APLIKASI MODEL MAKROEKONOMI
THREE-GAP
DISERTASI
Oleh:
RATNAWATI PRAYOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP
KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA : SUATU
APLIKASI MODEL MAKROEKONOMI
THREE-GAP
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 2 April 2010
RATNAWATI PRAYOGI. 2012. The Impact of Fiscal and Monetary Policy on Indonesia’s Economic Performance: A Three-Gap Macroeconomic Model Application (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, BONAR M. SINAGA and KUNTJORO, as Members of Advisory Committee).
The objective of this study is to analyze the impact of fiscal and monetary policy on Indonesia’s economic performance. Considering that internal gaps (savings gap and fiscal gap) and external gap (foreign exchange gap) exist at any economy, therefore it was necessary to build a macroeconomic model which integrates the three gaps. The Indonesia’s Three-Gap Macroeconomic Model built as an econometric model in the form of a simultaneous equations system and estimated using Two-Stage Least Squares method by using time series data in the year of 1969-2000.
Empirical result shows that negative gap in private sector (savings deficit) is not a constraint to economic growth if there is an augmentation in investment financed by foreign capital inflows (foreign direct investment and foreign loans). Therefore it is very important to stimulate an excellent atmosphere to boost up investment. On the other hand, negative gap in public sector (fiscal deficit) is a constraint to Indonesia’s economic growth because the fall of public income will deteriorate fiscal potency. If the deficit is covered by increasing loans, it would increase interest payment. Therefore, besides exercising taxational intensification and extensibility policy, government spending should be spent efficiently and effectively.
At the foreign exchange gap, the higher the net export, the higher the economic growth. At the capital account, while increasing the cash inflows (foreign investment and foreign loans) to the private sector would increase the investment, on the contrary, decreasing public foreign loans would make public spending more efficient and could increase economic growth.
Since Indonesia’s economy experienced an economic downfall initiated by the currency crisis in 1997, in the future, the role of the fiscal and monetary policy would be very crucial in accelerating economic growth.
RATNAWATI PRAYOGI. 2012. Dampak Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia: Suatu Aplikasi Model Makroekonomi Three-Gap (MANGARA TAMBUNAN sebagai Ketua, BONAR M. SINAGA dan KUNTJORO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal dan moneter terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Memperhatikan bahwa dalam perekonomian terdapat kesenjangan internal (kesenjangan tabungan dan kesenjangan fiskal) dan kesenjangan eksternal (kesenjangan valuta asing), maka perlu dibuat suatu model makroekonomi yang mengintegrasikan ketiga kesenjangan tersebut. Ketiga kesenjangan ini dikenal dengan nama three-gap dalam perekonomian. Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia dibangun sebagai model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan dan diestimasi menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Data yang digunakan adalah data time series tahun 1969-2000.
Hasil empiris menunjukkan bahwa kesenjangan yang negatif di sektor swasta (defisit tabungan) tidak menjadi kendala bagi pertumbuhan ekonomi sepanjang terjadinya peningkatan investasi swasta yang antara lain dibiayai oleh aliran dana asing (foreign direct investment dan foreign loans). Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi yang kondusif. Sebaliknya, kesenjangan yang negatif pada sektor publik (defisit fiskal) menjadi kendala bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena penurunan penerimaan pemerintah memperlemah kekuatan fiskal. Defisit fiskal dapat mengakibatkan makin besarnya beban bunga jika defisit ditutup dengan pinjaman. Oleh karena itu, di samping melakukan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan, pemerintah perlu melakukan efisiensi dan efektivitas dalam pengeluarannya.
Pada kesenjangan valuta asing, makin tinggi ekspor bersih, maka makin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada akun modal (capital account), aliran dana asing ke sektor swasta dalam bentuk investasi asing dan pinjaman asing dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi sebaliknya, justru penurunan pinjaman luar negeri pemerintah dapat mengefisienkan sektor publik dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Mengingat perekonomian Indonesia mengalami krisis yang diawali dari krisis nilai tukar pada tahun 1997, maka kebijakan fiskal dan moneter ke depan akan berperan penting dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi.
Kata kunci: kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal, kesenjangan valuta asing,
RINGKASAN
Program-program Bank Dunia dan IMF di negara-negara sedang berkembang terutama fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi serta memperoleh
balance of payment yang surplus dan penciptaan lapangan kerja yang luas. Dalam mencapai empat tujuan tersebut secara simultan, seringkali mengalami keterbatasan karena adanya berbagai perubahan dan ketidakseimbangan internal dan eksternal dalam perekonomian. Program-program bantuan IMF kepada Indonesia dalam mengatasi krisis ekonomi 1997, juga disertai prasyarat berupa rekomendasi strategi dan kebijakan program stabilisasi yang pada dasarnya tetap memperhatikan masalah keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dapat diukur dengan menggunakan analisis kesenjangan tabungan dan kesenjangan fiskal, sedangkan pengukuran keseimbangan eksternal diambil dari indikator kesenjangan neraca perdagangan. Analisis tiga kesenjangan tersebut dikenal sebagai three-gap analysis.
Dilihat dari kacamata three-gap, krisis ekonomi Indonesia 1997 menyebabkan makin kecilnya (jika surplus) atau makin dalamnya (jika defisit) kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing. Data yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kesenjangan tabungan di Indonesia dari rata-rata positif 9.5% pada tahun 1969-1996 menjadi rata-rata -3.4% pada tahun 1997-2000. Kesenjangan valuta asing dari rata-rata 17.6% pada tahun 1969-1996 menjadi rata-rata 3.1% pada tahun 1997-2000. Pada kesenjangan fiskal, pada tahun 1994-1997 Indonesia mengalami surplus, akan tetapi pada tahun 1998-2000, fiskal Indonesia kembali mengalami defisit. Secara keseluruhan pada periode pengamatan tahun 1969-2000, terlihat bahwa Indonesia mengalami fenomena defisit fiskal rata-rata -1.7%.
Memperhatikan bahwa dalam perekonomian terdapat kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing, maka untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal dan moneter terhadap kinerja perekonomian Indonesia, dibangun suatu model makroekonomi Indonesia dengan mengintegrasikan ketiga kesenjangan. Kesenjangan tabungan adalah kesenjangan sumberdaya sektor swasta, yakni selisih antara tabungan dan investasi. Kesenjangan fiskal adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah, sedangkan kesenjangan valuta asing adalah selisih antara ekspor dan impor.
Metode penelitian meliputi pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, pembentukan model ekonometrika, spesifikasi model, identifikasi model, estimasi model, validasi dan simulasi model, dengan unit analisis secara nasional. Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia dibangun sebagai suatu model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan dan diestimasi menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Data yang digunakan adalah data
time series tahun 1969-2000. Seluruh variabel dalam model diuji melalui uji statistik yang meliputi uji signifikansi dengan tingkat signifikansi 20 persen, uji statistik F, uji statistik t dan uji autokorelasi Durbin-h. Program piranti lunak (software) utama yang digunakan adalah Statistical Analysis System/Econometric Time Series (SAS/ETS) versi 6.12. Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia diperoleh setelah dilakukan beberapa alternatif spesifikasi model. Model ini terdiri dari 24 persamaan struktural dan 18 persamaan identitas.
yang logis dan mempunyai arti secara ekonomi. Hasil estimasi model juga memuaskan secara statistik, terlihat dari nilai koefisien determinasi R2
Hasil empiris menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri swasta dapat mendorong peningkatan investasi. Kalau pinjaman luar negeri meningkat, maka ada kecenderungan investasi swasta meningkat dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Sedangkan pinjaman luar negeri pemerintah dipengaruhi oleh perbedaan tingkat suku bunga asing dan domestik. Itu berarti aliran pinjaman asing akan meningkat ke perekonomian apabila perbedaan tingkat suku bunga menurun. Peningkatan cadangan devisa dan PDB riil secara teoritis seharusnya mengurangi pinjaman luar negeri. Akan tetapi ternyata kondisi ekonomi semacam itu tidak terjadi di Indonesia.
, besaran nilai statistik uji F, nilai statistik t dan uji autokorelasi Durbin-h yang umumnya dipenuhi. Dengan demikian model yang dibangun dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena makroekonomidalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan pengujian validasi terhadap model dengan menggunakan metode Newton dan prosedur SIMNLIN, dapat disimpulkan bahwa model ini dapat digunakan untuk aplikasi dalam bentuk simulasi kebijakan dan perubahan faktor-faktor eksternal. Uji validasi meliputi RMSPE dan U-Theil. Simulasi kebijakan dilakukan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap kinerja perekonomian.
