• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB X PENUTUP

10.2. Saran

Walaupun modernisasi masuk kedalam kehidupan Kasepuhan SRI namun masih perlu mempertahankan adat istiadat yang sudah sekian lama di wariskan oleh leluhur. Meskipun pemimpin adat tidak hanya kehilangan pendukungnya dalam hal ini masyarakat Sinar. Pergeseran kepemimpinan Abah membawa dampak besar terhadap pola interaksi dalam masyarakat Kasepuhan. Selain perubahan gaya kepemimpinan, masyarakat di Kasepuhan juga dihadapkan pada masuknya nilai-nilai luar yang mendorong perubahan dalam Kasepuhan sendiri.

97

DAFTAR PUSTAKA Buku

Adimihardja, K. (1999). Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan dalam Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi Bandung: Humaniora.

Suryaningrat, Bayu. (1981). Pemerintahan dan Administrasi Desa. Penerbit Aksara Baru, Jakarta.

Burke, Peter. (2001), Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Obor Indonesia

Dahama dan Bhatnager. OP. (1980). Education and Communication for Devalopment. Oxford of IBH Publishing. Co. New Delhi.

Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. (1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes, Bandung : Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud.

Evres, Hans, Dieters. 1980 Sociology Of South East Asia. Reading on Social Chang and Development. Oxford University Press

Garna. Yudistira. (1992). Teori – teori Perubahan Sosial. Bandung. Penerbit Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran.

Garna, Judistira, “Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli Terhadap Pembangunan“ dalam Lim Teek Ghee dan Alberto G. Gomes (peny.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993

Gidden, Anthony (1986). Kapitalisme dan Teori sosial Modern, Suatu Analisis Karya-tulis Marx, Durkheim, Max Weber. UI Pers, Jakarta

Hayami, Y. Dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Kartodirjo, Sartono. (1984), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta.

Kartasapoetra, et al. (1986) Desa dan Daerah dengan Tata Pemerintahannnya. Bina Aksara Jakarta

Kartono. K. (2001). Pemimpin dan Kepemimpinan. Apakah Kepemimpinan Abnormal itu? Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Kolopaking, Lala et al (2003). Sosiologi Umum “Tim Editor Sosiologi Umum IPB”. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor

98

Louer H. Robert (1993). Perspektif Tentang Prubahan Sosial. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Moleong. J. Lexy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif; Remaja Rosdakarya. Bandung

Nordholt Schulte. Nico (1987). Ojo Dumeh Kepemimpinan Lokal Dalam Pembangunan Pedesaan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Salim, Agus. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. PT Tiara Wacana, Yogyakarta.

Setiadi, M Elly dan Kolip, Usman (2011). Pengantar Sosiologi “Pemahaman Fakta dan Gejala Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya”. Prenada Media group. Jakarta

Simandjuntak A. Bungaran, (2002). Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jendela,YogyakartaSoemardjan. Selo. (1981). Perubahan Sosial Di Yogjakarta. UGM Press. Yogyakarta

Soekanto, Soerjono (1987). Sosiologi Suatu pengantar. Raja Grafindo prsada. Jakarta

Suwarsono, dan Alvin, So. Alvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES, Jakarta.

Siregar E. Amir, (1999). Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Tiara Wacana, Yogyakarta

Suhada, (2003). Masyarakat Baduy Dalam Rentang Sejarah. Dinas Pendidikan Propinsi Banten.

Parson, Talcott and Henderson A.M (1947) . Max Weber The Teory of Social and Economic Organization. The Free Pess, New York.

Ritzer, George dan Goodman, Dounglas J, (1994). Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Kencana.

Wrong, Dennis (2003), Max Weber Sebuah Khasanah. Ikon Teralitera, Yogyakarta

99

Skripsi dan Tesis

Asep. (2000). Kesatuan Adat Banten Kidul “Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat”. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dama, Nurdin. (1987). Peranan Kepemimpinan Desa dalam Perubahan Struktural Masyarakat Pedesaan. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB.

