• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TRADISI PERKAWINAN SUKU BADUY

A. Perkawinan Suku Baduy

Bagi masyarakat Baduy sendiri, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Karena alasan itu, maka tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat.

Bagi masyarakat Baduy, prinsip hidup berumah tangga adalah hidup selamanya. Dalam persepsi masyarakat Baduy, jika seseorang sudah menentukan pasangan hidupnya, maka ia harus lah bertanggung jawab terhadap keluarganya termasuk di dalamnya dilarang untuk menyakiti pasangan hidupnya dalam bentuk apa pun.

Masyarakat Baduy meyakini bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan wajib dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy tanpa terkecuali.Menurut meraka, perkawinan adalah merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup1, artinya bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia.

Dalam pengertian lain perkawinan ialah yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan

1

Rukun Hirup, Pedoman Hidup Masyarakt Baduy, Pagangan Hidup Dalam Menjalani Sebuah Kehidupan..

membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan peraturan pemerintah no 9 tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam, tidak menggunakan kata “nikah atau pernikahan”, tetapi mengggunakan kata “perkawinan”. Hal tersebut berarti bahwa makna nikah atau kawin berlaku untuk semua yang merupakan aktivitas persetubuhan. Karena kata “nikah” adalah bahasa arab, sedangkan kata “kawin” adalah bahasa Indonesia. Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga.2

Di dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termaktub di dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa3

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (mitsaqon ghalidhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4

2

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Cet 1, Bandung , Desember 2011, h, 10

3

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung; ALUMNI, 1992), h, 88.

4

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta; Indonesia Legal Center Publising, 2007), h. 142.

Jika ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan pemakaian “nikah” dengan arti “perjanjian perikatan” persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadinya suatu perkawinan sangat diperlukan.Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar membuktikannya.5

Terdapat banyak hikmah dalam pernikahan, pernikahan merupakan sarana terbaik untuk mendapatkan keturunan, menjaga keberlangsungan hidup dan dapat menghindari terputusnya nasab6

Dalam upacara perkawinan terdapat syarat rukun yang harus dipenuhi. Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi, dan sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika perkawinan berlangsung.7

Jika seseorang ingin melangsungkan perkawinan tentu tidak terlepas dari rukun dan syarat sah nya perkawinan, perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah merupakan bagaian dari segala hal yang terdapat dalam perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi,

5

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta; Bulan Bintang, 1993), Cet. 3 h.2.

6

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Cet, 2, Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011, h. 206.

7

Muhammad Asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta; Darussalam, 2004), h.50.

perkawinan tersebut dianggap batal. Dalam Kompilasi Hukum Islam (pasal 14) rukun nikah terdiri dari lima macam, yaitu adanya:

1. Calon suami 2. Calon istri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi 5. Ijab dan qabul

Dalam Kompilasi Hukum Islam bab IV pasal 14, yang berisi tentang rukun dan syarat perkawinan adalah sebagai berikut;8 calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul.

Dalam Islam, dan syarat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena kebanyakan dari setiap aktivitas ibadah yang ada dalam agama Islam, senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga bisa dibedakan dari pengertian keduanya adalah syarat yang merupakan suatu hal yang harus ada dan terpenuhi sebelum melakukan suatu perbuatan, sedangkan rukun merupakan suatu hal yang harus ada atau terpenuhi pada saat perbuatan dilaksanakan. Kaitannya dengan perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti harus adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan, wali, akad nikah dan saksi. Semua itu adalah sebagian dari hakikat perkawinan dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau

8

Direktorat Pembinaan Badan Pradilan Agama Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama, 1992), h. 18.

tidak ada salah satu dari rukun perkawiann di atas. Maka yang demikian itu dinamakan perkawinan.9

Perkawinan merupakan bentuk silaturahmi yang signifikan dalam membentuk struktur masyarakat. Setelah terjadinya perkawinan, ada sepuluh implikasi mendasar, yaitu:10

1. Terbentuknya hubungan darah antara suami dan istri. 2. Terbentuknya hubungan darah orangtua dan anak.

3. Terbentuknya hubungan kekeluargaan dari pihak suami istri.

4. Terbentuknya hubungan kerabat dari anak-anak terhadap orangtua suami istri (mertua).

5. Terbentuknya hubungan waris-mewarisi.

6. Terbentuknya rasa saling membentuk dengan sesama saudara dan kerabat. 7. Terbentuknya keluarga yang luas.

8. Terbentuknya rasa solidaritas sosial di antara sesama keterunan. 9. Terbentuknya persodaraan yang panjang hingga akhir hayat.