Depresiasi nilai tukar riil yang disertai oleh penurunan cadangan devisa dapat meningkatkan penanaman modal asing langsung karena adanya harapan akan menjadikan nilai aset menjadi lebih tinggi, sehingga pihak asing tertarik untuk melakukan investasi. Sedangkan kenaikan tingkat suku bunga asing relatif terhadap suku bunga domestik ternyata meningkatkan permintaan akan pinjaman luar negeri swasta. Di lain pihak, penurunan cadangan devisa meningkatkan pinjaman luar negeri swasta. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya restriksi valuta asing dari defisit neraca pembayaran yang dapat membahayakan transfer modal dan bunganya, ternyata tidak relevan.
Pada periode sebelum krisis dan pada periode krisis, peningkatan penerimaan pemerintah ternyata dapat mendorong peningkatan pengeluaran pemerintah dan dapat meningkatkan PDB riil. Untuk itu kebijakan peningkatan penerimaan pemerintah dengan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan masih dapat dilakukan mengingat tax ratio di Indonesia masih rendah (15%), yang secara normatif di negara lain dapat mencapai 30%. Kebijakan perpajakan dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengurangi utang luar negeri pemerintah, yang dalam kurun waktu panjang, dapat meningkatkan pendapatan per kapita penduduk.
Pada periode sebelum krisis, penurunan pinjaman luar negeri pemerintah ternyata dapat meningkatkan efisiensi di sektor publik sehingga meningkatkan belanja pemerintah dan kesenjangan fiskal yang dalam hal ini mendorong meningkatkan PDB riil. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada periode krisis.
Kebijakan moneter penurunan tingkat suku bunga pada periode sebelum krisis dapat meningkatkan investasi swasta, konsumsi swasta, kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing yang membawa peningkatan PDB riil. Namun hal ini tidak terjadi pada periode krisis.
uang beredar, memberi dampak meningkatkan kesenjangan fiskal, akan tetapi menurunkan kesenjangan tabungan dan kesenjangan valuta asing. Investasi swasta, konsumsi swasta dan pengeluaran pemerintah meningkat, yang kesemuanya berdampak meningkatkan PDB riil.
Pada periode krisis, kombinasi simulasi secara simultan dalam bentuk kebijakan fiskal berupa peningkatan penerimaan pemerintah dan penurunan perubahan obligasi pemerintah disertai kebijakan moneter berupa peningkatan tabungan swasta dan peningkatan jumlah uang beredar, ternyata berdampak menurunkan kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing. Akan tetapi kombinasi kebijakan fiskal dan moneter tersebut dapat meningkatkan investasi swasta dan konsumsi swasta, yang berdampak meningkatkan PDB riil.
Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa defisit pada kesenjangan tabungan tetap dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang terjadinya peningkatan investasi swasta yang antara lain dibiayai oleh aliran dana asing dalam bentuk penanaman modal asing langsung dan pinjaman luar negeri. Tetapi mengingat bahwa akumulasi pinjaman luar negeri swasta telah menjadi salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi Asia tahun 1997, maka kebijakan yang lebih penting adalah mendorong investasi asing langsung (foreign direct investment) berjangka panjang. Ada bukti menunjukkan bahwa walaupun kebijakan suku bunga uang dari bank sentral diturunkan, tidak serta merta dapat memperbaiki suku bunga uang di sektor riil. Untuk itu, peran intermediasi perbankan harus ditingkatkan, mengingat perbankan masih sumber pembiayaan utama dalam masyarakat tetapi sampai saat ini mengalami spread yang tinggi terutama setelah terjadi krisis ekonomi Asia tahun 1997.
Pada sektor publik, karena terdapat defisit dalam kesenjangan fiskal, maka di samping melakukan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan, pemerintah perlu melakukan efisiensi dan efektivitas dalam pengeluarannya. Efisiensi ini diharapkan akan mengurangi pelemahan kekuatan fiskal yang diakibatkan oleh karena terjadinya defisit.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
APLIKASI MODEL MAKROEKONOMI
THREE-GAP
RATNAWATI PRAYOGI
DISERTASI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi
INDONESIA: SUATU APLIKASI MODEL MAKROEKONOMI THREE-GAP
Ratnawati PraYogi
965004
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
/,2{^2,4 -'r --r--/ .r, 1 6
-2,.o-Prof. Dr. Ir. Maneara Tambunan. M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga. MA Anggota
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
f , "
/t/,u
/-Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaea. MA
Mengetahui,
g I JAN
? 0 1 2
6ffi0
t"jfr"ijs
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini. Dalam kesempatan ini
penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, yang telah
meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya yang luar biasa, untuk membimbing dan
mengarahkan penulis serta mempercanggih disertasi ini dengan pengetahuannya yang
sangat luas.
2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai anggota komisi pembimbing, yang tanpa
kenal lelah serta dengan tulus dan ikhlas telah membimbing dan memberikan
arahan-arahan akademik secara komprehensif baik teoritis maupun dalam aplikasi, sehingga
sangat membantu penulis dalam membangun model ekonomi dalam penelitian ini.
Arahan-arahan beliau sangat membantu penulis dalam menyusun disertasi ini dengan
baik. Penulis sangat menyadari atas pengorbanan waktunya yang sangat berharga di
sela-sela kesibukannya yang terus menerus untuk secara konsisten membimbing
penulis secara intensif, sejak awal penelitian sampai terselesaikannya disertasi ini.
3. Prof. Dr. Ir. H. Kuntjoro sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan
waktunya yang sangat berharga untuk secara konsisten membantu kami dalam
menyempurnakan penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada:
1. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor, atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program
2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. (penguji ujian tertutup), Dr. Ir. Anny Ratnawati,
MS (penguji ujian terbuka) dan Dr. Ir. Hedi Muhamad Idris (penguji ujian terbuka)
yang di sela-sela kesibukannya yang padat telah bersedia sebagai penguji ujian doktor
dan memberikan masukan-masukan yang sangat berharga.
3. Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. yang pada tahun 1996 yang lalu berkenan
merekomendasikan kami untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan doktor
di IPB dan memberikan perhatian penuh selama masa pendidikan kami sampai kami
meraih gelar Doktor.
4. Gereja St. Yoseph di Matraman Raya Jakarta Timur atas dukungannya kepada kami.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang sangat khusus penulis sampaikan kepada
almarhum ayahanda penulis Drs. Tantra Wijana dan kepada ibunda penulis Mardiani
Rahardja, terutama kepada Ibunda yang selalu mendoakan keberhasilan kami, selalu
mendukung dan membantu kami secara moril dan materil dengan kasih sayang
seutuhnya. Terima kasih juga kami sampaikan kepada almarhum ayahanda mertua dan
kepada ibunda mertua yang baik, yang selalu mendukung dan mendoakan kami.
Akhirnya, kepada suami yang terkasih Ir. Nurdi Prayogi, MM, yang secara
konsisten memberikan dorongan, semangat dan dukungan yang luar biasa dengan
sepenuh hati tanpa kenal lelah, penulis sampaikan secara khusus ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya. Semoga segala upaya dan doa yang tulus membuahkan hal-hal
yang baik dan bermanfaat bagi bangsa, negara dan sesama.
Bogor, 2 April 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1962, merupakan
anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan suami istri Drs. Tantra Wijana
dan Mardiani Rahardja, menikah dengan Ir. Nurdi Prayogi, MM.
Penulis lulus SMA Fons Vitae Marsudirini Jakarta pada tahun 1981 dan
lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta pada tahun
1986. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi
Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) konsentrasi Akuntansi
Manajemen, lulus pada tahun 1993. Lalu pada tahun 1996, penulis memperoleh
kesempatan untuk melanjutkan lagi pendidikan pada Program Doktor, Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis pernah berkarir selama 10 tahun di bidang akuntansi dan keuangan
pada berbagai industri, yaitu industri properti (perumahan di Jakarta Selatan),
industri jasa (Rumah Sakit Mitra Keluarga milik PT. Kalbe Farma Tbk.) dan
industri manufaktur (Cadbury Indonesia). Setelah lulus dari MM-UI tahun 1993,
penulis berkarir di bidang pendidikan. Penulis pernah bekerja sebagai pengelola
Program Pascasarjana Universitas Tarumanagara Jakarta selama dua kali masa
jabatan. Sampai saat ini penulis masih berprofesi sebagai Peneliti dan Pengajar di
Bidang Ekonomi, sekaligus sebagai Pemerhati bidang Keorganisasian, Pemerhati
To Commemorate
WILLIAM SOERYADJAYA
December 20
th, 1922 – April 02
nd, 2010
Tarumanagara Foundation
This Is a Work of Art
Pietà
Pietà (1497-1500, Saint Peter’s Basilica, Vatican City), created by Michelangelo in his early 20s, depicts Mary as a young woman holding the dead Christ in her arms. It is a remarkable technical piece; the flesh under Christ’s shoulder just above Mary’s right hand seems to be soft and pliable. It is also a work of great beauty, capable of eliciting a deeply emotional response in the viewer.
