• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGERTIAN UMUM

B. Perjanjian Baku Secara Umum

Perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standart

contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah

dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah:

“Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah ssatu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umunya para pihak hanyamengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpaperubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak baku

an sich adalah netral”.39

Menurut Mariam Badrulzaman bahwa standar kontrak merupakan perjanjian yang telah dibakukan dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

39

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; d. Bentuk tertentu (tertulis);

e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.40

Hakekatnya dari perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya perjanjian tersebut, maka ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, maka perjanjian itu dianggap tidak ada, karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Dalam praktiknya, sering kali debitur yang hanya menandatangani perjanjian tersebut tanpa dibacakan isinya. Namun isi perjanjian baru dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu melaksanakan prestasinya. Kreditur berpendapat bahwa di dalam standar kontrak telah ditentukan dan diatur secara jelas dan rinci, sehingga tidak ada alasan bagi debitur untuk menolak pemenuhan prestasi tersebut.

Terlihat dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur kontrak baku, yaitu:

1) Diatur oleh kreditur atau ekonomi kuat; 2) Dalam bentuk sebuah formulir; dan

3) Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.41

40

Mariam Darus Badrulzaman (3), Perjanjian Baku(standard),Perkembangannya di Indonesia,Alumni,Bandung, 1980,hal.4

41

Salim H.S, Erlies S.N (3),Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta,2014,hal.101

Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang kontrak standar. Hal ini sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat.

2. Bentuk dan Jenis Perjanjian Baku

Bentuk perjanjian baku atau standar yang dibuat salah satu pihak adalah berbentuk tertulis. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pihak ekonomi kuat. Isinya dituangkan dalam klausul baku. Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut UUPK, klausul baku adalah:

“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan atau ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh

konsumen”42

Kajian defenisi diatas, maka klausul baku itu dituangkan dalam satu dokumen atau perjanjian. Pembuatan klausul baku ini tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik. Oleh karena itu, Hondius mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di hampir semua bidang di mana dibuat kontrak. Beberapa aktivitas penting dan cabang-cabang perusahaan, dimana banyak perjanjian dibuat atas dasar syarat baku, seperti:

a. Perjanjian kerja (perjanjian kerja kolektif); b. Perbankan (syarat-syarat umum perbankan);

42

c. Pembangunan (syarat-syarat seragam administrative untuk pelaksanakan pekerjaan);

d. Beli sewa;

e. Sektor pemberian jasa-jasa; f. Sewa menyewa;

g. Dagang dan perniagaan; h. Perusahaan pelabuhan; i. Pemberian kredit; j. Urusan makelar;

k. Praktik notaris dan hukum lainnya; l. Urusan asuransi.43

Hondius mengemukakan bahwa kiranya tidak tepat kalau ada kesan seakan-akan hampir semua transaksi dibuat atas dasar syarat-syarat baku. Tidak semua transaksi cocok untuk dibakukan, sebagai contoh kontrak yang tidak cocok dibakukan adalah:

1) Jenis-jenis kontrak baru dan hubungan hukum baru;

2) Transaksi antara pengusaha dan seorang partikelir, yang segera dilaksanakan dalam hal mana pengusaha tidak ada risiko besar (misalanya penjualan bahan makanan);

3) Transaksi antara golongan swasta satu dengan swasta lain (penjualan mobil bekas);

4) Perjanjian-perjanjian, kedua belah pihak segan mempergunakan dokumen-dokumen (misalnya transaksi gelap, tidak diberikan nota karena kedua belah pihak mengelakkan undang-undang pajak peredaran).

Mariam Darus Barulzaman membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis, yaitu:

43

Hondius,Syarat-syarat Baku dalam Hukum Kontrak,Artikel dalam Kompendium Hukum Belanda,Gravenhage,1978,hal.141

a) Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur;

b) Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

c) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjnajina yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No.104/dja/1977 berupa antara lain akta jual beli;dan

d) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjnajian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, di dalam perpustakaan belanda, jenis keempat ini disebut contract model.

Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai jenis perjanjian yang berlaku di Indonesia, Salim H.S dan Erlies S.N telah menginventarisir berbagai kontrak yang

telah dibakukan. Kontrak itu dapat dikaji dari objeknya. Jenis-jenis kontrak tersebut sebagai berikut:

(1) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan minyak dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya, kontrak production sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara, kontrak bantuan teknis, dan lain-lain.

(2) Kontrak baku yang dikenal dalam praktik bisnis, sperti kontrak baku dalam perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.

(3) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan, seperti perjanjian kredit bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.

(4) Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan nonbank, seperti perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan modal ventura.

(5) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian asuransi yang dibuat oleh perusahaan asuransi.44

Di samping itu, dikenal juga perjanjian baku yang dikenal dalam pembebanan jaminan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan, fidusia, dan gadai. Perjanjian ini telah dibakukan oleh pemerintah dan lembaga pegadaian.

