• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V DINAMIKA KEPEMIMPINAN KESEPUHAN

5.1. Periode Kepemimpinan di Kasepuhan

Kepemimpinan Abah JSN (1937-1960) adalah fase transisi sebagai peletak pertama didalam pembentukan Kasepuhan dari Kabuyutan. Kasepuhan Abah JSN terletak di daerah Cicemet, namun akhirnya dipindahkan ke daerah Cikaret. Pemindahan Kasepuhan ke Cikaret karena selain wangsit alasan lainnya yaitu kemanan, karena pada waktu itu terjadi penjajahan belanda. Abah JSN memiliki karakter yang keras dalam kepemimpinannya dan sangat memegang teguh adat dalam menjalankan aturan Kasepuhan pada incu-putunya.

Di masa pemerintahannya cenderung menunjukkan pola-pola kepemimpinan yang otokratis, dalam hal pengelolaan sumberdaya pertanian yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kasepuhan. Misalnya saja, Abah JSN dengan sangat konsisten menjaga aturan pengelolaan lahan adat (huma), dengan kegiatan penanaman padi sekali dalam setahun dengan masih menggunakan varietas lokal. Terlebih penyetoran hasil sawah dalam bentuk gabah kering bisa masuk sepenuhnya ke dalam Leuit, serta mengatur agar pembagian hasil panen berdasarkan aturan adat dengan mempertimbangkan lapisan sosial berdasarkan pada jumlah kepemilikan lahan. Kecenderungan yang terjadi, Abah selalu tetap mempertahankan pola hidup berpindah. Dan dalam permasalahan adat, ketegasan Abah dan konsistensi Abah menjaga nilai-nilai luhur adat Kasepuhan menjaga keluhuran nilai-nilai tatali paranti karuhun agar tetap mendarah daging pada masyarakat Kasepuhan.

Abah JSN lemah ketika menghadapi kuatnya intervensi pemerintah (Militer/TNI) terhadap masyarakat Kasepuhan. Sehingga pada tahun 1960 nama Kabuyutan dirubah menjadi Kasepuhan, dan itu disetujui oleh incu-putunya, lihat dalam gambar 5.1. Seperti yang telah dikemukankan oleh Abah ASNKasepuhan SRI seperti berikut:

“Pergantian nama dari Kabuyutan menjadi kasepuhan, Abah JSN mendapatkan wangsit dari leluhur guna menjaga keutuhan segala aturan-aturan yang telah ditetapkan dari para buyut/leluhur. Hal

46

tersebut diikuti dan ditaati oleh Incu-putu karena dinilai sebagai

amanat dari para buyut/leluhur.”

Ada dua versi dari perubahan nama Kabuyutan menjadi Kasepuhan karena bertepatan dengan intervensi dari Militer/TNI di satu sisi dan di sisi lain bahwa pergantian Kabuyutan ke Kasepuhan merupakan hasil dari wangsit yang datang dari leluhur yang harus dilaksanakan oleh Abah JSN.

Keterangan :

: Intervensi : Koordinasi : Hasil : Turunan

Gambar 5.1 Perubahan Masa Kabuhunan ke Masa Kasepuhan

Abah JSN bukan tanpa alasan mengubah nama Kabuyutan menjadi Kasepuhan karena situasi bangsa Indonesia yang baru merdeka serta pemerintahan Belanda sudah menginjakan kakinya di Kabuyutan (Agresi Belanda II) yang dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bersama terutama menyangkut kepercayaan (religi) yang di nilai oleh incu-putu (masyarakat) kabuyutan tanah Kabuyutan adalah suci yang sangat sehingga tidak boleh diduduki oleh orang asing.

Milter/TNI Kabuyutan Abah Kasepuhan Incu-Putu Kasepuhan

47 Disamping adanya Agresi Belanda perubahan nama Kabuyutan juga adanya serangan dari DI/TII pada Tahun 1959 yang menghawatirkan terganggunya keamanan incu-putu kabuyutan sehingga pemerintah (TNI) dinilai sangat perlu menghawatirkan keselamatan incu-putu. Peragam peristiwa eksternal itulah Kabuyutan dirubah menjadi Kasepuhan sangat dimungkinkan hingga sekarang ini. Berikut ini disajikan dalam Matriks 5.1. beberapa peristiwa penting yang terjadi saat kepemimpinan Abah JSN.

