahan.

Menurut Robert J.Van Amberg (1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa tahapan stres sebagai berikut :

a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar dan otot kaku. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot kaku, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan.

d. Stres tahap ke empat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan

pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stres tahap ke lima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental (physical and psyhological exhaustion), ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik. f. Stres tahap ke enam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda,

seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, loyo, pingsan atau kolaps.

Dokumen terkait