• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TRADISI PERKAWINAN SUKU BADUY

E. Waktu Perkawinan

Secara umum dan menyeluruh acara proses pelaksanaan perkawinan suku Baduy sama dan seragam, baik tentang penetapan waktu, tata caranya, dan tahapan proses ritualnya, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi serta hal-hal yang menjadi pantangan/larangan. Dari hasil observasi yang dilakukan penulis

25

Jaro Sami, Kepala adat Kampung Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016.

26

Jaro Sami, Toko adat Masyarakat Baduy Dalam Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016..

secara khusus dan terus menerus selama beberapa bulan diseleraskan dengan hasil wawancara dari berbagai pihak yang dipandang perlu untuk diwawncarai,

Waktu perkawinan dilaksanakan pada bulan kalmia, kanam, kapitu pada penanggalan Adat Baduy.waktu ini berlaku untuk warga Baduy Dalam dan Warga Baduy Luar. Pada ketiga waktu bulan tersebut diyakini merupakan bulan mustari (barokah) bagi pelaksanaan perkawinan. Khusus bagi warga Baduy Luar bila pada ketiga bulan tersebut tidak terjadwalkan maka bisa dilaksanakan pada bulan Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah dan Hapit Kayu,tetapi lima bulan ini jarang di pilih dengan alasan pada bulan tersebut dianggap nilai kemustariannya kurang bila dibandingkan dengan ketiga bulan tadi serta sudah disebutkan dengan acara ngahuma (berladang). Biasanya pada bulan kelima tersebut dilaksanakan perkawinan bagi yang telah meninggal salah satu pasangannya, namun kemudian kawin lagi, khusus pada bulan Kasa, Karo, Katiga dan Sapar dilarang melaksanakan perkawinan karena bulan tersebut merupakan bulan khusus kegiatan adat Kawalu dan acara Seba.27

27

Asep Kurnia, Ahmad Sihabudin, Saat nya Baduy Bicara, Jakarta; Bumi Aksara, 2010, h.187.

79

A. Kedudukan Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam Serta Kosekwensi Bagi Pelaku Perkawinan

Tujuan dari sebuah perkawinan atau pernikahan adalah terciptanya suatu keadaan bersatunya dua insan yang berbeda yang tidak pernah mengenal satu sama lainnya namun dapat bertemu dan bersatu dalam sebuah ikatan yang disebut pernikahan, yang tentunya sesuai dengan perintah Allah yaitu untuk membina sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah serta dapat memeliharakan putra atau putri yang shalih atau shalihah dan berguna bagi bangsa dan agamanya. Dalam Undang-Undang No, 1 tahun 1974 bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.

Tujuan lain dari perkawinan dalam Islam ialah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan syara.1

1

Moh, Idris Romulya, Hukum Perkwinan Islam ;Suatu analisis dari Undang-Undang no, 1 tahun 1974 dan KHI, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), cet ke 1, h.27.

Sahnya perkawinan telah diatur secara jelas sistematis dalam Undang- undang Nomor 1 tahun 1974, dan perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum perjanjian di lapangan hukum keluarga. Persoalannya adalah mengenai penafsiran untuk memahami maksud dan isi dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengenai sahnya perkawinan dan mengingat perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum yang terjadi karena sebuah perjanjian di lapangan hukum keluarga, maka permasalahannya dapat ditentukan bagaimana sahnya perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditinjau dari sudut pandang hukum perjanjian, dengan harapan dapat diperoleh kejelasan mengenai sahnya perkawinan.2

Menurut kepala Desa Kanekes (Jaro Saija), tata cara perkwinan masyarakat Baduy Luar ada dua cara, yaitu ada yang seperti tata cara perkawinan Baduy Dalam, yaitu dijodohkan ada juga yang mencari jodoh sendiri, pernikahan untuk masyarakat Baduy Luar yang menggunakan tata cara pernikahan Baduy Dalam (dijodohkan), memiliki proses yang sama persis dengan langkah yang dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam.3

Sedangkan untuk langkah yang kedua, yaitu dengan cara mencari jodoh sendiri ada sedikit perbedaan . letak perbedaan tersebut adalah pihak laki-laki boleh mencari jodoh sendiri dengan bebas, baik yang satu kampung maupun beda kampung tanpa dijodohkan sebelumnya. Dalam artian bebas memilih dengan

