Konsep Alquran
1. Perjanjian dengan Setan
TERSEBUTLAH seorang ulama bemama Abid. Ia tekun menjalankan ibadah. Bertahun-tahun lamanya menyembah Allah dan tak pemah berbuat dosa. Sepanjang waktu, dia sibuk berzikir dan berdoa. Hampir tak pemah keluar dari tempat ibadahnya. Sementara itu terdengar desas-desus tentang banyaknya orang yang mendatangi sebuah pohon besar untuk keperluan penyembahan. Pohon itu sudah beratus-ratus tahun tumbuh di dekat kuburan. Sekarang daunya rimbun dan batangnya kokoh. Entah siapa yang memulai sampai-sampai tempat itu ramai dikunjungi orang. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk membakar kemenyan dan berdoa di sana. Untuk menambah kesan angker, beberap a bagian pohon itu dibalut kain putih. Sungguh mengerikan!
Kabar tentang kemusyrikan itu sampai pula ke telinga Abid. "Kemusyrikan itu tidak boleh dibiarkan!" pikir Abid dalam hati. Sebagai orang beriman, Abid merasa bertanggungjawab untuk meluruskan perilaku mereka. Cara yang dianggap tepat adalah memusnahkan pohon itu.
Sejak pagi Abid sudah sibuk mengasah kapaknya. Lalu bergegas pergi untuk melaksanakan niatnya, menebang pohon tersebut. Tapi di tengah jalan ia dicegat oleh orang yang belum pemah dikenal sebelumnya. Sebenarnya orang asing itu adalah jelmaan setan penunggu pohon besar. Rupanya setan tahu rencana Abid dan takkan membiarkan pohon keramat itu dimusnahkan.
"selamat pagi Kiai," sapa orang itu ramah sekali. Dengan ramah Abid tersenyum dan membalas dengan ucapan yang sama.
"Tidak seperti biasanya, Kiai keluar dari tempat melihat seorang ulama terkenal berjalan pagi-pagi peribadatan. Bahkan, aku merasa aneh dengan memanggul kapak. Hendak ke manakah, Kiai?" tanya orang yang berlagak akrab itu.
"Aku hendak menebang pohon di dekat kuburan," jawab Abid. "Mengapa tidak menyuruh orang lain saja, Kiai?" tanya orang itu. "Aku merasa bertanggung jawab sehingga harus kulakukan sendiri,” jawab Abid. "Bukankah pohon itu sekarang ramai dikunjungi orang. Bagaimana nanti kalau ditebang?" kata setan. "Justru karena itulah aku bermaksud merobohkannya. Agar tidak dikunjungi orang," jawab Abid.
“Kiai terlalu berani. Padahal tindakan Kiai akan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi keselamatan diri sendiri," lanjut orang itu. "Tak perlu ada yang ditakutkan," ujar
Abid. "Jika pohcin itu dirobohkan, maka mereka yang memujanya akan marah. Bisa jadi mereka beramai-ramai membantai Kiai. Termasuk akulah orang yang tidak akan membiarkan pohon sembahan itu musnah dari muka bumi," ujar orang asing itu.
Abid merasakan firasat yang tidak baik. Tiba-tiba ia curiga kepada orang asing yang sejak tadi mengajaknya bicara. Kedua mata Abid menatap lekat-lekat kepada orang itu. Akhirnya Abid sadar bahwa orang yang ada di hadapannya tersebut adalah setan.
"Minggirlah, aku mau lewat!" bentak Abid mulai jengkel. Orang itu tak mau membuka jalannya. Ia tetap berusaha menghalang-halangi langkah Abid."Tidak! Aku tidak mengizinkanmu merobohkan pohon itu!" kata orang tersebut.
Keduanya tidak mau mengalah. Mereka akhirnya bertengkar. Orang itu mengarahkan tinjunya ke wajah Abid. Namun dengan gesit Abid menggeser tubuhnya ke samping. Akibatnya, pukulan itu hanya mengenai udara. Abid tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan musuhnya. Selanjutnya, tangan kiri Abid menyambar bagian leher. Seketika itu musuhnya tak berkutik.