Araldo de Luca/Corbis
Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xx
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM KAITAN DENGAN TIGA KESENJANGAN DALAM MAKROEKONOMI 11
2.1. Perkembangan Ekonomi Indonesia ... 11
2.2. Tiga Kesenjangan dalam Perekonomian Indonesia ... 16
2.2.1. Kesenjangan Tabungan ... 20
2.2.2. Kesenjangan Fiskal ... 22
2.2.3. Kesenjangan Valuta Asing ... 29
2.3. Perkembangan Aliran Dana pada Perekonomian Indonesia ... 35
2.3.1. Jumlah Uang Beredar dan Obligasi Pemerintah ... 37
2.3.2. Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Repayments ... 39
2.3.3. Penanaman Modal Asing LangsungdanPinjaman Luar Negeri Swasta ... 40
2.4. Tiga Kesenjangan dalam Kaitan dengan Binding Constraints Dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 42
2.5. Kekuatan Analisis Tiga Kesenjangan untuk Memahami Perekonomian Indonesia ... 52
2.6. Kebijakan Fiskal dan Moneter Indonesia pada Periode Analisis ... 56
III. TINJAUAN TEORI DAN BEBERAPA MODEL THREE-GAP ... 61
3.1. Tinjauan Teori Three-Gap ... 61
3.2. Tinjauan Beberapa Model Three-Gap ... 67
3.2.2. Model Three-Gap Taylor ... 79
3.2.3. Model Three-Gap Solimano ... 89
3.2.4. Perbandingan Model-Model Three-Gap Bacha, Taylor dan Solimano ... 99
3.2.5. Tinjauan Kritis atas Model-Model Three-Gap Bacha, Taylor dan Solimano ... 102
3.2.6. Model Three-Gap Iqbal ... 105
IV. METODE PENELITIAN ... 111
4.1. Kerangka Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia ... 111
4.2. Spesifikasi Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia ... 116
4.2.1. Blok Sektor Swasta ... 117
4.2.2. Blok Sektor Publik ... 119
4.2.3. Blok Luar Negeri ... 123
4.2.4. Blok Moneter ... 131
4.2.5. Blok Indikator Ekonomi ... 133
4.2.6. Blok Kinerja Ekonomi ... 136
4.3. Identifikasi Model ... 136
4.4. Metode Estimasi Model ... 138
4.5. Validasi Model ... 140
4.6. Simulasi Model ... 141
4.6.1. Penentuan Variabel-Variabel yang Disimulasikan ... 143
4.6.2. Simulasi Kebijakan dan Perubahan Faktor-Faktor Eksternal ... 151
4.7. Jenis dan Sumber Data ... 154
V. ANALISIS PERILAKU MODEL MAKROEKONOMI THREE-GAP INDONESIA ... 155
5.1. Gambaran Umum Hasil Estimasi Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia ... 155
5.2. Analisis Perilaku Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia .... 156
5.2.1. Respon Blok Sektor Swasta ... 156
5.2.2. Respon Blok Sektor Publik ... 160
5.2.4. Respon Blok Moneter ... 172
5.2.5. Respon Blok Indikator Ekonomi ... 173
VI. DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL, KEBIJAKAN MONETER DAN PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA ... 177
6.1. Validasi Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia ... 177
6.2. Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Perubahan Faktor-Faktor Eksternal terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia . 180 6.2.1. Dampak Peningkatan Penerimaan Pemerintah sebesar 15 Persen ... 181
6.2.2. Dampak Penurunan Perubahan Obligasi Pemerintah Sebesar 15 Persen ... 183
6.2.3. Dampak Penurunan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Sebesar 15 Persen ... 185
6.2.4. Dampak Peningkatan Tabungan Swasta sebesar 15 Persen .. 188
6.2.5. Dampak Penurunan Tingkat Suku Bunga sebesar 15 Persen 190 6.2.6. Dampak Peningkatan Cadangan Devisa sebesar 15 Persen 192
6.2.7. Dampak Peningkatan Jumlah Uang Beredar sebesar 15 Persen ... 194
6.2.8. Dampak Penurunan Capital Flight sebesar 15 Persen ... 196
6.2.9. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Asia Sebesar 15 Persen ... 198
6.2.10. Dampak Depresiasi Nilai Tukar Riil sebesar 15 Persen .... 200
6.2.11. Dampak Perubahan Kebijakan Fiskal dan Moneter Secara Simultan ... 203
6.2.12. Evaluasi Dampak Perubahan Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia ... 209
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 217
7.1. Simpulan ... 217
7.2. Saran Kebijakan ... 222
7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 224
DAFTAR PUSTAKA ... 225
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Three-Gap pada Perekonomian Indonesia
dalam Persentase Produk Domestik Bruto, Tahun 1969-2000 ... 17
2. Sumber Pendapatan Pemerintah dalam Persentase Total Penerimaan Pemerintah, Tahun 1969-2000 ... 24
3. Komponen Pengeluaran Pemerintah dalam Persentase Total Pengeluaran, Tahun 1969-2000 ... 26
4. Perbandingan Ekspor Non-Migas dan Ekspor Migas Indonesia dalam Persentase Total Ekspor, Tahun 1969-2000 ... 32
5. Komposisi Impor Indonesia dalam Persentase Total Impor, Tahun 1969-2000 ... 34
6. Aliran Dana pada Perekonomian Indonesia dalam Persentase Produk Domestik Bruto Nominal, Tahun 1969-2000 ... 36
7. Restriksi atas Parameter Fungsi-Fungsi Investasi dengan Kendala Gap Tabungan, Gap Kapasitas Penuh dan Gap Valuta Asing ... 44
8. Restriksi atas Parameter Fungsi-Fungsi Investasi dengan Kendala Gap Tabungan, Gap Valuta Asing dan Gap Fiskal ... 46
9. Parameter Estimasi Fungsi Investasi dengan Kendala Three-Gap pada Perekonomian Indonesia ... 50
10. Ringkasan Hasil Penelitian tentang Kendala Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Sedang Berkembang, Tahun 1962-1998 ... 53
11. Awal Krisis Ekonomi Indonesia Tahun 1997 ... 57
12. Neraca Identitas dalam Model Bacha ... 73
13. Neraca Identitas dan Persamaan Perilaku dalam Model Bacha ... 76
14. Lambang dan Definisi dalam Model Bacha ... 78
15. Neraca Identitas dalam Model Taylor ... 80
16. Neraca Identitas dan Persamaan Perilaku dalam Model Taylor ... 84
17. Lambang dan Definisi dalam Model Taylor ... 88
18. Neraca Identitas dalam Model Solimano ... 90
19. Lambang dan Definisi dalam Model Solimano ... 94
20. Neraca Identitas dan Persamaan Perilaku dalam Model Solimano ... 95
21. Perbandingan Model-Model Three-Gap Bacha, Taylor dan Solimano 100 22. Persamaan-Persamaan Model Naive Three-Gap ... 144
24. Ekspektasi Dampak Simulasi terhadap Variabel-Variabel Tujuan ... 147
25. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Tabungan Swasta Tahun
1969-2000 ... 157
26. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Investasi Swasta Tahun
1969-2000 ... 158
27. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi Swasta Tahun
1969-2000 ... 159
28. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Investasi Pemerintah dan
Konsumsi Pemerintah Tahun 1969-2000 ... 161
29. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Pajak Langsung
dan Pajak Tak Langsung Tahun 1969-2000 ... 162
30. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Non-Pajak dan
Pajak Perdagangan Internasional Tahun 1969-2000 ... 163
31. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Ekspor Barang dan Ekspor
Jasa Tahun 1969-2000 ... 165
32. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Impor Barang dan Impor
Jasa Tahun 1969-2000 ... 167
33. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah, Penanaman Modal Asing Langsung dan Pinjaman
Luar Negeri Swasta Tahun 1969-2000 ... 169
34. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Jumlah Uang Beredar dan
Tingkat Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Tahun 1969-2000 ... 173
35. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Tingkat Inflasi, Nilai Tukar
Riil dan Probabilitas Terjadinya Krisis Ekonomi Tahun 1969-2000 ... 174
36. Validasi Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia, Tahun
1990-1996 ... 178
37. Validasi Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia, Tahun
1997-2000 ... 179
38. Hasil Simulasi Peningkatan Penerimaan Pemerintah (TD,TI,TT)
Sebesar 15%, Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 182
39. Hasil Simulasi Penurunan Perubahan Obligasi Pemerintah (DGB)
Sebesar 15%, Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 184
40. Hasil Simulasi Penurunan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah (FG)
Sebesar 15%, Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 186
41. Hasil Simulasi Peningkatan Tabungan Swasta (SP) sebesar 15%,
Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 189
42. Hasil Simulasi Penurunan Tingkat Suku Bunga SBI (IR) sebesar
43. Hasil Simulasi Peningkatan Cadangan Devisa (R) sebesar 15%,
Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 193