10.Terbentuknya masyarakat yang berperinsip pada sikap yang satu yaitu satu ciptaan, satu darah, dan satu umat di mata Allah sang pencipta.

Dalam aturan adat Baduy baik Tangtu maupun Panamping, praktek poligami sangat dilarang. Karena bagi masyarakat Baduy sendiri, menikah cukup satu kali seumur hidup,Terkecuali salah satu diantaranya meninggal maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi. namun jika kita kaitkan dengan syariat Islam,

9

Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta; PT, Hidakarya Agung, 1996), h. 34

10

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Cet 1, Bandung , Desember 2011, h.67.

perbuatan poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang dibolehkan atau mubah dan bukan wajib, tetapi akan lebih baik hanya mempunyai seorang istri karena perkawinan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah, mawwadah, warahmah. Praktek poligami bagi masyarakat Baduy justru akan membuat terpecahnya keutuhan masyarakat Baduy itu sendiri. Bahkan dalam ketentuan adat Baduy Tangtu, perceraian pun dilarang, akan tetapi dalam Baduy Panamping, sudah dikenal adanya perceraian, akan tetapi masih relatif sedikit. Dengan aturan adat yang ketat ini, maka hampir sulit menemukan pasangan suami istri yang bercerai seperti banyak yang terjadi dikalangan masyarakat luar Baduy.

Dalam tata cara perkawinan yang diperaktekan masyarakat Baduy, dan demi untuk menjaga harmonisasi keluarga, maka aturan tentang batas usia minimal juga menjadi poin penting untuk pertimbangan oleh adat Baduy. Hal ini penting diatur, mengingat, dalam membina keluarga dibutuhkan mental yang kuat agar segala beban hidup berkeluarga dapat diselesaikan dengan tanpa mengorbankan keutuhan keluarga. Masyarakat Baduy masih berpegang kepada ketentuan tradisi lama, anak laki-laki baru dikawinkan sekitar usia 23 tahun dan anak perempuan dalam usia 18 tahun.11

Dalam hukum perkawinan, ketentuan batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan hanya terdapat pada pasal 15 ayat (1) yang menyebut ”untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur berdasarkan ketetapan pasal

11

Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) 1984/1985, h. 69.

7 undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun’.12

Ketatnya aturan adat tentang batas minimal warga Baduy boleh melakukan pernikahan karena hal ini merupakan ajaran sakral sebagaimana tercatat dalam naskah Sanghiyang Siksakanda Ng Karesian pada tahun 1518 M. Di antara isinya adalah: ”ini lah ketentuan untuk kita menjodohkan anak, jangan dikawinkanterlalu muda. Tidaklah baik menjodohkan anak di bawah umur, karena nanti kita terbawa salah dan nanti yang mengawinkannya disalahkan juga”13

Dalam masyarakat Baduy ada pelarangan pernikahan pada hari-hari tertentu, yaitu pada hari perayaan yang menurut masyarakat Baduy sangat sakral. Yaitu pada bulan Kawalu, Ngalaksa dan Seba.14 Setiap masyarat Baduy tentu harus mengikuti setiap aturan yang telah ditentukan oleh leluhur mereka, oleh karena itu setiap masyarakt Baduy di larang mengadakan acara perkawinan pada hari-hari yang telah di tentukan. Jika ada masyarat baduy yang melakukan nya maka akan di berikan sanksi. Di karenakan hari-hari tersebut sangat sakral dan wajib hukum nya untuk di ikuti oleh masyarat Baduy. Menurut Jaro Sami,15 jika ada masyarakat Baduy yang melanggar melanggar aturan adat makan akan diberikan sanksi, hukuman akan sisesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang

12

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta Selatan: Januari 2008), cet, 1, h.219

13

K. Muhammad Hakiki, Makna Perkawinan Bagi Orang Baduy, Persepsi Masyarakat Baduy Tentang Makna Perkawinan,Artikel diakses Pada 14 Juni 2016,

file:///D:/BADUY%20HERITAGE%20%20%20%20Makna%20Perkawinan%20Bagi%20Orang% 20Baduy.htm

14

Jaro Saija, Kepala Desa Kanekes, Wawancara Pribadi, Lebak, Banten, 15 Januari 2016.

