• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.1. Perkembangan Ekonomi Indonesia

Pada dekade 1970an perekonomian Indonesia didominasi oleh sektor perminyakan. Selama pertengahan dekade tujuh puluhan produksi minyak Indonesia mencapai 1.3 juta barrel per hari. Perubahan dalam pasar minyak berdampak sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Booming minyak yang

terjadi di seluruh dunia pada awal tahun 1970an menyebabkan inflasi dunia meningkat dengan tajam. Rata-rata inflasi tahunan negara-negara Overseas

Economic Countries for Development (OECD) kurun waktu tahun 1970-1980

adalah 9%. Karena hasil perdagangan sangat berperan dalam produk domestik bruto Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa pada masa itupun Indonesia telah mulai mengimpor inflasi, karena perdagangan Indonesia didominasi oleh sektor perminyakan. Maka kenaikan harga barang-barang impor diteruskan kepada konsumen lokal yang pada akhirnya meningkatkan inflasi domestik (Booth and McCawley, 1981 dalam Tambunan, 2002).

Pada tahun 1983, tim ekonomi Indonesia sudah menyadari keterbatasan negara sebagai mesin tunggal pendorong kemakmuran ekonomi, sehingga sebagai gantinya berusaha memanfaatkan gaya-gaya pasar sebagai sumber kekuatan baru. Proses reformasi ekonomi dirancang untuk membuat perekonomian menjadi lebih berorientasi pasar, terutama dalam pengalokasian dan pendistribusian sumber daya finansial. Reformasi ini memberikan peran lebih besar bagi sektor swasta dan kompetisi antar sektor. Keputusan itu berimplikasi pada perubahan aturan main secara signifikan. Oleh karena itu, mulai disusun kerangka peraturan baru

agar berbagai sektor ekonomi bisa berkembang. Maka sejak tahun 1983 sampai sebelum terjadinya krisis nilai tukar tahun 1997, dapat disebut sebagai periode deregulasi di Indonesia. Reformasi berdampak sangat besar, termasuk terhadap sistem perbankan dan dampaknya dalam mempercepat pertumbuhan. Namun demikian ada beberapa masalah yang tidak dapat dihindari. Misalnya pada akhir tahun 1984 terjadi peningkatan permintaan dalam pasar antar bank yang memicu terjadinya peningkatan besar dalam suku bunga untuk pinjaman semalam

(overnight), sehingga Bank Indonesia membuka sebuah fasilitas kredit khusus dan

membatasi jumlah yang dapat dipinjam oleh bank-bank dalam pasar antar bank. Lalu pada tahun 1986 terjadi reformasi keuangan dan shift to outward oriented

economy. Walaupun gerakan ini dilancarkan sebagai respon atas penurunan

kinerja ekonomi di Indonesia yang disebabkan oleh jatuhnya harga minyak sampai menjadi US$10 per barrel, reformasi ini akhirnya terus dipertahankan karena deregulasi dan debirokratisasi ternyata menggairahkan perekonomian. Reformasi keuangan ditandai dengan keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan inflasi melalui pengendalian ketat terhadap pasokan uang, pengendalian fiskal dan koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dengan bank sentral negara lain. Ciri penting dari pelaksaan reformasi keuangan saat itu adalah terjadinya devaluasi nilai tukar yang dirancang untuk meningkatkan ekspor non- migas. Ternyata kebijakan devaluasi tersebut adalah kebijakan devaluasi Indonesia yang terakhir. Sejak devaluasi tahun 1986, rupiah diatur sesuai dengan sistem liberal “managed floating” (mengambang terkendali), dan tidak lagi

Mulai tahun 1988, perekonomian Indonesia tumbuh pesat, yaitu rata-rata di atas 5% per tahun. Akan tetapi, pada semester kedua tahun 1997, setelah mengalami stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi serta penurunan jumlah penduduk miskin yang sangat besar, perekonomian Indonesia tiba-tiba mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Seperti yang telah diketahui secara luas, krisis ekonomi Indonesia dipicu dari jatuhnya nilai mata uang rupiah, sebagai lanjutan dari jatuhnya nilai mata uang baht di Thailand dan ringgit di Malaysia. Walaupun indikator makroekonomi pada saat itu menunjukkan kondisi yang cukup baik, namun jatuhnya nilai mata uang rupiah kemudian ternyata menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia (Tambunan, 2002).