Dosineang. Herman Hawang. (1991). Kepemimpinan suku Dalam Pemerintahan desa: Studi Kasus Dalam Masyarakat Suku Ekagi di Desa Mauwa, Kecamatan Kamu, Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai Propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya. Tesis Fakultas Pascasaraja IPB

Ismady, Idal Bahri. (1992). Peranan Pemimpin tradisional Dalam LKMD dan Peranan kecamatan Dalam pembinaan LKMD. “Studi Kasus di Kecamatan Darussalam Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar D.I.

Aceh” Tesis Program Pascasarjana IPB.

Jabar, Aryuni Salpiana (2007). Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 “kasus: kubu NUSA dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2007” tesis sekolah Pascasarjana IPB.

Mardiyaningsih, I. Dyah (2010). Perubahan Sosial di Desa Pertanian Jawa: Analisis Terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Tani. Tesis, Sekolah Pascarasjana IPB.

Marina, Ina (2011). Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi (Studi kasus Kampung Sinar Resrni), Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Skripsi FEMA IPB

Sandjaja, Palar Paradi (1990) Karakteristik dan Gaya kepemimpinan Ketua KUD Dalam Aktivitas Komunikasi Organisasi “kasus jawa Barat”. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB

Sardi, Idris (2010). Konflik Sosial dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus di Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi.

100

Jurnal

Anonimus. (1999). Aaliansi Masyarakat Adat Nusantara: Suara Baru Masyarakat Adat di Indonesia. Down to earth no. 41, mei 1999

Marina, Nina et al. (2007). Kepercayaan Masyarakat Kasepuhan Cicarucup dalam Aktivitas Pertanian. Bandung: BPSNT

Rahmawati, Rita. et al. (2008). Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Sosio-ekologis. Solodarity; Jurnal Transdisiplin, Komunikasi dan Ekologi Manusia. FEMA IPB.

Undang-undang/Peraturan

Undang-undang Pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979. Pustaka Tinta Mas. Surabaya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy

Lampiran 1.

CATATAN HARIAN PENELITIAN Di Kasepuhan Sinar Resmi

Februari s/d Maret 2012

Sketsa Kasepuhan berdiri

Pada Tahun 611 sampai dengan tahun 1937 masih mengikat dengan menggunakan nama kabuyutan kabuyutan berarti leluhur atau yang membuat segala aturan (norma) yang ada buat incu putu (pengikut) di kabuyutan tersebut dan kabuyutan itu di pimpin oleh seorang buyut. Menurut Uwa Ugis bahwa di masa kepemimpinan Aki Buyut Agung sampai dengan Aki Buyut Ceboy adalah masa “Kabuyutan” dan kabuyutan merupakan para leluhur dari masyarakat kasepuhan yang saat ini ada, para Buyut juga yang membuat segala aturan-aturan (norma) tentang kehidupan masyarakat kasepuhan yang hingga kini terus dijaga.

Menurut Abah Asep Nugraha bahwa nama Kasepuhan lahir ketika pada zaman kepemimpinan Uyut/Buyut/Abah Jasiun pada tahun 1960 dan nama Kasepuhannya adalah Cicemet yang disesuaikan dengan nama kampung dimana keberadaan kasepuhan itu tinggal. Kasepuhan ini terbagi menjadi tiga wilayah adminstratif; pertama yang terdapat di Kabupaten Lebak Provinsi Banten yaitu di kecamatan Sajira, Bayah, Cikotok, Cibeber dan Sobang; kedua Kabupaten Bogor terdapat di Kecamatan Jasinga dan Leuwi liang; ketiga di Kabupaten Sukabumi terdapat Kecamatan Cisolok.

