• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN PUSTAKA TENTANG PERKAWINAN

C. Talak

Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan secara mutlak, baik berupa ikatan materiin maupun immaterial, yaitu ikatan yang terbentuk antara suami isteri (Mathlub, 2005:310).Sementara dalam tradisi para ahli fiqh, menjelaskan bahwa talak adalah terlepasnya ikatan suami isteri, baik secara langsung ataupun di masa mendatang, dengan

menggunakan ucapan khusus maupun ucapan yang berada pada posisinya (Mathlub, 2005:311).

Talak dianggap sebagai perceraian, dimana talak dihitung dari jumlah talak yang dimiliki suami terhadap isterinya, sesuai dengan ketentuan perkawinan (Mathlub, 2005:305).

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Perbuatan halal yang dibenci oleh Allah ialah perceraian. ” (H.R. Ibnu Majah).

Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 229, terdapat potongan ayat berikut,



 

…. “Talak yang dapat dirujuk ialah talak yang dilakukan dua kali setelah itu

orang boleh merujuk dengan cara yang baik atau terus menceraikannya dengan cara yang baik…”

Dari ayat di atas, Allah menegaskan bahwa sebenarnya perceraian yang dilakukan sesuai dengan hukum atau secara wajar adalah perbuatan yang tidak dilarang (Thalib, 2007:316).Jadi yang dimaksud dalam hadist bahwa perceraian adalah perbuatan halal namun sangat dibenci Allah, adalah perceraian yang tidak sesuai dengan hukum islam.

Jika suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, dan bahkan berakibat buruk jika tetap diteruskan, maka dalam keadaan seperti itu talak atau perceraian diperbolehkan dalam islam (Thalib, 2007:316). Maka dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa perceraian merupakan satu-satunya

jalan terbaik bagi suami dan istri yang mengalami permasalahan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan (Thalib, 2007:316).

Tujuan cerai adalah untuk menghindari pelanggaran terhadap aturan Allah, yaitu dalam kasus rumah tangga.Hal ini dikarenakan tujuan awal pernikahan adalah untuk menyempurnakan agama bagi suami maupun isteri, sehingga cerai merupakan jalan satu-satunya yang harus ditempuh ketika dalam perjalanan menuju tujuan tersebut justru bertentangan (Supandi, 2012:117).

Namun dalam melakukan perceraian atau dalam islam disebut dengan talak, terdapat beberapa syarat sesuai dengan syariat agama. Apabila melaksanakannya sesuai dengan yang dianjurkan maka termasuk dalam talak yang sesuai dengan sunnah Allah.

Dari Abdullah, ia berkata: “Talak menurut sunnah yaitu seseorang

mentalak ketika (istrinya) suci dan belum disenggamai.” (HR. Ibnu Majah) Dari hadist tersebut dalam diambil kesimpulan bahwa menceraikan istri dalam keadaan haid atau tidak suci adalah suatu perbuatan tercela.Wanita yang sedang haid mengalami beban-beban psikologis serta fisik yang kurang baik dibandingkan ketika ia suci. Suami tidak dianjurkan untuk menceraikan wanita haid agar tidak mengganggu kondisi fisik maupun psikis istrinya tersebut.Namun ketika seorang suami sangat ingin menceraikan istrinya, maka hendaklah ia menunggu ketika istrinya telah suci dari haid. Dan sangat dilarang suami melakukan hubungan intim

dengan istrinya tersebut ketika dia telah berniat menceraikannya.Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah (Thalib, 2007:318).

Menceraikan istri yang sedang hamil diperbolehkan dalam hukum islam, meskipun terdapat alasan psikologis bahwa istri yang sedang hamil akan mengalami kegoncangan jiwa, mengganggu kesehatan mental dan fisiknya, hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum dalam melarang suami melakukan talak. Perceraian dalam keadaan hamil dapat dijadikan keputusan terbaik jika memang permasalahan rumah tangga yang sangat berat dan tidak dapat membina rumah tangga yang rukun serta damai (Thalib, 2007:321).

