• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN PUSTAKA TENTANG PERKAWINAN

A. Perkawinan

Allah menetapkan perkawinan sebagai jalan satu-satunya yang mengikat seorang lelaki dengan seorang perempuan sebagai pasangan suami istri (Thalib, 2007:26).Islam merupakan agama fitrah, yaitu agama yang memiliki keterkaitan antara tabiat dengan dorongan batin manusia, dimana dorongan tersebut akanditempatkan pada garis syari‟at islam

(Thalib, 2007:29). Dengan dorongan batin tersebut laki-laki dan perempuan dapat mengadakan kontak yang sah untuk menciptakan suatu masyarakat yang berkualitas atau disebut dengan perkawinan dan diatur oleh hukum perkawinan.

Pernikahan merupakan ikatan di antara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, mental, pendidikan, serta lain-lainnya.Dalam pandangan islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama sesuai dengan syariat agama (Al-Shabuni, 2004:9).

Perkawinan menjadi hal yang sangat utama dan penting dalam kehidupan manusia, perseorangan, maupun kelompok (Basyir, 1980:1).Perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang

diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara diridoi Allah (Basyir, 1980:11)

Secara etimologi, perkawinan adalah persetubuhan, ada juga yang menyebutkan perjanjian (al-„aqdu).Sedangkan secara terminology menurut Abu Hanifah, perkawinan adalah aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari pasangannya dengan sengaja (Hasan, 2003:11).Pengukuhan yang dimaksud bukan hanya dilakukan antara lelaki dan perempuan yang membuat penjanjian atau aqad itu saja, namun harus sesuai dengan ketentuan syariah.

Pernikahan menurut mazhab Maliki adalah aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita.Mazhab Syafi‟i menyebutkan

bahwa pernikahan adalah aqad yang menjamin diperbolehkannya persetubuhan.Sementara itu, menurut mazhab Hambali bahwa pernikahan itu adalah awad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkannya persetubuhan (Hasan, 2003:12).

Sementara itu, Undang-undang juga telah memberikan pengertian tentang perkawinan yang pada dasarnya tidak terdapat perbedaan prinsipil, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Basyir, 1980:11).

Dalam ikatan perkawinan tersebut mengandung syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh suami dan istri tersebut, dan dengan begitu akan terbentuklah keluarga yang sesuai dengan syariah agama islam. Karena

hanya dengan melakukan pernikahan yang sah lah keluarga dapat dibentuk dalam islam (Thalib, 2007:26).

Secara lebih jelas, rukun nikah serta syarat yang harus dipenuhi masing-masing rukun tersebut adalah sebagai berikut (Hasan, 2003): 1. Calon mempelai pria, syaratnya yaitu:

a. Beragama islam b. Laki-laki c. Baligh d. Berakal sehat e. Orangnya jelas

f. Sanggup memberikan persetujuan dalam perjanjian

g. Tidak sedang mendapatkan halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan umrah maupun haji.

2. Calon mempelai wanita, syaratnya adalah: a. Beragama, menurut sebagian ulama b. Perempuan

c. Jelas orangnya

d. Sanggup dimintai persetujuannya

e. Tidak terdapat halangan persetujuan, yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi.

3. Wali nikah, dimana syaratnya ialah sebagai berikut: a. Laki-laki

c. Memiliki hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.

4. Saksi nikah, yang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Minimal 2 orang laki-laki

b. Menghadiri ijab dan qabulnya

c. Paham tentang maksud akad tersebut d. Islam

e. Dewasa.

5. Ijab dan Qabul, syaratnya yaitu:

a. Terdapat ijab atau pernyataan mengawinkan dari pihak wali

b. Ada pula qabul atau pernyataan dalam penerimaan dari calon suami

c. Menggunakan kalimat yang berisi kata “nikah”, “kawin”, atau hal

yang mempunyai makna sama dengan kata tersebut d. Ijab bersambungan dengan qabul dan tidak boleh terputus e. Jelas maksudnya

f. Orang yang terkait di dalamnya tidak sedang keadaan haji dan umrah

g. Majlis ijab dan qabul dihadiri minimal 4 orang dari calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya, dan 2 orang saksi.

Keridaan seorang perempuan memang sangat diperlukan dalam melakukan perjanjian pernikahan.Karena memaksa seorang perempuan

menikah dengan orang yang tidak disukai atau dicintainya memang tidak dibenarkan, sebab perempuan tersebutlah yang akan hidup bersama suaminya (Al-Shabuni, 2004:77). Selain itu, pernikahan dilakukan atas dasar saling memahami, saling membantu, serta saling mengasihi satu sama lain dalam membina rumah tangga.

Di atas telah disebutkan bahwa syarat calon mempelai perempuan adalah bukan dari golongan perempuan yang haram dinikahi.Di dalam

Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 22-24 telah disebutkan bahwa macam-macam perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki adalah sebagai berikut: ibu tiri, ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari saudara ayah, bibi dari saudara ibu, kemenakan dari saudara laki-laki, kemenakan dari saudara perempuan, ibu susuan, saudara perempuan susuan, mertua, anak tiri apabila ibunya telah berhubungan intim, menantu, mengumpulkan 2 perempuan bersaudara sebagai isteri dan perempuan yang masih memilik ikatan pernikahan dengan seorang laki-laki lain (Basyir, 1980:27).

Izin wali merupakan syarat akad yang sah menurut para ulama

yang berdasar pada firman Allah SWT yang berbunyi “Maka nikahi mereka dengan izin keluarganya”.Wali yang dimaksud adalah bapak kandung jika masih ada, kalau tidak ada dapat diserahkan kepada yang bertanggung jawab dalam urusan anak perempuan tersebut yaitu mulai dari anak, saudara laki-laki, atau paman (Al-Shabuni, 2004:74).

Terdapat hadist yang mewajibkan wali dalam akad nikah, yaitu (Al-Shabuni, 2004:75):

“Siapa pun perempuan yang tidak dinikahkan walinya, maka

nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.Jika menimpanya maka mahar adalah untuknya sesuai dengan apa yang harus menimpanya, tetapi jika mereka bertengkar, maka penguasa adalah

wali bagi siapa saja yang tidak memiliki wali,” (HR Abu Dawud). Kehadiran saksi juga harus memenuhi syarat keadilan sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 2, “… Jadikanlah

saksi orang-orang yang adil di antara kalian…”.

Ada pula hadist yang menyebutkan bahwa saksi sebagai penyebar

dan pemberi pengumuman pernikahan, yang berbunyi “Umumkanlah

pernikahan ini dan lakukanlah di masjid serta pukulkan rebana” (HR Tirmidzi dan Ahmad).Tujuannya adalah supaya orang-orang mengetahui pernikahan sedang berlangsung, serta dapat memberikan kehormatan kepada pasangan tersebut dan menghargai pasangan suami istri tersebut beserta keturunannya (Al-Shabuni, 2004:80).

Pada dasarnya syarat yang terakhir yaitu ijab dan qabul dilakukan secara lisan, namun jika tidak memungkinkan bisa diganti dengan cara tertulis atau dengan isyarat. Antara ijab dan qabul diharuskan terjadi dan dilaksanakan dalam satu majelis, tanpa disela perbuatan maupun pembicaraan lain. Syaratnya adalah tidak tergantung pada suatu syarat, dissandarkan kepada waktu yang akan datang maupun dibatasi dengan jangka waktu tertentu (Basyir, 1980:23).

Dokumen terkait