44. Hasil Simulasi Peningkatan Jumlah Uang Beredar (MS) sebesar
15%, 1990-1996 dan 1997-2000 ... 195
45. Hasil Simulasi Penurunan Capital Flight (KF) sebesar 15%,
Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 197
46. Hasil Simulasi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Asia (GASIA)
Sebesar 15%, Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 199
47. Hasil Simulasi Depresiasi Nilai Tukar Riil (RER) sebesar 15%,
Tahun 1990-1996 dan 1997-2000 ... 201
48. Rekapitulasi Hasil Skenario Simulasi 1-10, Tahun 1990-1996 ... 204
49. Rekapitulasi Hasil Skenario Simulasi 1-10, Tahun 1997-2000 ... 205
50. Hasil Simulasi Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter, Tahun
1990-1996 dan 1997-2000 ... 208
51. Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Fiskal dan Moneter
terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia, Tahun 1990-1996 ... 210
52. Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Fiskal dan Moneter
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 1969-2000 ... 15
2. Three-Gap pada Perekonomian Indonesia ... 19 3. Keseimbangan Sumberdaya Sektor Swasta Indonesia, Tahun
1969-2000 ... 21
4. Sumberdaya Sektor Publik di Indonesia, Tahun 1969-2000 ... 23
5. Sumber Pendapatan Pemerintah dalam Persentase Total
Penerimaan Pemerintah, Tahun 1969-2000 ... 27
6. Komponen Pengeluaran Pemerintah dalam Persentase Total
Pengeluaran, Tahun 1969-2000 ... 27
7. Perbandingan antara Konsumsi Pemerintah dengan Investasi
Pemerintah, Tahun 1969-2000 ... 28
8. Keseimbangan Neraca Perdagangan Indonesia, Tahun 1969-2000 ... 30
9. Perbandingan Ekspor Non-Migas dan Migas Indonesia,
Tahun 1969-2000 ... 31
10. Komponen Agregat Impor Indonesia, Tahun 1969-2000 ... 33
11. Obligasi Pemerintah dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1969-2000 .... 38
12. Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Repayments, Tahun 1969-
2000 ... 39
13. Penanaman Modal Asing Langsung dan Pinjaman Luar Negeri
Swasta, Tahun 1969-2000 ... 41
14. Pendapatan dan Pengeluaran Institusi-Institusi dalam suatu
Perekonomian Terbuka ... 69
15. Pembiayaan Sektor Publik yang Defisit ... 70
16. Enam Kemungkinan Kombinasi Three-Gap dalam suatu
Perekonomian Terbuka ... 71
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Konsep Model Makroekonomi Two-Gap ... 231 2. Data yang Digunakan dalam Analisis Model Makroekonomi
Three-Gap Indonesia Tahun 1969-2000 atas dasar Indeks
Deflator PDB (P) Tahun Dasar 1990 ... 240
3. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen ... 246
4. Program Komputer Estimasi Parameter Model Makroekonomi
Three-Gap Indonesia dengan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12
Prosedur SYSLIN Metode 2SLS ... 250
5. Hasil Estimasi Parameter Model Makroekonomi Three-Gap
Indonesia dengan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur
SYSLIN Metode 2SLS ... 253
6. Program Komputer Uji Durbin-h dengan Menggunakan SAS/ETS
Versi 6.12 Prosedur Autoreg Data ... 265
7. Hasil Uji Durbin-h dengan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12
Prosedur Autoreg Data ... 266
8. Program Komputer Validasi Model Makroekonomi Three-Gap
Indonesia dengan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur
SIMNLIN Metode Newton ... 290
9. Hasil Validasi Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia, Tahun 1990-1996 dan Tahun 1997-2000 Menggunakan
SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 297
10. Program Komputer Simulasi Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Tahun 1990-1996, Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12
Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 305
11. Hasil Simulasi Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Tahun 1990-1996, Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur
1.1. Latar Belakang
Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami
perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan
melakukan kebijakan deregulasi. Telah disadari pula pentingnya
perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian dunia, sehingga pemerintah
mempersiapkan negara untuk sebuah orde baru dalam perekonomian. Pemerintah
Indonesia merangkul globalisasi sebagai sebuah paradigma dasar yang menuntun
kebijakan ekonomi masa depan.
Akan tetapi, pada kenyataannya, lemahnya fundamental ekonomi, baik
secara makro maupun mikro, telah membuat perekonomian Indonesia rentan
terhadap contagion effect, sehingga gejolak nilai tukar bath Thailand pada
pertengahan tahun 1997 dengan mudah menulari nilai tukar rupiah atas mata uang
asing terutama terhadap mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Jatuhnya nilai
mata uang rupiah yang diikuti dengan peningkatan inflasi, lalu dengan cepat
menyeret Indonesia ke dalam krisis ekonomi. Selanjutnya, perekonomian
Indonesia berbalik sangat cepat dari pertumbuhan yang tinggi menjadi kontraksi
ekonomi hanya dalam waktu beberapa bulan. Kemudian terjadi pula pelarian
modal yang sangat besar, serta peningkatan pengangguran yang sangat tinggi.
Dampak langsung dari krisis ekonomi adalah peningkatan harga-harga
yang sangat dramatis. Biaya hidup meningkat sangat cepat, sehingga
menimbulkan peningkatan jumlah masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan. Menurut hasil studi Levinshon (1999), dampak kenaikan harga
demikian, dalam studi tersebut Levinshon menemukan bahwa pada periode
September 1997 sampai dengan Oktober 1998, terdapat kelompok-kelompok
masyarakat yang mendapat peningkatan pendapatan sebagai akibat dari
peningkatan harga mata uang asing, yaitu kelompok masyarakat yang
menghasilkan barang dan jasa yang secara langsung dapat diekspor, serta
kelompok masyarakat yang dapat secara cepat mengalihkan aset-asetnya ke dalam
denominasi mata uang asing (dollar AS).
Dalam bidang ekonomi, krisis telah mengakibatkan neraca pembayaran
memburuk secara drastis. Seluruh investor asing maupun domestik, secara
tiba-tiba menarik investasinya dari perekonomian Indonesia, sehingga terjadi capital
flight yang sangat besar dalam waktu singkat. Radelet & Sachs (1998)
mengatakan bahwa ketidakseimbangan dalam neraca transaksi modal mempunyai
dampak yang lebih kuat dalam mendorong defisit neraca pembayaran
dibandingkan dengan ketidakseimbangan dalam neraca transaksi berjalan, yang
pada akhirnya mendorong depresiasi mata uang rupiah menjadi lebih dalam.
Menurut McLeod (1998), besarnya dampak kejatuhan nilai rupiah
terhadap sektor riil, banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tidak
tepat (counterproductive) terhadap shock yang terjadi. Hal tersebut terjadi dengan
mekanisme berikut: Jatuhnya nilai rupiah, ternyata tidak mendorong ekspor
seperti yang diperkirakan. Hal ini karena banyak industri pengekspor yang bahan
bakunya sangat tergantung dari bahan baku impor. Turunnya nilai rupiah, secara
langsung justru memotong nilai asset perusahaan swasta akibat meningkatnya
mengakibatkan perusahaan swasta melakukan penundaan terhadap rencana
investasi, dan masyarakat mengurangi konsumsi.
Menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1997 tersebut dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi
permintaan, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama berasal dari
melemahnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga dan
investasi swasta. Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi yang melambat
bersumber dari melemahnya kegiatan perekonomian, baik di sektor non-migas
maupun sektor migas.
Krisis nilai tukar rupiah selanjutnya memporakporandakan sendi-sendi
perekonomian nasional, sehingga banyak perusahaan yang dilikuidasi. Sedangkan
perusahaan yang masih beroperasi cenderung berproduksi jauh di bawah kapasitas
terpasang. Hal ini telah menyebabkan kesempatan kerja semakin sempit dan
tingkat pengangguran pun semakin tinggi. Depresiasi nilai tukar rupiah yang
demikian besar ditambah dengan rawannya keamanan, lalu menyebabkan
terjadinya krisis kepercayaan di kalangan investor asing. Hal ini mengakibatkan
investasi portofolio mengalir ke luar dari Indonesia, dan investasi langsung juga
mengalami penurunan tajam.
