• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode Ketiga Kepemimpinannya

PERANAN MUSLIMAT NU PADA MASA KEPEMIMPINAN ASMAH SYACHRUNI

C. Periode Ketiga Kepemimpinannya

Masa bakti 1989-1995 yang merupakan periode ketiga dalam kepemimpinan Asmah Syahruni ditandai dengan berbagai peristiwa nasional kenegaraan maupun perkembangan di lingkungan khusus.

Pemasyarakatan Khittah 1926 makin dihayati oleh pelaksana organisasi maupun oleh anggota. Salah satu tujuan Khittah 1926 melepaskan organisasi dari tingkah laku politik praktis masih perlu pendekatan psikologis dengan pribadi-pribadi yang terkait dari unsur kepemimpinan organisasi dan unsur-unsur pribadi yang memilih minat terhadap politik praktis.

Khittah NU dalam pengertian secara fisiknya tetap memberikan kesempatan kepada para anggotanya untuk memilih aliran politik dalam pemilu, baik sebagai pemilih juga aktif dalam kepemimpinan aliran politik yang bersangkutan.

Konsolidasi yang dilakukan di beberapa daerah luar Jawa telah mampu membangkitkan rasa percaya diri kepada anggota masyarakat warga Muslimat NU, sehingga daerah-daerah yang sebelumnya dianggap rawan konsolidasi berjalan dengan lancar.

Keikutsertaan Muslimat NU dalam badan-badan, lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti MUI, Forum Lembaga Dakwah, Persaudaraan Haji Indonesia dan sebagainya telah memberi arti penting akan kehadiran organisasi ini.

Kerjasama dengan LSM, Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan, pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pandapatan keluarga dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) meningkat tajam, baik dari program fisik,

seperti pemasyarakatan vitamin A, operasi mata katarak, pemberian modal kerja, pemberian alat medis di Rumah Bersalin di lingkungan Muslimat NU.

Jaringan kerjasama dengan LSM dalam negeri maupun dengan badan atau lembaga bantuan luar negeri telah menimbulkan dampak yang cukup mengesankan, baik tentang hasil yang dirasakan secara fisik maupun dampak yang diperoleh oleh organisasi.

Program yang menyangkut pelayanan masyarakat seperti peningkatan pengetahuan calon jama’ah haji, peningkatan dakwah yang sifatnya monolog menjadi dakwah yang dialogis dengan materi dakwah yang bervariasi, misalnya memberikan jasa konsultasi keluarga, perkawinan, pertanahan, waris dan lain-lain.75

Di atas adalah gambaran beberapa kegiatan yang dilaksanakan Muslimat NU pada periode ketiga. Namun secara keseluruhan, pada periode ini dapat dikatakan lebih menekankan program kegiatannya pada suatu kelanjutan dari program periode kedua, yaitu pemantapan organisasi. Namun program utama dari perode ini tetap dijalankan, yaitu mengembalikan program-program yang menjadi andalan Muslimat NU di antaranya: Kegiatan dalam bidang pendidikan, bidang dakwah dan bidang sosial.

Ketiga bidang itu merupakan harga mati bagi organisasi ini. Karena sejak didirikannya hingga sekarang, organisasi wanita ini tidak pernah melepaskan kegiatannya dari ketiga bidang utama itu.

75

Laporan Pertanggungjawaban PP. Muslimat NU Pada Kongres XIII Periode 1989-1994, H. 9, 10, 12, 13.

Selanjunya, sebagai interpretasi terkait peranan yang dimainkan Asmah Syahruni selama ia menjabat sebagai PP. Muslimat NU, akan dibahas pada sub-bab di bawah.

a) Bidang Pendidikan

Seperti dalam organisasi lainnya bahwa setiap pimpinan pada masing-masing periode bisa dipastikan memiliki perbedaan dalam beberapa hal yang paling menonjol. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa pimpinan dalam periode tersebut terkadang hanya melanjutkan atau menyempurnakan program yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh pimpinan dalam periode sebelumnya. Hal ini juga terjadi dalam kepemimpinan Muslimat NU pada masa Asmah Syahruni.