3. Perlindungan bagi Pemilik Rumah dalam Perjanjian Baku

Perlindungan pemilik rumah dalam perjanjian baku yang dibuat antara agen pemasaran perusahaan properti dengan pemilik rumah sebenarnya tidak diatur jelas dalam undang-undang, akan tetapidapat menghubungkannya dengan UUPK, dimana kedudukan pemilik rumah ini sebagai konsumen pemakai jasa

44

agen pemasaran dalam menjual rumahnya. Yang menjadi isu pokok dalam kesepakatan itu adanya perjanjian standar (baku), yang oleh banyak pihak dinilai tidak adil bagi pihak konsumen.Sehingga banyak pendapat sarjana hukum yang menyatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian, akan tetapi Salim H.S berpandangan bahwa:

“Perjanjian baku memiliki kekuatan mengikat karena kebisaaan yang berlaku dalam masyarakat, yang pada dasarnya masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menandatangani perjanjian baku, seseorang akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, tanpa

memerlukan waktu dan pikiran yang lama”.45

Upaya melindungi hak konsumen atau pemilik rumah yang merasa dalam penandatanganan perjanjian ada upaya penipuan, paksaan maka pembatalan dapat dilakukan seperti pada Pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan tiga alasan untuk melakukan pembatalan perjanjian,yakni:

a. Kekhilafan atau kesesatan (dwaling), b. Paksaan (dwang),dan

c. Penipuan (bedrog).

Tiga alasan dalam Pasal 1321 KUH Perdata ini tetap berlaku sampai sekarang, sekalipun di Belanda telah terjadi perkembangan yang sangat berarti, khusunya dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan ini dimaksud adalah dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik

van omstandigheden). Keempat alasan ini dicantumkan dalam Buku III Pasal 44

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang baru. Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam

45

keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, ada ahli yang berpendapat penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk dari cacat kehendak juga.46

Satu hal yang harus diingat, penyalahgunaan keadaan sejak semula tidak dapat dianggap sebagai hal yang dapat dibenarkan oleh hukum. Sebenarnya, penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kebisaaan yang baik. Atas dasar itu, suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian tertentu saja. Dengan demikian, ada anggapan “sebab” yang terlarang sama dengan “isi” perjanjian yang tidak dibenarkan. Padahal, penyalahgunaaan tidak

semata-mata berkaitan dengan “isi” perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang,

tetapi ada sesuatu yang lain, yang terjadi pada saat lahirnyaperjanjian, yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Inilah yang dinamakan

“penyalahgunaan keadaan”.47

UUPK sendiri secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan faktor penyalahgunaan keadaan ini. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan adanya lima asas perlindungan konsumen, yaitu asas:

1) Manfaat; 2) Keadilan; 3) Keseimbangan;

4) Keamanan dan keselamatan,dan 5) Kepastian hukum.

46

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,Jakarta,2000,hal. 69.

47

Pada asas keadilan, dijelaskan seluruh rakyat diupayakan agar dapat berpartisipasi semaksimal mungkin dan agar diberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannnya secara adil. Kemudian, dalam asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi keseimbangan antara kepentinagan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan sprituil.

Pasal 4 huruf g UUPK dinyatakan pula, salah satu hak konsumen adalah hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan

sebagai keterkaitan dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”, dalam ketentuan

itu dikatakan, setiap konsumen memilik hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.

Dalam Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas dinyatakan, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian standar, Pasal 18 UUPK meletakkan hak-hak yang setara antara konsumen dan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUH Perdata)48, Perlunya perlindungan debitur dalam pelaksanaan perjanjian baku disebabkan karena dalam prakteknya terdapat penyimpangan-penyimpanganyang berupa klausul eksonerasi (exemption clause), klausul eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali

48

tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penjual.49 Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh undang-undang, antar lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar-janji. Ganti rugi ini tidak dijalankan apabila dalam persyaratan eksonerasi tercantum hal itu. Contoh dari klausul eksonerasi adalah:50

a) Adanya pembebasan tanggung jawab pihak pengembang dalam perjanjian pembelian rumah, dalam hal pengembang tidak dapat memenuhi janjinya untuk melaksanakan penyelesaian pembangunan atas rumah yang dibeli, tepat pada waktunya.

b) Adanya pembatasan tanggung jawab ganti rugi bagi perusahaan pengangkutan berkaitan dengan kehilangan barang bawaan penumpang. c) Adanya pembatasan terhadap tanggung jawab terhadap kecelakaan

jasmani yang diderita oleh penumpang.

Dapat dilihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsen/penjual yang lazim disebut sebagai kreditor dan konsumen (debitor) di lain pihak. Serta, penyalahgunaan keadaan dalam klausul perjanjian tersebut. Walaupun harus diakui bahwa klausul yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang kontrak baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan klausul perjanjian tersebut, kecuali jika klausul tersebut merupakan klausul yang

49

Ibid,hal. 141.

