BAB II : PENGERTIAN UMUM
A. Perjanjan Secara Umum
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa, syarat-syarat sah perjanjian:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama disebut syarat objektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif, karena berhubungan langsung dengan objek perjanjian.
Ad.a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Menurut Subekti, yang dimaksud sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju, atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu
29
yang sama secara timbal balik.30 Cara mengutarakan kehendak ini bisa bermacam-macam, dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam, dengan tertulis (melalui akta otentik atau dibawah tangan) atau dengan tanda.31 Namun dalam mengutarakan kehendak tersebut dapat terjadi adanya ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan baik karena salah menulis atau salahnya sarana komunikasi dalam menyampaikan kehendak. Menentukan kapan terjadinya kesepakatan, ada tiga teori yang menentukannya, yaitu teori kehendak, teori pernyataan dan teori kepercayaan.
Teori-teori tersebut menyatakan sebagai berikut:
1) Teori kehendak
Menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi suatu perjanjian, adalah kehendak para pihak. Suatu perjanjian yang tidak didasarkan atas suatu kehendak yang tidak benar adalah tidak sah.
2) Teori pernyataan
Menurut teori ini yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadiperbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.
3) Teori kepercayaan
Teori ini merupakan perbaikan atas teori kehendak maupun dari teoripernyataan. Menurut teori ini yang menjadi ukuran adalah pernyataan seseorang yang secara objektif dapat dipercaya.32
30
Ibid,hal.7
31
J.Satrio,Hukum Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung,1992,hal.3
32
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa aulia,Bandung,2008,hal.93-94.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.33 Dalam Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka terdapat beberapa unsur yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacatnya suatu kesepakatan. Unsur-unsur tersebut, yaitu:
a) Unsur paksaan (dwang)
Paksaan ialah paksaan terhadap badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang. Tetapi dalam hal ini, di dalamnya undang-undang ada suatu unsur paksaan yang diizinkan oleh undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut dimuka hakim, apabila pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan.34
Paksaan harus menimbulkan rasa takut yaitu rasa takut yang rasional, maksudnya orang lain yang apabila diposisikan dengan suatu paksaan/ pemaksaan tersebut juga akan merasa takut dan terancam (adanya ancaman bagi diri sendiri maupun bagi keluarganya).
b) Unsur penipuan (bedrog)
Penipuan yaitu apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.
33
Riduan Syahrani,Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata Cet-3,Alumni,Bandung,2006,hal 205.
34
C.S.T. Kansil,Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita,2006,hal.224.
c) Unsur kekeliruan/kekhilafan (dwaling)
Kekeliruan atau kekhilafan dapat terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum dan kekeliruan terhadap barang atau objek hukum.
d) Unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van de omstandingheden) Hukum perjanjian dalam perkembangannya di Negeri Belanda menerima penyalahgunaaan keadaan sebagai alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, selain yang tradisional atau klasik, seperti paksaan, penipuan, atau kekhilafan tersebut. Mengenai penyalahgunaaan keadaan ini dalam BW Belanda yang baru (NBW), diatur dalam Buku III, Pasal 44 ayat (1), dalam ketentuan ini penyalahgunaan keadaan ditempatkan sebagai cacat kehendak yang keempat, disamping paksaan, penipuan, dan kekhilafan.35
Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Semua orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1329 KUH Perdata. Dengan demikian apabila tidak dinyatakan dalam undang-undang bahwa seseorang tidak cakap membuat suatu perikatan, maka seseorang tersebut merupakan orang yang cakap untuk membuat suatu perikatan. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
Pengertian orang-orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1330 KUH Perdata. Menurut Pasal 330
35
KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, “Belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih
dahulu kawin”. Dengan demikian yang termasuk golongan orang-orang yang belum dewasa adalah orang yang belum kawin dan belum berumur 21 tahun. Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, maka ketentuan umum dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun (sudah pernah kawin) ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No.477K/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976.
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
Pengertian orang yang di bawah pengampuan (curatele) menurut Pasal 443 KUH Perdata dinyatakan bahwa, “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, dan boros”.
Dengan kata lain bahwa yang di bawah pengampuan yaitu orang yang sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun tetapi tidak mampu karena pemabuk, gila, dan pemboros.
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun ketentuan ini telah dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.
Ad.c. Syarat hal tertentu;
Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai benda dalam suatu perjanjian antara para subjek hukum, apakah menyangkut
benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. Dalam Pasal 1332 sampai Pasal 1334 KUH Perdata dijabarkan mengenai keharusan adanya suatu objek dalam perjanjian, hal ini adalah konsekuensi logis dari perjanjian tertulis itu sendiri. Tanpa adanya suatu objek, yang merupakan tujuan dari para pihak, yang berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para pihak dalam perjanjian, maka perjanjian itu sendiri absurb adanya.36
Ad.d. Syarat sebab yang halal.
Isitilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan, hal tersebut dikuatkan dari pernyataan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu kausa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Pasal 1337 KUH Perdata memberikan perumusan secara negatif, dengan dinyatakan bahwa suatu kausa dianggap secara terlarang, jika kausa tersebut dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Hakim yang dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
36