• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Data Keuangan Inklusif dan LKD

Dalam dokumen pertemuan 11 dan 12 BI stabilitas keuang (Halaman 192-200)

Dan Industri Berjalan Dengan Baik Sehingga Mampu Mendukung Terjadinya Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan

5.5. Perkembangan Data Keuangan Inklusif dan LKD

5.5.1. Indeks Komposit Keuangan Inklusif Indonesia (IKKI)

Risiko setelmen pada sem Indeks komposit keuangan inklusif merupakan salah satu indikator untuk menilai

tingkat inklusifitas keuangan sebuah negara. Terdapat

beberapa metode perhitungan indeks keuangan inklusif dimaksud yang telah diterapkan oleh beberapa

Negara dan organisasi internasional seperti Alliance for Financial Inclusion (AFI), International Monetary Fund

(IMF), dan ekonom seperti Sarma (2008, 2010, 2012),

Crisil, dan Chi-Wins. Dalam hal ini Bank Indonesia menggunakan metode pengukuran Sarma (2012) untuk menghitung Indeks Keuangan Inklusif Indonesia (IKKI), selain juga menggunakan metode dari AFI.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuangan

inklusif suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh cukup

besar adalah kondisi geografis, kondisi awareness

masyarakat dan ketersediaan infrastruktur di

wilayahnya. Mempertimbangkan faktor-faktor

tersebut dan mengacu kepada metode Sarma, perhitungan IKKI oleh Bank Indonesia menggunakan 3

(tiga) indikator pada 2 (dua) dimensi keuangan inklusif,

yaitu: (i) dimensi akses yang menggunakan indikator

ketersediaan layanan bank (Banking Services-BS),

mencakup kantor bank, ATM, serta agen Layanan Keuangan Digital (LKD); (ii) dimensi penggunaan

yang menggunakan indikator rekening bank (Banking

Penetration-BP); serta nilai simpanan dan kredit (Usage of Banking System-BU). Metode Sarma (2012) memiliki nilai indeks keuangan inklusif dengan

rentang antara 0 dan 1, dimana semakin tinggi nilainya (mendekati satu) maka tingkat inklusi keuangan di

negara tersebut semakin baik (complete financial

inclusion). Sebaliknya, nilai indeks yang mendekati nol menggambarkan bahwa tingkat inklusi keuangan

di negara tersebut semakin buruk (complete financial

exclusion). Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Sarma (2012) didapatkan IKKI pada akhir semester I 2016 berada di level medium

0,38 (Grafik 1), meningkat 5,2% dari level indeks di Desember 2015. Hal ini menunjukkan bahwa akses dan

penggunaan masyarakat Indonesia terhadap layanan

keuangan secara historical cenderung meningkat,

meskipun masih tergolong medium.

5.5.2. Perkembangan Layanan Keuangan Digital (LKD)

Sebagaimana periode laporan sebelumnya, pada semester I 2016, LKD terus menunjukkan

perkembangan yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh

bertambahnya bank penyelenggara LKD dan agen LKD serta meningkatnya transaksi uang elektronik pada agen LKD.

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

2014 2015 2016 0,40 0,38 0,36 0,34 0,32 0,30 0,28 0,26 0,24 0,22 0,20 Keterangan Threshold : - Rendah (0 – 0,3) - Medium (0,3 – 0,6) - Tinggi (0.6-1 Jun-16 : 0,38 Jun-15 : 0,31 i. Penyelenggara LKD

Sama dengan semester II 2015, pada Semester I 2016, terdapat 5 bank (BRI, Bank Mandiri, BNI, CIMB NIAGA dan BCA) yang telah mendapatkan ijin sebagai penyelenggara LKD, namun yang telah beroperasi baru 4 (empat) bank yaitu BRI, Bank Mandiri, CIMB Niaga dan BCA. Dari kelima bank penyelenggara

tersebut, 3 (tiga) diantaranya (BRI, Bank MAndiri dan

BCA) mendapatkan ijin untuk menggunakan agen LKD individu maupun badan hukum, sedangkan 2 (dua) bank lainnya (CIMB Niaga dan BNI) hanya mempunyai ijin untuk menggunakan agen LKD berbentuk badan