Krisis kepercayaan juga menulari para kreditur asing, menyebabkan
mereka tidak bersedia melakukan roll-over terhadap hutang luar negeri swasta
yang telah jatuh tempo dan enggan memberikan pinjaman baru, sehingga arus
keluar modal (capital outflow) meningkat tajam menjadi US$10.9 miliar pada
langsung adalah US$1.8 miliar, sehingga lalu lintas modal bersih swasta
mengalami defisit sebesar US$9.1 miliar.
Langkah yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi krisis adalah
mengundang International Monetary Fund (IMF). Bantuan IMF terdiri dari tiga
bentuk mekanisme (Radelet and Sachs, 1998). Pertama, bantuan dana untuk
cadangan Bank Indonesia agar dapat menjamin pembayaran hutang luar negeri
Indonesia. Kedua, bantuan dana untuk tambahan modal Bank Indonesia dalam
rangka mendukung kebijakan melaksanakan intervensi di pasar uang sebagai
usaha stabilisasi mata uang rupiah. Ketiga, bantuan keahlian yang diharapkan
dapat meningkatkan kepercayaan donor dan investor. Hal ini penting karena IMF
sering dijadikan acuan oleh investor asing dan negara serta institusi donor,
sehingga kesepakatan yang telah dicapai (oleh IMF dan pemerintah Indonesia)
merupakan sinyal bagi investor asing untuk kembali menanamkan modalnya di
Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Program-program Bank Dunia dan IMF di negara-negara sedang
berkembang terutama fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi
serta memperoleh balance of payment yang surplus dan penciptaan lapangan kerja
yang luas. Dalam mencapai empat tujuan di atas secara simultan, seringkali
mengalami keterbatasan karena adanya berbagai perubahan dan
ketidakseimbangan internal dan eksternal dalam perekonomian.
Pada tahun 1970an dan 1980an, para ekonom percaya bahwa peningkatan
ketidakseimbangan internal dan eksternal terutama disebabkan oleh faktor-faktor
ketidakseimbangan fiskal, crowding out investasi swasta, capital flight,
goncangan terms of trade, perubahan tingkat suku bunga asing, dan penurunan
aktivitas di negara-negara maju (White, 1992 dalam Iqbal, 1996). Oleh karena itu
perlu dibangun suatu metodologi yang memasukkan faktor-faktor tersebut untuk
menganalisis keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal dalam suatu
perekonomian.
Program-program bantuan IMF kepada Indonesia dalam mengatasi krisis
ekonomi 1997, juga disertai prasyarat berupa rekomendasi strategi dan kebijakan
program stabilisasi yang pada dasarnya tetap memperhatikan masalah
keseimbangan internal dan eksternal. Karena itu masalah keseimbangan internal
dan eksternal pada perekonomian Indonesia serta kebijakan fiskal dan moneter
dalam penelitian ini akan dianalisis pada periode sebelum krisis ekonomi Asia
tahun 1997 dan pada periode krisis ekonomi. Tahun 1997-2000 merupakan
periode krisis ekonomi sebelum menuju periode transisi ekonomi tahun
2001-2005 (Haryanto, 2007).
Secara ringkas, permasalahan dalam penelitian ini adalah menyelidiki
mengenai ketidakseimbangan internal: yakni faktor besaran tabungan dan
investasi dalam negeri yang berpengaruh terhadap penerimaan dan pengeluaran.
Sedangkan keseimbangan eksternal menyangkut perdagangan mencakup impor
dan ekspor. Secara khusus, fokus masalah pada tiga ketidakseimbangan tersebut.
Dewasa ini pola pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat ditopang oleh kekuatan
konsumsi dan fiskal pemerintah, sedangkan kekuatan investasi seharusnya dapat
seimbang tidak bertumpu pada konsumsi tetapi dapat bersumber dari investasi,
fiskal pemerintah dan perdagangan.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang berawal dari krisis nilai
tukar rupiah pada semester kedua tahun 1997 tersebut ternyata telah
mengakibatkan makin melebarnya ketidakseimbangan internal dan eksternal
dalam perekonomian. Tabungan dalam negeri tidak efektif dapat menjadi sumber
investasi yang dominan. Maka diperlukan suatu analisis mengenai dampak dari
ketidakseimbangan internal dan eksternal. Dalam penelitian ini, pengukuran
keseimbangan internal menggunakan analisis kesenjangan tabungan dan
kesenjangan fiskal, sedangkan pengukuran keseimbangan eksternal diambil dari
indikator kesenjangan neraca perdagangan. Salah satu model pilihan adalah
menggunakan three-gap analysis.
Dilihat dari kacamata three-gap, krisis ekonomi Indonesia 1997
menyebabkan makin kecilnya (jika surplus) atau makin dalamnya (jika defisit)
kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing
(perdagangan). Data yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik menunjukkan
bahwa kesenjangan tabungan di Indonesia dari rata-rata positif 9.5% pada tahun
1969-1996 menjadi −3.4% pada tahun 1997-2000. Kesenjangan valuta asing dari
rata-rata 17.6% pada tahun 1969-1996 menjadi rata-rata 3.1% pada tahun
1997-2000. Sedangkan untuk kesenjangan fiskal, rata-rata −1.7%. Three-gap dalam
perekonomian Indonesia selama tahun 1969-2000, secara lebih terperinci dapat
dilihat pada Tabel 1 dalam Bab II.
Memperhatikan ketidakseimbangan dalam perekonomian Indonesia, maka
tersebut. Dengan memperhatikan bahwa semenjak masa krisis Asia 1997, ternyata
kesenjangan fiskal makin defisit, namun kesenjangan valuta asing masih positif
tapi menurun. Defisit fiskal semakin besar karena ketidakmampuan sektor
perpajakan ketika pendapatan per kapita menurun. Maka analisis three-gap dapat
digunakan sebagai dasar untuk mempelajari alternatif kebijakan makroekonomi
yang sebaiknya diterapkan dalam perekonomian Indonesia, baik pada masa
sebelum krisis, pada masa krisis ekonomi serta untuk perekonomian ke depan
setelah masa krisis dan transisi ekonomi. Dalam penelitian ini, periode tahun
1990-1996 merupakan periode normal, sedangkan tahun 1997-2000 merupakan
periode krisis ekonomi di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak
kebijakan fiskal dan moneter terhadap kinerja perekonomian Indonesia.
Memperhatikan bahwa dalam perekonomian terdapat kesenjangan internal
(kesenjangan tabungan dan kesenjangan fiskal) dan kesenjangan eksternal
(kesenjangan valuta asing), maka dibuat suatu model makroekonomi yang
memperlakukan tiga kesenjangan tersebut sebagai variabel endogen. Kesenjangan
tabungan merupakan kesenjangan sumberdaya sektor swasta, yakni selisih antara
tabungan dengan investasi. Kesenjangan fiskal adalah selisih antara penerimaan
dengan pengeluaran pemerintah, sedangkan kesenjangan valuta asing adalah
selisih antara ekspor dengan impor.
Simulasi historis dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan
faktor-faktor eksternal, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter Indonesia pada periode
simulasi dapat memberi dampak positif atau negatif pada variabel tujuan, yaitu
variabel yang dianggap mewakili kinerja perekonomian. Secara khusus, tujuan
penelitian ini adalah sbb.:
1. Membangun Model Makroekonomi Three-Gap Indonesia dengan
mengintegrasikan kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan
valuta asing.
2. Melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian
Indonesia termasuk kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan
kesenjangan valuta asing.
3. Melakukan analisis dampak kebijakan fiskal dan moneter terhadap kinerja
perekonomian Indonesia pada periode sebelum krisis ekonomi (tahun
1990-1996) dan pada periode krisis ekonomi (tahun 1997-2000).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa
pemahaman terhadap permasalahan ekonomi Indonesia, termasuk analisis atas
kebijakan pada periode sebelum dan pada periode krisis ekonomi. Hasil analisis
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pembuat kebijakan ekonomi
Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Model makroekonomi three-gap Indonesia menitikberatkan dari sisi
permintaan agregat (pendekatan sisi pengeluaran) yang meliputi bidang fiskal dan
bidang moneter. Kebijakan bidang fiskal meliputi penerimaan pemerintah
termasuk surat berharga government bonds (obligasi pemerintah) dan pinjaman
supply (jumlah uang beredar), tingkat suku bunga dan cadangan devisa. Semua
kebijakan makroekonomi fiskal dan moneter akan diaudisi menggunakan model
makroekonomi three-gap yang pada mulanya digunakan oleh Bacha (1990),
Taylor (1990, 1993), Solimano (1990), Iqbal (1996) dan Wang (1998).