"Kalau sudah begini, apakah kau masih ingin menghalangi niatku?" tanya Abid dengan napas tersengal sengal. "Maafkan aku. Kiai! Sungguh aku tak akan lagi menghalangi niat Kiai. Tolonglah lepaskan cengkraman ini!" orang asing itu merengek-rengek.
Abid pun melepaskan cekalan tangannya. Orang asing tersebut mundur selangkah dan membiarkan Abid pergi.
Tetapi baru saja beberapa meter berjalan, tiba-tiba Abid diserang dari belakang.
Dengan serta merla Abid membalikkan tubuhnya dan menyerang musuhnya kembali. Ia melancarkan pukulan dan tendangan telak. Dengan jitu, kaki Abid mendarat di lambung orang asing itu. Disusul pula dengan pukulan yang mengenai rahang dan pelipis, sehingga orang itu terdesak. Abid tak memberi kesempatan sama sekali. Kaki kanannya menjegal kaki kiri musuh. Seketika musuh terjatuh. Abid segera menendang dan menginjak leher musuhnya itu sampai benar-benar tak berdaya. Musuhnya berteriak-teriak mohon ampun dan mencoba merayu Abid.
"Ampun Kiai, lepaskan aku!" pintanya dengan bersikap manis. "Tidak! Kali ini kupatahkan lehermu, " bentak Abid geram. Akan tetapi, betapa pandainya setan itu membujuk rayu sehingga Abid pun benar-benar berubah pendirian. Ia lalu melepaskan musuhnya.
"Kiai, hendaknya jangan buru-buru menilaiku jahat. Jangan pula menganggap kalau aku menghalang-halangi niat Kiai. Semua ini kulakukan demi kebaikan Kiai. Jika Kiai mengerti maksudku yang sebenarnya, maka Kiai tak mungkin membenciku. Bahkan Kiai akan berterima kasih kepadaku," kata orang itu membujuk Abid.
"Jangan banyak bicara, katakan saja apa yang kau maksudkan!" bentak Abid.
"Sebenamya sudah lama sekali aku mengamati kehidupan Kiai yang memprihatinkan. Hatiku jadi terenyuh," kata setan. "Mengapa?" tanya Abid.
"Kiai sangatbaik, dermawan, sopan, ahli ibadah, dan hampir tak pemah berbuat dosa, meski terhadap seekor semut sekalipun. Tapi Kiai tetap saja hidup melarat. Hidup Kiai ternvata lebih buruk jika dibandingkan dengan saudara-saudara, teman-teman, dan orang-orang di sekitamya. Alangkah sayangnya jiwa mumi dan hati bersih, tetapi hidup dalam kemelaratan."
"Aku tidak butuh harta karena aku lebih suka mendambakan serta berbakti kepada Allah.
Karena ibadah yang kulakukan, kelak aku akan mendapat pahala dari-Nya." "Oooo... itu pikiran yang sangat bodoh, Kiai. Pikirkan, seandainya kita kaya, maka kita akan dapat melakukan ibadah dengan sempuma dan lebih tenang. Ingat Kiai, kemiskinan dapat menjerumuskan orang dalam kekafiran. Aku khawatir, kemelaratan Kiai akan menyebabkan Kiai jadi kafir. Padahal puluhan tahun lamanya Kiai berjuang untuk mencegah dosa. Berpuluh tahun lamanya Kiai tekun menjalankan ibadah. Alangkah, sayangnya jika perbuatan baik itu menjadi rusak karena kemelaratan," kata orang tersebut mempengaruhi pendirian Abid.
Abid tampak diam. Agaknya Ia mulai terpengaruh bujukan musuhnya. Pendiriannya mulai goyah. Dalam'hati, ia membenarkan ucapan yang baru saja didengamya itu.