Sedangkan Asal usul Kesatuan Adat Banten Kidul yang merupakan cikal bakal dari kasepuhan Sinar Resmi menurut Buchori Muhaemin (amil kasepuhan) yang dicatat sejak tahun 1978 adalah sebagai berikut:

No. Tahun Kabuyutan Wilayah

01. 611-807 Sadjra Lebak Banten

02. 807-1001 Seni/Kembang Kuning Lebak –Banten

03. 1001- 1181

Djasinga Bogor

04. 1181- 1381

Lebak Binong Bogor

05. 1381- 1558

Cipatat Urug Bogor

06. 1558- 1720

Lebak Larang Banten

07. 1720- 1797

Lebak Binong Banten

08. 1797- 1834

Pasir Talaga Sukabumi

09. 1834- 1900

Tegal Umbu Banten

10. 1900- 1937

Bodjong Tjisono Banten

Kasepuhan (1960)

1960 (Abah Jasiun) 12. 1960-

1982

Tjikaret (lokasi Sinar Resmi/Abah Rusdi)

Sukabumi

13. 1982- 1985

Cipta Rasa (Abah Arjo) Sukabumi

14. 1985- 2000

Cipta Rasa (Abah Ujat) Cipta Gelar (Abah Anom) Sukabumi

15. 2002- 2010

Sinar Resmi (Abah Asep Nugraha) Cipta Gelar (Abah Ugis) Cipta Mulya (Abah Uum- Abah Hendrik) Sukabumi

Pada awalnya sebelum terbentuknya kasepuhan itu ada, bermula kabuyutan dan hal tersebut karena buyut berarti leluhur atau para orang tua yang telah membuat segala aturan akan kasepuhan ini kelak. Dan menurut Abah Asep Nugraha kabuyutan tersebut selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan berawal dari sadjira yang ada di Lebak Banten kemudian ke Bogor hingga Sukabumi sekarang ini.

Pada masa kabuyutan para Abahnya (pemimpin) Abah Asep tidak bersedia menyebutkan pada masyarakat luar kasepuhan, karena menurut beliau hal itu tabu serta akan mendapat musibah atau dalam bahasa Kasepuhan Kebendon bagi Abah Asep sendiri maupun bagi incu-putu (pengikutnya).

Dan menurut Bapak Dede (penasehat Abah Asep) bahwa silsilah dari Kasepuhan sinar resmi itu ditunjukan pada gambar dibawah ini atau lebih tepatnya asal-usulnya:

Susunan ngaran-ngaran luluhur Banten Kidul

Sampai saat ini kasepuhan selalu berpindah-pindah tempat namun lokasinya masih di kawasan pegunungan halimun, alasan lokasi kasepuhan selalu pindah-pindah karena disamping dengan adanya wangsit juga untuk memperluas daerah/cadangan kehidupan/memperbanyak keturunan.

Lahirnya kasepuhan pada tahun 1960 ketika dipimpin oleh abah Djasioen dan nama kasepuhannya Tjitjemet yang disesuaikan dengan nama tempat atau kampung itu berada. Serta situasi politik di negara Indonesia pada waktu itu atau adanya intervensi dari Negara. Hingga Abah Djasiun pun memakai peci karena disesuaikan dengan pemimpin bangsa (bung Karno) tidak memakai Ikat Kepala

Kibuyut Rembang Kuning Sukma Sakti Kuda Alas Kandang Dewa

Kibuyut Rosa Sukma Sakti Kuda Alas Kandang Dewa

Kibuyut Warni Sukma Sakti Kuda Alas Kandang

Kibuyut Santayan Kibuyut Kayon

Kibuyut Ceboy Ki Eoh

Ki Sanam

Kibuyut Manik Nyai Saleha Kibuyut Inay Uyut Jasiun Kibuyut Anca Tilem-timbul Wilayah Lebak Binong Larang Lembur Cipatat Urug Lembur Lebak Larang

khas kasepuhan jadi ketika Abah Djasioen norma tentang berpakaianpun mulai berubah walau hanya pemimpinnya saja.

kepindahan lokasi juga dipengaruhi karena adanya konflik atau diserang oleh DII/TII pada tahun 1959 dan pindah ke cikaret yang sekarang Namanya Menjadi sinar resmi, pada tahun 1980, terjadi konflik dengan pihak kementrian keagamaan dan pindah ke ciganas/cimaja, dan terjadi konflik kembali dengan pihak perhutani sehingga pindah kembali ke cikaret. Dan pada tahun 1965-1966 dengan isu PKI.