Untuk meredam terjadinya gejolak rupiah, pada waktu itu Bank Indonesia mengambil tindakan memperlebar spread kurs intervensi dari 8% menjadi 12%,

dan menyetop sementara pembelian Sertifikat Berjangka Pasar Uang (SBPU). Sementara itu, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dinaikkan dengan harapan akan memperkuat nilai tukar rupiah. Namun, karena nilai tukar rupiah ternyata tetap melemah dan sempat menembus batas spread pada tanggal 14

Agustus 1997 (kurs rupiah mencapai Rp.2775 per dollar AS, yaitu lebih tinggi dari batas intervensi Rp.2682), maka sejak itu Bank Indonesia melepas band

intervensinya dan kemudian beralih pada sistem free float exchange rate.

Penglepasan band intervensi oleh Bank Indonesia kemudian membuat nilai tukar

rupiah semakin bergejolak dan akhirnya terpuruk pada tingkat yang relatif sangat rendah (Basri, 2002).

Dengan diberlakukannya sistem free float exchange rate tersebut, tidak

berarti bahwa nilai tukar rupiah secara mutlak ditentukan oleh mekanisme pasar. Keinginan pemerintah untuk mengendalikan nilai tukar masih nampak dari adanya pengetatan likuiditas perbankan. Peningkatan suku bunga SBI yang disertai pengetatan likuiditas cukup membuat dunia usaha menjadi panik. Suku bunga SBI berjangka waktu satu bulan sempat mencapai 30% per tahun pada tanggal 19 Agustus 1997. Hal ini mengakibatkan suku bunga deposito berjangka satu bulan melambung di atas 30%, dan akibatnya suku bunga kredit berada pada kisaran 40% per tahun (Basri, 2002).

Tingginya tingkat suku bunga mengakibatkan sebagian besar dana masyarakat dialihkan ke deposito berjangka waktu satu sampai tiga bulan. Hal ini menjadikan sistem perbankan yang selama ini berperan penting dalam pembiayaan jangka panjang menjadi kesulitan dalam menata kembali manajemen yang selama ini sudah berlangsung. Keadaan tersebut menyebabkan sistem perbankan pada umumnya mengalami kesulitan likuiditas. Pada gilirannya, hal itu akan berpengaruh terhadap turunnya rentabilitas bank-bank tersebut. Bagi bank- bank yang sudah fragile dengan berbagai persoalan mendasar, maka kesulitan

likuiditas akan memperparah keadaan. Besarnya kesulitan likuiditas perbankan pada akhirnya telah menimbulkan krisis pada perbankan nasional, karena banyak perbankan nasional melakukan mismatch financing, yakni memberikan pinjaman

jangka panjang ke perusahaan dengan dana yang berasal dari utang jangka pendek. Ditambah lagi, banyak perbankan yang melanggar batas pinjaman yang telah ditentukan (legal lending limit).

Krisis nilai tukar yang diikuti dengan krisis utang dan krisis perbankan, akhirnya menurunkan kinerja perekonomian hingga mengalami depresi dan inflasi yang tinggi. Pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi yakni dari pertumbuhan ekonomi 7.8% pada tahun sebelumnya menjadi hanya tumbuh 4.7%. Pada tahun 1998, resesi ekonomi Indonesia sampai pada titik yang paling rendah yakni dengan pertumbuhan ekonomi –13.7% (Gambar 1).

Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 1969-2000

Kontraksi ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1998 adalah yang terparah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang terkena krisis, tetapi pemulihannya relatif paling lambat. Sebagai contoh, kontraksi yang dialami Korea Selatan pada tahun 1998 adalah −6.7%, tetapi pada tahun 1999 telah mampu tumbuh sebesar 10.7%. Malaysia yang mengalami kontraksi −7.4% telah tumbuh 5.7% pada tahun 1999, dan Thailand dari −10.2% pada tahun 1998 menjadi 3.3% pada tahun 1999. Sedangkan Indonesia yang kontraksinya paling parah, yaitu −13.2%, ternyata baru mampu tumbuh sebesar 0.79% pada tahun 1999 (Abdelal, 2001). -15.0 -10.0 -5.0 0.0 5.0 10.0 P e rt um buha n E ko no m i (% ) T a h u n

Selanjutnya, sesuai dengan tema penelitian, maka dalam sub-bab di bawah ini dipaparkan secara singkat perkembangan perekonomian Indonesia yang dikaitkan dengan ketiga kesenjangan, yaitu kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing. Periodesasi analisis dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode sebelum terjadinya krisis nilai tukar (yakni tahun 1969- 1996) dan pada periode krisis ekonomi (yakni tahun 1997-2000). Pembagian dua periode tersebut dimaksudkan untuk melakukan perbandingan melakukan perbandingan perkembangan ketiga kesenjangan dalam perekonomian Indonesia pada periode normal dan pada periode krisis.