"Selama ini, Kiai hanya sembahyang, berzikir, dan berdoa kepada Allah. Sampai-sampai tak penah keluar dari tempat peribadatan. Padahal, diluar banyak fakir miskin dan anak yatim yang perlu disantuni. Mereka perlu dibantu. Bersedekah merupakan ibadah yang tak temilai pahalanya. Amat besar Kiai. Balasannya sungguh luar biasa dibandingkan dengan amalan lainnya. "
"Maksudmu?" tantya Abid kemudian. "Apakah selama ini Kiai pemah bersedekah? Aku yakin Kiai tak pemah memberi sesuatu kepada fakir miskin dan anak yatim. Sebab, Kiai sendiri miskin. Berarti Kiai telah menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih pahala yang besar. "
"Kuakui, memang aku tak pemah bersedekah. Tetapi aku tekun menjalankan ibadah kepada Allah," ujar Abid. "Nah, itulah kelemahannya, " kata orang tersebut seakan akan meremehkan. "sebenamya harta itu penting. Penting sekali, Kiai!"
Abid tampak manggut. Bibimya menyungging senyum. Diam diam ia memuji kecerdasan musuhnya itu. "Kau benar," katanya menimpali. "Makanya aku ingin menjadi sahabat Kiai. Dengarkanlah nasihatku!" Kiai menimpali, "Katakanlah!"
"Kalau kiai berkenan, maka sebaiknya niat merobohkan pohon itu diurungkan saja. Jangan diteruskan. Percuma, tak ada hasilnya. Justru kiai akan terancam. Para penyembah pohon itu akan marah dan berusaha membunuh Kiai. Kumohon dengan sangat, Kiai benar-benar memikirkan untung dan ruginya! !"
"Maksudmu?" tanya Kiai. "Sekarang jawablah pertanyaanku, Kiai! Besar mana pahala dari bersedekah dibandingkan dengan hanya menebang pohon itu? " tanya setan. "Tentu saj a bersedekah lebih banyak pahalanya," jawab kiai
"Mengapa Kiai tidak bersedekah saja?" tanya setan kembali. "Dari mana aku dapat uang?" Abid balik bertanya. "Nah, itulah susahnya menjadi ahli ibadah yang miskin. Tapi jangan khawatir, aku akan membantu kiai. Sekarang kiai boleh
pulang. Setelah sampai. di tempat ibadah segera periksa di bawah tikar. Di sana ada dua keping dinar!" kata orang itu setengah memerintah.
"Yang benar saja?!" tanya abid dengan penuh harap. "Buktikanlah sendiri!" ujar orang asing itu meyakinkan. "Bahkan setiap pagi, kiai akan selalu mendapati dua keeping dinar secara terus-menerus. Nah, uang itu bisa Kiai manfaatkan untuk sedekah."
"Darimana uang itu?" sergah kiai. "percayalah aku akan selalu menaruhnya setiap hari di sana," kata orang itu meyakinkan. "Akan kubuktikan. Tapi awas, jika kau main-main! " ancam Abid. "Bolehlah Kiai mematahkan leherku ini dengan kapak jika aku berbohong," ujar jelmaan setan tersebut memberi jaminan.
Abid bergegas pulang dan segera menuju tempat peribadatannya. Dengan hati tak sabar, ia cepat-cepat membuka tikar. Seketika itu, matanya terbelalak melihat dua keping uang dinar yang masih baru tergeletak di bawph alas tidumya. "Uang sebanyak itu sudah cukup untuk bersedekah dan memenuhi kebutuhan hidup, bahkan masih lebih," demikian pikir Abid dalam hati.
Keesokan hariny a, iamembuka tikarnya kembali. Didapatinya dua keping dinar yang masih tergeletak. Hati Abid berbunga-bunga. Namun pada hari ketiga, ia tak menemukan apa-apa lagi. Hatinya menjadi sangat kecewa.