Namun, yang menarik dalam organisasi kewanitaan ini adalah adanya tiga periode dalam kepemimpinan oleh orang yang sama. Artinya orang tersebut memegang Pucuk Pimpinan selama tiga periode berturut-turut. Ini bisa dikatakan bahwa dalam periode pertama jabatannya sebagai pimpinan, Ia hanya melanjutkan atau menyempurnakan program-program yang telah dilaksanakan oleh pimpinan pada periode sebelumnya. Asmah Syahruni sebagai orang yang menjabat ketua umum dalam periode ini menyatakan dalam laporan pertanggung jawabannya dalam periode 1979/1984 (periode ini adalah periode di mana Ia menjabat sebagai ketua umum yang pertama Muslimat NU) pada Kongres Muslimat NU ke-XI bahwa periode ini merupakan (masih berada) pada sisa-sisa transisi sebagian permasalahan yang belum terselesaikan dalam periode sebelumnya. Periode ini juga merupakan sebagai penyempurnaan program

kerja, misalnya tentang atribut Taman Kanak-Kanak, tentang sikapnya terhadap PKK dan lain-lain.76

Berbicara mengenai pendidikan, keberadaan Muslimat NU memang tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Sejak semula, dunia pendidikan mempunyai tempat tersendiri dan perhatian khusus di organisasi ini. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Muslimat NU dengan tegas dinyatakan bahwa salah satu tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan derajat kehidupan masyarakat, terutama kaum wanita Indonesia. Hal ini tentunya harus ditunjang dengan pendidikan.

Pandangan Muslimat NU tentang pendidikan tercermin dalam hasil kongres pertama. Pembangunan materil hanya berhasil jika diimbangi dengan pembangunan spiritual. Oleh karena itu harus ada usaha untuk mengintensifkan dan memperluas lembaga-lembaga pendidikan bagi kaum wanita untuk menyadarkan para wanita Indonesia akan kewajibannya agar menjadi ibu yang sejati. Sehingga mereka dapat ikut serta memperkuat dan membantu pekerjaan NU dalam menegakkan dan melestarikan agama Islam.77 Usaha bidang pendidikan secara lebih jelas lagi dirumuskan dalam kongres ke III. Dalam kongres yang berlangsung di Jakarta, 30 April – 3 Mei 1950 disahkan orientasi program dalam menangani kegiatan pendidikan khususnya pendidikan bagi anak-anak dan kaum wanita dalam urgensi programnya.78

76

Asmah Syahruni, Laporan Pertanggung Jawaban P.P. Muslimat NU Periode 1979/1984pada Kongres Muslimat NU KE-XI, Probolinggo, 1984. h. 3.

77

Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 31 78

Dalam Kongres VIII di Solo Desember 1962, diputuskan program organisasi bidang pendidikan. Pada tiap-tiap cabang Muslimat NU harus diusahakan paling tidak berdiri satu Sekolah Taman Kanak-Kanak (STK). Pada kongres ini Muslimat NU juga membuat rekomendasi yang ditujukan pada LP Ma’arif NU agar lembaga itu mendirikan akademi dakwah.79 Hal ini bertujuan untuk menciptakan kader-kader dakwah yang pada saat itu dirasa sangat penting. Saat itu Muslimat telah memiliki 400 STK di seluruh Indonesia.80

PP LP Ma’arif dalam konferensi besarnya tanggal 30 Agustus 1969 menyerahkan tugas pengelolaan taman kanak-kanak kepada Muslimat NU. Saat itu Muslimat telah lama mengintruksikan kepada cabang-cabangnya untuk mensukseskan pendidikan pra-sekolah dengan mendirikan STK Muslimat NU disetiap ranting. Dasar pemikiran ini adalah karena taman kanak-kanak merupakan lembaga pendidikan yang pertama kali memberikan bimbingan dan pembinaan rohani maupun jasmani untuk perkembangan anak di bawah tujuh tahun secara sistematis.81

Pada tahun 1987 Muslimat menempuh Langkah strategis dan berjangka panjang. Untuk menangani kegiatan bidang pendidikan yang semakin besar jumlah dan tuntutannya, Muslimat membentuk Yayasan Bina Bakti Wanita. Yayasan ini pada mulanya memang hanya menangani kegiatan pendidikan dan latihan keterampilan bagi perempuan, hasil

79

Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 34 80

Ali Zawawi, dkk, Asmah Sjahruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman dari kalangan Nahdlatul Ulama, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. 65

81

kerjasama Muslimat dengan Depnaker. Namun, sejak 12 Oktober 1990, yayasan ini tidak hanya berfungsi mengelola kegiatan pendidikan dan latihan keterampilan, tapi juga mulai dilimpahi tugas untuk mengelola seluruh kegiatan pendidikan yang bernaung di bawah bendera Muslimat NU. Untuk keperluan itu, maka Yayasan Bina Bakti Wanita pada tanggal 1 April 1992 diubah namanya menjadi Yayasan Pendidikan Islam Muslimat NU Bina Bakti Wanita (YPM NU Nabawi). Sampai tahun 1995, yayasan ini telah berkembang di enam Provinsi dan delapan Kabupaten. Untuk menjalankan program bidang pendidikan, yayasan menjalin kerjasama dengan beberapa instansi dan LSM di dalam dan luar negeri sebagai mitra, seperti Depnaker, YIS, Yayasan Melati, Unicef, AIDAB, HKI, dan WHO.