Penelitian ini tidak mengupas lebih jauh sisi penawaran agregatnya (tidak
dilakukan pendekatan sisi produksi). Pertimbangan yang mendasarinya adalah
bahwa secara teoritis kedua pendekatan tersebut menghasilkan pendapatan
nasional yang sama. Di samping itu, kompleksnya sektor produksi serta kendala
ketersediaan data menyebabkan penelitian ini tidak melibatkan sisi penawaran
agregat secara terperinci. Dengan demikian, perhitungan produk domestik bruto
dalam penelitian ini dilihat dari sisi pengeluaran nasional yang terdiri dari
komponen konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series tahunan periode tahun
1969-2000. Tahun 1969 dipilih sebagai awal periode estimasi karena tahun 1969
adalah tahun dimulainya rencana pembangunan jangka panjang Indonesia yang
diawali dengan Pembangunan Lima Tahun I (Pelita I) pada rejim Orde Baru.
Dengan terjadinya krisis ekonomi yang dimulai dari krisis nilai tukar tahun
1997, struktur perekonomian Indonesia akan berubah menjadi struktur yang baru.
Tetapi untuk menyederhanakan alat analisis, maka periode tahun 1997-2000
dimasukkan dalam estimasi model penelitian agar dapat dilakukan simulasi
historis pada periode tersebut, dengan tujuan untuk menganalisis dampak
kebijakan fiskal dan moneter pada periode krisis. Dasar pemikirannya adalah
bahwa meskipun struktur perekonomian berubah karena krisis, tetapi terdapat
krisis tersebut. Periode sebelum krisis yang dianalisis dalam penelitian ini adalah
2.1. Perkembangan Ekonomi Indonesia
Pada dekade 1970an perekonomian Indonesia didominasi oleh sektor
perminyakan. Selama pertengahan dekade tujuh puluhan produksi minyak
Indonesia mencapai 1.3 juta barrel per hari. Perubahan dalam pasar minyak
berdampak sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Booming minyak yang
terjadi di seluruh dunia pada awal tahun 1970an menyebabkan inflasi dunia
meningkat dengan tajam. Rata-rata inflasi tahunan negara-negara Overseas
Economic Countries for Development (OECD) kurun waktu tahun 1970-1980
adalah 9%. Karena hasil perdagangan sangat berperan dalam produk domestik
bruto Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa pada masa itupun Indonesia telah
mulai mengimpor inflasi, karena perdagangan Indonesia didominasi oleh sektor
perminyakan. Maka kenaikan harga barang-barang impor diteruskan kepada
konsumen lokal yang pada akhirnya meningkatkan inflasi domestik (Booth and
McCawley, 1981 dalam Tambunan, 2002).
Pada tahun 1983, tim ekonomi Indonesia sudah menyadari keterbatasan
negara sebagai mesin tunggal pendorong kemakmuran ekonomi, sehingga sebagai
gantinya berusaha memanfaatkan gaya-gaya pasar sebagai sumber kekuatan baru.
Proses reformasi ekonomi dirancang untuk membuat perekonomian menjadi lebih
berorientasi pasar, terutama dalam pengalokasian dan pendistribusian sumber
daya finansial. Reformasi ini memberikan peran lebih besar bagi sektor swasta
dan kompetisi antar sektor. Keputusan itu berimplikasi pada perubahan aturan
agar berbagai sektor ekonomi bisa berkembang. Maka sejak tahun 1983 sampai
sebelum terjadinya krisis nilai tukar tahun 1997, dapat disebut sebagai periode
deregulasi di Indonesia. Reformasi berdampak sangat besar, termasuk terhadap
sistem perbankan dan dampaknya dalam mempercepat pertumbuhan. Namun
demikian ada beberapa masalah yang tidak dapat dihindari. Misalnya pada akhir
tahun 1984 terjadi peningkatan permintaan dalam pasar antar bank yang memicu
terjadinya peningkatan besar dalam suku bunga untuk pinjaman semalam
(overnight), sehingga Bank Indonesia membuka sebuah fasilitas kredit khusus dan
membatasi jumlah yang dapat dipinjam oleh bank-bank dalam pasar antar bank.
Lalu pada tahun 1986 terjadi reformasi keuangan dan shift to outward oriented
economy. Walaupun gerakan ini dilancarkan sebagai respon atas penurunan
kinerja ekonomi di Indonesia yang disebabkan oleh jatuhnya harga minyak
sampai menjadi US$10 per barrel, reformasi ini akhirnya terus dipertahankan
karena deregulasi dan debirokratisasi ternyata menggairahkan perekonomian.
Reformasi keuangan ditandai dengan keberhasilan pemerintah dalam
mengendalikan inflasi melalui pengendalian ketat terhadap pasokan uang,
pengendalian fiskal dan koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dengan bank
sentral negara lain. Ciri penting dari pelaksaan reformasi keuangan saat itu adalah
terjadinya devaluasi nilai tukar yang dirancang untuk meningkatkan ekspor
non-migas. Ternyata kebijakan devaluasi tersebut adalah kebijakan devaluasi
Indonesia yang terakhir. Sejak devaluasi tahun 1986, rupiah diatur sesuai dengan
sistem liberal “managed floating” (mengambang terkendali), dan tidak lagi
Mulai tahun 1988, perekonomian Indonesia tumbuh pesat, yaitu rata-rata
di atas 5% per tahun. Akan tetapi, pada semester kedua tahun 1997, setelah
mengalami stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi serta
penurunan jumlah penduduk miskin yang sangat besar, perekonomian Indonesia
tiba-tiba mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Seperti yang telah
diketahui secara luas, krisis ekonomi Indonesia dipicu dari jatuhnya nilai mata
uang rupiah, sebagai lanjutan dari jatuhnya nilai mata uang baht di Thailand dan
ringgit di Malaysia. Walaupun indikator makroekonomi pada saat itu
menunjukkan kondisi yang cukup baik, namun jatuhnya nilai mata uang rupiah
kemudian ternyata menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia
(Tambunan, 2002).
Untuk meredam terjadinya gejolak rupiah, pada waktu itu Bank Indonesia
mengambil tindakan memperlebar spread kurs intervensi dari 8% menjadi 12%,
dan menyetop sementara pembelian Sertifikat Berjangka Pasar Uang (SBPU).
Sementara itu, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dinaikkan dengan
harapan akan memperkuat nilai tukar rupiah. Namun, karena nilai tukar rupiah
ternyata tetap melemah dan sempat menembus batas spread pada tanggal 14
Agustus 1997 (kurs rupiah mencapai Rp.2775 per dollar AS, yaitu lebih tinggi
dari batas intervensi Rp.2682), maka sejak itu Bank Indonesia melepas band
intervensinya dan kemudian beralih pada sistem free float exchange rate.
Penglepasan band intervensi oleh Bank Indonesia kemudian membuat nilai tukar
rupiah semakin bergejolak dan akhirnya terpuruk pada tingkat yang relatif sangat
Dengan diberlakukannya sistem free float exchange rate tersebut, tidak
berarti bahwa nilai tukar rupiah secara mutlak ditentukan oleh mekanisme pasar.
Keinginan pemerintah untuk mengendalikan nilai tukar masih nampak dari
adanya pengetatan likuiditas perbankan. Peningkatan suku bunga SBI yang
disertai pengetatan likuiditas cukup membuat dunia usaha menjadi panik. Suku
bunga SBI berjangka waktu satu bulan sempat mencapai 30% per tahun pada
tanggal 19 Agustus 1997. Hal ini mengakibatkan suku bunga deposito berjangka
satu bulan melambung di atas 30%, dan akibatnya suku bunga kredit berada pada
kisaran 40% per tahun (Basri, 2002).