Sistem dan Kelembagaan Sosial Kasepuhan Sinar Resmi

Masyarakat kasepuhan Sinar Resmi pada prinsifnya dalam menjalankan kehidupan keseharian sesali bergotong royong karena telah di sesuaikan dengan falsafah hidup yang telah tertuang dalm “tatali paranti karuhun” namun seiring berjalannya waktu serta pergantian kepemimpinan yang ada otomatis pola hidup masyarakatnya berubah di tambah dengan masuknya ilmu dan pengetahuan yang datang dari luar kasepuhan.

Menurut Pak Buhari kasepuhan Sirna Resmi tidak memandang pada batasan wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara administratif, karena jumlah masyarakat (incu-putu) kasepuhan tersebar baik yang ada di desa Sirnaresmi maupun yang ada diluar desa Sirnaresmi. Abah Asep Nugraha juga menambahkan bahwa karena lokasi Kasepuhan Sinar Resmi memang berada di desa Sirnaresmi akan tetapi untuk warga kasepuhan tersebar mulai dari desa Sirnaresmi itu sendiri, Bogor, Banten hingga lampung. Adapun jumlah warga kasepuhan Sinar Resmi pada saat sekarang ini berjumlah 8.320 jiwa.

Jumlah warga kasepuhan tersebut, menurut Abah Asep Nugraha adalah pengikut kasepuhan Sinar Resmi yang didalamnya terdapat laki-laki dan perempuan. Dan didalam pencatatannya adalah laporan berupa data kelahiran yang didapat dari paraji serta kematian dari kokolot lembur kepada Amil kasepuhan Sinar Resmi yang dijabat oleh Bapak Buhori kemudian dilaporkan kepada Abah Asep Nugraha.

Falsafah yang tertuang dalam “tatali partanti karuhun” tersebuta adalah “IBU BUMI BAPAK LANGIT DAN TANAH RATU”. Falsafah tersebut dalam artian harfiahnya adalah ibu bumi: bumi itu diibaratkan seperti seorang ibu, bapak langit : langit diibartakan orang tua laki-lai yang memberikan kesuburan terhadap ibu, dan tanah ratu: tanah bhumi tersebut harus di berlalkukan seperti seorang ratu.

Maksudnya adalah manusia harus tunduk terhadap alam berarti bahwa manusia tergantung dengan alam seperti anak yang tergantung pada ibunya, karena alam kita biasa untuk berjalan, membuang sesuatu yang sifatnya jasad manusia, tempat untuk mendirikan bangunan dan lain sebagainya; namun yang paling penting adalah alam atau bumi itu untuk menanam padi karena masyarakat kasepuhan pertanian adalah sebagai pangkuan dalam hidupnya (sistim humma) maka alam/bumi tersebut sebagai tempat untuk bercocok tanam padi (humma) oleh masyarakat kasepuhan, dan langit yang memberikan akan kesuburan berupa hujan maka berlakukanlah bumi seperti seorang ratu yang harus dijaga oleh segenap warga kasepuhan dan bagi masyarakat kasepuhan dimanapun tempat tinggalnya harus selalu menghormati alam dimanapun berada.