82

Pada masa kepemimpinan Asmah Syahruni tahun 1989, Muslimat NU telah berhasil membangun 3.916 buah TK dan 56 buah Diniyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian pada masanya, Muslimat NU telah mengikutsertakan anggotanya untuk mengikuti kursus administrasi kesekretarisan yang diadakan KOWANI.83 Setelah ia melepaskan jabatannya pada tahun 1995 jumlahnya meningkat menjadi 4.491 STK dan 1.525 TPQ.

Pada tahun 1993, Muslimat menyusun buku panduan penyelenggaraan STK dan TPQ serta panduan pelaksanan pesantren kilat. Selain itu juga menyelenggarakan lokakarya pembangunan dan pembinaan pendidikan Muslimat NU. Keinginan Muslimat untuk bisa

82

Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 41 83

Laporan Pertanggung Jawaban PP MUslimat NU Pada Kongres Muslimat NU Ke XII, Kaliurang, Yogyakarta, 1989.

menyelenggarakan kegiatan pendidikan selain STK dan TPQ cukup besar, terutama untuk bidang-bidang pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia wanita.

Selain lembaga pendidikan formal, Muslimat juga menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan non-formal. Misalnya Muslimat menjalin kerjasama dengan pengasuh pesantren putri untuk meningkatkan pendidikan dan pengajaran di kalangan santri putri. Pesantren putri merupakan basis Muslimat dan para santrinya merupakan calon kader-kader pimpinan Muslimat NU.

Kegiatan pendidikan yang dikelola Muslimat NU secara garis besarnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu TK/TPQ dan Madrasah Diniyah (MD), Majlis Taklim Ibu-ibu dan pelatihan keterampilan. Untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan ini, Muslimat NU bekerjasama dengan Departemen tenaga Kerja Republik Indonesia dan Lakpesdam (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia).

b) Bidang Dakwah

Dakwah adalah salah satu karakteristik yang sangat menonjol pada NU, begitupun pada Muslimat NU. Tradisi kehidupan mimbar sangat identik dengan warga nahdliyin. Banyak Da’iyah yang ternama di Muslimat. Penggalangan potensi dalam bidang ini menjadi salah satu kegiatan yang juga memperoleh perhatian intensif dari Muslimat NU untuk menunjang program penyuluhan dan bimbingan keagamaan di kalangan wanita Indonesia. Peranan yang dimainkan Muslimat NU pada

masa Asmah Syahruni juga tidak lepas dari kegiatan dalam bidang dakwah tersebut.

Pada tanggal 30 April 1981, dibentuk Perhimpunan Dakwah Indonesia (NADWAH) untuk menunjang kegiatan Nahdliyin. Namun sangat disayangkan pada saat itu wadah ini belum terbina dengan baik mengenai nama maupun mengenai pembinaan wadah ini. Walaupun belum terbina dengan baik, namun dibeberapa daerah telah ada cabang NADWAH yang berjalan dengan baik.84

Untuk menggalang potensi dalam bidang ini dan untuk mengefektifkan dalam bidang dakwah, maka para da’iyah Muslimat NU bersama Fatayat NU pada tahun 1984 dalam Kongres XI di Paiton, Jawa Timur membentuk Himpunan Da’iyah Muslimat dan Fatayat (HIDMAT) NU. Melalui wadah inilah Muslimat NU secara terencana dan intensif melakukan kegiatan penerangan dan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Pengajian atau tabligh akbar merupakan salah satu kegiatan rutin yang diselenggarakan wadah ini.

Bagi Muslimat NU, dakwah merupakan panggilan hidup untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu forum-forum pengajian, ceramah-ceramah, dan sejenisnya berkembang sangat pesat. Bahkan forum seperti itu pada mulanya dinilai cukup efektif untuk menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengadakan transformasi sosial di kalangan warga Muslimat NU.