50

dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Adapun isi Pasal 18 UUPK adalah:

1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.

2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.

4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, dalam Pasal 18 ayat (3) dinyatakan batal demi hukumsetiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha padadokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) maupun perjanjian baku atau klausula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2). Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang dilarang sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) atau yang memiliki format sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/ atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) undan

UUPK selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UUPK ini. Agar pihak konsumen selaku pemilik rumah tidak lagi merasa dirugikan lagi dalam menjual rumahnya oleh pihak agen pemasaran properti tersebut.

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kebutuhan dasar manusia dalam menjalani kehidupannya minimal adalah ketersediaan akan pangan, papan dan sandang,dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28H ayat (1) dinyatakan bahwa:

“hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat”.

Pemenuhan atas kebutuhan dasar tersebut dalam konteks kenegaraan, merupakan hak rakyat sesuai Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia, yang berarti:

“terpenuhinya kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, perawatan medis dan

pelayanan sosial yang diperlukan”.4

Dalam rangka kelangsungan kehidupannya, ketersediaan papan/ perumahan berarti adanya bangunan rumah sebagai tempat tinggal bagi setiap orang dan keluarganya sebagai warga Negara yang merupakan salah satu tanggung jawab Negara. Pada kenyataannya, pengadaan papan/perumahan saja tidak cukup, tetapi pemilikan rumah oleh warga Negara harus dibarengi dengan adanya lingkungan perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur dan hal itu merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat kehidupan

4Penjelasan Umum UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang antara lain diterangkan bahwa sesuai Deklarasi Rio de Janeiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for Human Settlements. Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Dalam agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia

warga Negara. Dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat kehidupan warga Negara, maka pemilikan rumah harus didukung oleh sarana dan prasarana yang mendukung ketertiban, keamanan dan kenyamanan, tidak hanya keamanan fisik tetapi dikaitkan dengan keamanan dalam penguasaan dan penggunaan tanah dan rumah berupa pemberian jaminan kepastian hukum dalam pemilikan dan pemanfaatan rumah tersebut. Semua itu tidak lepas dari tugas dan peran Negara dalam rangka mensejahterakan rakyat.5

Amanah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat (1), pemerintah telah menetapkan kebijakannya, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disebut UUPKP). Dengan adanya Undang-Undang ini ditujukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam melindungi masyarakat agar mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau didalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan. Disamping sebagai tanggung jawab Negara untuk melindungi masyarakatnya, perumahan yang merupakan salah satu sektor properti memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pemerintah dalam menjalani tanggung jawabnya tidak mampu melakukannya sendiri, maka dari itu diperlukan peran swasta yang dapat membantu pihak pemerintah dalam mengembangkan rumah bagi masyarakat.

Tingginya kebutuhan rumah seiring dengan pertumbuhan penduduk di Indonesia serta perkembangan teknologi dan ekonomi, maka terdapat potensi

5

Muhammad Yamin Lubis,Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti Di Indonesia, Bandung , Mandar Maju, 2013, hal 2.

besar di sektor properti. Bahkan Asosiasi Real Estate Indonesia menyatakan pertumbuhan bisnis properti di Indonesia pada Tahun 2014 berkisar 15-20 persen dan memperkirakan pertumbuhan bisnis properti pada Tahun 2015 berkisar 20-30 persen.6 Besarnya peluang pada bisnis properti, ada satu bidang yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan penyedia jasa konsultasi properti yang biasa disebut sebagai agen properti. Keberadaan agen properti sejalan dengan keinginan sesuatu yang serba cepat dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Maka peluang agen properti ini sangat besar karena kebanyakan orang tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari, melakukan survei dan bernegosiasi dalam hal mencari properti yang mereka butuhkan, para agen properti ini sebagai perwakilan mereka untuk mendapatkan properti yang mereka dambakan.7 Agen properti disini sebagai perantara antara penjual dan pembeli, agar negosiasi dapat berjalan dengan baik dan bertindak sebagai penengah apabila ada hambatan dalam proses negosiasi. Apabila antara penjual dan pembeli dapat mencapai kata sepakat dan dilanjutkan pada proses transaksi, maka agen properti tersebut berhak mendapatkan komisi atau fee dari hasil transaksi unit properti tadi.8

Kesepakatan yang terjadi antara agen properti dengan pemilik rumah selanjutnya dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian tertulis. Mengenai perjanjian maka tidak lepas dari Buku III KUH Perdata, dimana dalam Pasal 1313

KUH Perdata dinyatakan, ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Yang dirumuskan saling mengikatkan diri, artinya pihak yang satu mengikatkan

6

Rei.Or.Id, Bisnis Properti Tumbuh 30 Persen”, http://rei.or.id/liputan-57-bisnis properti tumbuh 30persen, diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.30 WIB.

Dokumen terkait