Matriks 5.1 Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Periode Abah JSN

No Situasi/Kondisi Waktu Ruang

01. Agresi Militer Belanda Sebelum

kemerdekaan sampai dengan Tahun 1955 pada masa Orde Lama Menyangkut keyakinan terhadap kepercayaan yang dianut Kabuyutan tabu (pantang) terhadap orang luar (diluar keyakinan dan kepercayaan) menduduki tanah leluhur kabuyutan 02. Pemberontakan DI/TII Terjadi pada tahun

1959 masa orde lama

Keamanan incu-putu yang terancam karena ulah dari kedatangan DI/TII ke tanah Kabuyutan yang sering membuat konflik dengan incu- putu

03. Intervensi pemerintah (TNI) Sejak terjadinya agresi belanda dan pemberontakan DI/TII

Pemerintah mengedepankan aspek politik dan keamanan terhadap masyarakat lokal Sumber : data primer (diolah) 2012

Terlepas dari segala peristiwa-peristiwa tersebut yang tersaji dalam Matriks 5.1. itu bahwa pemerintahan Abah JSN menurut beberapa sumber yang ada di Kasepuhan SRI, Abah JSN membuat Amanat buat Incu-putu yang harus dijalankan dan ditaati. Adapun amanat tersebut adalah :

“Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan

48

sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad”

(Panen harus izin, ambil harus minta, menggunakan harus suci, makan harus yang halal, berkata harus apa yang sebenarnya, harus menjaga perkataan, menjaga kelakuan, menjaga tekad)

“Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang- unggang bilih bekasna nyalahan”

(Berbicara harus diukur, berkata harus ditimbang- timbang takut berbekas kesalahan)

“Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn”

(harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah)

“Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana”

(jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan)

Memaknai dari amanat Abah JSN tersebut menurut Uwa Ugis12 bahwa dapat di bagi menjadi tiga hal yaitu:

1. Amanat yang berkaitan dengan sistem huma (pertaninan ladang)

“Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” maksudnya adalah ketika panen padi huma para incu-putu harus meminta izin untuk memetiknya kepada bumi yang sering di injak-injak, dibuat bangunan , menanam tanaman yang dibutuhkan oleh incu-putu sehingga untuk memetik hasilnya para incu-putu harus minta izin kepada yang mempunyai dan menciptakan bumi ini dan harus memberlakukannya seperti seorang Ibu yang telah melahirkan manusia ke dunia ini maka di kenal dengan “Ibu Bumi”, dan langit yang memberikan hujan (rejeki) buat kelangsungan kehidupan serta memberi keberkahan buat hasil pertanian “Bapak Langit” maka keduanya harus diberlakukan

12

Uwa Ugis adalah Penasehat Abah dari ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi yaitu: Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA. Serta bertempat tinggal (rumah) di Kasepuhan SRI.

49 layaknya sepertu “Ratu”. Sehingga di incu-putu (masyarakat) kasepuhan dikenal dengan falsafah IBU BUMI BAPAK LANGIT TANAH RATU. Dan harus menjaga layaknya kita menjaga lisan (lampah) dan mempertanggung-jawabkan (tekad)

2. Berkaitan dengan pola hubungan antar manusia “Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan. Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” setiap berhubungan dengan antar manusia dengan manusia maka bagaimana incu-putu harus menjaga segala perkataan dan perbuatan, karena dikhawatirkan salah ucap dan akan menimbulkan ketidaksenangan yang akan mengakibatkan tali- silaturahmi kurang harmonis.

3. “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” yang ketiga inilah sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kasepuhan, karena berkaitan dengan politik dan kekuasaan; incu-putu keutuhan Kasepuhan, jangan memperebutkan kekuasaan, karena kekuasaan harus diberikan pada yang berhak dan dinilai mampu.

Perinsipnya segala aturan-aturan Kasepuhan yang telah digariskan oleh para leluhur maupun aturan Agama harus ditaati dan dijaga dan dipertanggung- jawabkan apabila melanggarnya. Keselamatan dalam kehidupan incu-putu (masyarakat) Kasepuhan adalah bagaimana menjaga hubungan baik dengan saudara dan masyarakat luar Kasepuhan.