"Kurang ajar! Rupanya dia mempermainkan aku," Abid geram. Abid segera menyambar kapaknya. Kali ini ia benar-benar marah dan takkan memberi ampun kepada setan. "sekarang aku tak main-main. Tak seorang pun yang boleh
menghalang-halangi niatku," demikian pikirnya dalam hati. Di tengah jalan ia sudah dihadang kembali oleh setan yang menjelma menjadi manusia. Dia adalah musuh Abid. Agaknya setan itu tahu betul rencana Abid di pagi itu.
"Kau benar-benar pembohong, penipu bedebah! Anak setan! " damprat Abid menumpahkan kemarahannya. "Kau benar, aku memang anak setan. Bahkan, bapaknya setan, " kata orang itu cengengesan.
Kemarahan Abid semakin memuncak. Ia segera menyambar lengan orang itu lalu membantingnya sekuat tenaga. Tetapi musuhnya menyambar kaki Abid dengan cepat. Akibatnya, Abid roboh. Orang itu bangkit lalu menindih tubuh Abid. Leher Abid dicekiknya sampai tak bisa bernapas.
"Sekarang engkau harus mengakui kalau aku lebih unggul. Saatnya kini engkau memilih, mengurungkan niat untuk menebang pohon itu atau kubunuh?" bentak orang itu. "Lepaskan! Aku akan mengumngkan niatku," ujar Abid menyerah.
Musuh Abid melepaskan cengkeramannya. Abid lalu berdiri dengan sangat malu. "Aku heran, mengapa kali ini kau dapat mengalahkan aku? Padahal, beberapa hari yang lalu, dengan mudah aku dapat merobohkanmu?" keluhnya.
"Dengarlah Abid!" kata orang itu seenaknya. "Mengapa perkelahian yang lalu engkau lebih unggul dan menang? Sesungguhnya ketika itu niat dalam hatimu bersih, ikhlas karena Allah. Engkau menebang pohon dengan tujuan untuk ibadah dan memberantas syirik. Tetapi kali ini, kemarahanmu kepadaku bukan karena Allah."
"Karena siapaT" tanya Abid. "Engkau marah karena tidak mendapatkan uang di bawah tikarmu. Jadi niatmu kali ini tidak bersih. Niatmu untuk mendapatkan uang. Lalu, engkau marah. Tentu saja aku dapat mengalahkanmu dengan mudah, " kata orang itu.
Abid terdiam. Ia menyesali perbuatannya. Sekarang ia baru sadar kalau ia ditipu setan. Hanya karena terpengaruh uang dan demi kepentingan pribadi., akhirnya ia gagal menunaikan tugas sucinya.
Hikmah
Keikhlasan merupakan sumber kekuatan. Keikhlasan membutuhkan latihan melalui pensucian jiwa. Salat malam dan salat-salat sunnah adalah sarana paling tepat untuk melatih keikhlasan. Salat malam yang diperintahkan surah al-Muzzammil memberikan isyarat bahwa kekuatan jiwa dan keikhlasan melalui pendidikan salat malam adalah sarana membangun kekuatan jiwa. Kalimat pada Q.s. al-Muzzammil/73: 6 yang berbunyi : لايق موقأو ائطو دشأ يه ليللا ةئشان نإ “sesungguhnya bangun diwaktu malam itu adalah lebih tepat untuk khusyu’ dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (Depag RI, 1997, 2007). Seorang ulama Bugis, K.H. A. Marzuki Hasan (2004) menjelakan kata ائطو disini dengan dua macam pengertiannya. Ada ahli tafsir yang mengatakan bahwa kata tersebut bermakna “persesuaian”. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat menjelaskan tentang empat bulan yang diharamkan terjadinya peperangan. Firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Taubah/9: 37 ... الله مرح ام ةدع اوئطاويل ... “…agar mereka dapat menyesuaikan bilangan yang diharamkan Allah…”. Berdasakan makna dalam ayat 6 surah al-Muzzammil tersebut, sebagian
ahli tafsir memaknai kelompok kata ائطو دشأ adalah “kuat penyesuaiannya”. Dengan kata lain, terdapat untaian penyesuaian bacaan dengan hati seseorang jika ia tengah larut menikmati qiyam al-lail (salat malam). Karena orang bangun salat malam tanpa disaksikan oleh manusia, bahkan berangkat dari keyakinan bahwa Allah dan para malaikat menyaksikan, sehingga hatinya selalu teguh karena keikhlasan jiwa telah melembagai dalam dirinya.