84

Beberapa kegiatan yang dilakukan HIDMAT NU, antara lain pengajian rutin, lailatul ijtima’, peringatan hari-hari besar Islam, tahlil kubro, tabligh akbar, dan kegiatan dakwah Islamiyah lainnya. Untuk mengefektifkan kegiatan dakwah, selain menempuh jalur penerangan dan dakwah secara oral, Muslimat juga memanfaatkan media penerbitan. Selain mengadakan orientasi dan kursus junalistik, PP Muslimat NU pernah menerbitkan Risalah Muslimat NU, Gema Muslimat dan Gema Harlah Muslimat serta bulletin Yasmin yang diterbitkan secara berkala. Pemberitaannya mencakup segala bidang dan perkembangan-perkembangan Muslimat NU, serta sebagai sarana memelihara kelangsungan komunikasi antara pusat dan daerah. Pada periode ini, Muslimat pernah mendapat kesempatan mengikuti seminar Dakwah Wanita di Kuala Lumpur yang diwakili oleh Aisyah Dahlan yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua III PP Muslimat juga ketua bidang dakwah.85

Sejauh mana mengukur keberhasilan Asmah Syahruni dalam kepemimpinan Muslimat NU, bisa kita bandingkan dengan tokoh perempuan lain dalam suatu organisasi lain pula yang sezaman dengannya. Muslimah Humam, ia adalah salah satu dari sekian tokoh Nasyi’atul Aisyiyah (NA), suatu organisasi keputrian yang bernaung di bawah Muhammadiyah.

Dalam membandingkan ketokohan seseorang pada sebuah oragnisasi, tentu kita tidak bisa mengukurnya hanya pada tataran pribadi orang itu sendiri. Lebih dari itu, bagaimana orang tersebut memiliki kemampuan dalam

85

melaksanakan program-programnya. Adapun untuk mengukur suatu keberhasilan dari sebuah organisasi di mana mereka terlibat, tentunya kita bisa melihat program-program apa saja yang telah direalisasikan sesuai dengan amanat organisasi tersebut. Untuk itu sebagai perbandingan, di sini penulis mencoba mengukurnya melalui program-program pada masing-masing organisasi yang telah diamanatkan kepada tokoh organisasi itu sendiri.

Secara garis besar, kedua organisasi ini memiliki program-program baku yang telah ditetapkan sejak didirikannya. Namun yang membedakan di sini adalah, jika Asmah Syahruni sebagai tokoh Muslimat dari satu periode ke periode berikutnya mampu mengembangkan program-programnya,86sementara Muslimah Humam sebagai tokoh Nasyi’atul Aisyiah memiliki kemampuan melanjutkan pelaksanaan program-program yang telah ditetapkan oleh organisasinya.87

Namun demikian, bisa dilihat bahwa Asmah Syachruni dalam kepemimpinannya mencoba untuk merealisasikan semua program-program yang telah ditetapkan, sementara Muslimah Humam mengambil prioritas utama dalam pelaksanaan program dalam setiap periode. Di antara lima program yang telah ditetapkan, prioritas utama yang dijalankan Muslimah Humam adalah kaderisasi (1985-1990) dan kemubalighatan (1990-1995).88

86

Pada periode pertama jabatannya sebagai Pucuk Pimpinan Muslimat NU, program-program atau bidang garapan Asmah Syahruni adalah; Bidang Sosial/Kesehatan, Bidang pendidikan, Bidang Dakwah, Bidang Usaha/Ekonomi dan proyek khusus Penataran Undang-Undang Perkawinan. Pada periode kedua di tambah satu bidang Ikatan Hajjah Muslimat (IHM). Pada periode ketiga bidang IHM tidak ada lalu diganti Bidang Organisasi dan Litbang. Lih. Asmah Syachruni, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 1979-1984, 1984-1989, 1989-1995, h. 4, 6, 19-20.

87

Bidang-bidang kelanjutan yang dijalankan kedua tokoh Nasyi’atul Aisyiah adalah; Bidang Konsolidasi Organisasi, Bidang Kaderisasi, Bidang Dakwah, Bidang Kemasyarakatan dan Bidang Pengkajian. Lih. Pengurus Pusat Nasyi’atul Aisyiah, Keputusan Munas Nasyi’atul Aisyiah II, Yogyakarta, 1995.

88

Pengurus Pusat Nasyi’atul Aisyiah, Sejarah Singkat Nasyi’atul Aisyiyah dan Khittah Perjuangannya, Ypgyakarta, 1996.