5.1.2. Kepemimpinan Abah RSD

Kepemimpinan kasepuhan yang kedua di pegang oleh anak pertama dari Abah JSN yaitu Abah RSD (1960-1982), dan pusat pemerintahan pada masa kepemimpinan Abah RSD ini selalu berpindah-pindah, yang pada mulanya berlokasi di Cimaja. Pada masa kepemimpinan Abah RSD ini mengalami pergantian rezim pemerintahan Negara Republik Indonesia dari masa Presiden Sukarno (Orde Lama) ke masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru). Pada masa orde lama nyaris tidak kentaran (tidak ditemukan) intervensi atau bentuk penekanan dalam kehidupan di Kasepuhan. Namun dimasa Orde Baru intervensi

50

pemerintah penekanan kehidupan di Kasepuhan justru banyak di temukan bentuk- bentuk intervensi (penekanan) terhadap kehidupan masyarakat (incu-putu) Kasepuhan.

Bentuk dari intervensi pemerintah tersebut seperti diterbitkannya Undang- undang pemerintahan desa nomor 5 Tahun 1979. Menurut Surianingrat (1981), bahwa sebelum diterbitkannya regulasi tentang penyeragaman sistem pemerintahan secara nasional yang telah di terapkan (secara paksa) oleh pemerintahan Presiden Suharto, desa-desa yang telah lama ada berbentuk kesatuan-kesatuan hukum adat baik yang bersifat teritorial maupun genelogis, serta beraneka ragam bentuk dan coraknya tergantung di mana kesatuan adat tersebut berada, seperti di Aceh (gampong), Sumatera Barat (Nagari), Jawa Barat (Kampung), Makassar (Gaukay) dan seterusnya. Petikan dari isi Undang-undang nomor 5 Tahun 1979 adalah :

“Bahwa karena jumlah adat-istiadat serta suku-suku yang ada di nusantara ini beranekaragam ditambah dengan nama-nama wilayah terkecil setingkat desa (jawa) beraneka ragam pula, maka Pemerintah merasa dinilai sangat perlu mengeluarkan regulasi tentang pemerintahan desa tersebut adalah untuk penataan administratif serta menjembatani perbedaan struktur administratif dan sistem pemerintahan desa di Jawa dan di luar

Jawa.”

Pada prinsipnya adalah penerbitan Undang-undang pemerintahan desa tersebut oleh pemerintah Orde Baru semata-mata adalah untuk menyeragamkan nama desa dan kampung sebagaimana yang ada di Jawa dipakai juga di daerah- daerah lain yang ada di Indonesia serta mengkerdilkan terhadap kesatuan-kesatuan adat yang ada di Indonsia yang pada intinya adalah pemerintah justru tidak menghargai falsafah Bangsanya sendiri yaitu BHINEKA TUNGGAL IKA, tetapi hanya menginginkan kepentingan penguasa secara sempit. Sehingga tidak sedikit dari kesatuan-kesatuan adat yang ada di Indonesia hilang akan identitasnya. Hasil kajian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)13 bahwa akibat penerapan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut terjadi banyak benturan antara pemerintahan desa dengan sistem yang di anut oleh suku-suku setempat.

13

51 Berdasarkan Undang-Uudang Nomor. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah.

Akibat tekanan dari pemerintah, kegiatan hidup berpindah-pindah kemudian terancam, Legitimasi Abah RSD sebagai pemimpin Kasepuhan sebagai entitas sosial juga ikut terancam. Ini karena dampak dari penerapan undang- undang nomor 5 Tahun 1979, nantinya Abah harus mengakui kekuasaan lainnya, misalnya mengakui legitimasi kepala desa yang diangkat oleh pemerintah sebagai perpanjangan tangan mereka (pemerintah), artinya kekuasaan Abah tidak akan otonom kembali.

Kemudian pada tahun 1980 terjadi konflik dengan kementrian Agama yang mempertanyakan tentang status Agama yang dianut oleh Kasepuhan, karena pengakuan oleh pemerintah terhadap Agama di Indonesia hanya 5 (lima) Agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu. Sementara yang dianut oleh masyarakat Kasepuhan adalah Agama Islam namun masih memakai tradisi-tradisi leluhur di dalam menjalankan ritual keagamaan. Pihak Kasepuhan selalu mengakui bahwa kamimah tos-ti baheulana ngilu Agama Islam ku Nabi Muhamad, (kami masyarakat Kasepuhan sudah sejak dulu menganut Agama Islam yang di ajarkan Nabi Muhamad). Tetapi masyarakat Kasepuhan didalam menjalankan kehidupan selalu selaras dengan adat istiadat yang kami junjung tinggi. Sebagaimana ungkapan dari Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan SRI sebagai berikut:

“Pas eta Kasepuhan SRI di handap kepemimpinan Abah RSD pihak Dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering dongkap ka Kasepuhan jeung selalu naroskeun tentang kayakinan ni dianut

52

masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha Pangerana (tuhan)?. Urang masyarakat Kasepuhan sering nagajwab bahwa urang teh Agamana Islam dan Gusti Alloh SWT eta Tuhan nu urang bacakeun upami selametan. Teras saha nu ngabacakeun?, teras dijawab, aya penghulu atawa dukun nu ngabacakeun atawa pamakayaan lamun diladang, nu nyieun pihak Kasepuhan tersinggung, tapi abah teu marah ka pemerintah. Malah bertindak sareng memindahkeun Kasepuhan ka Cigana. Dan sampe ayeuna, pihak Departemen Agama masih ngontrol tentang peribadatan Kasepuhan, terbukti ngirikmkeun ustadz ti

Depag Kabupaten Sukabumi.” Artinya tuturan Dukun ketika Kasepuhan SRI di bawah kepemimpinan Abah RSD pihak dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering datang ke kasepuhan dan selalu menanyakan tentang keyakinan-kepercayaan yang dianut masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha pangerana (tuhan) dan itu sering. Kami masyarakat Kasepuhan selalu menjawab bahwa kami ini beragama Islam dan gusti Alloh SWT itu tuhan Kami; tapi kemudian terus menekan hingga tentang kemenyan, do‟a-do‟a yang kami bacakan setiap selametan. Terus siapa yang membacakan lalu dijawab ada penghulu atau dukun yang membacakan atau pamakayaan kalu di ladang, yang membuat pihak Kasepuhan tersinggung, tapi Abah tidak marah kepada pemerintah tersebut, melainkan bertindak dengan memindahkan Kasepuhan ke Ciganas. Dan sampai dengan sekarang pihak Agama masih mengontrol tentang peribadatan Kasepuhan terbukti telah mengirim ustadz dari Depag Kabupaten Sukabumi.

Hasil dari kutipan wawancara dengan Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan SRI tersebut bahwa prinsipnya hanya perbedaan persepsi pada pelaksanaan peribadatannya antara pihak kasepuhan dengan pemerintah, karena tidak ada titik temu Abah RSD memindahkan pusat pemerintahan Kasepuhan ke Ciganas/Cimaja, guna menghindari konflik (benturan) secara fisik dengan pihak pemerintah.

Pemindahan pusat pemerintahan Kasepuhan tersebut selain faktor eksternal juga adanya wangsit (ilham) dari leluhurnya agar memindahkan pusat Kasepuhan tersebut, serta akan selalu dipatuhi oleh incu-putu. Incu-putu Kasepuhan selalu memandang Abah sebagai panutan karena sebagai turunan dari Abah JSN dan para leluhurnya serta orang yang selalu di beri ilham (wangsit) setiap perjalanan kepemimpinan guna mempertahankan amanat yang telah di gariskan untuk menjaga norma-norma Kasepuhan, keturunan dan wangsit itulah

53 sebagai sumber kepemimpinan dari Abah RSD serta ditambah dengan kharisma yang dimiliki oleh Abah RSD.

Maka incu-putu menilai dari faktor keturunan serta mempercayai Abah RSD orang yang selalu mendapatkan wangsit untuk menjaga incu-putu itulah kepatuhan incu-putu timbul dan meyakini menjadi mengkristal pada diri dari tiap incu-putu. Bukti kepatuhan itu adalah ketika mengindari konflik (benturan) secara fisik dengan pihak pemerintah, maka Abah RSD memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan kasepuhan ke Ciganas/Cimaja, dan incu-putu selalu mentaati keputusan Abah tersebut, serta bagaimana untuk menjaga adat istiadat (amanat) incu-putu selalu mengikuti (Abah) yang dipandang sebagai orang yang secara langsung mendapatkan wangsit tersebut (lihat Gambar 5.2.).