14 Agen LKD di 3 Kab/ Kota 3 Agen LKD di 1 Kab/ Kota 79.943 Agen LKD di 446 Kab/ Kota 30.713 Agen LKD di 375 Kab/ Kota

hukum. Berdasarkan cakupan wilayah, BRI memiliki

ketersebaran agen LKD yang paling luas yaitu terdapat

di 446 Kabupaten/Kota, diikuti oleh Bank Mandiri

dengan ketersebaran agen LKD di 375 Kabupaten/Kota. Sementara itu, agen LKD dari CIMB Niaga tersebar pada 3 Kabupaten/Kota, dan BCA terkonsentrasi di Kota Jakarta.

ii. Agen LKD Agen LKD

Pada semester I 2016, jumlah agen LKD meningkat

signifikan 46,2% dibandingkan semester II 2015

menjadi 101.689 agen. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan jumlah agen LKD badan

hukum yang meningkat tinggi sebesar 78,1%. Namun

dilihat dari komposisinya, mayoritas agen LKD (82,1%)

masih merupakan agen LKD individu seperti toko kelontong, toko pulsa, apotik, restoran, dan payment

point online bank (PPOB). Sementara proporsi agen LKD badan hukum yang antara lain berupa retailer, perusahaan, pengadaian, dan koperasi baru mencapai sekitar 18,9%.

iii. Transaksi pada Agen LKD

Pada semester I 2016, nilai transaksi uang elektronik melalui agen LKD mengalami peningkatan 18,8% (ytd) menjadi sebesar Rp6,39 miliar. Kabupaten/kota yang memiliki jumlah nilai transaksi uang elektronik

Tabel 5.3. Perkembangan Agen LKD Individu

dan Agen LKD Badan Hukum Semester I 2016

Periode 2016 Agen Individu Agen Badan Hukum

Januari 63.810 9.724 Februari 67.970 9.941 Maret 73.790 10.192 April 78.641 10.460 Mei 80.745 9.946 Juni 84.374 17.315

Sumber : Bank Indonesia, Juni 2016, diolah

Grafik 5.4. Perkembangan Agen LKD Tahun 2016

60.000 Januari 73.534 Maret 83.982 Mei 90.691 Februari 77.911 April 89.101 Juni 101.689 100.000 80.000 120.000 0 40.000 20.000

terbesar adalah Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Bogor dan Kota Jakarta Timur. Sama halnya dengan semester II 2015, pada semester I 2016 dari 6 (enam) jenis transaksi uang elektronik, jenis transaksi yang paling banyak digunakan adalah transaksi setor tunai (top up), penarikan tunai (cash out) dan transfer dari

uang elektronik ke rekening tabungan (transfer person

to account). Namun demikian terjadi perubahan komposisi jenis transaksi. Dibandingkan dengan semester II 2015, pada semester I 2016, persentase

jenis transaksi penarikan tunai turun signifikan dari 40%

menjadi 20%. Sementara jenis transaksi setor tunai dan transfer dari uang elektronik ke rekening tabungan masing-masing meningkat dari 31% menjadi 47% dan dari 14% menjadi 20%. Masih belum meratanya penggunaan keenam jenis transaksi uang elektronik

ini menunjukkan tetap perlunya ditingkatkan kegiatan

sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk

meningkatkan awareness masyarakat melakukan jenis

transaksi lainnya melalui agen LKD.

Selain nilai transaksinya, jumlah uang elektronik yang dibuka oleh masyarakat di agen LKD juga mengalami

peningkatan sebagaimana Grafik 5.7. Jumlah

Top Up 47% Cas-Out 20% Payment 2% Transfer person 9% Transfer Government to Person (G2P) 0% Initial 2% Transfer Person to Account 20%

Grafik 5.6. Perkembangan Nilai Rekening Uang Elektronik

(Dana Float) pada Agen LKD (Milyar Rp)

Grafik 5.7. Perkembangan Jumlah Pemegang Uang Elektronik

pada Agen LKD Jan-16 42,95 Mar-16 43,19 Mei-16 43,09 Feb-16 43,29 Apr-16 43,15 Jun-16 43,11 Jan-16 1.226,126 Mar-16 1.218,896 Mei-16 1.165,010 Feb-16 1.218,476 Apr-16 1.183,139 Jun-16 1.151,571