Sehingga didalam bercocok tanam padi (huma) masyarakat kasepuhan hanya melakukannya sekali dalam setahun karena diibaratkan seorang ibu tidak akan melahirkan anaknya setahun dua kali atau lebih yang akan merusak dari perempuan itu sendiri (ibu). Setiap rangkaian kegiatan pelaksanaan huma di kasepuhan Sinar Resmi semuanya diawali dengan ritual. Menurut Abah Asep menta do’a ku Gusti Alloh lan salametan ngirim-do’a ku para laluhur kasepuhan menta kaberkahana, yang artinya minta do’a kepada Allah, serta mengirim do’a kepada para leluhur kasepuhan minta keberkahannya” dan pada ritual selametan tersebut diadakan di Imah Gede yang dihadiri oleh para sesepuh serta incu-putu kasepuhan Sinar Resmi.

Menurut Bapak Buhari bahwa padi hasil panen dari incu-putu tersebut, akan di serahkan kepada Abah sebanyak 2 sampai dengan 5 beungkeut (ikat) sebagai tatali. Tatali dapat diartikan sebagai ikatan satu sama lain dalam incu-putu kasepuhan sebagai solidaritas sosial yang kuat. Padi yang telah diserahkan kepada Abah tersebut akan di simpan di lumbung kasepuhan disebut Leuit si Jimat, selain itu juga dikenakan zakat sekitar 10 ikat/beungket padi. Zakat tersebut di gunakan untuk keperluan (menggaji) para kelembagaan adat seperti Dukun, Paraji, Pamaro, Kokolot Lembur dan lain sebagainya. Walaupun dalam memberikan zakat tersebut tergantung hasil yang dicapai ketika panen padi dari setiap incu-putu.

Pada umumnya setiap incu-putu kasepuhan memiliki leuit (lumbung) sebagai tempat penyimpanan padi huma, juga sebagai penyedia pangan keluarga untuk persediaan dikemudian hari. Selain leuit individu juga terdapat lumbung umum milik semua warga kasepuhan. Lumbung umum itu biasa pula disebut leuit kasatuan atau leuit paceklik. Menurut Abah Asep Leuit Si-Jimat tersebut bisa menampung gabah yang telah dipanen sekitar 7.850 pocong/beungkeut (ikat), dan cerita turun temurun nama Leuit komunal tersebut “leuit-paceklik“ namun ketika musim paceklik kemudian tiba-tiba pada malam harinya terdapat gabah yang di beungkeut yang cukup untuk keperluan incu-putu kasepuhan dan bersifat magis.

Leuit Si-Jimat berfungsi sebagai pusat pangan (cadangan pangan) kasepuhann Sinar Resmi apabila pada tahun-tahun mendatang adanya musim paceklik dimana padi (huma) mengalami kegagalan dalam panen. Menurut Uwa Ugis Leuit Si-Jimat tersebut selain menyedia pangan, juga dapat dipergunakan sebagai peminjaman incu-putu kasepuhan Sinar Resmi apabila dalam rumah tangganya kekuarangan padi untuk keperluan makan, dan harus dibayar berupa padu lagi setelah panen tiba.

Konsep pilosofis masyarakat Kasepuhan dalam tatali paranti karuhun: 1. Tilu sapamilu

Tilu sapamilu

Tekad Ucap Lampah

Buhun Nagara Syara

2. Dua sakarupa

Ruh + Raga-papakean = mahluk hidup yang tidak berpakean adalah binatang

Raga +Papakean-Ruh = mahluk yang sudah tidak bernyawa atau mayat Ruh + Papakean-raga = mahluk gaib

3. Nu hiji eta-eta keneh= ruh+raga+papakean = Mahluk hidup yang harus berpakean = manusia

Keterangan:

1. Tilu-sapanulu

Tekad ucap lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku). Buhun Nagara Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama) Ruh Raga Papakean (nyawa, raga, pakean)

2. Dua saka rupa; buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah dan agama).

3. Nu hiji eta keneh; nyawa/ruh, raga, pakain. Manusia harus memiliki ketiga-tiganya sehingga memiliki kamanusiaan. Jika tidak akan disebut manusiawi karena manusia tanpa nyawa berarti mayat, manusia tanpa raga berarti makluk gaib (tidak terlihat) dan manusia tanpa pakaian diibaratkan makluk hidup yang telanjang (hewan).