Keterangan : : Intervensi : Koordinasi : Instruksi : Turunan : Mempengaruhi

Gambar 5.2. Intervensi Pemerintah pada Kepemimpinan Abah RSD

Kelemahan dari Kasepuhan adalah tidak adanya hukum tertulis didalam memiliki tanah adat dan mungkin semua masyarakat adat yang ada di seluruh Indonesia, karena bagi mereka adalah bahwa tanah adat merupakan amanat dan suatu wasiat yang harus dijaga oleh adat. Begitupun dengan tanah yang ada di

ABAH Kasepuhan Agresi Belanda II Perum Perhutani TNGH DEPAG INCU-PUTU UU No. 05 Tahun 1979 ABAH Kasepuhan Agresi Belanda II Perum Perhutani TNGH DEPAG INCU-PUTU UU No. 05 Tahun 1979

54

Kasepuhan, terutama yang menyangkut tanah yang di atasnya ditumbuhi dengan tanaman. Dalam hal kepemilikan tanah adat menurut Abah ASNKasepuhan SRI sebagaimana hasil kutipan wawancara sebagai berikut:

“Pada Tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang tanah Adat dan sebagian tanah Kasepuhan dimiliki oleh Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kehutanan, perbedaan dalam hal legalisasi lahan Kasepuhan dengan pemahaman lahan versi pemerintah (Perhutani). Pada saat itu masyarakat banyak yang ditangkap karena dianggap mencuri kayu di lahan perhutani. Sehingga Abah RSD kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret.”

Bagi masyarakat Kasepuhan hutan merupakan sumber kehidupan yang harus dijaga, maka fungsi hutan di bagi menjadi tiga zonasi yang diantaranya adalah:

1. Leuweung Titipan (hutan titipan); merupakan hutan larangan atau hutan warisan dari leluhur yang harus dijaga dan terlarang untuk kegiatan apapun.

2. Leuweung Tutupan (hutan konservasi) adalah hutan yang boleh di ambil kayunya untuk keperluan rumah tangga Kasepuhan (membangun rumah) serta kegiatan Kasepuhan lainnya tetapi harus di tanam kembali (tambal sulam).

3. Leuweung garapan (hutan garapan) hutan yang bisa dibuka untuk lahan pertanian (huma).

Adapun peristiwa-peristiwa nasional dan lokal ketika kepemimpinan Abah RSD seperti tertuang dalam Matriks 5.2. berikut ini.

55 Matriks 5.2 Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan

Abah RSD

No Situasi/Kondisi Ruang/waktu Dampak pada Kasepuhan

01 Agresi Militer Belanda II

Tahun 1960-1963. Pada masa Orde Lama

Kasepuhan menjadi tempat bagi militer (TNI) juga. Leuit sebagai lumbung pangan kasepuhan, menjadi perbekalan TNI atas

kebijakan Abah RSD 02 Isu PKI Tahun 1965-1966 TNI menuduh pihak

kasepuhan beraliran PKI karena kaspuhan menerima setiap tamu yang datang termasuk PKI sehingga terjadi kesalahpahaman antara pihak TNI dan Kasepuhan yang

mengakibatkan kasepuhan mendapat tekanan secara mental dari TNI. Walau pada kepemimpinan korem

Cisarua yang baru meminta maaf karena tuduhan tersebut tidak mendasar. 03 Penetapan dan

pemberlakuan Undang- Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 tahun 1979

Peralihan masa pemerintahan dari Orde lama ke masa pemerintahan Orde Baru. Adanya dualisme kepemimpinan di kampung tempat bermukimnya kasepuhan 04 Tekanan tentang keyakinan dan kepercayaan terhadap Agama. Tahun 1980 pada masa pemerintahan Orde Baru 1. Pihak kasepuhan mndapatkan tekanan mental dan psikologis drai pihak Departemen Agama Kantor wilayah Kabupaten Sukabumi 2. Pemindahan Kasepuhan dari Cikaret ke Cimaja/Ciganas untuk menghindari konflik dengan pihak pemerintah. 05 Konflik dengan Ferum-

Perhutani

Tahun 1981-1982 (masa Orde baru) Tanah Adat yang di klaim oleh pihak Ferum perhutani, dan dijadikan sebagai Taman Nasional

1. Incu-putu banyak yang ditangkap oleh pihak Ferum-Perhutani karena dituduh mencuri kayu ditanah leluhurnya yang di klaim menjadi Taman Nasional Gunung

56

Gunung Halimun (TNGH)

Halimun (TNGH). 2. Kasepuhan dipindahkan

kembali dari Ciganas ke Cikaret guna

menghindari konflik terbuka dengan Ferum- Perhutani.