2

Trusto Subekti, Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian, Jurnal , Dinamika Hukum, Vol, 10 No. 3 September 2010, h.332

3

persetujuan kedua belah pihak yang disepakati oleh tokoh adat/ masyarakat kampung masing-masing. Persyaratan dalam perkawinan masyarakat Baduy, baik dalam atau luar memiliki persyaratan yang sama dalam hal ritualismenya. Ada sedikit perbedaan bahwa pada proses perkawinan di Baduy Luar, calon mempelai laki-laki satu hari sebelum perkawinan diwajibkan/diharuskan membaca dahulu Sahadat Kanjeng Nabi Muhammad SAW di hadapan penghulu (naib/petugas KUA) terdekat. Kalau di Baduy Dalam tidak dikenal penceraian, di Baduy Luar dikenal adanya perceraian, tetapi bukan berarti poligami diperbolehkan.

Prihal waktu pelaksanaan perkawinan tentu memiliki budaya dan aturan masing-masing sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Sesuai dengan aturan sistem penanggalan adat Baduy maka waktu pelaksanaan perkawinan di suku Baduy harus mengikuti penjadwalan yang sudah ditentukan dan bersifat baku, Upacara perkawinan masyarakat Baduy Dalam dilaksanakan pada bulan kalima, kanam dan kapitu (menurut penanggalan adat). Menurut tokoh adat (Jaro Saidi Putra)4 karena pada tiga bulan tersebut menurut keyakinan dan perhitungan mereka adalah waktu yang baik untuk pernikahan agar rumah tangganya selalu rukun, sejahtera lahir batin sampai akhir hayat. Sedangkang di Baduy Luar , selain pada bulan kalima, kanam, kapitumasih bisa dilaksanakan di bulan yang lainnya pada bulan kedelapan, kasalapan, kasapuluh, hapit lemah, atau pada bulan kasa, karo, dan katiga.

Pada saat pengantin laki-laki yang hendak melaksanakan perkawinan di hadapan penghulu harus mempersiapkan diri menghafal: ta’udz, bismillah,

4

sahadatdan shalawatdalam bahasa Jawa Banten. Dalam hal tersebut orang tua pengantin wanitalah yang meminta kepada penghulu agar bersedia mewakili dirinya menikahkan anakanya kepada laki-laki calon suaminya dan juga mengitu rukun dan syarat sah nya perkawinan5

Syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat, rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dan dilaksanakan melalui ijab qabul. Sedangkan yang di maksud dengan syarat-syarat perkawinan di sini. Adalah syarat-syarat demi kelangsungan perkawinan tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1975 pasal 2 disebutkan:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan berdasarkan pada undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1, jelas bahwa perkawinan yang telah dilaksanakan suami istri menurut agama bukan Islam itu tetap sah, karena suami istri kedua mempelai saat itu masih beragama lain. Akan tetapi, setelah pasangan suami istri masuk Islam.

Berdasarkan pasal 2 tersebut, pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan sekalipun demikian, jika perhatikan dengan seksama penjelasan umum dari undang-undang perkawinan

5

yang menyebutkan, ”Dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” serta ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 10 ayat (1) PP Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut, dapat di simpulkan bahwa sakalipun bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, pencatatan perkawinan memegang peran yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan. Oleh karena itu ada nya masyarakat Baduy yang melakukan perkawinan di depan petugas pencatat perkawinan setempat.6Dalam Kompilasi Hukum Islam bahwasannya perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.7

Kekayaan budaya Baduy tampil lewat upacara perkawinan adatnya yang unik dan kaya makna. Prosesi perkawinan diwarnai keunikan tersendiri, tapi tak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat banyak sekali hal yang membuat banyak penasaran mengenai makna yang ada didalam upacara adat perkawinan masyarakat Baduy.

Selain kedua jenis sistem perkawinan di atas maka ada lagi yang di sebut pola perkawinan khusus. Yang dimaksud dengan pola perkawinan khusus adalah perkawinan yang terjadi antara warga Baduy dengan warga luar Baduy. Hukum adat mereka tidak melarang orang Baduy kawin dengan orang luar Baduy mungkin karena jodohnya harus seperti itu, tetapi dengan aturan sebagai berikut. ”Orang Baduy yang diperbolehkan kawin dengan orang luar Baduy baik laki-laki atau perempuan harus keluar secara resmi dari anggota kesukuannya dengan di

6

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga…h, 56

7

doakan terlebih dahulu oleh tokoh adat demi keselamatan dan kebahagiaan rumah tangganya kelak di luar Baduy, sebab mereka memahami bahwa pilihan hidup seseorang tidak bisa dipaksakan. Kemudian ketika resmi sudah keluar maka proses dan tata cara perkawinan warga tersebut langsung mengikuti tata cara perkawinan sesuai dengan kepercayaan calon suami atau calon istri.