Secara keseluruhan, perbandingan di antara kedua tokoh organisasi wanita ini adalah; Asmah Syahruni dalam membidangi organisasinya lebih fleksibel, dalam arti ia adalah sosok yang bisa beradaptasi dengan keadaan atau kultur yang ada di organisasi yang memang berkultur Islam tradisional ini. Ini mungkin bisa dipahami bahwa dari dulu pendekatan-pendekatan yang dilakukan para tokoh NU dari pimpinan sampai bawahan lebih bersifat kekeluargaan, bukan bersifat keorganisasian. Ini juga diperkuat dengan adanya slogan “manut ulama”. Maka tak heran jika Asmah Syahruni dalam kepemimpinannya sama sekali tidak menunjukkan superioritas dalam organisasinya. Hal ini bisa berpengaruh pada sebuah pelaksanaan program yang lebih bersifat semangat kekeluargaan yang terkesan tidak formal. Walau demikian program tetap terlaksana. Karena itu merupakan langkah strategis bagi kalangan Muslimat NU dalam merealisasikan program-program garapannya.

Lain halnya dengan Muslimah Humam, sebagai orang yang bernaung dalam organisasi yang lebih modern, ia selalu melaksanakan program-programnya sesuai dengan aturan-aturan formal dan prosedural. Ini memang sudah menjadi ciri daripada organisasi yang menaunginya, yaitu Muhammadiyah.

Bagaimana jika dibandingkan dengan Aisyiyah, sebuah organisasi wanita Muhammadiyah. Di mana letak kekurangan dan kelebihan kedua organisasi wanita tersebut. Sulit untuk mencari kelebihan dan kekurangan sebuah organisasi tanpa kita, minimal pernah mengalami atau ikut terlibat langsung dalam kedua organisasi tersebut. Walau demikian, ini tidak menghalangi suatu penilaian terhadap sebuah organisasi.

Secara organisatoris, Aisyiyah memiliki program utama di antaranya, bidang kesehatan, tablig, pengkaderan dan pembinaan generasi muda, pendidikan, ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan sosial, partisipasi kebangsaan serta konsolidasi. Namun seiring jalannya waktu, Aisyiyah juga menambah agenda kegiatan berupa pengkajian dan iptek, hukum dan hak asasi manusia. Ini bisa dilihat dari muktamar-muktamar yang diadakannya, di mana Aisyiyah selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan perannya dalam memperjuangkan terbentuknya masyarakat madani.89

Mufnaetty Shofa, sebagai orang yang pernah menjadi tokoh Aisyiyah pada masanya telah mampu membawa Aisyiyah menjadi organisasi wanita yang cukup berpengaruh di Indonesia. Dengan kemampuannya, ia membawa organisasi ini mampu bekerja sama dengan pemerintah, pihak swasta dalam maupun luar negeri serta kerjasama dengan organisasi wanita setingkat. Dalam kepemimpinannya, ia mengedepankan kekompakan dan kerjasama. Menurutnya, untuk memperoleh kualitas kepemimpinan tersebut dari satu orang bukanlah hal yang mudah, tetapi karena kepemimpinan bersifat kolegial, kualitas tersebut dapat dipenuhi dengan kepemimpinan kolektif dalam sebuah tim yang terdiri dari berbagai keahlian. Kepemimpinan kolegial akan bermakna ketika pimpinan mampu menghidupkan kerjasama dalam menghimpun dan mengkombinasikan sumberdaya yang ada serta mampu menghidupkan permusyawaratan. 90

89

Mufnaetty Shofa, Aisyiyah dan Dinamika Dakwah, www.suaramerdeka.com, 02 Juli 2005.

90

BAB V KESIMPULAN

Dari pembahasan skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa menjelang berdirinya Muslimat Nahdlatul Ulama, Indonesia dalam keadaan mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah.

Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, berbagai organisasi lain menyusul dibentuk, termasuk juga organisasi wanita. Pada tanggal 22 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Kongres ini berhasil membentuk Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), yang merupakan asal-usul historis badan federasi yang saat ini dinamakan Kowani. Pada tahun 1929 PPPI berubah menjadi Perserikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPPI), kemudian berubah lagi menjadi Kongres Perempoean Indonesia pada tahun 1935.

Sekolah-sekolah mulai menghasilkan gadis-gadis dan wanita-wanita terpelajar. Bersamaan dengan itu, munculah gerakan-gerakan dan perserikatan-perserikatan wanita, baik yang bercorak kebangsaan maupun keagamaan. Salah satunya adalah lahirnya Muslimat Nahdlatul Ulama.

