• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja

BAB II LANDASAN TEORI

B. Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja

Meschke, Bartholomae & Zentall (2000) berpendapat bahwa perilaku seksual merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berlandaskan hasrat dan pengetahuan mengenai seksual.

Perilaku seksual pranikah adalah tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dan dilakukan oleh dua orang dengan lawan jenis ataupun sejenis yang berbeda tanpa memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut hukum (Sari, tanpa tahun; dan Rihardini & Yolanda, 2012). Pengertian yang serupa diungkapkan oleh Faturochman (1992) bahwa perilaku seksual pranikah adalah hubungan seks yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan sebelum adanya pernikahan.

Dari beberapa pengertian di atas, perilaku seksual pranikah dapat diartikan sebagai tingkah laku yang mengarah pada hubungan seksual yang didorong oleh adanya hasrat seksual dan dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di luar pernikahan atau belum sah menurut hukum.

2. Tahap-tahap Perilaku Seksual

Rathus, Navid & Rathus (2008) membagi perilaku seks dalam beberapa tahap. Tahapan-tahapan tersebut menjadi bentuk perilaku seksual, yaitu kissing, touching, oral genital, dan intercourse. Menurut Santrock (2003), tahap perilaku seksual biasanya diawali dengan necking (berciuman sampai ke daerah dada), petting (saling menempelkam alat

14

kelamin) hingga melakukan hubungan intim atau intercourse. Maka peneliti menyimpulkan aspek-aspek perilaku seksual meliputi:

a. Touching

Menyentuh pasangan dari berpegangan tangan sampai berpelukan.

b. Kissing

Berciuman adalah hal yang paling universal yang dilakukan. Berciuman dibagai dalam dua tahap, yaitu simple kissing, saling menempelkan bibir dan deep kissing atau French kiss, yaitu menghisap bibir pasangan dan diikuti dengan gerakan lidah di mulut pasangan.

c. Necking

Mencium bagian leher pasangan sampai ke daerah dada/payudara.

d. Touching Genital

Meraba dan menyentuh bagian payudara hingga menyentuh bagian yang paling genital dari wanita (vagina dan clitoris) dan laki-laki (penis dan buah zakar).

e. Oral Genital

Stimulasi oral pada genital laki-laki disebut dengan fellatio, sedangkan untuk stimulasi oral pada wanita disebut cunnilingus. Lebih mudahnya, oral genital ini adalah aktivitas seks yang lebih berfokus pada alat genital pasangan dengan menggunakan mulut.

f. Petting

Aktifitas seksual dengan tujuan membangkitkan gairah seksual dari rabaan pada daerah erotis sampai saling menempelkan alat kelamin atau menempelkan penis ke vagina, namun tanpa melakukan coitus. g. Intercourse

Bersenggama atau coitus adalah aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan dimana penis dimasukkan ke dalam liang vagina atau penetrasi.

Rathus, dkk. (2008) berpendapat bahwa dari beberapa tahap-tahap perilaku seksual di atas, taouching (bersentuhan), kissing (berciuman), necking (mencium daerah leher sampai payudara), genital touching (menyentuh daerah genital), petting (bercumbu), dan oral genital (mencium daerah genital) termasuk dalam tahap foreplay atau aktifitas yang membangkitkan gairah seksual seseorang. Namun genital touching dan petting berbeda dengan tahap foreplay lainnya karena dua tahap ini sudah lebih menjurus pada alat genital pasangan. Jika dilihat dari efek atau tujuan dari tahapan-tahapan tersebut, oral genital dan intercourse memiliki tujuan yang sama, yaitu meraih kenikmatan terakhir dari perilaku seksual atau orgasme (wanita) dan ejakulasi (laki-laki).

Berdasarkan tahapan perilaku seksual tersebut, maka pada penelitian ini tahapan-tahapan perilaku seksual pranikah dibagi dalam 3 tahapan yang dibedakan dalam beberapa bobot. Untuk tahap awal atau tahapan dengan bobot 1, yaitu touching, kissing, necking. Lalu untuk

16

tahapan dengan bobot 2, yaitu touching genital, petting dan yang terkahir untuk tahapan dengan bobot 3, yaitu oral genital dan yang terakhir intercourse.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja antara lain:

a. Usia

Menurut Fisgher dan Hall (dalam Sari, tanpa tahun) usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja karena remaja menengah dan remaja akhir lebih cenderung permisif dibandingkan dengan remaja awal karena masih adanya pengaruh yang besar dari orang tua.

b. Jenis kelamin

Selain itu, Faturochman (1992) memiliki pendapat bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah jenis kelamin dan pendidikan. Remaja laki-laki lebih cenderung memiliki sikap permisif dibandingkan dengan remaja perempuan dan semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi pula sikap tidak permisifnya.

c. Agama

Rice (1990 dalam Sari, tanpa tahun) mengatakan bahwa agama juga memiliki pengaruh dalam perilaku seksual remaja karena

seseorang yang tidak memiliki aktifitas agama dan tingkat religiusitas yang rendah akan mudah tergoda dengan dengan pola hidup seks bebas.

d. Meningkatnya Libido Seksualitas

Seorang remaja menghadapi beberapa tugas-tugas perubahan dan perkembangan salah satunya adalah penerimaan kondisi fisiknya (yang berubah). Pada masa remaja libido menguat dan baik, sehingga ketika libido sedang meningkat, remaja akan mudah terangsang dan dalam kondisi seperti ini adalah godaan untuk melampiaskan gairah seksual yang besar (Monks, Knoers & Hadiutono, 2006).

e. Psikologis Remaja

Pada usia remaja adalah masa untuk mencari identitas diri dan memiliki rasa keingintahuan yang besar, emosi tidak stabil untuk bertindak dan suka mencoba hal-hal yang baru (Djiwandono, 2008).. Artinya mereka sedang mencari siapa dirinya dengan mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh yang dikagumi. Untuk mencari identitas diri, para remaja juga banyak mencari dan bergaul dengan teman-temannya. dalam pergaulan yang diperlukan adalah penerimaan dari teman-temannya. Untuk itu memungkinkan bagi para remaja untuk ikut-ikutan dan terjatuh pada hal-hal yang buruk dan melanggar norma-norma yang ada (Santrock, 2002). Selain itu, Cynthia (2007) memiliki pendapat sendiri bahwa remaja yang memiliki tingkat konformitas yang tinggi akan cenderung melakukan hubungan seks bebas karena

18

konformitas sendiri adalah salah satu cara bagi para remaja untuk mendapat pengakuan dari teman sebayanya (Sears dkk., 1985).

f. Kurangnya Informasi Tentang Seks

Para orang tua yang menganggap tabu dalam membicarakan seks kepada anak-anaknya akan menyebabkan mereka mencari dan berpaling pada sumber-sumber yang tidak akurat, khususnya teman. Walaupun para remaja mencari informasi melalui media massa, mengikuti seminar dan membaca buku, namun mereka tetap memerlukan informasi tersebut dari orang tua (Sarwono, 2012).

g. Pergaulan yang Makin Bebas

Para remaja tidak memiliki larangan untuk bergaul dengan siapa saja, baik lawan jenis maupun sejenis dengan tidak mengindahkan norma dan adat di mayarakat sehingga hal tersebut membuat adanya peluang besar dalam melakukan perilaku seks (Sarwono, 2012).

Dokumen terkait