Tingginya tingkat suku bunga mengakibatkan sebagian besar dana
masyarakat dialihkan ke deposito berjangka waktu satu sampai tiga bulan. Hal ini
menjadikan sistem perbankan yang selama ini berperan penting dalam
pembiayaan jangka panjang menjadi kesulitan dalam menata kembali manajemen
yang selama ini sudah berlangsung. Keadaan tersebut menyebabkan sistem
perbankan pada umumnya mengalami kesulitan likuiditas. Pada gilirannya, hal itu
akan berpengaruh terhadap turunnya rentabilitas bank tersebut. Bagi
bank-bank yang sudah fragile dengan berbagai persoalan mendasar, maka kesulitan
likuiditas akan memperparah keadaan. Besarnya kesulitan likuiditas perbankan
pada akhirnya telah menimbulkan krisis pada perbankan nasional, karena banyak
perbankan nasional melakukan mismatch financing, yakni memberikan pinjaman
jangka panjang ke perusahaan dengan dana yang berasal dari utang jangka
pendek. Ditambah lagi, banyak perbankan yang melanggar batas pinjaman yang
Krisis nilai tukar yang diikuti dengan krisis utang dan krisis perbankan,
akhirnya menurunkan kinerja perekonomian hingga mengalami depresi dan inflasi
yang tinggi. Pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi
yakni dari pertumbuhan ekonomi 7.8% pada tahun sebelumnya menjadi hanya
tumbuh 4.7%. Pada tahun 1998, resesi ekonomi Indonesia sampai pada titik yang
paling rendah yakni dengan pertumbuhan ekonomi –13.7% (Gambar 1).
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 1969-2000
Kontraksi ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1998 adalah
yang terparah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang terkena
krisis, tetapi pemulihannya relatif paling lambat. Sebagai contoh, kontraksi yang
dialami Korea Selatan pada tahun 1998 adalah −6.7%, tetapi pada tahun 1999
telah mampu tumbuh sebesar 10.7%. Malaysia yang mengalami kontraksi −7.4%
telah tumbuh 5.7% pada tahun 1999, dan Thailand dari −10.2% pada tahun 1998
menjadi 3.3% pada tahun 1999. Sedangkan Indonesia yang kontraksinya paling
parah, yaitu −13.2%, ternyata baru mampu tumbuh sebesar 0.79% pada tahun
1999 (Abdelal, 2001).
-15.0 -10.0 -5.0 0.0 5.0 10.0
P
e
rt
um
buha
n E
ko
no
m
i
(%
)
Selanjutnya, sesuai dengan tema penelitian, maka dalam sub-bab di bawah
ini dipaparkan secara singkat perkembangan perekonomian Indonesia yang
dikaitkan dengan ketiga kesenjangan, yaitu kesenjangan tabungan, kesenjangan
fiskal dan kesenjangan valuta asing. Periodesasi analisis dibagi menjadi dua
bagian, yaitu periode sebelum terjadinya krisis nilai tukar (yakni tahun
1969-1996) dan pada periode krisis ekonomi (yakni tahun 1997-2000). Pembagian dua
periode tersebut dimaksudkan untuk melakukan perbandingan melakukan
perbandingan perkembangan ketiga kesenjangan dalam perekonomian Indonesia
pada periode normal dan pada periode krisis.
2.2. Tiga Kesenjangan dalam Perekonomian Indonesia
Agar dapat menggunakan analisis tiga kesenjangan (three-gap), maka
institusi perekonomian dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga blok, yaitu blok
sektor swasta, blok sektor publik dan blok luar negeri, dimana blok tersebut
menampung variabel-variabel dalam neraca pembayaran, yaitu ekspor, impor dan
aliran dana asing. Pada model makroekonomi dalam penelitian ini terdapat dua
blok tambahan, yaitu blok moneter dan blok indikator ekonomi.
Hasil perkembangan three-gap di Indonesia seperti tersaji pada Tabel 1
didapat dengan mengolah data makroekonomi yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik. Pada sektor swasta, tabungan swasta (SP) didefinisikan sebagai total
tabungan nasional dikurangi tabungan pemerintah, sedangkan investasi swasta
(IP) didefinisikan sebagai jumlah dari pembentukan kapital bruto (gross fixed
capital formation) dan perubahan stok dari investasi.
Pada sektor publik, penerimaan pemerintah (T) adalah jumlah penerimaan
Tabel 1. Perkembangan Three-Gap pada Perekonomian Indonesia dalam Persentase Produk Domestik Bruto, Tahun 1969-2000
Tahun
Keseimbangan Sumberdaya Sektor Swasta (%)
Keseimbangan Sumberdaya Sektor Publik (%)
Keseimbangan Transaksi Berjalan (%)
SP IP (SP - IP) T G (T – G) X M (X - M)
1969 8.2 10.3 -2.1 9.0 12.3 -3.3 17.5 11.9 5.6
1970 13.0 3.4 9.6 10.3 14.0 -3.7 17.7 10.4 7.4 1971 15.1 4.1 11.0 11.3 13.1 -1.9 19.0 13.6 5.3
1972 20.6 4.6 16.0 13.0 15.0 -2.0 24.9 11.8 13.0
1973 20.5 3.2 17.2 14.7 16.6 -1.9 33.7 11.6 22.1 1974 22.5 4.2 18.4 16.4 17.8 -1.4 49.9 12.3 37.6
1975 20.1 0.5 19.6 17.7 21.0 -3.2 41.3 14.9 26.5 1976 19.5 3.1 16.4 18.8 22.6 -3.8 39.6 16.7 22.9
1977 22.9 4.5 18.4 18.9 21.8 -2.9 41.0 15.1 25.9
1978 21.1 10.8 10.3 18.8 20.9 -2.2 54.7 20.4 34.3 1979 27.8 12.6 15.2 20.9 23.1 -2.2 50.7 16.1 34.7
1980 30.2 11.0 19.3 22.5 25.2 -2.7 57.8 16.7 41.1 1981 26.7 15.1 11.6 22.6 24.0 -1.4 54.5 17.9 36.7
1982 20.2 13.6 6.7 20.8 22.0 -1.2 47.3 21.4 25.9
1983 22.3 13.8 8.5 19.6 22.0 -2.4 50.3 23.7 26.6 1984 23.5 13.0 10.5 18.5 19.3 -0.8 47.5 19.2 28.3
1985 22.8 10.4 12.4 20.3 22.6 -2.2 37.4 15.1 22.3 1986 26.5 6.0 20.5 16.8 21.1 -4.3 39.9 21.5 18.4
1987 33.9 11.1 22.9 18.2 19.6 -1.5 37.0 26.5 10.5
1988 32.3 10.5 21.8 16.2 18.6 -2.4 32.7 24.6 8.2 1989 22.5 21.6 0.9 17.2 18.3 -1.1 32.6 23.5 9.1
1990 21.5 25.9 -4.3 20.0 20.6 -0.6 34.3 24.2 10.0 1991 21.1 22.5 -1.5 18.3 19.2 -0.9 34.4 27.7 6.7
1992 23.8 21.2 2.6 18.2 18.6 -0.4 35.3 27.6 7.7
1993 18.6 20.9 -2.3 15.9 16.6 -0.7 29.5 24.3 5.2 1994 18.4 22.5 -4.1 17.4 16.4 0.9 28.1 24.2 3.9
1995 18.6 23.4 -4.9 16.1 14.2 1.9 28.5 27.5 1.0 1996 16.6 22.5 -5.9 16.5 14.6 1.9 22.5 25.9 -3.5
Rata-Rata 21.8 12.4 9.5 17.3 19.0 -1.7 37.1 19.5 17.6
1997 18.5 25.0 -6.5 17.9 17.3 0.6 41.7 42.0 -0.3
1998 19.6 17.6 2.0 15.9 18.1 -2.3 40.3 37.0 3.3 1999 -0.5 4.8 -5.3 18.2 20.6 -2.4 32.9 29.1 3.7
2000 -0.4 3.4 -3.8 15.9 18.2 -2.3 48.6 42.7 5.9
Rata-Rata 9.3 12.7 -3.4 17.0 18.6 -1.6 40.9 37.7 3.1
Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun Terbitan)
perdagangan luar negeri. Pengeluaran pemerintah (G) adalah pengeluaran rutin
luar negeri, total ekspor (X) adalah jumlah dari ekspor minyak dan gas bumi,
ekspor komoditi pertanian, ekspor barang manufaktur dan ekspor jasa. Sedangkan
total impor (M) adalah jumlah impor barang modal, impor bahan baku/penolong
(intermediary goods), impor barang konsumsi dan impor jasa.
Analisis deskriptif tentang perkembangan three-gap di Indonesia dapat
dilakukan dengan memperhatikan nilai kesenjangan tabungan swasta (savings
gap), kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan kesenjangan valuta asing (foreign
exchange gap) dalam persentase produk domestik bruto (PDB). Tabel 1
merangkum keseimbangan sumberdaya sektor swasta, sektor publik dan transaksi
berjalan pada neraca perdagangan Indonesia selama periode tahun 1969-1996 dan
tahun 1997-2000. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa sebelum krisis, secara
rata-rata, Indonesia mengalami surplus tabungan sektor swasta, defisit sektor
publik dan surplus transaksi berjalan pada neraca perdagangan.