Dengan harapan bahwa perkawinan masyarakat Baduy diakui secara sah oleh hukum adat atau pun hukum negara.

Menurut hemat penulis, Jika dilihat dari ketentuan adat ini, ada beberapa pesan yang bisa ditemukan, pertama, masyarakat Baduy merasa penting adanya ketentuan proses perkawinan yang disahkan tidak hanya menurut adat, akan tetapi juga menurut agama konvensional dan hukum negara. Kedua, pola pernikahan seperti ini dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai rasa hormat akan kesultanan Banten yang pernah menjadi raja (penguasa) di tanah Banten yang bergama Islam termasuk didalamnya tanah Baduy, dan hal ini diwujudkan dengan ketentuan adat yang mengharuskan pernikahan masyarakat Baduy memakai cara adat dan hukum Islam.

B. Baduy Muslim, Adat dan Hukum Dalam Masyarakat Sunda Wiwitan Serta Penerimaan Hukum Islam Oleh Komunitas Baduy

Menurut sejarah hukum di Indonesia, peran hukum Islam dengan hukum adat mengalami berbagai persimpangan sebagai akibat dari politik hukum yang diterapkan oleh pemerintah Hinda Belanda. Hal ini masih terasa sampai masa pasca kemerdekaan. Tarik menarik hukum adat dengan hukum Islam dalam

lapangan hukum keluarga masih terasa dan menjadikan hukum Islam tidak berperan sebagaimana mestinya bagi mayoritas umat Islam di Indonesia.8

Istilah hukum adat pertama kali digunakan oleh Snouch Hurgronje karena hukum adat itu adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu ”adatrecht”, Snouch Hurgronje menggunakan istilah ”adatrecht” di dalam karyanya De atjehihers yang isinya membahas perihal adat istiadat suku bangsa Aceh.9 Adatrecht disini adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putera dan orang Timur Asing yang mempunyai upaya memaksa lagi pula tidak dikodifikasikan.10

Sedangkan kata adat itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ”kebiasaan”.11

Kebiasaan yang dimaksud disini adalah semua perilaku yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut.

Ahli hukum adat mempunyai definisi tentang pemahaman dan pengertian tentang hukum adat, diantaranya sebagai berikut:

a. Prof, Bushar Muhammad, S.H.

Hukum adat itu adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat itu, maupun yang

8

Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.257

9

A,Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1989 ), cet, ke II, h.4.

10

Soerjono Soekanto dan Soleman B, Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; CV, Rajawali, 1990), cet Ke IV, h.25.

11

A,Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1989 ), h.83

merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelangggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah yang terdiri dari lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.12

b. Prof, Dr, R, Soepomo

Hukum adat itu ialah keseluruhan hukum yang tidak tertulis, dalam peraturan legislatif dan hidup sebagai konvensi dilembaga-lembaga negara serta hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang di pertahankan dalam pergaulan hidup.

Sedangkan Menurut Para Ahli Hukum Islam, yang mana mereka melihat bahwa prinsip-prinsip adat sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sekunder. Artinya adat (’urf ) terjadi ketika sumber-sumber yang primer tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang muncul.13

Seperti contoh, Imam Malik, dalam membina mazhabnya beliau lebih menitik berakan pada amaliah ulama Madinah, sebab syariat Islam banyak dilandaskan penetapan hukumnya atas ’urf atau adat masyarakat setempat, karena hal itulah mengapa adat istilah dapat dijadikan pertimbangan sebagai sumber hukum asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariat Islam.

12

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat :Suatu Pengantar, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), cet, ke 8, h.64

13

Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum adat di Indonesia, (Jakarta; INIS, 1998 ), h.8

Dalam praktiknya, ada beberapa syarat agar adat itu dapat dijadikan sebagai salah satu hukum Islam, berikut pemaparan :

1. Untuk dapat diterima kedalam salah satu hukum Islam, adat tersebut harus dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat, serta mendapatkan pengakuan dari khalayak umum, maksudnya tidak bertentangan dengan hati nurani dan bisa diterima dengan akal sehat orang banyak

2. Hal atau adat tersebut sudah ada sebelum atau ketika suatu hal akan dilaksankan yang berkenaan dengan adat itu sendiri.