Seorang istri dilarang menceraikan suaminya kecuali dengan alasan-alasan yang sesuai menurut syariah Islam, diantaranya yaitu (Thalib, 2007:337):

1. Akhlak suami yang buruk

2. Suami tidak memberikan nafkah untuk belanja

3. Suami tidak membayar mahar secara penuh, apabila mahar bersifat angsuran kepada istri

4. Suami menganiaya istri.

Dengan kata lain, suami yang memenuhi syariah islam dan tidak sesuai dengan ciri-ciri di atas maka hukumnya dilarang untuk diceraikan. Sebaliknya, suami yang akhlak serta dalam membina rumah tangga tidak sesuai dengan agama maupun moral maka isteri dapat mengajukan gugatan perceraian.

Bagi seorang wanita yang telah diceraikan oleh suaminya ataupun suaminya telah meninggal dunia, maka wanita tersebut memiliki masa tunggu untuk melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain atau yang disebut dengan iddah (Basyir, 1980:85).

    

    

    

  

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. ”

(QS.At-Talaq, 1)

Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa isteri hendaklah ditalak pada waktu suci sebelum dicampuri.Apabila talaknya baru jatuh satu kali atau dua kali, maka dibolehkan suami melakukan rujuk kembali.

Iddah pun diadakan dengan tujuan untuk menunjukkan pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran islam, maka sebelum dilaksanakannya harus difikirkan secara matang-matang dan dengan cara yang dewasa. Kemudian perkawinan itu juga harus diusahakan kekal sehingga tidak terjadi lagi perceraian, selain itu iddah juga bertujuan untuk memberikan

kesempatan kedua bagi suami isteri jika ingin hidup berumah tangga kembali tanpa melakukan akad nikah baru. Iddah diadakan juga untuk meyakinkan bahwa rahim di dalam isteri yang telah dicampuri benar-benar kosong agar tidak terjadi kekacauan nasab anak.Sedangkan dalam kasus perceraian karena ditinggal mati suami, iddah diadakan sebagai bentuk rasa berkabung (Basyir, 1980:85).

   

  



“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. ”(QS. At-Talaq, 4)

Dalam ayat di atas dijelaskan perhitungan masa iddah bagi perempuan yang tidak mengalami haid lagi atau disebut menopause, maka masa iddah mereka adalah tiga bulan.Sedangkan bagi perempuan hamil, masa iddah mereka berakhir ketika mereka melahirkan bayi yang dikandungnya.

     

  



“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (suci).tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah, 228)

Disebutkan dalam ayat di atas bahwa suami memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan serta kesejahteraan rumah tangga mereka.Sehingga mereka memiliki hak untuk merujuk isteri mereka dalam masa iddah tersebut.

  

   



“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ” (QS.Al-Baqarah, 234)

Ayat di atas disebutkan bahwa isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, dilarang berhias, berpergian, dan bahkan menerima pinangan dari lelaki lain sampai 4 bulan 10 hari masa iddahnya selesai.

Di dalam buku Tafsir Al-Usyr Al-Akhir dari Al-Quran disebutkan bahwa Iddah terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:

1. Iddah hamil, maka istri harus menunggu sampai anak dalam kandungannya dilahirkan, baik itu iddah talak maupun iddah karena suami telah meninggal dunia

2. Iddah ditinggal mati suami adalah 4 bulan 10 hari

3. Apabila seorang istri diceraikan suami dalam keadaan haid, maka iddahnya 3 kali haid dan berakhir dengan sucinya ia dari haid ketiga 4. Apabila seorang istri diceraikan tidak dalam keadaan haid, maka masa

iddahnya adalah 3 bulan.

Wanita yang ditalak raj‟i wajib untuk tetap tinggal bersama

suaminya selama masa iddah.Begitu pula bagi suami, ia boleh melihat serta berduaan dengan istrinya sampai berakhirnya masa iddah. Hal ini diharapkan agar pasangan tersebut dapat bersatu kembali.Karena rujuk

tidak memerlukan ridha dari sang istri jika ditalak raj‟i. Dan rujuk dapat

diucapkan suami hanya dengan kalimat “Aku merujukmu”, atau jika

terjadi hubungan badan antara suami dan istri yang masih dalam masa iddahnya tersebut.

Dokumen terkait