Sumber : Bank Indonesia, Juni 2016, diolah

mencapai 1.226.126, meningkat sebesar 7,04% (ytd). Sementara itu, nominal rekening uang elektronik belum menunjukan perkembangan yang cukup

signifikan seperti yang ditunjukan pada Grafik 5.6. iv. Pengembangan LKD: Pilot Project

Dalam rangka pengembangan LKD di Indonesia, Bank Indonesia sejak tahun 2015 telah melakukan pilot project LKD kepada komunitas Pondok pesantren (Ponpes) dan penyaluran bantuan sosial (bansos)

pemerintah kepada masyarakat. Pelaksanaan pilot

project di semester I 2016 dilakukan di komunitas pondok pesantren (ponpes), bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi di Indonesia (PT. Telekomunikasi Indonesia, PT. XL Axiata dan PT Indosat

Ooredoo). Ponpes yang telah melaksanakan pilot

project adalah Ponpes Daarut Tauhiid di Bandung dan

akan diikuti oleh Ponpes putri Al-Mawaddah di Jawa

Timur.

Pelaksanaan pilot project LKD di Ponpes Daarut

Tauhid berjalan lancar dan disambut dengan baik. Namun demikian berdasarkan hasil monitoring, masih terdapat kendala/kelemahan yang ditemui dalam

pelaksanaannya yang harus ditindaklanjuti untuk

kesuksesan implementasi LKD ke depan, antara lain: a. Agen belum dapat melakukan proses registrasi

tanpa bantuan telco. Layanan setor tunai masih sangat jarang dilakukan bahkan layanan tarik tunai belum pernah dilakukan.

b. Ketidaknyamanan nasabah terhadap layanan

uang elektronik karena belum terbiasa dengan transaksi menggunakan telepon genggam sehingga nasabah merasa proses pembayaran menjadi lebih lama.

c. Sinyal provider di daerah Ponpes Daarut Tauhiid yang kurang baik.

d. Santri Karya yang tidak dapat melakukan transaksi

karena SIM Card telah expired.

e. Ketidaknyamanan nasabah karena apabila terjadi

masalah (misalnya lupa PIN, SIM Card telah expired) harus diselesaikan di gerai provider yang terdekat, belum bisa diselesaikan di agen.

f. Manfaat dan kegunaan terkait LKD belum banyak diketahui oleh masyarakat sekitar, untuk itu sebagai upaya edukasi, masing-masing telco telah menyediakan pusat informasi secara berkala untuk melayani dan menjelaskan terkait produk LKD masing-masing provider serta telah

menyiapkan manual book untuk melakukan

transaksi.

Rencana pilot project LKD di Ponpes putri Al-Mawaddah

masih dalam persiapan pemasangan operasional LKD dan edukasi kepada pengurus Ponpes, Santri, dan

masyarakat sekitar. Direncanakan pilot project akan

Bantuan sosial (bansos) merupakan salah satu program pemerintah untuk membantu perekonomian masyarakat miskin dan kurang

mampu. Penyaluran bantuan sosial yang efektif, efisien, dan tepat sasaran akan memberikan

manfaat besar kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyaluran tersebut dari hulu sampai ke hilir. Mekanisme penyaluran bantuan sosial secara

konvensional atau tunai terbukti memiliki banyak kelemahan, antara lain lamanya waktu proses

penyaluran, susahnya melakukan kontrol sehingga

tidak tepat sasaran, minimnya pencatatan penyaluran sehingga sulit diketahui statistik

perkembangan penyaluran bantuan, rentan akan

fraud, dsb.

Mempertimbangkan berbagai kelemahan dari

penyaluran tunai bansos tersebut dan sejalan dengan upaya perluasan gerakan nontunai,

Bank Indonesia berinisiatif mengajukan solusi

melalui transformasi penyaluran dana bansos dari tunai menjadi nontunai. Upaya ini diyakini akan dapat mendukung penyaluran dana bansos

menjadi lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran.

Untuk mendukung keberhasilan upaya tersebut diperlukan sinergi antara Bank Indonesia dengan pemerintah, kementerian, perbankan, dan otoritas terkait untuk memfasilitas penyaluran bansos secara nontunai melalui rekening uang elektronik. Dengan demikian, dana bansos dapat diambil pada agen-agen LKD Bank yang ditunjuk dan kedepannya akan diperluas pada kantor cabang bank serta ATM.