Gagasan tentang pentingnya dibentuknya Muslimat Nahdlatul Ulama sudah muncul sejak Muktamar NU yang pertama pada tahun 1926. Hal ini ditandai dengan hadirnya beberapa tokoh perempuan, meskipun saat itu perempuan belum menjadi bagian dari NU. Sejak didirikannya NU hingga Kongres ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938 yang diwarnai dengan perdebatan sengit, kaum wanita telah aktif berorganisasi. R. Djuarsih dan Siti Syarah tampil sebagai pembicara, mewakili warga jamaah perempuan. Setahun

kemudian, ide tentang Muslimat NU kian terasa kuat ketika berlangsung Muktamar ke-14 di Magelang tahun 1939.

Pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan dengan 26 Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jamaah wanita NU untuk berorganisasi diterima dengan suara bulat oleh para utusan Muktamar NU di Purwokerto, dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM).91 Diresmikannya Muslimat NU sebagai bagian NU merupakan tuntutan sejarah yang dinilai oleh Jamiah NU pada saat itu sudah sampai pada tahap perkembangan yang memerlukan hadirnya wanita dalam kancah perjuangan dan organisasi. Pandangan ini dikemukakan hanya oleh sebagian kecil ulama NU, seperti KH. Muhammad Dahlan, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Syaifuddin Zuhri. Kemudian Mulimat di pimpin oleh Hj. Chodijah Dahlan dalam dua periode dan Mahmudah Mawardi dalam satu periode

Asmah Syahruni merupakan pemimpin setelah Mahmudah Mawardi. Ia memimpin Muslimat NU cukup lama yaitu, selama tiga periode. Periode pertama pada tahun 1979 dalam Kongres X di Semarang, periode kedua pada tahun 1984 pada Kongres XI di Probolinggo dan periode ketiga pada tahun 1989 pada Kongres XII di Yogyakarta.

Perkembangan selanjutnya dalam beberapa periode kepemimpinannya, Asmah Syahruni telah mampu membawa organisasi ini mampu berdiri sendiri sebagai organisasi kemuslimatan. Ia juga mampu merubah organisasi wanita ini menjadi sebuah organisasi yang besar, di mana kebesaran organisasi ini sejajar dengan organisasi wanita lain yang ada di Indonesia.

91

Sebagai seorang pimpinan, Asmah Syahruni selalu bersikap tegas. Namun demikian, bukan berarti ia otoriter dalam kepemimpinannya. Sikap ketegasannya diiringi dengan sikap ramahnya terhadap sesama anggota. Ia selalu kuat dalam keputusannya. Namun demikian, tidak jarang ia bersikap lentur terhadap apa yang telah menjadi keputusan para kiai NU.

Ciri khas kepemimpinan Asmah Syahruni melalui cara pendekatan kekeluargaan telah membawa organisasi ini semakin memiliki banyak anggota. Dengan cara itu pula organisasi ini pada akhirnya mampu menjalankan program-programnya. Beberapa program yang telah direalisasikan Asmah Syahruni selama tiga periode dalam kepemimpinannya di Muslimat NU adalah :

1. Mengadakan konsolidasi dengan para anggota

2. Menyelenggarakan Konferensi antar wilayah untuk mentakhfidz keputusan Kongres pada 25 s/d 27 Maret 1981 diteruskan dengan Diskusi Panel tentang :

a. Undang-Undang Perkawinan dan pelaksanaannya

b. Kedudukan wanita dalam Hukum Islam dan Hukum Negara

3. Bagian Dakwah telah mengadakan Lokakarya Peningkatan Dakwah Wanita Muslimat.

4. Pelaksanaan tawaran kerja sama dengan The Pathfinder Fund Indonesia dalam upaya memasyarakatkan Undang-Undang Perkawinan. Oleh PP. Muslimat NU ini dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk mengadakan peninjauan ke daerah-daerah.

5. Mengadakan kegiatan sosial. Ini merupakan kegiatan rutin yang selalu dijalankan oleh Muslimat dalam setiap periode.

Di atas merupakan kegiatan yang direalisasikan Asmah Syahruni dalam periode pertama kepemimpinannya.

Periode kedua kepemimpinan Asmah Syahruni memperlihatkan kegiatannya pada cakrawala yang lebih luas. Tidak hanya pada batas-batas untuk melanjutkan

Dokumen terkait