Teradapat pula pendapat yang mengatakan bahwa kata ائطو pada ayat tersebut berarti “jejak kaki”. Q.s. al-Taubah ayat 120, `... رافكلا ظيغي ائطوم نوئطي لَّو …“… dan mereka tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir…”. Depag RI, 2007), sehingga kata ائطوم نوئطي bermakna menginjakkan kaki atau menendang, karena seseorang itu menendang menggunakan kakinya. Ulama yang mengikuti makna ini mengatakan bahwa orang yang selalu menegakkan salat malam akan lebih kuat tendangan (hatinya) daripada tendangan kakinya (Hasan, 2004). Makna ini lebih memungkinkan mengandung relevansi jika dimaknai bahwa dengan salat malam, hati pelakunya akan menjadi teguh, kuat, visioner, optimis, pantang menyerah, dan tawakkal hanya kepada Allah.
Berdasarkan ayat tersebut, K.H. A. Marzuki Hasan (2004) berupaya memberikan spirit dan motivasi yang kuat kepada para peserta dan santri yang hendak melaksanakan dakwah, agar tidak putus asa dan terus optimis akan adanya pertolongan Allah. Ketika beliau menjelaskan maksud Q.s. al-Muzzammil/73: 9: لايكو هذختاف … (… jadikanlah Ia sebagai wakil, Pelindung). Terhadap ayat ini K.H. A. Marzuki Hasan menjelaskan, “Karenanya, ketika berdakwah dan hanya didatangi
tiga orang saja, jangan kecewa. Sebab, tiga orang juga kalau kita berdakwah kepada mereka berarti kita telah melaksanakan tugas. Serahkan saja semuanya kepada Allah Swt. apakah 3 orang, 30 orang, 300 orang, 3000 orang, balasannya terserah kepada Allah Swt.”
Meskipun kecenderungan penafsirannya tampak senantiasa menghubungkan dengan persoalan dakwah, khususnya dalam menanamkan komitmen kepada para peserta pelatihan muballig/muballigah. Hal ini dapat dimaklumi, karena latar belakang yang mendorong lahirnya tafsir tersebut adalah kegiatan Pelatihan Muballig/Muballigah yang diadakan oleh Darul Istiqamah. Akan tetapi, hal ini dapat digeneralisir maknanya dalam berbagai konteks dan peruntukannya, misalnya dalam pendidikan para peserta didik dapat dilatih untuk memiliki ketangguhan dan keikhlasannya melalui tempaan salat malam.
Salah satu keistimewaan pendidikan yang berlatar belakang pondok pesantren adalah ketika pesantren menjadikan salat malam sebagai sarana menempa potensi keikhlasan para santri. Disamping itu, para pembina pondok pesantren mendidik santrinya tatkala orang lain terlelap. Mereka mendoakan santrinya dan membangunkan mereka untuk bersama bermunajat kepada Rabbnya. Pendidikan dalam perspektif pesantren sama dengan maksud surah al-Muzzammil, bahwa pendidikan tidaklah berakhir ketika jam formal berakhir. Kalau saat ini ada sekolah full satu hari (full day school), maka pondok pesantren sejak dahulu hingga kini full time school, termasuk di malam hari sekalipun. Pondok pesantren menerapkan pilarnya, yaitu mengembangkan jiwa yang ikhlas sebagai sumber semangat dan kekuatan jiwa.