Kasepuhan Sinar Resmi. Sebagaimana tertuang dalam gambar 1. Bahwa pondasi dari tatali paranti karuhun sebagai falsafah adalah Tilu-sapanulu: Tekad ucap, Lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku).

Buhun Nagara Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama)

Tilu Sapamilu

Dua Sakarupa

Nu Hiji eta-eta Keneh

Tekad Ucap Lampah

Syara Nagara Buhun Pakean Raga Ruh

Ruh Raga Pakean

Raga Pakean Ruh

Ruh Pakean Raga

Ruh Raga Papakean (nyawa, raga, pakean); Dua saka rupa buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah dan agama);

Nu hiji eta keneh, nyawa/ruh, raga, pakain. artinya Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan harus mempunyai pedoman di dalam hidupnya (norma)

Incu-putu (Masyarakat) kasepuhan Sinar Resmi pada hakekatnya telah beragama Islam sejak dahulu, tetapi dalam pelaksanaan ritual kasepuhan masih dicampurkan dengan sunda-wiwitan seperti adanya kemenyan, mengundang leluhur guna keselamatan dalam kegiatan. Menurut Sulhi sebagai ustadz di kasepuhan yang di tugaskan oleh Kementrian Agama yang ada di Kabupaten Sukabumi bahwa masyarakat kasepuhan Sinar Resmi dalam beragama mengaku Slampangan dika Gusti Rasul. “Slampangan dika Gusti Rasul adalah kami beragama Islam, mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul”.

Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan di dalam menjalankan hidup, maka harus mempunyai pedoman didalam hidupnya (hukum) sebagai sandara agar tidak salah langkah atau dalam bahasa masyarakat kasepuhan “Patokan Nyangkulu ka hukum” yang lebih tinggi dari kepala adalah hukum; hukum kedudukannya diatas segala-galanya sehingga hukum harus asli baik hukum Agama maupun hukum Adat, dan ditaati oleh masyarakat. Manusia jika ingin teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat oleh pencipta manusia (Gusti Alloh). Serta “Nunjang ka nagara” norma yang harus dipatuhi oleh anggota komunitas adalah ketundukan pada peraturan negara (Hukum Indonesia), dan didalam masyarakat kasepuhan di kenal dengan “Mupakat jeng balarea”

apabila didalam melaksanakan segala sesuatu di awali dengan musyawarah untuk mufakat, termasuk terdapat masalah apabila terjadi di kalangan masyarakat adat (incu-putu) diselesaikan dengan musyawarah.

Dari hal tersebut kemudian di refresentasikan pada kelembagaan kasepuhan yang telah ada sejak lama hingga saat ini masih ada.. berikut kelembagaan kasepuhan serta peranannya:

No. Lembaga

Kasepuhan

Pemimpin Peran

01. Abah Asep Nugraha

(sekarang)

Sebagai pemimpin kasepuhan Sinar Resmi sejal dilantik pada tahun 2002 hingga sekarang, dan berperan menjaga eksistensi kasepuhan serta menjaga akan keutuhan norma-norma kasepuhan dan incu-putunya.

02. Gandek 0mid Staf Abah dimanapun abah bebergian gandek harus mendampingi jikalau terdapat masalah atau hal yang sanagt penting di jalan.

03. Dukun Pa unta Apabila ada warga yang mendapat musibah jika secara medis tidak menunjukan sakit maka akan di obati secara tradisional oleh seorang dukun.

Dan yang paling penting adalah apabila aabah berhalangan ada, maka tugas abah di gantikan oleh dukun.