Selain itu, Bank Indonesia juga berinisiatif

mengembangkan penyaluran dana bansos dengan

melakukan sistem pembayaran HIMBARA serta

memberdayakan masyarakat melalui e-Warong yang juga merupakan Agen Layanan Keuangan Digital (LKD). Pengembangan tersebut untuk

mewujudkan interoperabilitas dan interkoneksi

di antara bank penyalur dana bansos pemerintah sehingga memberikan kemudahan, kenyamanan, dan perluasan akses bagi masyarakat.

Kerja nyata dan sinergi antara Bank Indonesia dengan pemerintah, kementerian, perbankan, dan

otoritas tersebut bertujuan untuk mewujudkan

penyaluran bantuan sosial dengan prinsip 6T, yaitu

Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Harga, Tepat

Waktu, Tepat Kualitas, dan Tepat Administrasi. Ini juga sejalan dengan model bisnis penyaluran bantuan sosial secara non tunai yang disusun Bank Indonesia dan disampaikan dalam Rapat Kabinet Terbatas April 2016 yang terdiri dari 4 (empat) aspek utama, yaitu (i) Registrasi dan

pembukaan rekening secara sekaligus (bulk); (ii)

Edukasi dan sosialisasi; (iii) Penyaluran bantuan; dan (iv) Penarikan bantuan oleh masyarakat penerima. Dengan konsistensi terhadap 4 (empat) aspek tersebut, penyaluran bantuan sosial yang

berkesinambungan akan dapat terwujud, dimana

masyarakat dapat menerima bantuan dengan nyaman, perbankan dapat menjaga sustainabilitas bisnis, agen dapat merasakan peningkatan pendapatan, dan Pemerintah dapat memenuhi Prinsip 6T dalam penyaluran.

Pilot project penyaluran bantuan sosial dengan dukungan interoperabilitas dan interkoneksi sistem

pembayaran perbankan HIMBARA yang dilakukan

pada menggambarkan potensi yang begitu besar

dari sinergi perbankan HIMBARA, dimana s.d. Juni 2016 tercatat Bank HIMBARA telah memiliki

114.000 Agen LKD dan Laku Pandai di seluruh Indonesia. Dengan terciptanya interoperabilitas dan interkoneksi diantara Bank penyalur, maka masyarakat akan langsung mendapatkan manfaat berupa kemudahan, kenyamanan serta perluasan akses dalam bertransaksi karena masyarakat akan dapat bertransaksi di seluruh ATM, EDC,

dan agen LKD/Laku Pandai dari Bank HIMBARA. Bank Indonesia senantiasa akan mendorong dan

memperluas upaya ini supaya dapat menjangkau

perbankan lain diluar HIMBARA. Dengan perluasan tersebut, maka titik penarikan/pengambilan

bantuan sosial akan menjadi semakin banyak dan semakin mempermudah masyarakat.

Bank Indonesia juga menyambut baik pemberdayaan masyarakat didalam penyaluran bansos melalui pemanfaatan e-Warong KUBE

PKH. Sebagai perpanjangan tangan dari bank, e-Warong berperan penting dalam mendorong

perluasan penyaluran, karena secara langsung berada dan menjadi bagian dari lingkungan masyarakat penerima. Namun demikian, prinsip

kehati-hatian dan perlindungan konsumen tetap

harus dikedepankan oleh Perbankan dalam memperluas jaringan agen. Bank Indonesia menekankan terdapat 5 (lima) hal yang perlu

diperhatikan untuk dapat menjadi agen LKD,

yaitu (1) Memiliki kemampuan, reputasi, dan integritas; (2) Merupakan penduduk/unit usaha setempat; (3) Memiliki usaha yang telah berjalan

minimum 2 tahun; (4) Lulus due diligence oleh

bank; dan (5) Menempatkan sejumlah deposit di

bank. Persyaratan ini penting untuk dipenuhi agar kegiatan penyaluran tidak hanya terselenggara dengan efektif dan efisien, namun juga senantiasa aman dan tidak memberikan beban tambahan

Dalam dokumen pertemuan 11 dan 12 BI stabilitas keuang (Halaman 192-200)