Pada periode tahun 1969-1996, kesenjangan tabungan rata-rata positif
9.5% sedangkan pada periode tahun 1997-2000, rata-rata menjadi −3.4%. Jika
dilihat lebih seksama, sebenarnya sejak tahun 1990 kesenjangan tabungan telah
bernilai negatif, yang menunjukkan bahwa investasi swasta di Indonesia dibiayai
oleh pinjaman dari luar negeri. Akumulasi pinjaman inilah yang menjadi salah
satu penyebab krisis ekonomi tahun 1997, yaitu karena banyaknya utang luar
negeri swasta yang jatuh tempo sehingga permintaan akan mata uang dollar AS
meningkat tajam dan berdampak pada apresiasi dollar AS yang lebih besar lagi
setelah terjadinya contagion effect dari kejatuhan nilai baht Thailand.
Pada sektor publik, meskipun rata-rata defisit fiskal hampir sama antara
mendapat perhatian. Hal ini karena nilai negatif yang konstan, yaitu rata-rata
sebesar −1.7% dari PDB pada periode tahun 1969-1996 dan −1.6% pada tahun
1997-2000, menunjukkan bahwa dalam perekonomian terdapat penyakit yang
kronis dalam sumberdaya fiskalnya. Sedangkan dalam neraca perdagangan,
Indonesia memiliki surplus dalam jangka panjang. Surplus pada periode tahun
1969-1996 rata-rata sebesar 17.6%. Tetapi dengan terjadinya krisis ekonomi,
ekspor Indonesia mengalami penurunan dalam nilai nominalnya. Meskipun
penurunan ekspor dibarengi pula dengan penurunan impor, tetapi hal ini tetap
menurunkan total surplus menjadi rata-rata 3.1%. Three-Gap pada perekonomian
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.
[image:43.595.103.495.52.800.2]Gambar 2. Three-Gap pada Perekonomian Indonesia
Gambar 2 menunjukkan bahwa daerah yang dilingkari adalah posisi yang
relevan dengan three-gap pada perekonomian Indonesia, yaitu pada sebelum
M<X
G>T
SP>IP Periode Sebelum Krisis
Periode Krisis
(M - X)
(G - T)
M > X G < T SP < IP
M > X G < T SP > IP
M < X G < T SP < IP
M > X G > T SP > IP
(SP = IP)
M<X
G>T
krisis (periode tahun 1969-1996), sektor swasta rata-rata mengalami surplus
(SP>IP), sektor publik mengalami defisit (G>T), dan neraca perdagangan
mengalami surplus (M<X). Pada periode krisis (tahun 1997-2000), selain sektor
publik, sektor swasta juga mengalami defisit (SP<IP). Di sektor luar negeri
(neraca perdagangan) tetap terdapat surplus (M<X).
Sub-bab di bawah ini menguraikan secara lebih terperinci tentang
perkembangan ketiga kesenjangan di Indonesia yakni kesenjangan tabungan,
kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing.
2.2.1. Kesenjangan Tabungan
Pada awal tahun 1983, tim ekonomi Indonesia telah memulai proses
reformasi ekonomi Indonesia yang lebih berorientasi pasar. Reformasi ini
memberi peran lebih besar pada sektor swasta dan kompetisi antar sektor, yang
berdampak pada makin bergairahnya investasi swasta. Hal ini terlihat dari
kenaikan investasi swasta dimana sejak tahun 1989 investasi meningkat menjadi
rata di atas 20% dari PDB, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang
rata-rata sekitar 10%.
Gambar 3 menunjukkan bahwa keseimbangan sumberdaya sektor swasta
rata-rata mengalami defisit pada periode tahun 1997-2000, setelah rata-rata
mengalami surplus pada masa sebelum terjadinya krisis nilai tukar rupiah. Garis
vertikal pada gambar tersebut membagi keseluruhan periode menjadi dua bagian,
yaitu periode sebelum krisis tahun 1969-1996, dan periode krisis, yaitu tahun
1997-2000. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada tahun 1990-2000
swasta sudah mulai menunjukkan nilai negatif, padahal pada tahun 1970-1989
nilainya selalu positif. Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1990, pembiayaan
investasi di Indonesia sangat tergantung dari pinjaman luar negeri swasta. Salah
satu penyebab tingginya pinjaman luar negeri swasta adalah pertumbuhan
investasi yang sangat tinggi, yaitu dari kisaran 10% dari PDB pada tahun
1969-1988 menjadi di atas 20% pada tahun 1989-1997. Sebenarnya, peningkatan
investasi merupakan hal yang positif, asalkan diimbangi dengan kehati-hatian
dalam pengelolaan utang. Pengelolaan yang kurang baik atas utang luar negeri
swasta (antara lain tidak dilakukan hedging atas resiko perubahan nilai tukar dan
penggunaan utang jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang)
akhirnya menjadi salah satu penyebab mudahnya krisis nilai tukar baht Thailand
menulari nilai tukar rupiah pada tahun 1997 yang lalu.
Gambar 3. Keseimbangan Sumberdaya Sektor Swasta Indonesia, Tahun 1969-2000
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35
P
er
sen
ta
se P
D
B
(%
)
T a h u n
Selama tahun 1970an sampai tahun 1988, tabungan sektor swasta berkisar
antara 8%-33% dari PDB dan lebih tinggi daripada investasi swasta yang sebesar
antara 0.5%-13% dari PDB, sehingga menyebabkan sektor swasta mengalami
surplus modal. Tetapi mulai tahun 1989, kecenderungan tersebut berubah,
kegiatan investasi di sektor swasta tahun 1989-1996 selalu berada pada tingkat di
atas 20% dari PDB. Tetapi peningkatan investasi ini tidak dibarengi dengan
kecenderungan peningkatan tabungan, sehingga sektor swasta mulai mengalami
defisit, yang sebagian ditutup melalui pinjaman dari luar negeri dan sebagian dari
sektor publik melalui perbankan milik negara.
2.2.2. Kesenjangan Fiskal
Tabel 1 dapat digambarkan dalam bentuk grafis seperti yang terlihat pada
Gambar 4. Pada gambar tersebut disajikan perkembangan posisi anggaran
penerimaan dan pengeluaran gabungan pemerintah pusat dan daerah selama tahun
1969-1996 dan tahun 1997-2000. Total penerimaan pemerintah selama periode
analisis berkisar antara 9%-22% dari PDB, sedangkan pengeluaran pemerintah
berkisar antara 12%-25% dari PDB. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa
penerimaan pemerintah selama tahun 1969-1981 mengalami kecenderunganyang
meningkat dari 9% sampai mencapai 22% dari PDB. Setelah itu, dapat dikatakan
bahwa penerimaan pemerintah konstan di sekitar 16%-20% dari PDB.
Tetapi pada tahun 1991-1996, penerimaan pemerintah menjadi konstan
pada kisaran 15%-18%. Pada masa krisispun penerimaan pemerintah masih
sekitar 15%-18% dari PDB. Sedangkan kecenderungan pengeluaran pemerintah
tahun 1969-1982 mengalami peningkatan, dari 12% menjadi 25% dari PDB pada
selanjutnya defisit fiskal konstan di sekitar −1% sampai dengan −2%, dan pernah
mencapai surplus kecil 1.9% di tahun 1996. Pada masa krisis ekonomi tahun
1997-2000, defisit fiskal rata-rata sebesar −1.6% dari PDB.
[image:47.595.100.506.66.835.2]Gambar 4. Sumberdaya Sektor Publik di Indonesia, Tahun 1969-2000
Tabel 2 menyajikan sumber-sumber pendapatan pemerintah, yaitu
penerimaan pajak langsung (direct tax) berupa pajak pendapatan (Pph),
penerimaan pajak tak langsung (indirect tax) berupa pajak pertambahan nilai
(PPN), dan penerimaan-penerimaan pemerintah bukan pajak (non-tax revenues)
serta pajak perdagangan internasional (trade tax). Terlihat bahwa kecenderungan
penerimaan pemerintah pada periode tahun 1969-1996, setelah mengalami
peningkatan penerimaan pajak langsung (Pph) dari tahun 1969-1983 yaitu dari
59% menjadi 80% dari total penerimaan, lalu di tahun 1996 mengalami penurunan
lagi sampai menjadi 56% dari total penerimaan. Pada periode tahun 1983-1996,
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30
P
er
sen
ta
se P
D
B
(%
)
T a h u n