15

terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Puun untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

Hukuman berat diperuntukan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Puun dan Jaro, masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy. Menariknya yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.

Kawalu, adalah acara dari sistem penanggalan suku Baduy yang mana berjumlah 12 bulan ada tiga bulan yang dianggap sakral karena menyangkut hari khusus keagamaan yaitu bulan kawalu pada bulan Kasa, Karo, Katiga (bulan ke 10, 11 dan 12). Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyucikan dari secara lahir dan batin dengan melaksanakan puasa satu hari pada setiap bulan tetapi tidak sahur dan bukanya diatur dengan ketentuan adat.

kawalu juga merupakan upacara adat masyarakat Baduy dilaksanakan dalam waktu sangat panjang sebagai peristiwa besar dalam mengakhiri tutup tahun. Seluruh kawasan dinyatakan tertutup bagi tamu yang mau masuk, di dalam

dilakukan pembersihan sebagai setandar ketaatan terhadap kepercayaan yang diyakini. Pasukan khusus dibentuk oleh Puun yang di dalamnya terdiri dari tokoh adat, untuk melaksanakan tugas pembersihan terhadap masyarakatnya. Oprasi dilakukan dari rumah ke rumah, untuk menyita dan menghancurkan barang yang dilarang.

Dalam waktu 1 bulan kampungnya harus sudah dinyatakan bersih dari semua barang yang berupa perabotan dapur, perabotan rumah, perhiasan, pakain dan pajangan buatan pabrik, atau produksi dari luar kampung. Seperti pring, gelas, tatakan, cangkir, mangkok, barang elektronik dan tanaman pohon kopi dan cengkeh. Masyarakat pelanggar tetep diadili, sesuai dengan peraturan, dengan tidak pandang bulu. Setelah tugas oprasi selesai, lapor kepada Puun yang terus melakukan persiapan berikutnya, berziarah ke penembahan Arca Domas, upacara ziarah dilakukan secara khusus, yang dipimpin langsung oleh Puun Cikeusik, bersama rombongan yang terbatas. Biasanya 8 orang tokoh adat daro Cikeusik, Cibeo, Cikartawana.

Semua rombongan yang berangkat harus berpuasa selama 2 hari 2 malam, dilakukan sejak berangkat sampai kembali. Perjalanan dimulai dari Kampung Cikeusik sebelum fajar, untuk tidak diketahui semua penghuni kampung. Setelah sampai ditempat penziarahan, rombongan membersihkan dirinya di pengumbahan batu lumpang, dan istirahat di Saung Talahap, sambil mengheningkan cipta. Kemudian Puun membersihkan makam-makam yang kotor oleh daun dan membetulkan bagian-bagian yang rusak atau berubah. Biasanya rombongan peserta membersihkan pelataran dengan ”sesapuan”, yang berlanjut kepada kirim

doa dan membaca mantra-mantra. Ziarah dilakukan pada tanggal 12-14 bulan Silih Mulud, menginap 2 malam di penziarahan. Setelah selesai mengadakan pertemuan dengan Puun Cibeo, Cikartawana bersama para tokohdan sesepuh adat, untuk menentukan hari yang tepat upacara kawalu Mitembeyan. Menurut perhitungan orang Baduy jatuh pada Sasih Kasa atau bulan Rajab melakukan pemetikan padi pertama istilahnya menjemput Dewi Sri. Pelaksanaanya dilakukan oleh Girang Serat, yang disaksikan warganya, menuai dua ikatan kecil, dibawa pulang dengan digendong, bersama iring iringan warganya. Dua ikatan padi yang melambangkan sepasang pengantin, diletakan di Bale Adat, di sekelilingnya sudah tersedia sesajen sirih sepenginangan, air putih dan dikukusi dengan asap kemenyan lengkap mantera-manteranya. Peristiwa ini merupakan isyarat kepada warga petani tibanya saat panen dan harus secara serentak turun keladang mengetem padi. Orang Baduy menyebutnya pesta panen, yang diwarnai kegembiraan. Setelah panen selesai padi-padi sudah sampe kerumah, dijemur, dibersihkan, dan diikat rapih. Selang sebulan jatuh pada tanggal 1 bulan Ruwah berjalan upacara Kawalu Tengah. Saat ini suara lesung bersahut-sahutan, kesenian Rendo, Kecapi dan tembang di setiap rumah, para petani terus mengurus hasil panennya, memilih tangkai-tangkai padi untuk benih, sambil membersihkan kelopak tangkai dan memisahkan butiran-butiran hampanya. Peristiwa ini setiap tahun hadir dengan versi yang sama, dipetik, dijemur, dibersihkan, digendong, diangin dan dimasukan lumbung itulah tahap-tahapan yang dikerjakan. Semua berjalan secara pasti, berjambat pada tradisi yang berkarat dalam aturan adat.