04. Panghulu Pa Ijat Setiap kegiatan kasepuhan baik berupa salametan ataupun yang lainnya

dilaksanakan secara adat, dan ritualnya untuk doanya dipimpin oleh panghulu. 05. Bengkong Aki Anuk Melaksanakan perayaan sunatan

terhadap anak-anak dari masyarakat Kasepuhan.

06. Paraji Ma Ancah Bidan buat para istri dari warga yang mau melahirkan atau yang

berkaitannya. 07. Pamakaan

08. Pamoro Pa Saidi

09. Kemit Sunarja Penanggung jawab dari keamanan Kasepuhan serta warga harus ikut menjaga keamanan lingkungan kasepuhan dengan mengikuti ronda setiap malam secara bergiliran dengan dipimpin oleh petugas kelembagaan kasepuhan

10. Tukang Bangunan

Pa Marhu Membuat bangunan baik rumah atau yang berkaitan dengan rancang bangun rumah gede di kasepuhan.

11. Ngurus Leuit Pa Suarman segala persiapan dan perawatan yang berkaitan dengan pemeliharaaan leuit 12. Ema

Pangberang

Pa Marhu Menjaga dan pemeliharaan keadaan fisik lingkungan Imah Gede

13. Kabersihan Pa Junaedi lingkunan sekitar Imah Gede harus terjaga dan dikontrol kebesihan kasepuhan.

14. Dukun Hewan Pa Jaja Apabila warga kasepuhan yang akan memelihara hewan maka di wajibkan meminta izin padanya serta jika hewan terkena penyakit maka akan diurusi oleh dukun hewan

15. Canoli

16. Tukang Para Pa Urna 17. Kasenian

18. Tukang Dapur Mak Omah Mak Omah ini hanya sebagai koordinator bagaian dapur di Imah Gede mulai membuat makanan dan menghidangkannya baik buat Abah dan keluarganya maupun buat tamu dan atau masyarakat bila ada yang

kekurangan.

19. Panday Pak Asta Pande, semua peralatan yang baik pakarangan maupun peralatan pertanian di buat oleh panday.

20. Kokolot Lembur

Pa Martu Apabila ada tamu maka harus melalui kokolot lembur, serta bertanggung jawab akan warga yang ada di lembur yang di dalam otoritasnya.

Kepemimpinan di Kasepuhan Sinar Resmi

Para Abah yang ada di kasepuhan ini mempunyai karakteristik masing-masing, karena beda lingkungan dan situasi yang memungkinkan menerapkan gaya kepemimpinannya berikut ini para Abah dimasa kepemimpinannya masing- masing :

1. Kepemimpinan Abah Djasioen (1937-1960)

Abah Djasioen sebagai pemimpin memiliki karakter yang keras dan sangat memegang teguh adat karena semasa kepemimpinan beliau bertepatan dengan penjajahan Belanda yang masuk ke daerah kasepuhan. Dalam menjalankan kepemimpinan fase transisi dari kabuhunan ke kasepuhan Abah Djasioen memiliki sangat watak keras (otoriter) didalam menjalankan segala aturan kabuhunan pada incu-putunya.

Selain peristiwa penjajahan Belanda, terjadi peristiwa yang membuat masyarakat kasepuhan geger yaitu diserang oleh DII/TII pada tahun 1959 yang memang belung diketahui maksudnya, hingga Abah Djasioen memindahkan lokasi kasepuhan dari cicemet ke cikaret karena selain wangsit dan sifat nomaden juga untuk mempertahankan kasepuhan dari penjajah Belanda. Kasepuhan ke cikaret karena alasan politik dan keamanan, dan di jaman Abah Djasioen pula adanya nama Kasepuhan yang awalnya kabuyutan.

Dan pada tahun 1960 “kabuyutan tersebut berubah nama menjadi Kasepuhan” adapun nama kasepuhannya tergantung dari nama kampung yang

Dokumen terkait