3. Adat tersebut memang sudah ada sebelum atau ketika suatu hal akan dilaksanakan yang berkenaan dnegan adat itu sendiri.

4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak, maksudnya adalah apapun itu mereka secara tidak langsung bersedia untuk mengikuti akan apa yang sudah menjadi ketetapan dalam adat mereka.

5. Yang pastinya adat tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW, atau dengan kata lain, adat tersebut tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

Dalam hal sering terjadi penggunaan atau pemakaian suatu adat istiadat di suatu daerah, hal ini tidak terlepas dari pengaruh atau doktrin dari para sesepuh atau orang yang dihormati di daerah tersebut, selain mereka sendiri juga meyakini bahwa mereka memang patut untuk melaksanakan adat istiadat tersebut. Di beberapa daerah di Indonesia ada sebagian masyarakat yang mempunyai klan atau kelompok-kelompok mereka sendiri, mereka mempunyai marga atau garis identitas kelompok mereka sendiri.

Kaitannya dengan pernikahan adalah bahwa para klan atau kelompok- klompok tersebut memasukan suatu adat istiadat yang wajib dilaksanakan oleh para pengikutnya atau para kerabatnya, ini ditunjukan untuk melestarikan adat istiadat dari klan mereka sendiri, karena dapat melahirkan generasi yang akan melanjutkan adat istiadat atau kebudayaan mereka.14Karena menurut Ter Haar sebuah pertikaian atau suatu perselisihan yang sudah lama berlangsung antara dua kerabat atau klan mereka.15

Di dalam pernikahan masyarakat adat yang dikaitkan dengan pengaruh hukum agama, ada tiga macam yang memungkinkan sah atau tidaknya pernikahan tersebut, antara lain sebagai berikut :

1. Di dalam pernikahan masyarakat adat. Hukum perkawinan atau pernikahan Islam menjadi penentu untuk sah atau tidaknya suatu pernikahan, bahkan menolak segala hal yang berhubungan dengan ketentuan hukum adat, termasuk didalamnya upacara-upacara nikah.

2. Suatu perkawinan atau pernikahan dapat dianggap sah apabila dalam akad nikahnya sudah dilakukan menurut hukum Islam. Walaupun sebelumnya atau sesudahnya tetap dilakukan upacara adat.

3. Suatu perkawinan atau penikahan belum dianggap sah apabila perayaan upacara perkawinan secara adat belum dilakukan walaupun sebelumnya

14

Imam Sudiyat, Hukum Adat ;Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981 ), Cet, Ke 2, h.107.

15

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum adat, (Jakarta : Pradaya Paramita, 1974 ) h. 187

sudah dilakukan akad nikah secara Islam. Hal seperti ini terjadi di daerah paminggir (Lampung), Tepanuli, dan Minangkabau.16

Dalam proses penyebaran agama Islam di tataran Sunda, tidak seluruh wilayah tataran sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat meski dalam lingkup kecil terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes. Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religious yang khas, terpisah dari komunitas muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.17Namun dengan berjalan waktu, kini masyarakat Baduy ada sebagian yang sudah memeluk agama Islam Khusus nya masyarakat Baduy Dangka.

Menurut Abdul Rozak,18Baduy Dangka juga bisa di sebut dengan pemukiman masyarakat Baduy muslim, dikarnakan mayoritas masyarakat Baduy Dangka sudah memeluk agama Islam. Baduy Dangka terletak di Kampung Cicakal Girang, secara letak geografis Cicakal Girang berada di Kecamatan Bojong Manik.

Cicakal Girang adalah salah satu pemukiman yang tercatat resmi secara administrasi di Desa Kanekes sebagai tempat bermukimnya 11.000 jiwa Etnis Baduy dengan menempati urutan RW 08/RT 1,2 dan 3 serta tercantum pula pada feta tanah Ulayat Baduy yang dikukuhkan oleh PERDA No. 32 tahun 2001. Prihal

16

Surojo Wigbjadupuro, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, ( Jakarta; Gunung Agung 1982), cet, ke IV, h. 33.