Ngalaksa. adalah suatu upacara suku Baduy yang tergolong sakral dan sangat di jaga kerahasian pada saat pelaksanaannya. Dengan isi kegiatan untuk mendoakan dan melaporkan jumlah warga khusus Baduy secara lahiriah dan batiniah kepada leluhur dan Yang Maha Kuasa.

Kegiatan ngalaksa diselenggarakan pada akhir bulan ketiga yaitu bulan terakhir dalam kalender Kanekes dan berlangsung 7 hari lamanya sejak tanggal 21 bulan tersebut. Kegiatan ini diawali di kepuunan kemudian berantai sampai di seluruh kampung Panamping. Bahan pembuat laksa dibuat dari hasil huma. Yang paling menonjol dari kegiatan ngalaksa ini adalah unsur sakralnya sebab yang dijadikan inti tepung bahan laksa adalah beras dari 7 rumpun padi yang ditanam di pupuhunan ”huma serang” (di Tangtu) dan ”huma tuladan” (di panamping). Karenan pepohonan menjadi pusat seluruh ladang, di situlah menurut pandangan orang Kanekes terkumpul zat-zat terbaik yang terkandung dalam bumi.

Nilai sakral inilah yang mengharuskan para petugas yang dilibatkan dalam pembuatan laksa harus berpuasa selama menyelesaikan tugasnya. Merekapun dipilih dari kalangan penduduk yang berpengalaman dan dikenal baik prilakunya. Di samping itu, ngalaksa merupakan penutup dari seluruh kegiatan pertanian untuk tahun yang bersangkutan.

Seba, adalah kegiatan rutin masyarakat suku Baduy dan merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun untuk menghadap pemerintah (Ratu dan Menak) secara resmi dengan tujuan utama menjalani mempererat silaturahmi, melaporkan situasi dan kondisi lingkungan suku Baduy sehingga terjalin kerja sama untuk saling mendoakan dan saling melindungi.

Upacara Seba sudah menjadi tradisi yang sifatnya wajib dilaksanakan setahun sekali pada bulan Safar awal tahun baru sesuai dengan penanggalan adat Baduy (berkisar bulan April-Mei pada tahun Masehi). Tujuan dari kegiatan ini adalah ekspresi rasa syukur dan penghormatan suku Baduy kepada pemerintah. Bentuk rasa syukur dan penghormatan ini dengan mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga (sesaji, dalam konteks ini adalah hasil panen) bagi suku Baduy untuk diberikan kepada pemerintah (dalam hal ini Bupati Kabupaten Lebak).

Adapun mitos dibalik Upacara Seba yaitu Batara Tunggal dipercaya oleh suku Baduy sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tempat kediamannya terletak di hulu sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh suku Baduy dinamakan Arca Domas, yang tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin Suku Baduy atau Puun. Batara Tunggal menciptakan bumi yang berawal dari benda besar yang kental dan bening. Yang kemudian melebar dan berangsur-angsur mengeras. Asal mula terjadinya bumi dan terletak di wilayah Baduy, maka suku Baduy sangat meyakini wilayahnya sebagai pancar bumi atau inti jagat dan juga Sasaka Pusaka Buana atau pusat dunia yaitu Arca Domas. Arca Domas selain dianggap sebagai inti jagat, juga di anggap sebagai tempat diturunkannya cikal bakal orang Baduy dan manusia penghuni bumi lainnya.16

16

Yollanda Octavitri, Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten Terhadap Upacara Seba Suku Baduy, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenegoro Semarang, 2010, h, 6.

Dokumen terkait