Sumber data primer (diolah), 2012

5.1.3. Kepemimpinan Abah AJ

Dimasa pemerintahan Kasepuhan Abah AJ memimpin selama empat tahun mulai dari tahun 1982 hingga 1985 dengan jumlah pengikut 28.000 jiwa lokasi Kasepuhan yang awalnya di Cikelat, tetapi bergesekan dengan Kepala Desa Cikelat Bapak Usep Nuryana, yang disebabkan berbenturannya peraturan desa dengan sistem pemerintahan Kasepuhan sebagai imbas dari diberlakukannya Undang-undang pemerintahan desa nomor 5 tahun 1979. Maka pusat pemerintahan Kasepuhan dipindahkan ke Babakan Ciptarasa, sehingga Kasepuhan bernama Ciptarasa.

Kepemimpinan Abah AJ dan setelah pindah ke Ciptarasa Di tempat baru inilah Abah AJ memurnikan kembali nilai-nilai adat baik dalam hal pemerintahan adat, pengelolaan sumberdaya, dan eksistensi hidup berpindah-pindah. Maka bentuk otoritarianisme pemimpin Kasepuhan Abah AJ cenderung kurang pada ranah konfrontasi melainkan lebih ke ranah pemurnian adat di dalam Kasepuhan itu sendiri. Karena Abah AJ mempunyai dua orang istri dan diantaranya memiliki keturunan laki-laki maka disinilah titik awal keretakan Kasepuhan terjadi.

Kepemimpinan Abah AJ ini berhasil mengembalikan kemurnian (norma) Kasepuhan di bantu dengan peranan dari sistem kepemimpinannya baik itu Dukun, Panasehat dan lainnya, masyarakat Kasepuhan selalu mentaati segala ucapan yang telah tergariskan oleh Abah AJ. Sehingga kemurnian norma-norma apa yang terkandung didalam Tatali Paranti Karuhun dapat ditanamkan kembali di Kasepuhan, seperti dalam pemerintahan adat, pengelolaan sumberdaya, dan eksistensi hidup berpindah-pindah. Maka bentuk otoritarianisme pemimpin Kasepuhan Abah AJ cenderung kurang pada ranah konfrontasi melainkan lebih ke ranah pemurnian adat di dalam Kasepuhan itu sendiri. Seperti yang telah

57 diungkapkan oleh Bapak Dede Mulyana selaku panasehat Abah ASNKasepuhan SRI sebagai berikut:

“Pas Abah AJ memimpin Kasepuhan segala aturan adat dikuatkan kembali, dan incu-putupun merasa senang dengan hal itu, Abah AJ sangat tegas pas memimpin. Dan Abah AJ mempunyai 2 (dua) orang Istri, kedua-duanya dari kalangan kasepuhan.”

Awal Perpecahan Kasepuhan

Abah AJ mempunyai dua orang Ambu (istri). Pada umumnya para Abah Kasepuhan memiliki lebih dari satu Ambu. Prinsip menikahi lebih dari satu istri disamping untuk memperbanyak keturunan, juga untuk mencari pemimpin (Abah) kelak. Sehingga sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dilarang dalam aturan Kasepuhan. Melaksanakan pernikahan lebih dari satu (buat Abah) yang penting mendapat izin oleh Ambu agar tidak terjadi perselisihan dikemudian hari dan reaksi dari incu-putu menilai bahwa memiliki istri dari satu tidak menjadi masalah yang penting bagaimana bisa berlaku adil.

Demikin juga yang dilakukan oleh seorang Abah AJ yang mempunyai dua Ambu (istri). Dari Ambu pertama dikaruniai bapak Uum Sukma Wijaya (kelahiran tahun 1939), Ibu Nyai Sukinten dan Bapak Ujat Sudjati (kelahiran tahun 1945). Serta dari Ambu yang kedua dikaruniai anak laki-laki bernama Bapak Encup/Anom (lahir tahun 1966).

Kasepuhan yang dipimpin oleh Abah AJ yang begitu kuatnya memegang teguh akan aturan-aturan adat terutama dalam pengelolahan sumber daya (pertanian) dan bertepatan dengan program pemerintah BIMAS akan tetapi tidak begitu mudah diterima dalam masyarakat Kasepuhan karena dinilai dalam penanaman padi hanya dapat dilakukan sekali setahun. Hal tersebut sesuai dengan

Dokumen terkait