17

Priksa Dadan Wildan, “Penyebaran Islam di Tatar Pasundan” Dalam Cik Hasan Bisri,

dkk.Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Pasundan, (Bandung: Kaki Langit, 2005), h.56

18

Cicakal Girang ini di catatan perjalanan sejarah kesukuan Baduy memiliki cerita dan keunikan yang sangat berbeda dengan kampung-kampung lain yang berbeda di wilayah Tanah Ulayat Baduy dan dinyatakan sebagai kampung khusus yang direstui perbedaannya oleh tokoh adat Baduy.

Pemukiman Cicakal Girang dibentuk oleh lelehur mereka untuk membuktikan bahwa etnis Baduy sejak dulu komitmen dengan tugas yang diembannya yaitu memelihara keharmonisan dan keseimbangan alam, Ngasuh Ratu Nyayak Manak. Apabila penulis terjemahkan, di dalam tugas tersebut terkandung makna bahwa Baduy siap untuk saling menghormati dan bekerja sama dengan dunia luar. Analisis dan observasi penulis ini didasarkan pada hasil penjelasan dan komentar para tokoh adat yang ada sekarang tentang tujuan serta asal usul dibentuknya pemukiman Cicakal Girang dengan memperbolehkan adanya perbedaan pola hidup dan keyakinan yang diadopsi dari budaya luar untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka di atas sebuah kesepakatan dan perjanjian. Itu semua sudah teruji kebenarannya dengan tetap terbinanya kerukunan, tetap saling menghargai, saling membatu bahkan saling tolong- menolong, hidup saling berdampingan jauh dari percekcokan, dan pertentangan walau hidup dengan keyakinan yang berbeda, toleransi, sikap persatuan dan kesatuan, kerja sama, horma menghormati dan harga menghargai di Etnis Baduy ternyata bukan hanya dalam teori, tetapi sudah diimplementasikan sejak lama pada kehidupan sehari-hari mereka.19

19

Menurut Ayah Mursid, ” Sesuai jeung perjalanan sejarah Lembaga Hukum Adat Baduy, keur ngalengkepkeun hukum tatacara perkawinan warga Baduy Luar nu perlu dibacakeun Sahadat Nabi Muhammad, maka tokoh adat waktu haritangusulkeun ka sultanan Banten supaya aya patugas mun dijaman ayeuna mah nu disebut Naib Panghulu atawa KUA na keur ngabantu dina acara perkawinan. Teu lila datang utusan Sultan nu ngarana Ki Ahum. Supaya deukeut tur gampang neangan, Ki ahum ditempatkeun kana Adat Istiadat Baduy, di larang nyawah, ngangon atawa miara kebo, imah sederhana, tempat ibadah mangrupa bale-balean. Jadi awalna lain keur nga Islamkeun masyarakat Baduy, kusabab Ki Ahum tetep timetep hirup didinya trus boga katurunan anak incu buyut nepika turunan nu aya ayeuna jeng ngabogaan kayakinan agama Islam, munasabah atawa wajar mun ayeuna di Cicakal Girang warga ngagem Agama Islam. Pihak kami pihak kami teu kudu ewuh pkewuh da geus jadi hiji kaputusan nu ku kami kudu diterima jeung dipatuhkeun.20

Artinya: ” Sesuai dengan sejarah perkembangan lembaga hukum adat Baduy, untuk melengkapi hukum tatacara perkawinan warga Baduy Luar yang perlu dibacakan Sahadat Nadbi Muhammad, maka tokoh adat pada waktu itu mengusulkan pada kesultanan Banten supaya ada petugas, kalau di zaman sekarang di sebut naib, penghulu atau KUA nya untuk membantu dalam acara perkawinan. Tidak lama datang utusan Sultan yang bernama Ki Ahum, supaya dekat dan mudah menjemput Ki Ahum di tempatkan di Cicakal Girang, tetapi dengan beberapa amanat/ perjanjian, di antaranya harus mampu menghargai dan

20

Ayah Mursid, Tokoh Masyarakat Adat Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016.

menyeimbangkan terhadap adat istiadat Baduy, dilarang bersawah, beternak atau memelihara kerbau, rumah harus sederhana, tempat ibadah hanya berupa Bale balean, jadi, awal nya bukan bertujuan untuk meng Islam kan masyarakat Baduy,

Dokumen terkait